263 — Wrong Place
Tidak terasa sudah hampir berjam-jam dalam perjalanan sampai waktu semakin larut, dilirik oleh Arasha jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Dia sempat tertidur sejenak setelah merasa bosan menonton, beralih mengganggu William yang sibuk berkutat dengan kerjaannya di Macbook. Arasha menulis di buku pemberian William, dia malas berbicara karena kedengarannya orang-orang sudah terlelap, suasananya sangat hening.
Arasha benar-benar bosan, apalagi melihat lelaki berkemeja putih itu masih sangat serius dengan pekerjaannya di sofa. Dia juga bosan bermain ponsel atau menonton film. Arasha mendengus kesal saat bangkit dari ranjang, sebenarnya dia tidak mau terbangun tapi dia ingin membuang air kecil jadilah terpaksa harus bangkit.
Saat Arasha melangkah, William menaikkan alis ke arah gadis itu. “Where you going?“
“Toilet, wanna join?” Arasha memutar bola matanya malas, dia sebenarnya mencoba menirukan apa yang suka diucapkan William.
William tidak menghiraukan gadis itu, dia kembali fokus pada layar Macbook-nya. Saat Arasha keluar dari ruangannya, dia sempat berhati-hati karena kelihatannya orang-orang sekitar pun tengah terlelap, sangat hening sampai tiba-tiba ada seorang lelaki menghampirinya.
“Excuse me, Miss, will you go to the toilet?“
Arasha menoleh kemudian dia mengangguk pada pramugara tampan itu. Pramugara itu tersenyum ramah. “Baiklah saya akan mengantar Anda.”
Arasha mengangguk lalu dia berjalan mengikuti kemana pramugara itu melangkah sampai akhirnya di depan toilet. Lelaki itu tersenyum, “silakan, Miss.“
Arasha pun masuk ke dalam toilet yang tidak seperti toilet dalam pesawat pada umumnya karena lebih luas dan lebih nyaman. Beberapa saat kemudian setelah ia selesai, terdengar ketukan pintu dari luar sana, hal itu membuat Arasha buru-buru membukanya namun ternyata orang itu adalah William.
“Kau?!”
William memberikan tatapan tajamnya pada Arasha, kemudian dia menarik tubuh gadis itu masuk ke dalam toilet dan mengunci diri di dalam sana.
“Sir, apa-apaan?!”
“Ssst.” William berdesis, kini tubuhnya menghimpit Arasha di depan wastafel, kedua tangannya berada di wastafel dan pandangan yang menjurus pada cermin di depan keduanya. “Kenapa tidak memintaku mengantarmu? Kau pergi bersama lelaki lain.”
“Astaga, dia pramugara!”
“Tetap saja dia lelaki.”
William menumpukan kepalanya di atas bahu Arasha, dia menaruh rambut gadis itu ke belakang. “Apa kau senang menggoda lelaki lain, hm?”
“Sir, kau ini kenapa?”
“Tadi bilangnya mau aku ikut ke dalam, kan?”
Tangan William bergerak memeluk pinggang Arasha, dia bisa melihat wajah gelisah gadis itu di cermin apalagi saat gadis itu hendak melepaskan pelukan William yang kini lebih erat. Arasha berbalik badan saat hidung lelaki itu mulai bersentuhan dengan bahunya, dia pikir dia bisa mendorong William namun malah dirinya yang terperangkap sekarang.
“Sir, jangan macam-macam, ini tempat umum…”
William tersenyum devil, tangannya menyusup di balik blazzer hitam Arasha untuk merengkuh pinggang wanita itu, Arasha hampir menubruk dada William. Gadis itu mendongak menatap lelaki jangkung—yang kini menatapnya dengan mata berbinar. Satu tangan lelaki itu beralih mengusap wajah Arasha dan membelainya lembut dengan perlahan jarak di antara keduanya semakin tipis.
“Kiss me.“
William mengecup leher Arasha, nafasnya terasa hangat di sekitar leher gadis itu. Bibirnya terus menggerayangi leher Arasha hingga beralih di sekitar telinga gadis itu. Ia menggigit telinga gadis itu dan berbisik pelan. “Kiss me. Hard.“
“Ssshh, Sir.” Arasha menahan napasnya susah payah mendengar suara berat William ditambah lagi tangan lelaki itu meremas pinggangnya, “jangan begini, kumohon.”
