212 — Janji.
Tok tok tok!
“Sir!” Arasha seketika terbelalak melihat William yang hendak melepas bajunya yang basah karena keringat, dia langsung berbalik badan ke arah pintu. “Bisakah kau bilang dulu jika ingin membuka baju?”
“Salah kau sendiri, kenapa tiba-tiba masuk? Aku belum mempersilakan.”
William menyugar rambut basahnya ke atas, dia pun meraih bathrobe putih yang ia sengaja sediakan di ruangan gym-nya. Ia pun memakainya dan menghampiri Arasha. “Sudah, lihat aku, pintu itu tidak setampan aku, tolong jangan lihat kesana terus.”
Arasha bergedik geli mendengar perkataan William barusan saat ia sudah menghadap pada sosok jangkung itu. Arasha jadi tidak fokus karena tidak sengaja melihat shirtless-nya William untuk kesekian kalinya, pipinya bersemu merah. Gadis itu bersumpah William jauh lebih tampan setelah beraktivitas seperti ini, peluh mengalir di dahinya dan berjatuhan di leher pria itu.
“Jangan berimajinasi liar.”
“Sembarangan! Kata siapa?”
William tersenyum miring seraya mencondongkan badannya pada Arasha. “Aku memang tampan, Arasha.”
“Menjauh!” Arasha mendorong William, matanya menyorot tajam lelaki itu. “Kenapa kau selalu menggodaku? Dasar menyebalkan!”
William tertawa renyah, dia memicingkan matanya pada Arasha. “Sudah menyelesaikan hubunganmu itu, hm?”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Jangan kau pikir aku membebaskanmu sepenuhnya, Arasha,” ucap William.
“Maksudnya?!”
“Sudahlah, aku tidak berbicara dengan gadis yang tidak sekolah,” kata William seraya memutar bola matanya jengah.
Arasha melotot padanya, dia langsung memukul dada William keras. “Kau jahat! Mulutmu itu!”
“Kenapa? Mau kau cium?” goda William.
Arasha menggertakkan rahangnya kuat, dia kesal sekali dengan sosok angkuh dan menyebalkan itu pasalnya selain suka menggodanya, William juga kerapkali menghinanya. Bagaimana Arasha tidak kesal dengan pria dewasa itu.
“Sini ikut aku,” ujar William seraya menarik tangan Arasha keluar dari ruang gym itu.
“Mau kemana kita?”
“Tidur.”
“Sudah gila ya?”
“Aku ingin tidur, memang apanya yang gila?”
“Yang benar saja, aku tidak ingin tidur denganmu!”
William yang sudah kesal dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Arasha akhirnya menggendong gadis itu layaknya karung beras di atas bahunya, lalu ia membawa Arasha pergi bersamanya, tidak peduli dadanya terus ditendang bahkan punggungnya dipukul sekalipun.
“Sir! Turunkan aku!!”
“Tidak mau. Kau berisik sekali!”
—
Benar saja, William membawa gadis itu ke dalam kamarnya, bahkan dia baru menurunkan Arasha setelah ia memasukkan kunci kamarnya ke dalam bathrobe-nya.
“Kau tidur di sini.”
“Aku tidak mau.”
“Ya sudah, kau tidak boleh bertemu Mark.”
“Ah, kau selalu menyebalkan!”
Arasha masih menatap tajam pada William, namun saat lelaki itu berbalik menatapnya membuat ia segera memalingkan pandangan ke arah lain. Sialnya, pandangannya beralih pada sofa yang mengingatkannya pada suatu hal yang terjadi antara dirinya dan William kala itu.
William yang diam-diam mengamati Arasha, segera menarik tangan gadis itu dan membawa Arasha duduk di atas pangkuannya.
Lagi, Arasha terperangkap di pangkuan William.
“Entah mengapa aku selalu senang melihat kau ada di pangkuanku.”
“Sir, ah, kau—”
“Sst, aku tidak akan macam-macam.”
William memeluk Arasha yang membelakanginya, dia mendekatkan hidungnya di ceruk leher Arasha—yang mulai merinding dibuatnya. Arasha tidak lagi memberontak, dekapan William yang hangat dan nyaman membuat fokusnya buyar terutama napas lelaki itu yang menari di leher jenjangnya.
“Aku janji setelah kita kembali dari Beijing, kau akan bertemu dengan Monic.”
“Kau serius?”
“Hm, aku tidak pernah berbohong.”
“Aku pegang janjimu.”
“Kau juga harus janji,” ujar William.
Arasha menoleh padanya, “apa?”
“Kau harus giat belajar saat kau kembali kuliah nanti.”
“Itu janjiku pada diri sendiri.”
William mengangguk dengan senyum tipis, “satu lagi.”
“Apa?”
“Jangan tinggalkan aku.”
William mengecup sekilas bibir Arasha lembut, lalu ia tertawa melihat reaksi Arasha yang terkejut dan selanjutnya ia mengeratkan pelukannya lagi pada gadis itu.