Dini Hari


Udara dingin yang menusuk permukaan kulit seorang gadis yang sedang terbaring di atas ranjang—membuat tidur gadis itu terusik, sedari tadi ia terus mencari posisi yang nyaman agar bisa tertidur nyenyak meskipun kondisi badannya terasa tidak enak sekarang. Airin perlahan tapi pasti mengerjapkan kedua bola matanya, pandangannya masih kabur ditambah dengan kepala yang sangat pening seolah menahannya untuk bangkit dari ranjang.

Matanya melihat samar-samar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan ia melirik ke ranjang di sampingnya meski dengan matanya yang setengah terbuka. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sebenarnya ia masih bingung juga karena sedikit ingatannya tentang bagaimana ia bisa sudah ada di apartemennya meski ia hampir berpikir bahwa ia hanya bermimpi telah melihat seorang pangeran tampan yang sempat menggendong tubuhnya, wajahnya persis seperti wajah suaminya, tapi ia bahkan tidak melihat keberadaan Wira di sampingnya.

Airin mulai membuka matanya lebar, dia pun bangkit untuk duduk bersandar di ranjang dan sedikit meringis seraya memegangi kepalanya yang sakit, ia mendadak mual apalagi perutnya yang kini terasa tidak enak. Buru-buru perempuan itu bangkit dari ranjang dan segera ke kamar mandi karena tiba-tiba tenggorokannya terasa pahit hingga akhirnya ia memuntahkan isi perutnya di closet.

“Kamu kenapa?” Kehadiran Wira yang sempat membuat Airin bingung tidak dihiraukan oleh perempuan itu. Wira langsung berdiri di belakang Airin dan mengangkat rambut perempuan itu, ia juga mengusap tengkuk Airin lembut. “Maaf saya tadi habis selesai tahajud.”

Lelaki itu meraih jepit rambut yang tergeletak di dekat wastafel, lalu menjepit rambut Airin dengan telaten. Airin kembali berdiri dan mencuci mulutnya sebelum memandang Wira. Mata sayu gadis itu begitu kosong, wajahnya juga pucat.

“Sudah enakan?”

Airin mengangguk. “Kamu udah pulang.”

“Kamu gak apa-apa?”

Airin menggeleng, dia mendekat pada suaminya. “Aku yang harusnya tanya gitu.”

“Saya baik-baik aja.”

“Mas aku laper.”

“Mau makan apa? Saya masakin untuk kamu.”

“Aku mau mie.”

Wira menyengir, dia mengusap rambut Airin. “Ya sudah saya buatin ya? Kepala kamu masih pusing atau sakit?”

“Nggak terlalu.”

“Tapi minum obat saja ya, biar nggak sakit.”

Airin mengangguk.

“Ya sudah, saya masak buat kamu, kamu cuci muka dulu bersih-bersih, dan ganti baju juga karena itu baju kamu basah. Jangan mandi, masih subuh ini.” Airin menahan Wira yang hendak pergi, dia menatap Wira dengan tatapan sayu. “Kamu marah?”

Wira tersenyum dan menggeleng. “Nggak, Sayang.”

“Ya udah.”


“Mas.”

Wira yang baru selesai memasak langsung menoleh setelah menaruh semangkuk mie di atas meja bar, dia melihat sang istri yang tampak cantik dengan rambut dicepol asal dan wajah polos berseri dengan senyum malu-malu kala menatapnya.

“Kamu pakai baju begitu nggak dingin?”

Wira membuang mukanya dari Airin yang memakai dress tidur pendek nan tipis yang tentunya akan lebih mudah ditusuk oleh angin malam yang cukup besar dan terasa bahkan di dalam ruangan ini sekalipun.

“Kamu bisa peluk aku nanti kalo aku kedinginan.”

Airin hendak mendekat pada Wira namun lelaki itu menjauh dan membuat sang wanita mendengus kasar. “Makan dulu.”

Airin mengerling genit, lalu dia duduk setelah Wira menarik bangku untuknya. “Abis makan ya, Mas?”

Wira hanya menggeleng samar. Lelaki itu mulanya mengamati Airin yang tampak lahap memakan mie buatannya, dia tersenyum kecil, namun kala Airin menatapnya buru-buru ia mengalihkan pandangan dari wanita itu.

“Mas mau?”

“Nggak, kamu aja.”

“Mau aku?”

Wira seolah sudah biasa menghadapi istrinya itu, dia hanya tersenyum saja meskipun jantungnya berdebar kencang melihat tatapan mematikan yang dilayangkan Airin padanya.

“Habis ini tidur lagi.”

“Siapa?”

“Kamu.”

“Kamu nggak?”

“Saya lihatin kamu tidur aja.”

“Nggak usah tidur aja.”

“Sudah kamu ini, habisin dulu.”

Airin mengerucutkan bibirnya lalu mendengus sebal dan kembali lagi melanjutkan memakan dengan lahap, sementara lelaki yang duduk di sampingnya seolah enggan memalingkan pandangannya dari perempuan di sampingnya itu. “Kamu makannya apa sih? Cantik terus.”

“Mas diem, jangan ganggu aku lagi makan!”

“Iya, maaf, Sayang. Makannya pelan-pelan.”

Wira terkekeh melihat perempuan itu yang pipinya memerah dan makan dengan lahap seperti orang kelaparan tapi entahlah itu malah terlihat lucu di matanya, gemas.