“Kau yang memintaku datang, bukan?”
William menaikkan alisnya, dia semakin merapatkan tubuhnya dengan Arasha hingga gadis itu memejamkan matanya. William tersenyum tipis, dia meraih telapak tangan gadis itu seraya mengusapnya lembut sebelum ia mengecup punggung tangan Arasha, terang saja perlakuan lembut pria itu membuat Arasha membuka matanya.
William melirik pada Arasha sebelum lelaki itu menarik tengkuk sang gadis, melayangkan ciuman di bibir Arasha dengan lembut. William mengeratkan pegangannya pada pinggang Arasha untuk memperdalam ciumannya, tangannya yang satu bergerak mendorong tengkuk gadis itu.
“Sweet.” William tersenyum smirk.
Tangan lelaki itu menggerayangi tubuh Arasha, sesekali akan mencengkram tangan Arasha bila gadis itu menahannya, William akan menggigit bibir Arasha saat ia menerima penolakan.
Arasha terus berusaha melepaskan ciumannya dan mendorong William namun tenaganya kalah kuat dengan lelaki itu.
William mengangkat Arasha ke atas wastafel, dia menarik kedua kaki gadis itu sehingga melingkar di pinggangnya. Lelaki itu baru melepaskan ciumannya setelah Arasha menendang punggungnya dengan high heels yang dikenakannya. William tersenyum miring setelah ia meringis pelan menatap Arasha yang terengah-engah. “All right, we're gonna play a little rough.“
William menarik paksa high heels yang dikenakan oleh Arasha hingga terlepas, kemudian dia bergerak mendekati gadis itu yang terlihat gusar.
“Sir aku akan teriak.”
William menatapnya tajam, belum sempat Arasha berteriak dia sudah menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya, lalu mengambil dasi dari celananya. William tersenyum senang melihat gadis itu menggeleng, lalu ia menutup mulut gadis itu dengan bibirnya sendiri. Kedua tangan Arasha dia ikat dengan dasinya di belakang.
“Mmmh, Sir,” Arasha berusaha menendang William dan menatap lelaki yang sedang menciumnya itu.
“Aku tidak suka kau genit dengan lelaki lain, ini hukumannya,” ujar William setelah ia melepaskan ciumannya pada Arasha, ia mengusap bibir gadis itu yang sedikit luka karenanya.
“Aku tidak genit…”
Tangan William bergerak menyentuh leher gadis itu, lebih tepatnya menggoda sosok yang kini tengah menatapnya dan tanpa aba-aba ia mencengkram leher Arasha kuat dengan tangan besarnya itu. Arasha merasa sesak dan susah bernapas karena cekikan pria tersebut, “Ahh, Sir… stop it.“
William menelan ludahnya susah payah, matanya menggelap saat menatap Arasha dengan tangannya yang sudah bermain di paha gadis itu. Ia senang melihat tawanannya tersiksa karenanya, entahlah melihat gadis yang berusia lebih muda di bawahnya itu menderita menjadi fantasi liarnya tersendiri.
Plak!
William menampar wajah Arasha, membuat sang empu meringis pelan. “Ahh. Sakit.”
Tok tok tok!
“Shit,” William menggeram kesal, dia melirik Arasha tajam, “diam.”
“Anybody there?” tanya suara berat dari luar sana.
“Yeah, wait, Sir,” sahut William.
Lelaki itu melepaskan ikatan tangan Arasha lalu merapikan rambut gadisnya yang berantakan. Dia mengusap peluh di dahi Arasha dan melihat sekali lagi penampilan gadis di hadapannya sebelum dia memasangkan lagi sepatu gadis itu lalu membantunya turun dari atas wastafel. “Sudah ayo.”
William merapikan rambutnya ke belakang, dia melirik pada cermin sekilas dan mengusap bibirnya yang ranum. Satu tangannya menggenggam tangan Arasha saat dia hendak membuka pintu.
“Uhm, sorry for disturb…“
William tersenyum kecil melihat seorang pria yang muncul di depan toilet, senyuman pria itu penuh arti saat melihat keduanya keluar dari dalam sana. Arasha menundukkan kepalanya, pipinya bersemu merah mendengar apa yang diucapkan pria asing itu. Sungguh dia sangat malu.
“No problem, I guess we're doing in the wrong place.“