Desire

Ini akan menjadi hari yang memalukan sekaligus menyebalkan bagi Arasha. Bahkan, gadis itu tidak menyangka jika William akan menjemputnya ke bawah kemudian membawanya sedikit mengelilingi gedung Wolfed Corporation. Tak lupa Arasha sesekali menundukkan kepala saat para pegawai yang masih lembur tampak menyapa William, jujur yang paling membuatnya tegang ialah saat lelaki itu tidak berhenti melepaskan genggaman tangannya.

“Sir, bisakah kau melepaskan tanganku?” Arasha berbisik saat mereka melalui koridor, dia berjinjit sedikit, “bayangkan saja betapa terkejutnya para bawahanmu melihat kehadiranku, apalagi resepsionis tadi—pasti dia bingung melihat gadis gelandangan yang dulu pernah datang kini berdampingan bersama atasannya.”

William meremas tangan Arasha yang berpegangan dengannya, “kau bisa diam? Ingat, kau tidak perlu menunduk juga, Sayang.”

Sayang ... terdengar menohok hampir membuat Arasha tersedak. Gadis itu memutar bola matanya jengah, sampai tiba-tiba seorang lelaki datang menghampiri mereka dari arah berlawanan.

“Selamat malam, Sir.” sapa lelaki tampan itu, dia bernama Diego.

“Ada apa?”

“Sir, maaf saya mengganggu ... ehm,” Diego melirik sekilas pada Arasha.

William menoleh sekilas pada Arasha, dia mengangkat alisnya. “Calon istri saya.”

Arasha melotot bukan main, kemudian dia menoleh ke arah William yang tampak menyeringai saat memandangnya balik. Arasha hanya bisa tersenyum, canggung juga melihat Diego tampak terkejut. William menepuk bahu lelaki itu pelan. “Doakan saja, semoga dia tidak lari lagi. Jangan sampai ada yang tahu dulu, biarlah orang menganggap apapun tentang gadisku ini—aku yang akan mengenalkannya pada publik nanti.”

“Tenang saja, Sir, semuanya akan aman di tanganku.” Diego terkekeh pelan, dia memandang Arasha maupun William secara bergantian. “Selamat, senang mendengarnya.”

“Terima kasih, Diego,” ucap William. “So apa yang ingin kau beri tahu?”

“Tentang Mr. John.”

Seketika tatapan Diego berubah menjadi serius, begitupun dengan William, dia membuang mukanya sekilas.

“Besok pagi, datang lebih awal, kau bisa bicarakan semuanya padaku.”

“Baik, Sir.”

“Ya sudah, kau bisa pulang dan tolong sampaikan pada yang lainnya untuk tidak lembur malam ini.”

“Kau serius, Sir?” Diego terkejut bukan main.

“Sejak kapan saya suka bercanda?”

Diego pun mengangguk, “baik, Sir, akan saya sampaikan.”

William menepuk bahu Diego pelan sebelum dia membawa Arasha memasukki lift yang akan membawa keduanya ke ruangan para petinggi di atas sana. Lift kali ini memang khusus digunakan oleh para petinggi terutama William. Kini hanya ada dirinya dan Arasha di dalam sana, gadis itu dibuat nostalgia saat pertama kali datang menemui William, bagaimana saat ia sempat diusir dan kemudian dipertemukan untuk kali pertama dengan lelaki itu.

“Bagaimana?”

“Apanya?”

“Pendapatmu.”

“Tentang kau? Atau perusahaanmu ini?”

“Ya, satu kata.”

“Amazing.” puji Arasha. Ia kemudian menatap William dengan tatapan tajam. “Kenapa kau bilang kalau aku calon istrimu?!”

“Tidak mau memang?”

Arasha menghempaskan tangannya yang digenggam oleh William itu, “kita bahkan belum lama mengenal.”

William tersenyum tipis. Seiring dengan lift yang terus bergerak naik, lelaki itu membalikkan badannya pada Arasha, satu tangannya memegang dinding lift sebatas leher Arasha—membuat gadis itu seolah terpenjara olehnya.

“Memang kau butuh berapa lama hm?”

Arasha mencoba menjauhkan wajahnya dari hembusan napas William yang dapat ia rasakan. “Aku rasa yang semalam sudah cukup untuk menjawab semua.”

William merubah posisinya, kini tubuhnya memojokkan Arasha pada dinding lift—ia membelai pipi gadisnya itu lembut, sentuhannya terus mengitari setiap inci wajah Arasha. Hingga tak sadar gadis itu memejamkan matanya merespon sentuhan lembut yang diberikan oleh William.

Deg...

Arasha bahkan bisa merasakan hidung mancung William sudah bersentuhkan dengan hidungnya, napas William mulai menari di lehernya kemudian naik ke dekat telinganya, mengecup sekilas dan berbisik. “I wouldn't do that here, cause there's still my private room, Sweetheart.”