Fallin for That Jerk
Jujur saja, tidak pernah terbayangkan dalam hidupku jika aku akan menikah di usia 19 tahun. Usiaku terbilang masih sangat muda dan bahkan aku belum menyelesaikan kuliahku. Terserah, terserah jika kalian akan menganggap aku hanyalah seorang wanita pecundang, murahan, dan submissive karena aku pun tidak tahu mengapa hidupku begitu mudah dipermainkan oleh sosok jangkung berdarah Amerika bercampur China ini.
Jika dibilang soal perasaan, rasa benciku lebih besar daripada rasa cintaku pada lelaki itu, bahkan aku pikir aku tidak mencintainya sama sekali selain hanya untuk tipuan semata dan kurasa yang kupikirkan soalnya pun begitu. William. William Wolfed.
Lelaki yang menjadi nomor satu dalam daftar hitam orang yang tidak akan ku nikahi, pada mulanya, jauh sebelum aku merasa hidupku ada di tangannya.
Aku lemah? Tidak, aku bahkan bisa melawan jika aku mampu tapi kenyataannya aku tidak pernah sanggup untuk itu, dia selalu bisa membuatku takluk, tunduk, dan patuh pada setiap perintahnya dengan sorot mata tajam yang begitu menusuk relung hati.
Dia memang bukan pria yang baik, tapi entahlah bagiku dia terlihat lebih baik saat berdiri di sampingku sebagai sosok pelindung.
William - lelaki yang tidak pernah membiarkan aku merasa kesepian, sendirian, sedih, gundah gulana, dan rela menjadi pelampiasanku kadang kala. Dia yang mengatakan akan selalu melindungiku, menjagaku, dan tidak akan membiarkan orang lain menyakitiku meskipun dirinya adalah pengecualian.
Ya, dia tidak pernah berjanji untuk tidak menyakitiku karena mungkin baginya dia yang paling berhak dan berkuasa mempermainkan aku termasuk menyakitiku sekalipun, ah atau begini, dia yang tidak bisa memastikan apakah dia akan selalu membuatku bahagia atau tidak. Realistis. Dia memang menjadi salah satu faktor utama penyebab air mataku terjatuh.
Tatapan yang romantis, sentuhan yang menghanyutkan, kalimat-kalimat setengah berbisik yang terdengar lembut dalam setiap malamnya kuterima darinya, dari sosok Evil yang membuatku mempertaruhkan hidup dan matiku, bukan untuknya, namun dia yang membuat semua ini seolah mengalir dan terpaksa aku harus mengikuti alur hidup Tuhan yang sengaja dikacaukan olehnya seperti saat ini.
Ya, saat di mana aku dan dirinya telah terikat dalam janji suci pernikahan yang dihadiri oleh segelintir orang penting saja. Pernikahan kami yang mendadak dan seolah semuanya telah diatur sedemikian rupa oleh William dan antek-anteknya tanpa kuketahui sebab dia tidak mau aku dibuat pusing memikirkan itu.
Pernikahan kami di kota Beijing yang bahkan tidak dihadiri oleh keluargaku satu pun sampai akupun tidak tahu apakah ini pernikahan resmi atau bukan sebab dia yang mengatur semuanya.
William benar-benar ingin menampilkan pernikahan yang terkesan elegan dan mewah meskipun digelar secara private ini. Ya, sosoknya tampak banyak tersenyum sumringah setelah serangkaian acara selesai digelar, dia terus memegang erat tanganku dengan sesekali akan memandangku seraya tersenyum menyeringai dan mengedipkan matanya genit.
Dia sudah berkali-kali memuji kecantikanku, baik saat kami sedang berdua maupun di depan para koleganya yang membuat aku benar-benar malu. Memang bajingan itu, senang mempermalukan istrinya sendiri, cih aku tidak menyangka aku bisa berkata begitu…
Ya, suara beratnya itu kembali lagi terdengar saat jemarinya terus bergerak naik dan turun dengan gerakan memutar di punggung telanjangku karena gaunku yang terbuka ini semakin membebaskan dirinya untuk terus menggodaku. Oh tentu, ini gaun pilihan lelaki bajingan, um maksudku, suamiku sendiri yang memilihnya.
Dia tersenyum menyeringai hampir saja hendak menciumku kalau tidak aku menatapnya tajam, dia hanya cengengesan dengan pipinya yang mengembung sebelah. “Can we just go out now huh? Cause I can't hold to kiss you so bad and pull you into my lap then we can go to reach our heaven together, uh damn I - “