Butterflies.

“Wah, kamu tinggal di sini Ion? Sendirian?”

Alana mengamati sekeliling ruangan apartemen kekasihnya itu, setelah makan siang di Pondok Indah Mall tadi, mereka berdua langsung pulang karena Alana ingin beristirahat sejenak di apartemen Arion yang tidak terlalu jauh dibandingkan rumah tante Alana berada. Alana sedikit takjub dengan keadaan apartemen lelaki itu yang terlihat bersih dan rapi karena beruntungnya kekasihnya itu gemar sekali rapi-rapi.

“Sama emeng,” jawab Arion seraya melepaskan jaket hitamnya, dia melirik Alana. “Mau liat?”

“Sebentar aku mau istirahat dulu,” ujar Alana seraya duduk di ruang televisi, dia memandang ke sekeliling apartemen Arion dan tak sengaja melihat ada foto dirinya yang dipajang di atas meja hias. Ada juga foto keduanya yang dibingkai oleh lelaki itu. Alana terkejut melihatnya karena dia tidak menyangka jika Arion semanis itu, dia melirik pada lelaki yang kini duduk di sampingnya. “Lucu banget ada foto kita, ih tapi akunya masa yang ini? Jelek.”

“Cantik,” celetuk Arion dengan tatapan datar pada Alana yang pura-pura tidak mendengar padahal pipinya kini bersemu merah.

Miauw...

Arion menoleh ke belakang saat mendengar suara kucing mengeong, rupanya kucing kecilnya itu keluar dari kamarnya dan hendak menghampiri Arion. Arion pun bangkit dan berlari kecil pada kucing itu, sontak Alana ikut bangkit dan bergumam pelan. “Ih emeng....”

Mata Alana berbinar saat Arion sedang menggendong kucingnya yang tadi sempat naik ke atas meja bar apartemennya, gadis itu pun menghampiri Arion—yang sedang mengelus kucingnya di atas meja bar. “Namanya siapa Ion?”

“Belum ada nama,” kata Arion. “Aku masih manggil dia emeng.”

“Ih kasian engga punya nama, belum punya akte?” tanya Alana polos tetapi bermaksud bercanda, sang gadis ikut mengelus kucing abu menggemaskan itu.

“Belum buat.”

“Lucu banget, Ion.”

“Memang.”

Arion memiringkan kepalanya untuk memandangi kucingnya yang mulai nyaman saat Alana ikut mengusap perutnya, kucingnya itu tidak mengeong lagi tetapi keenakan sampai memejamkan mata. “Dia suka sama kamu.”

Alana melirik Arion dengan mata berbinar dan bertanya. “Masa?” Arion hanya mengangguk pelan.

Lelaki itu mengamati Alana yang membungkuk sambil mengamati kucing yang tampak merasa nyaman itu. Arion tersenyum kecil, dia pun menjauhkan diri dari Si Kucing lalu ia memeluk pinggang Alana untuk selanjutnya mendudukkan gadis itu di atas meja bar. Alana sempat terkejut namun ia senang bisa duduk bersebelahan dengan kucing yang kini menjadikan tangannya sebagai bantalan tidur.

“Kamu suka dia?” Arion mengamati Alana, dia mulai duduk di depan meja bar—tepat di hadapan kekasihnya. Alana menoleh dan mengangguk. “Kasih nama.”

“Hmm, siapa ya?”

“Gak tau.”

“Ah, aku tau!” Alana memukul lengan Arion gemas, dia tampak antusias. “Namanya Bisnis aja, biar kalo nanti kamu ditanya lagi sibuk apa, kamu bisa jawab sibuk ngurus bisnis. Haha, galucu ya?”

Arion menggeleng datar.

Alana mengangguk seraya menutup mulut dramatis, “oke, tutup warung aja deh gue.”

“Ona.” Alana menoleh pada Arion, dia mengangguk dan mengangkat jempolnya. “Lucu itu!”

“Aneh,” cibir Arion.

“Ada kepanjangannya!”

“Apa?” tanya Arion.

“Arion Alana?” Alana menggaruk tengkuknya, suasana mendadak canggung saat Arion memandangnya dengan tatapan memicing. Alana membungkam mulutnya untuk menahan tawa melihat Arion yang tampak mengulum senyum.

“Jelek.”

“Yaudah, Udin aja deh, ngeselin lo,” dengus Alana.

“Ona aja, Udin terlalu keren.”

Alana tertawa sambil memandang Arion yang tengah menatapnya juga. Lelaki itu melirik sekilas pada kucingnya yang tengah tertidur lelap. Sedikit pelor memang kucingnya itu. “Dia tidur.”

“Iya, cepet banget.”

