Bandung dan Kehangatan

cw// dirty talks, mention of kiss


Rasanya sudah hampir tiga tahun Airin tidak datang menginjak Kota Kembang ini. Sekarang sekalinya dia datang lagi untuk berlibur ke sini, cukup kaget dan perlu menyesuaikan lagi tentang dinginnya kota ini. Ya terang saja karena selama berada di Bandung, dia menginap di rumah Ibu yang berada di kawasan kota yang hijau dan sejuk. Jalanan depan rumah yang tidak banyak orang berlalu lalang membuat kenyamanan tercipta, belum lagi pepohonan tinggi menjulang di sisi jalannya.

Rumah Mas Wira dan Ibu yang ada di Bandung terletak di daerah Dago, tidak tepat di bagian atasnya tetapi masih mengarah ke tengah kota. Airin datang kesini untuk mengunjungi mertuanya bersama sang Anak, mama, dan Ramzy. Jadi suasana rumah saat itu begitu ramai, belum lagi ada tante Mirna dan Mahesa yang menginap juga. Setelah menghabiskan waktu bersama-sama dengan berbincang keluarga, Airin terlebih dahulu masuk ke dalam kamar untuk menyusui anaknya, sedangkan Wira masih duduk di luar bersama ibu dan mertuanya berbeda dengan Ramzy dan Mahesa yang rupanya juga sedang asik main game bersama via online mengingat jarak usia keduanya hanya terpaut dua tahun.

Beruntungnya setelah menginjak usia satu tahun, entah mengapa Sena sudah tidak terlalu banyak menangis kecuali jika ia ingin minum atau hendak tidur seperti sekarang ini, jadi Airin menemani sekaligus menyusui anaknya terlebih dahulu. Suasana malam itu memang sangat dingin, sekarang Bandung benar-benar dingin. Airin yang memakai piyama satin tipis pun merasa sangat kedinginan.

Dia pun menarik selimut sebatas pinggang untuk menutupi tubuh bagian bawahnya seraya menepuk dan mengusap lembut sang Anak dalam pelukannya Airin memejamkan matanya perlahan hingga ia kembali terbangun dengan suara ketukan pintu yang terdengar halus. “Sayang, saya boleh masuk?”

Airin tersenyum mendengar suara berat yang sudah sangat tak asing di telinganya, “boleh.”

“Sayang, Sena sudah tidur?” tanya Wira saat ia melangkah masuk ke dalam setelah mengunci pintu kamarnya. Dia melepaskan jaket yang semula dikenakannya dan mendekati ranjang. “Ai, kamu kedinginan ya? Bawa jaket nggak?”

Airin menggeleng. “Jujur aku bener-bener lupa, Mas.”

“Loh, saya sudah ingatkan kamu, perasaan sudah saya taruh di atas ranjang waktu kamu lagi siapkan baju.” Wira mengerutkan keningnya bingung, dia duduk di samping istrinya dan mengusap rambut Airin. “Kok bisa lupa? Di Bandung sama Jakarta beda loh, Ai, ini apalagi di tengah kota daerah atas.”

“Iya, Mas, maaf, aku teledor. Aku malah fokus bawain peralatan Sena, takut ada yang ketinggalan, ini makanya dia aku pakein baju hangat.”

“Duh, Sayang,” Wira membelai wajah istrinya, “Ini kamu pake jaket saya ya, pake dulu.” Kata Wira dengan nada suara yang lebih rendah lagi ketika menyadari anaknya sudah tertidur lelap dalam pelukan istrinya.

“Mas sebentar, aku mau pindahin Sena dulu, udah bobo.”

Wira mengangguk pelan, dia membantu merapikan baju istrinya dan mengancingkannya, sementara Airin tampak fokus memastikan sang Anak tidak kedinginan lalu ia memindahkan Sena di sampingnya. Setelah menyelimuti dan mencium Sena yang sudah terlelap, Airin memandang suaminya di sampingnya.

“Mas, aku lupa kalau Bandung emang sedingin itu…”

Wira hanya terkekeh pelan. Dia membelai rambut Airin penuh kasih lalu memakaikan jaket miliknya untuk menghangatkan sang Istri. “Ya memang, Sayang. Maka dari itu kamu perlu saya untuk menghangatkan kamu.”

“Mas… kok gimana gitu ya bahasanya?” Airin bersemu menahan tawa.

Wira terkekeh pelan. Rambut panjangnya itu ia sugar ke belakang. Dahi mulusnya terpampang yang menjadi ketampanan paripurna semakin menguar dalam diri lelaki itu. Dia tampak tidak kedinginan dengan hanya mengenakan kaus putih polos yang membentuk dada bidangnya itu.

