Lalita dan Leo.


“Kak, aku mau terus belajar bareng kakak.”

Airin tersemyum memandang gadis cantik berkuncir kuda yang tengah menatapnya juga dengan mata kucing, sangat menggemaskan, Airin senang bisa bertemu gadis itu dan mengajarinya belajar. Airin pun mengusap rambut gadis itu seraya melirik ke atas. “Hm, beneran nih kamu mau belajar terus sama aku? Janji nggak males-malesan lagi?”

“Lalita janji, Kak.”

Gadis bernama Lalita itu—yang merupakan adik kandung Leo tampak mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Airin. Airin terkekeh pelan lalu menautkan jari kelingkingnya juga pada Lalita. “Kalau ingkar, kakak marah ya?”

“Engga akan, ingkar!”

Airin mengacak rambut Lalita gemas. Dia kemudian melirik ke arah jam dinding yang rupanya sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ia sendiri sebenarnya bertanya-tanya kenapa rumah sebesar ini begitu hening, bahkan ia hanya bertemu dengan pembantu di rumah sahabatnya itu, Leo sendiri sedang ada di kamarnya selama Airin mengajarkan adiknya belajar, semakin lah terasa sepi.

“Kakak kenapa?” tanya Lalita.

Airin menggeleng. “Engga kenapa-napa,” dia tersenyum, “kamu besok sekolah jam berapa? Besok ada tugas yang lain nggak?”

“Aku sekolah jam tujuh, Kak, tapi engga ada tugas lagi kok, tinggal yang tadi aja. Kak Airin aku mau ikut kakak...”

Airin mengerutkan keningnya, “Loh masa mau ikut aku? Nanti aku dateng lagi kok ke sini...”

“Kakak jangan pulang, aku engga ada temen, kakak baik sama aku, kalau gak ada kakak aku main salon-salonannya sama boneka...”

Airin merasa tak tega saat melihat Lalita yang langsung menundukkan kepalanya, gadis itu tampaknya senang bisa belajar sekaligus bermain bersama Airin sebab dia terlihat sangat kesepian.

“Ih jangan sedih ... nanti aku dateng lagi kok,” kata Airin, dia pun merentangkan tangannya lebar-lebar. “Mau peluk dulu nggak sebelum aku pulang?”

Lalita mengangkat kepalanya dengan mata yang berlinang, dia sekuat mungkin menahan tangisannya lalu dia segera memeluk erat dan terisak di pelukan Airin. “Kakak janji ya dateng ... lagi?”

“Ih kok nangis, anak cantik kok nangis sih?” Airin merenggangkan pelukannya pada Lalita, kemudian menangkup pipi anak itu dan mengusap wajahnya yang berlinang air mata. Airin jadi ingin menangis juga melihatnya, namun dia segera tertawa kecil. “Ih jangan nangis ah, nanti kalau nangis aku nggak dateng lagi loh...”

Airin pun mengambil minum di atas meja dan memberikannya pada Lalita. “Ini minum dulu.”

Setelah itu Airin merapikan rambut Lalita dan mengusap lagi air matanya di tengah Lalita yang masih sesenggukan.

“Heh apain adik gue lo sampe nangis?”

Airin menoleh dan langsung melotot tajam ke arah Leo yang tiba=tiba datang dengan senyum tertahan, dia berniat bercanda namu setelah diberi kode oleh Airin, ia langsung mengerti.

Lalita pun berdiri, dia menghampiri Leo dan memeluk kakaknya erat. “Aku nggak mau kak Airin tinggalin aku. Aku kesepian.”

“Kak Airin nanti ke sini lagi kok, 'kan ada aku di sini, ada bibi juga, ada papa dan mama juga kok.”

Lalita langsung menengadah—menatap mata kakaknya tajam saat mendengar akhir kalimat dari pria itu, ia segera berlari menaiki anak tangga begitu terburu-buru seraya terisak.

“Lalita!” Airin yang terkejut hendak mengejarnya namun Leo langsung menahannya dan menggeleng. Gadis itu menatap mata Leo yang kosong, sebelum Leo bersuara.

“Gue boleh pinjem bahu lo sebentar?”

Airin tersenyum dan mengangguk, selang beberapa saat Leo berdiri di samping Airin seraya menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu. Airin melirik Leo dan mengusap kepala sahabatnya itu lembut.

“Bokap nyokap lo sesibuk itu ya? Gue—”

Leo memotong perkataan Airin. “Ya, sampai dia mengabaikan Lalita juga, gue nggak tega, Ai... Gue emang nggak masalah mau dipeduliin atau nggak, tapi ini anak sekecil Lalita yang masih butuh kasih sayang mereka, Ai...”

“Leo...”

“Ai, sorry lo jangan liat gue dulu, gue malu banget.”

Airin sedikit menggoda Leo dan melirik lelaki itu yang rupanya menitikkan air mata sedikit. “Masa bad boy nangis sih, udah ah jangan nangis, badan kayak titan gitu masa cengeng!”

“Ya Tuhan, Ai, gue punya perasaan juga...”

“Iya iya, bercanda. Lo tenang aja ya, kalaupun nanti gue gak diterima jadi guru les adik lo, gue bakal ketemu lagi sama Lalita.”

Leo mengangkat wajahnya. “Ai, jangan bercanda, lo udah langsung keterima kok.”

“Serius lo?”

Leo tersenyum seraya kembali bangkit, dia memandang Airin yang menatapnya dengan mata berbinar. Lelaki itu mengangguk.

Thanks banget, Leo, gue gak tau mau bilang apa lagi selain terima kasih karena lo itu baik banget sama gue.”

Leo mengangguk pelan, dia pun mengacak rambut Airin gemas. “Lo pulang sendiri bisa? Gue mau—”

“Bisa, tenang aja, lo temenin adik lo aja ya gak perlu khawatir sama gue.”

“Ya udah. Eh, mau makan dulu?”

“Gak usah, nanti aja deh baliknya,” jeda Airin.

“Bener?”

“Iya benerann!”

Leo memegang pundak Airin dan tersenyum tulus. “Ai, emang gak salah banyak yang jatuh hati sama lo, lo cantik, hati lo pun cantik dan lo sangat tulus. Ai, makasih udah nolak gue saat itu karena gue sadar, gue akan jauh sakit hati kalau nanti hubungan kita berakhir, tapi dengan jadi sahabat lo, gue gak perlu khawatir soal itu tapi yang perlu gue pastiin adalah lo jatuh pada orang yang tepat. Inget, gue nggak mau lo balik sama Arkan lagi, meskipun gue temen dia, tapi gue nggak mau kalau lo jatuh ke tangan orang brengsek lagi.”