Udara di sekitar mendadak hening, suasana canggung mulai terasa di antara kedua insan yang sudah dua tahun lebih menjalin hubungan itu, hanya karena sebulan tidak bertemu, entah mengapa terasa lebih canggung, apa mungkin karena tidak ada siapapun lagi selain keduanya di sini.

“Na,” panggil Arion.

“Hm?”

Arion bangkit dari duduknya, berhadapan dengan Alana yang langsung menoleh padanya secara bersamaan. “Mau turun? Jangan ganggu Ona bobo.”

Alana melirik sekilas pada kucing di sampingnya yang sudah tertidur, sebenarnya dia masih ingin bermain dengan kucing yang baru saja dikasih nama Ona itu tetapi dia kasian jika harus mengganggu Ona. Alana pun menoleh pada Arion kemudian mengangguk.

Tanpa berpikir panjang lagi, Arion menggendong Alana di depan, tadinya Alana pikir lelaki itu hanya akan membantunya turun dari meja bar yang lumayan tinggi itu tetapi Arion malah menggendongnya ke ruang televisi.

“Ion aku bukan emeng, gausah digendong.”

“Tapi kok bukannya turun?”

Alana tidak menjawab, ia memejamkan matanya saat berada dipelukan Arion yang menggendongnya, dia memeluk lelaki itu erat dan menghirup aroma tubuh Arion yang wanginya ia sukai.

Arion sudah merenggangkan gendongannya setelah Alana berhasil duduk di sofa namun dia masih berada di hadapan gadis itu sambil mengerutkan hidungnya kala Alana menatapnya sinis. “Bau matahari.”

“Arion!”

“Bercanda,” kata Arion, “belum kecium.”

Arion pun menjauh dari Alana, dia bergerak melepaskan sepatu Alana dan menaruhnya di pinggir sofa. Kepalanya menengadah memandang sang kekasih. “Mau minum?”

“Engga,” Alana menggeleng dengan bibir mengerucut. “Aku mau peluk.”

“Gamau, Ayana bau matahari.”

“Ayana gabau!” Alana mencium tubuhnya sendiri, dia kembali melirik Arion. “Ini wangi!”

“Mana?” Arion mendekat.

“Gak mau ah kamu modus.”

Arion tertawa kecil, dia merentangkan kedua tangannya pada gadis itu, alisnya menaik sebelah. “Mau gendong lagi?”

Alana tersenyum miring, dia memeluk leher Arion dan menatap lelaki tampan itu lebih dekat. “Kamu kalo jauh dari aku nyebelin, makin galak.”

Arion bersimpuh pada lantai, matanya menyorot Alana begitu dalam, senyuman gadis itu selalu mampu membuat hatinya teduh. Arion memegang pinggang Alana dan mencium pipinya gemas. Ia mengendus pipi Alana lama seolah menyalurkan segala kerinduan yang dia rasakan selama ini. Lalu, dia menggigit pipi Alana gemas, membuat gadisnya itu meringis dan memukul lengan Arion.

“Arion sakit!”

Arion merenggangkan pelukannya agar dia bisa leluasa memandang Alana yang menyubit pipinya tak kalah kencang. “Udah ah sakit.”

Sekarang bergantian, Arion mendekatinya lagi dan menempelkan pipinya dengan pipi Alana. Ia memejamkan matanya saat merasakan pelukannya dengan gadis itu. “Mau aku tuker sama Ona ga kamu hm?”

“Arion geli!”

“Soalnya aku lebih suka endusel kamu, kalo Ona bulunya rontok.”

Alana tak bisa menahan pipinya yang bersemu merah, dia menggertakkan rahangnya gemas saat dia memeluk Arion. “Ya udah tuker aja!”

“Nanti emengnya nangis, kasian.”

“Arion kangen Alana?”

“Gatau.”

“Oh ya udah lepasin.”

“Gamau.”

“Oh ya udah kal—”

“Ssst, bisa diem ga? Aku cium nih?” bisik Arion dengan hembusan napasnya yang terasa di telinga Alana.

Alana langsung diam membiarkan lelaki itu memeluknya dan sesekali menggesekkan hidungnya di pipi Alana.

“Ion kenapa manja?”

“Diem, Alana.”

Alana terkekeh pelan seraya mengacak rambut Arion gemas, dia merasa beruntung mempunyai lelaki yang sebenarnya unik dari yang lain, Arion itu emang galak, dingin, posesif tapi di sisi lain ada saatnya dia nunjukkin kasih sayangnya dengan cara seperti ini. Alana merasa bahwa Arion tipikal seseorang yang menyukai physical touch dalam mengungkapkan love language-nya. Tapi entahlah, terkadang lelaki itu memang sangat sulit ditebak.