“Mas kamu nggak dingin?” tanya Airin.

“Nggak, Sayang, sudah biasa. Ini saya sudah hafal gimana udara di kamar ini.” Dia tersenyum sambil menatap istrinya. “Kamu sudah ngantuk belum?”

Airin menggeleng.

Wira tersenyum tipis. “Kamu nggak lagi pura-pura 'kan? Soalnya mata kamu sudah kayak ngantuk begitu.”

“Ngantuk sih… tapi aku masih pengen sama kamu.”

“Ya sudah sekarang gantian deh, kamu yang saya tidurin ya … eh bukan, maksud saya—” dia menahan tawa melihat senyuman Airin yang seolah salah memahami arti perkataannya. Wira yang salah tingkah sendiri langsung mengangkat tubuh istrinya berpindah ke sofa yang ada di dekat televisi. “Kamu tuh emang suka gitu ya, pikirannya kemana aja.”

“Kok aku sih, Mas?” Airin cemberut kala pandangannya bertemu dengan Wira. Ia menikmati saat ia mulai duduk di pangkuan suaminya dalam sofa single empuk yang membuatnya bisa berjarak lebih dekat dengan suaminya. “Kamu sendiri yang ngomongnya gitu, aku 'kan jadi ambigu…”

“Hmm gitu ya?” Wira memamerkan senyuman tipisnya yang menggoda itu, membuat Airin menahan senyumannya.

“Mas, kamu kenapa ganteng banget sih? Aku jujur deh, aku suka nggak tahan kalo liat kamu, aku selalu pengen kayak makan kamu gituu… gemes.” Airin menggertakkan giginya gemas seraya terus menyugar rambut suaminya ke belakang dengan jemari lentiknya. “Apalagi kalau rambut kamu udah berantakan terus aku paling suka juga rambut kamu yang kelihatan dahi. Meski aku selalu suka kamu diapain aja cuma aku suka kamu kayak gini, ganteng banget.”

Wira menikmati sentuhan Airin di rambut dan wajahnya seraya memejamkan matanya dengan senyuman miring. “Kamu boleh apain saya sesuka hati kok, Sayang. Soalnya saya kalau udah diginiin kamu nggak bisa respon apa-apa, ini kalau saya lilin mungkin udah meleleh jadinya. Kamu coba rasain jantung saya berdebarnya bukan main tiap kamu kayak gitu, mulut kamu itu memang manis ya!”

“Oh ya, Mas, kenapa sih setiap aku minta apapun kamu tetap kasih? Meski yang aneh-aneh sekalipun?”

“Demi cinta, Airin.”

“Demi aku apa demi cinta?”

Tangan Wira yang sejak semula sudah menyusup ke dalam piyama Airin untuk membelai pinggang istrinya kini menarik Airin mendekat. Matanya begitu tajam menyorot Airin, membuat perempuan itu terkejut dan menarik rambut suaminya. Wira tersenyum smirk dan langsung meraih ciumannya secara perlahan. Hanya sejenak sampai dia memberi kecupan singkat. “Jangan main-main, saya lakuin apapun ke kamu karena saya cinta kamu, Ai.”

“Kamu… galak banget.”

“Kamu yang bilang kalau kamu suka dan minta saya kasarin lagi, kasar dalam artian…” Wira masih dengan tatapan nakalnya.

“Kamu beneran bikin aku gila tau! Jangan natap aku kayak gitu, Mas!”

“Kamu mau apapun saya kasih, Ai, asal yang realistis ya!”

“Oke kalo yang waktu itu berarti masih terbilang realistis ya, Mas?”

Wira mengerutkan keningnya bingung. “Apa?”

“Yang gara-gara aku ngidam pengen car se—”

Wira segera menutup mulut istrinya dengan wajahnya yang merah padam. Matanya terbelalak. “Sayang, demi Tuhan itu nggak usah kamu inget-inget… Saya hampir lupa dan malu jika inget itu.”

“Mas ih seru tau, aku aja mau lagi…”

“Sayang… jangan ya, duh kita lagi nggak di rumah, jangan aneh-aneh kamu.” Wira menahan senyumannya seraya menyentuh hidung mancung Airin. “Jujur saya sendiri kaget kamu ngidamnya begitu, kayaknya ibu hamil yang begitu hanya kamu aja deh ya?”

“Tapi kamu turutin!” seru Airin. “Kamu jangan ngeledek aku aja ya, kalo kamu lupa, nih aku ingetin kamu setelah itu 'kan minta juga buat aku—”

No! Sayang, please ya? Saya malu…” Wira menggeleng dengan mulutnya yang ditutupi sebagian jarinya. Menahan malu.

