Dear, Captain Prawira Nugraha...
cw // mention of kiss , mature
“Airin,” panggil Wira—matanya menangkap ke sekeliling ruangan apartemennya, mencari sosok wanita yang telah membuat senyumannya kembali terbentuk di tengah kalutnya perasaan Wira kala itu. Tidak ada sahutan dari Airin, Wira pun menaruh bawaannya di atas meja bar.
Lelaki itu masih menunggu istrinya seraya memasukkan kue pemberian ibunya ke dalam kulkas, barulah dia melepas sepatu sekaligus melipat kemeja putihnya setengah lengan.
Hari itu cuaca lumayan panas di siang bolong tetapi untungnya ia langsung segera pulang dan tiba di apartemennya dengan cepat tanpa harus berlama-lama terpapar silaunya surya dari balik kaca jendela mobil.
Wira menghela napasnya panjang, menyugar rambutnya yang sedikit lembab karena keringat dan bergerak melepas dua kancing kemejanya sebelum langkahnya bergerak ke arah kamar.
“Airin?” Wira pun membuka pintu kamarnya lalu dia yang terkejut lamgsung segera membuang mukanya kala tak sengaja melihat Airin yang rupanya sedang berganti baju. “Kenapa nggak bilang kalau lagi ganti baju?”
“Ya maaf aku gak denger. Ya udah kalau gak mau liat balik sana aja dulu.”
Wira menggelengkan kepalanya samar, dia meraih ponselnya dan berkutat pada benda elektronik itu seraya menunggu Airin selesai berganti baju, Wira kembali bersuara. “Ai,” dia tersenyum kala mengangkat kepalanya dalam posisi masih memunggungi Airin. “Terima kasih ya, saya tidak tahu bagaimana mengekspresikan bahagia saya karena kamu, karena adanya kamu.” Wira meremas ponselnya seraya tersenyum menggigit bibirnya. Salah tingkah dia.
“Ai?”
Wira tersentak kala Airin tiba-tiba mendekatinya dan melingkarkan tangannya memeluk lelaki itu dari belakang. Perempuan itu menikmati pelukannya pada punggung kokoh suaminya. “Kamu nggak bercanda soal postingan itu?”
“Maunya?”
“Airin, serius...” Wira berbalik badan membiarkan dirinya berhadapan langsung dengan makhluk Tuhan kesukaannya itu, dia menangkup kedua sisi wajah Airin lebih dekat. “Kamu wangi banget.”
“Mas, jawab dulu,” kata Airin, mulai memicingkan kedua matanya saat menatap Wira. “Kamu deket sama perempuan ya? Si pramugari itu yang kamu pernah ceritain dulu, kemarin aku marah gara-gara aku tau itu dari orang di sosial media kamu.”
“Aduh, nggak, Sayangg.” Wira mengusap surai Airin. “Hanya sebatas rekan kerja, tapi memang kemarin dia banyak cerita tentang pacar barunya tapi saya nggak suka saat dia tiba-tiba chat saya dan bilang yang aneh-aneh tentang kamu. Saya marah, saya betul-betul kesal sama dia. Padahal dia tau saya sudah punya istri, saya punya kamu, tapi dia malah berani-beraninya sok tahu tentang istri saya.”
Airin tersenyum memandang Wira, lelaki itu buru-buru menggeleng samar, “Ah, ya ampun maaf. Saya jadi bicarain orang kayak gini, maaf, tapi sumpah saya nggak ada apa-apa sama Mayang, Ai. Jadi tolong jangan berpikiran aneh-aneh ya?”
“Hmm gitu ya? Emang kamu nggak suka kalau ada yang jelek-jelekin aku meskipun itu fakta sekalipun?”
Airin merangkul leher suaminya kemudian menarik tangan Wira untuk melingkar pula di pinggangnya.
“Iya, saya nggak terima.”
Airin mengusap wajah Wira dengan tatapan sensual, perlahan tatapannya itu turun dengan tangannya mulai bergerak melepas kancing kemeja suaminya itu. Wira tersenyum tipis melihat aksi nakal istrinya itu. Airin mengangkat pandangannya pada sang suami kala ia hendak melepas kemeja suaminya itu, Wira tidak merespon apapun seperti sudah mengizinkan apa yang akan dilakukan istrinya itu padanya.
Airin tersenyum miring dan mengecup leher lelaki itu kemudian naik ke daun telinga Wira membuat suaminya itu mengerang tertahan merasakan kecupan-kecupan yang diberikan Airin.
Wira berbisik dengan suara beratnya. “Kamu memang kelemahan terbesar saya, Airin.”
Lelaki itu menyentuh bahu Airin dan bermain sejenak pada tali spagetti tanktop katun perempuan itu, dia menatap Airin dengan matanya yang berbinar. “Boleh?”
“Gak perlu izin kali, aku aja—”
“Em—Mas!”
Wira tertawa kecil saat ia melepas ciuman singkatnya pada bibir Airin yang membuat gadis itu menghentikan ucapannya, namun beberapa saat setelah itu Airin menatap Wira sengit. “Kamu nakal ya, Mas. Yang boleh nakal cuma aku!”
“Maaf...”
Nyali lelaki itu menciut terlebih saat Airin menepis tangan Wira dari bahunya dan yang lebih mengejutkan lagi Airin terus mendekati suaminya sehingga lelaki itu berjalan mundur sampai Airin mendorong Wira hingga terduduk di sofa yang ada di kamar itu.
