Detak Jantung

Suasana canggung memenuhi seisi ruangan apartemen milik Airin hari ini. Sebenarnya kecanggungan itu bukan Airin yang merasakannya, ia hanya melihat bagaimana pria yang kini berdiri di dekat meja bar tampak terdiam sembari menundukkan kepalanya kala Airin tengah menata makanan ringan dan buah-buahan yang dibawa oleh Wira.

“Mas,” panggil Airin, senyumannya tipis saat memandang Wira, ia melihat lelaki itu menatapnya sekilas. “Mas kenapa engga beli makanan berat?”

Wira menggeleng, tatapannya ragu saat melihat Airin. “Maaf, saya tadi buru-buru.”

“Buru-buru karena engga sabar liat gue ya?” goda Airin, dia melihat Wira memandangnya lalu dengan iseng ia mengerlingkan matanya genit. “Tenang aja, gue gak kemana-mana kok, Mas.”

Aduh celaka. Wira membatin. Dia segera membuang mukanya dan mengamati sekeliling apartemen Airin yang sebenarnya tidak lebih menarik dari gadis yang sedang memotong buah apel sekaligus melahapnya satu potong.

“Mas, gue cantik gini, liat sini dong.”

Airin menghampiri Wira, niatnya gadis itu memang ingin iseng menggoda lelaki itu karena sedari tadi Wira tidak banyak bicara, tidak seperti kemarin rasanya. Mungkin saja Wira sangat gugup hari ini.

Wira menoleh ke arah Airin, dia hampir terkejut melihat gadis itu sudah duduk di depan meja bar seraya memegang sepiring apel yang sudah dipotong kecil-kecil. Airin menatap Wira sambil menggigit apel utuh yang ada di genggaman tangannya yang satu. Ia menyodorkan piring apel itu pada Wira. “Nih.”

Wira tersenyum kecil, dia hendak meraih piring tersebut namun Airin menarik ulur. Airin tersenyum miring, dia kemudian menyodorkan apel bekas gigitannya pada lelaki itu. “Mau yang ini engga?”

Demi Tuhan, Airin...

Wira menggeleng polos. “Kamu saja makan sendiri.”

Airin pun mengangguk, dia menaruh piring apel di atas meja bar lalu ia kembali menggigit apel yang dipegangnya. Dia kemudian bangkit dari tempatnya duduk, gadis itu meraih tangan Wira untuk mengikutinya.

“Tangan mas dingin banget.” Wira melepaskan genggaman Airin lembut, gadis itu membawanya ke ruang tengah—yang juga terdapat televisi di sana. “Kenapa?”

Wira hanya menggeleng. Airin dibuat gemas dengan lelaki itu, dia pun mengulurkan tangannya terlebih dahulu pada Wira sehingga Wira mengangkat alisnya sebelah. “Airin Revita Putri, 20 tahun.”

Uluran tangan Airin disambut hangat oleh Wira yang akhirnya menjabat tangan gadis itu, Wira tersenyum teduh. “Prawira Nugraha.”

“Engga pake embel-embel, Mas?”

“Terserah kamu.”

“Prawira Nugraha, si Pilot Ganteng?” Airin tersenyum miring, dia bisa melihat perubahan rona wajah Wira yang langsung menunduk. Airin pun mendekati lelaki itu, dia menarik wajah Wira agar menatapnya. “Mas, kalau diajak ngobrol, lihat orangnya.”

Tuhan ... apakah aku masih di dunia?

—♡♡♡—

“Mas, kita engga usah keluar ya, pesen makanan aja atau lo mau coba masakan gue?”

Airin menoleh pada Wira yang duduk di sampingnya, lelaki itu sempat menoleh padanya sekilas saja, melihat hal itu Airin jadi merubah posisinya menghadap lelaki itu. Airin menumpukan kepalanya di atas sandaran sofa sambil terus menginterupsi Wira.

“Kamu janjinya hanya sebentar saja, bukan menetap.”

“Mas engga mau menetap sama gue?”

Lelaki yang memakai hoodie putih dengan topi hitam itu tampak meremat lututnya, dia terus berusaha menutupi wajahnya bahkan saat hendak kembali bersuara. “Airin, saya—”

Airin menarik topi yang dikenakan Wira—sontak membuat sang empu terkejut dan menoleh ke arah gadis itu, tatapannya seperti ingin marah tetapi jatuhnya malah gemas dengan mata yang membulat. “Lo ganteng begini, Mas. Jangan ditutupi.”

“Airin,” Wira menghela napas, dia mulai berani memandang Airin. “Kamu ini kenapa?”

“Apanya?”

“Menggoda saya terus.”

“Ya ajak gue ngobrol dong,” kata Airin, dia memakai topi milik Wira, lalu alisnya mengangkat sebelah. “Keren gak?”

Wira menggeleng. Airin mendengus. “Loh, kok engga?”

“Memang tidak keren kalau kamu yang pakai.”

“Cantik?”

Wira mengangguk ragu. Dia sebenarnya sangat gugup sampai dia lupa sudah menyusun beberapa pertanyaan yang ingin dia tanyakan mengenai gadis itu, tapi sungguh jika keadaannya begini—hanya ada mereka berdua saja apalagi ini ruang privasi, itu membuat Wira tidak nyaman dan jatuh dalam kecanggungan seperti ini.

“Mas, kenapa masih mau ketemu gue? Lo engga ilfeel sama gue gara-gara kemarin? Gue bukan perempuan baik-baik, Mas. Beda jauh sama lo.“ 

Wira kembali melirik Airin. “Kenapa kamu berbicara begitu?”

“Ya aneh aja, kayaknya lo terlalu sempurna buat gue, Mas. Gue gak yakin juga kita bakal bisa bersatu.” Airin menaikkan alisnya sebelah, menunggu respon yang diberikan Wira.

“Manusia tidak ada yang sempurna Airin.”

Then? Hanya itu respon lo?”

“Saya tidak sebaik yang kamu pikir, belum tentu juga kamu seburuk yang kelihatannya. Tolong jangan berbicara begitu, saya tidak suka. Biarkan saya yang akan menilaimu, izinkan saya mengenalmu lebih dahulu, Airin.” Wira menatap Airin serius.

Airin tersenyum tipis, jujur saja dia terenyuh mendengar apa yang dikatakan pria dewasa yang masih memandangnya itu. Airin terkekeh pelan sambil dengan lancang merapikan rambut Wira yang sedikit berantakan dan tanpa sadar itu membuat jarak di antara keduanya menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

Airin bisa merasakan Wira tampak menahan napasnya, wajahnya begitu tegang apalagi saat Airin memandangnya penuh. Airin berbisik pelan di samping telinga lelaki itu. “Gue izinin mas untuk itu tapi dengan satu hal,” jeda Airin. “Biarkan gue perlahan masuk ke dalam kehidupan lo, gue juga ingin banyak mengenal lo. Lo bilang, lo tertarik sama gue 'kan, Mas?”

Jantungku ..., lagi-lagi.

Airin tersenyum miring di hadapan wajah Wira.

“Airin, tolong jantung saya hampir berhenti,” cicit Wira.

■ ■ ■