“Emangnya kamu minta apa?” Airin yang tampak mulai menikmati semakin ingin menggoda suaminya.

“Ai, please, saya malu ingetnya… hm, kamu tuh seneng banget ya godain saya kayak gitu.” Wira menarik Airin ke dalam pelukannya dan menggit pipi perempuan itu gemas.

“Mas, sakit!” pekik Airin pelan.

“Ssttt, jangan berisik kita, takut Sena bangun,” ujar Airin kala melihat Sena tampak bergerak di ranjangnya.

“Kamu habisnya godain saya terus.”

“Emang nggak suka?”

“Suka.”

“Kamu tuh ya!”

“Saya suka gemes kalau kamu kayak gini tuh,” ujar Wira. Airin tersenyum nakal seraya mencium bibir bagian atas suaminya, dia memandangi kumis tipis milik Wira dan menyentuhnya. “Kamu mau saya cukur kumis lagi?”

“Ini belum panjang, masih tipis. Aku suka.”

“Saya juga suka kamu.”

Mata keduanya terus bertemu dan saling menatap sayu dengan senyuman yang tak pernah lepas dari pandangan satu sama lainnya.

“Kamu tuh nagih banget, Ai.”

“Mas, apaan sih kok tiba-tiba?” Airin bersemu merah.

“Kamu tau saya bukan orang yang mudah tergoda,” ujar Wira. “Tapi kamu bisa dalam satu tatapan mata meruntuhkan dunia saya, asal kamu tau.”

“Itu alasannya kamu selalu mau setiap saat?”

“Sayang…” Wira memicingkan mata, “nggak setiap saat juga, ya ampun saya nggak kayak gitu ya! Saya juga tau waktu, saya cinta kamu bukan soal itu saja!”

“Iya mas iyaa aku percaya, aku bercanda tau tapi.. kamu juga kok.” Airin menangkup wajah suaminya itu. “Nagih.”

“Kamu itu kayaknya memang makhluk favorit Tuhan ya? Saya belum nemu kurangnya.” Wira mengusap lengan Airin dari atas hingga telapak tangan wanita itu ia raih. “Pantas saja banyak yang menginginkan kamu, beruntung kamu maunya sama saya.”

“Kalau aku sama orang lain kamu gimana?”

“Ya nggak gimana-gimana.”

“Kok gitu sih?”

“Ya, orang kamunya nggak mau sama saya, saya bisa apa?” Wira berujar lembut, jemarinya masih betah bermain dengan jemari Airin. “Saya sedih pasti, tapi ya kamu bahagia, saya pun bahagia.”

“Nanti kamu sama si pramugari itu lagi?”

“Ya tidak tau, tidak kepikiran sama siapapun selain kamu, sungguh.”

“Kalo gitu, seharusnya aku yang bilang ke kamu kalau kamu yang pasti makhluk favorit Tuhan. Aku rasa Tuhan ciptain kamu untuk jadi satu di antara kesayangannya, kamu nggak ada minusnya, Mas.”

“Kita semua makhluk kesayangan-Nya, Ai.”

“Kamu tuh, Mas, entah kenapa bisa dikirimkan untuk aku yang bukan perempuan baik-baik. Kita kayak surga dan neraka. Aku aja sampe nggak nyangka bisa jadi istri kamu.”

“Hus, kamu bicaranya kok gitu? Saya nggak sesempurna itu, Ai, saya juga manusia biasa yang banyak kurangnya. Hanya mungkin kekurangan yang saya punya sudah banyak kamu lengkapi. Hidup saya sekarang jadi jauh lebih baik dari sebelumnya.”

“Mas, kalau seandainya aku bisa kasih seisi dunia ke kamu, aku pasti kasih dunia dan seisinya serta semua kebaikan untuk kamu. Aku nggak tau gimana cara balas semua kebaikan kamu ke aku…”

“Kamu ada di samping saya, itu sudah anugerah terindah dan terbaik Tuhan untuk saya, Ai. Saya cinta kamu, sangat.”

“Mas…”

Airin menghamburkan pelukan hangat pada suaminya, kepalanya menelusup ke dalam dada bidang berusaha mencari tempat ternyaman di sana dan menghirup aroma maskulin Wira yang menguar semakin pekat di hidungnya. Tempat ternyaman Airin untuk beristirahat sejenak dan sebanyak-banyaknya meraih cinta yang diberikan oleh Wira, tanpa ingin sedikit pun menyia-nyiakan itu. Wira memeluk tubuhnya tak kalah erat, ia mengendus aroma tubuh Airin di leher jenjang sang Istri, perlahan mengecupnya dengan lembut tanpa ingin berhenti.

I love you, Sayang.”

Love you more, Mas.”