“Sini, hm... jangan mancing-mancing terus.” Wira tersenyum penuh kemenangan saat berhasil menarik tubuh Airin hingga jatuh di pangkuannya kini. Lelaki itu mengendus lengan istrinya dan memberikan beberapa kecupan lembut, ditambah dengan tangan besar suaminya yang mulai berani menyusup ke dalam pakaian Airin dan meremat pelan pinggang gadis itu. “Hmm, kamu wangi.”
“Mas ... geli.”
“Emangnya saya nggak, hm?” Wira melirik pada tangan Airin yang memainkan perutnya, lagi. “Itu punya kamu kok, cuma kamu yang pernah lihat dan—”
Wira bergerak menurunkan tali baju perempuan itu dan mengecup leher istrinya lembut. “Kamu boleh mainin sepuasnya, tapi harus bisa tanggung jawab ya?”
Airin menggigit bibir bawahnya, dia malah terus memainkan jari lentiknya mengikuti pola perut berbentuk suaminya itu kemudian bergerak ke atas dan berhenti pada dada bidang lelaki itu. “Kayak gini hm?”
Wira menggeram pelan kala melirik tangan istrinya yang dengan lincah mampu mempermainkannya lalu ia mengangkat pandangannya pada Airin membuat hazel keduanya bertemu dan memandang penuh arti. Setelah itu, ranum keduanya saling memagut satu sama lain bersamaan dengan pakaian Airin yang terlempar asal dan lelaki itu menggendong sang wanita dan membaringkan Airin di atas ranjang.
Kala pagutan keduanya terlepas, mereka saling memandang penuh arti terlebih lelaki itu memenjara sang istri di bawahnya.
Sepuas mungkin kedua insan yang sedang hanyut dalam suasana itu masih saling memandang dan beradu dengan deru napas masing-masing yang menggebu. Wira menyingkirkan helaian rambut yang sempat menghalangi wajah cantik Airin, lalu ia kembali meraih bibir lembab wanita itu dan memagutnya habis.
Airin mengangkat kedua tangannya mengalung pada leher sang suami. Setiap sentuhan tangan suaminya yang semakin lihai itu membuat Airin hanyut dalam kenikmatan yang disalurkan padanya bersamaan dengan erangan dan desahan yang memaksanya untuk menyebut hanya satu nama yang kini ada di hati serta pikirannya, nama lelaki yang membuatnya hampir melayang menuju surga dunia.
“Mas ... Mas Wira,” erang Airin.
“Ai ... argh, kamu—” ucap Wira tertahan dengan napas terengah, “kamu ada pengaman? Saya—”
“Nggak usah pake.”
“Ai, serius?”
“Mas, please ...”
Airin memandang suaminya dengan mata sayunya dan Wira benar-benar mengagumi kecantikan Airin yang bertambah berkali-kali lipat dengan wajah polosnya yang berkeringat dan harum tubuh indahnya yang menguar membangkitkan seluruh gelora dalam diri lelaki itu.
“Saya mulai ya, Sayang?”
Airin mengangguk pelan, matanya terpejam seiring dengan kecupan lembut Wira yang begitu lama di dahi wanita itu. “I love you, Ai. Saya benar-benar dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya hati saya padamu. Sekarang kamu hanya punya saya, milik saya seutuhnya, dan tidak boleh ada yang berani menyakiti kamu.”
“Mas ...” Airin meringis seraya meremat rambut suaminya saat detik awal keduanya meraih surga mereka.
“Sayang, tahan ya ...” Wira mengecup pelipis wanita itu lembut, dia menarik dagu Airin agar menatapnya. “Hey, sini lihat saya, mau stop sampai di sini?”
Airin menggeleng, dia memeluk Wira erat dan menelusup pada ceruk leher suaminya itu dengan mata yang terpejam menahan segala rasa sakit yang sedang ia rasakan saat itu. Airin mengerang pelan saat ia mulai menikmati permainan semuanya itu, ia menggigit daun telinga suaminya dan berbisik pelan. “I love you, Captain...”
Wira tersenyum lebar, “sini lihat suaminya coba,” Wira menyentuh wajah Airin yang berantakan. “Saya lebih cinta kamu dan saya tidak sabar menanti kehadiran keluarga baru di antara kita. Terima kasih sudah mencintai saya dan saya mohon padamu untuk membersamai saya selalu ya?”
Airin mengangguk pelan. Wajahnya meringis seiring dengan pelukannya yang kembali ia eratkan pada suaminya. Keduanya saling berusaha meraih surga masing-masing dengan satu doa yang rupanya terbesit dalam hati kecil mereka, keinginan untuk bisa secepatnya memiliki sosok buah hati yang akan menjadi bukti cinta keduanya.
Bukan hanya Wira yang sudah jatuh pada Airin, melainkan Airin pula yang sudah jatuh sejatuh jatuhnya pada sosok lelaki yang dengan segenap ketulusan dan kelembutannya mampu membuat Airin tidak bisa memungkiri untuk tidak jatuh cinta pada suaminya itu. Dia yang perlahan mampu membuat Airin belajar tentang apa itu cinta yang sesungguhnya, belajar tentang bagaimana menahan segala amarah, dia yang penyabar, dia yang selalu akan menutupi segala kekecewaannya, dan dia yang terlampau jujur dengan apa yang dia ungkapkan dalam setiap tutur katanya.
Hanya dia, Prawira Nugraha, lelaki yang mampu menyempurnakan segala kekurangan dalam diri Airin, lelaki yang ia cintai.