Pillow Talk
Airin sedari tadi tampak merajuk sebab Wira tidak memperbolehkannya untuk keluar rumah karena akhir-akhir ini Airin sering mengeluh tidak enak badan jadilah suaminya itu khawatir untuk membawa sang istri keluar rumah.
Airin yang kesal dengan Wira akhirnya mogok bicara dan dia hanya berdiam seharian di dalam kamar bahkan tidak memperbolehkan suaminya masuk ke dalam kamar. Wira yang menyerah dan tidak mau membuat Airin yang sering moody-an itu menjadi semakin marah padanya pun memilih untuk mengalah sehingga dia hanya berdiam di ruang televisi seraya mengecek berkas-berkas penerbangannya untuk lusa.
Hampir setengah hari Airin berada di dalam kamar sampai akhirnya perempuan yang tengah mengandung itu keluar dari kamarnya karena tiba-tiba ia ingin memakan sesuatu yang harus diambilnya di dapur.
Airin dengan perutnya yang sudah sedikit membuncit tampak berjalan ke arah dapur dan sama sekali tidak menghiraukan Wira yang tersenyum tipis mengamatinya sejak ia membuka pintu kamar.
Mata Airin berbinar saat ia melihat cake yang ada di dalam kulkas dan ada juga ice cream di atas freezer karena tampaknya suaminya itu membeli berbagai makanan dan tidak membiarkan isi kulkasnya kosong karena tahu akhir-akhir ini Airin sedang gemar memakan cemilan apapun.
“Cari apa, Sayang? Mau dibantu?”
Airin tersentak sedikit kala meraih cake dari dalam kulkas, dia lalu menoleh untuk mengamati Wira yang tampak sudah berdiri di belakangnya dengan tangan bersedikap. Airin memutar bola matanya malas dan tidak merespon apapun, dia naik ke atas bangku depan meja bar dan memakan cake strawberry itu.
“Rambutnya, Sayang.”
Wira terkekeh pelan sambil mendekati istrinya yang beberapa kali tak sengaja memakan rambutnya yang semakin panjang menghalangi wajahnya kala perempuan itu menunduk. Wira memegangi rambut Airin dan menyelipkan pinggirannya di balik telinga wanita itu. “Habis ini tidur ya, Cantik?”
Airin menggeleng. “Nggak mau.”
“Badannya udah enakan hm? Besok kita jalan-jalan ya, kamunya sehat dulu.”
“Aku gak sakit!”
“Tapi badan kamu masih hangat ini, terus masih suka bersin-bersin juga saya perhatiin.”
Airin terdiam sejenak mengabaikan suaminya dan melanjutkan menghabisi potongan cake-nya sampai habis, dia hendak mengambil minum tapi rupanya Wira sudah lebih dulu menyiapkan segelas air untuknya. Airin pun langsung meneguk minumannya itu, dia sedikit berusaha untuk turun dari bangkunya seraya memegangi perutnya hati-hati meskipun dengan sigap suaminya itu langsung menggendongnya untuk turun dari sana.
“Sampai kamar ya saya gendongnya hm?”
“Hm,” sahut Airin pelan, dia yang sedikit gengsi tampak menelusup ke dalam ceruk leher suaminya. Mengendus sejumput aroma maskulin yang melekat pada tubuh lelaki itu, sebenarnya ada hasrat ingin memeluk tetapi kalah besar dengan rasa malu Airin kala itu, dia baru selesai merajuk pasalnya.
“Mau ke kamar?”
“Nggak mau.”
“Kalau nggak ke kamar, nanti harus berduaan sama saya loh, soalnya saya mau nonton dulu. Kamu mau ikut?” Goda Wira.
“Hm.”
Lelaki itu diam-diam menahan senyumnya terutama ketika ia duduk di sofa dengan Airin yang ada di pangkuannya kini, Airin hendak turun dari atas pangkuan suaminya itu namun Wira terus menahan pinggangnya.
“Mas aku mau turun.”
Wira mengamati istrinya yang mencebikkan bibirnya dan terus berusaha melepaskan pegangan lelaki itu yang hanya tersenyum miring dan tak henti menatap Airin. “Nggak boleh, kalau mau sama saya harus gini syaratnya.”
“Mas ih...”
“Apa?”
Airin yang mulai takut kala Wira menatapnya serius segera memeluk leher suaminya dan menelusup manja pada dada bidang lelaki itu. “Maafin aku.”
“Mana coba lihat saya.”
“Nggak mau.”
“Ish kok gitu nggak mau lihat suaminya sendiri?”
Wira mengangkat wajah Airin yang begitu menggemaskan ditambah pipinya yang semakin berisi semenjak wanita itu sedang mengandung. Wira tersenyum kecil. “Mau saya maafin?”
“Ya udah kalo nggak mau juga aku gak akan maksa!”
“Cium dulu.”
“Nggak mau.”
“Ish, kenapa nggak mau?” Wira mengerucutkan bibirnya, sedikit menahan tawa juga melihat gemasnya sang istri. “Biasanya kamu yang minta.”
“Diem deh.”
Wira menggertakkan rahangnya gemas melihat Airin tampak langsung merotasikan bola matanya dan berupaya mengalihkan pandangan dari lelaki itu. Sontak membuat Wira yang sudah tidak tahan tampaknya langsung menghadapkan lagi wajah istrinya itu padanya lalu menarik Airin lebih dekat dengan pelukan yang semakin erat.
“Gemes banget sih kamu hm.” Wira mengendus pipi Airin dalam-dalam lalu ia mengecup beberapa kali dengan gemas dan menempelkan hidungnya agar beradu dengan hidung mancung istrinya itu hingga berakhir dengan memberi kecupan akhir pada bibir Airin. “Kamu makin lucu saya jadi pingin cium terus.”
Airin menatap Wira cemberut tapi dalam hatinya rasanya ia ingin berteriak karena sungguh ia sangat senang jika suaminya seperti ini padanya meskipun memang Wira akhir-akhir ini seringkali mengganggu Airin yang sedang sensitif beberapa bulan terakhir, tetapi sungguh meskipun begitu, suaminya selalu punya cara untuk memperbaiki mood-nya segera mungkin.
“Saya makin cinta sama kamu,” bisik Wira kala ia mendekap tubuh Airin begitu erat, namun beberapa saat Airin meringis sehingga lelaki itu langsung merenggangkan pelukannya. “Astagfirullah, maaf-maaf, saya lupa kita nggak hanya berdua di sini.”
Airin menunduk sejenak saat ia mengusap perutnya lembut sehingga membuat wajah cantiknya yang sedang tersenyum teduh itu terhalangi oleh rambut panjangnya. Tangan Wira bergerak menyampingkan rambut Airin agar ia bisa puas memandangi wajah cantik istrinya itu, lelaki itu juga mengusap perut Airin yang sudah sedikit membuncit, ia tak henti menatap Airin begitu dalam. “Anak ayah gimana keadaannya?”
Airin membuat suara imut ala ala seolah ia bersuara mewakili sang anak. “Baik ayah! Tapi aku bosen gak pernah diajak kemana-mana. Aku pingin keluar juga.”
“Emangnya anak ayah mau kemana?”
“Aku mau ke pantai!”
“Boleh, tapi memangnya bunda kamu sudah sehat?”
“Udah! Aku gak sakit!” Kini Airin mengangkat wajahnya menatap Wira, dia menatap suaminya itu sinis dan tangannya berusaha melepaskan tangan Wira yang memenjaranya. “Udah aku ngantuk.”