Bercerita.
Wira menatap pantulan wajahnya yang setengah basah setelah ia selesai mencuci mukanya, dia mengusap wajah tampannya itu lembut dengan handuk di tangannya. Tatapannya berubah menjadi kosong saat ia sedang memandangi cermin di hadapannya, satu tangannya bertumpu pada wastafel. Dia menyugar rambut setengah basahnya itu ke belakang sambil masih berfokus pada pantulan dirinya. Entahlah tatapannya berubah menjadi kosong seperti sedang memikirkan sesuatu, lelaki itu pun tersadar dan segera menggelengkan kepalanya samar.
Dia berdecak kesal dan bergerutu pelan. “Aku ini kenapa? Kenapa juga aku terus melamun begini?”
Wira menghela napasnya panjang, dia mengusap sekali lagi wajahnya dengan tangan kosong seolah ingin merilekskan seluruh pikirannya sekarang. Akhirnya, ia keluar dari dalam kamar mandi.
Dia melirik pada jam dinding di kamarnya, sudah menunjukkan pukul 8 lebih. Sebenarnya ia ingin tidur lebih cepat karena besok pagi ia akan terbang lagi untuk kembali bekerja, namun sejak ia selesai salat tadi, dia tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu. Sesuatu itu terus mengusik pikirannya sampai saat ini.
Wira tersenyum tipis, dia melirik ponsel yang tergeletak di atas nakas. “Sedang apa ya dia? Kenapa tidak kunjung membalas pesanku? Apa dia sedang tidak ingin diganggu?”
Raut wajah Wira berubah menjadi cemas, dia mengacak rambutnya kasar saat ia hendak duduk di sisi ranjang, lelaki itu larut dalam lamunan untuk kesekian kalinya. “Apa aku melakukan suatu kesalahan tadi? Apa dia marah padaku? Apa dia tidak mau denganku? Kenapa tidak langsung bicara, bukan malah menghilang begini.”
Wira pun sebisa mungkin mencoba menepis semua pemikirannya itu, dia tidak mengerti kenapa sekarang malah muncul banyak pertanyaan yang semakin membuatnya bingung dan tidak tahu harus apa. Pikirannya dipenuhi oleh sosok yang baru saja ia temui tadi, jelas itu Airin. Sesekali bayangan Airin yang nyentrik dan senang menggodanya itu muncul membuat senyuman Wira terbentuk secara tak sadar. Airin yang unik, Airin yang mempunyai kesan pertama paling aneh di mata Wira. Wira memegang kembali dadanya di mana jantungnya terletak dan kembali berdegup saat ia memikirkan gadis itu, sungguh ini membuatnya menjadi tak karuan.
“Apa aku benar-benar menyukainya?”
—oOo—
“Ibu, sedang apa?”
“Astaga, kamu mengagetkan aja!”
Wira yang baru saja turun dari anak tangga rumahnya tampak mengamati sang ibu yang sedang sibuk membuat kue, ya ibunya itu memang senang memasak apalagi membuat kue-kue yang disukai oleh Wira. Wira sangat merindukan masakan ibunya itu karena ia senang ibunya bisa kembali tinggal bersamanya sebab selama beberapa tahun silam ia berpisah dengan sang ibu. Ibu sudah lama tinggal di Bandung. Ibu tidak tinggal sendiri di sana, dia bersama adiknya yaitu tante Mirna yang tinggal bersama anaknya bernama Mahesa.
Diana, ibu Wira, memang tidak tinggal bersama Wira sejak Wira pindah ke Jakarta dan bekerja. Jadi sudah cukup lama lelaki itu mengadu nasib sendiri sampai akhirnya ia berhasil membeli sebuah rumah yang kini ditinggali olehnya dan sang ibu. Wira sangat senang karena ia bisa memboyong satu-satunya orang tuanya untuk tinggal bersamanya meskipun ia seringkali meninggalkan sang ibu tapi setidaknya dia bisa hidup bersama dengan wanita yang sangat dia sayangi.
Untuk sementara ini rumah ibu yang di Bandung ditempati oleh Tante Mirna dan Mahesa, tidak apalah, lagipula ibu sangat menyayangi mereka. Diana senang juga bisa kembali ke Jakarta, tempatnya lahir, terutama bisa tinggal bersama anaknya.
“Buat kue lagi, Bu?”
“Iya, untuk kamu ini.”
“Lho? Aku sudah bilang, engga usah repot-repot, Bu. Ah, aku jadi engga enak sama ibu,” ujar Wira.
“Engga apa-apa dong, ibu kan senang kalau bikin kue kesukaan kamu untuk bekal kamu bekerja besok.” Ibu tersenyum pada Wira. “Oh ya, bagaimana? Kamu belum cerita banyak lho tentang Airin.”
Wira tersenyum kecil, dia pun berdiri seraya bersandar pada dinding sambil mengamati sang ibu. “Entahlah, Bu.”
“Kok begitu? Kamu bilang kamu sudah tertarik sama dia, toh?”
“Hmm, Bu,” panggil Wira. Ia bisa melihat sang ibu langsung menoleh ke arahnya. “Aku sudah bertanya padanya, tentang kesiapan dia, apa itu terlalu cepat? Aku tidak mengerti juga kenapa aku bisa bergerak secepat itu, sungguh, Bu, aku hanya mencoba meluapkan semua yang kurasakan padanya. Aku mengatakan jika aku akan melamar dia, itupun jika dia mau padaku, tapi dia tidak kunjung membalas pesanku... apa ini terlalu cepat? Apa dia ilfeel padaku ya, Bu?”
“Loh tap—”
“Sebentar, Bu, maaf aku belum selesai.” tahan Wira. Ibu pun mengangguk. “Maaf, Bu, bukan maksud memotong tapi aku belum selesai bercerita. Aku kesal saja, dia sudah menggodaku terus dia mengajakku berpacaran tapi kenapa kelihatan hanya bercanda. Lagipula aku tidak mau berpacaran.”
“Jangan berpikir negatif, Wir, mungkin saja dia sudah tidur atau mungkin dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Hmm, kalau dia sudah menggoda artinya dia tertarik denganmu, ya jelas anak ibu itu 'kan tampan sekali! Kenapa juga kamu tidak berbicara langsung pada Airin, Wira?”
Wira terdiam sejenak seraya mencerna perkataan dari sang ibu yang sepertinya ada benarnya, bisa saja Airin tidak membalas pesannya karena sedang sibuk atau apapun itu, dia jadi merasa bersalah telah mengganggu gadis itu. Wira pun kembali melamun sampai akhirnya ibu hanya menggelengkan kepala melihatnya. Ibu juga tersenyum melihat tingkah aneh Wira yang baru pertama kali ia lihat.
“Ibu tidak tau jika Airin akan berdampak begini untukmu, Wir,” goda Ibu.
Wira menelan ludahnya susah payah seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia menahan senyumannya namun tidak bisa menyembunyikan pipinya yang bersemu merah sekarang. Wira yang mendadak kikuk akhirnya beranjak dari dapur, belum sempat pergi, Ibu menahannya. “Loh kok udahan ceritanya?”
“Nanti saja deh, ibu malah menggodaku, aku mau kembali ke kamar juga, bersiap untuk besok.”
Ibu hanya terkekeh pelan sambil mengamati Wira yang berlalu pergi menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya. “Ada-ada saja yang sedang kasmaran ini. Aku akan cerita pada Rifany, nih!”
—oOo—