Huangpu River Cruise

sumber: https://www.klook.com/id/activity/3973-hangpu-river-cruise-shanghai/


Shanghai, China


Hari semakin larut setelah William menghabiskan hampir setengah harinya untuk bersama Arasha, mulanya mereka pergi ke pusat perbelanjaan—entahlah lelaki itu sebenarnya hanya ingin membuat Arasha senang sehingga William memberikan kebebasan untuk gadis itu belanja apapun meskipun Arasha nyatanya hanya membeli beberapa pakaian padahal lelaki itu bahkan tidak akan peduli berapa uang yang akan dikeluarkan untuk Arasha.

Setelah berbelanja, mereka lanjut makan petang di mall tersebut sebelum melanjutkan perjalanan—yang tidak tahu akan kemana tetapi Arasha hanya mengikuti saja William akan membawanya kemana.

Untungnya William sudah fasih berbahasa Mandarin, jujur Arasha sampai terus menatapnya bingung kenapa lelaki itu begitu pandai, namun tidak ada satu pertanyaan pun yang diajukan olehnya terhadap William.

Sekarang mereka sedang berjalan entah kemana yang pasti William menggenggam gadis itu erat setelah keduanya turun dari mobil dan lelaki itu meminta kepada orang suruhannya untuk tidak menunggu keduanya. Arasha sesekali mengamati lelaki jangkung yang satu tangannya menggenggamnya dan satunya lagi menjinjing jas hitamnya.

Kota Shanghai sangat ramai di malam hari ya meskipun Arasha tidak tau letak tepatnya ada di mana tapi dia menikmati bagaimana gedung-gedung tinggi menjulang ada di sekitarnya dan banyak gemerlap lampu yang berwarna-warni membuat kota Shanghai tampak cantik dalam kegelapan.

William melirik pada gadis di sampingnya, dia melepaskan tangan Arasha. “Aku ingin membeli tiket.”

“Tiket apa?”

William tidak menjawab, dia mencondongkan badannya saat memandang Arasha. Lelaki itu menepuk kepala Arasha dua kali. “I'll take you on a cruise so we can explore Huangpu River, won't you?” William berbicara dengan senyuman manisnya, dia seperti sedang menjelaskan pada anak kecil. Saat Arasha mengangguk, lelaki itu pun meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam sebuah loket tiket dan untungnya loket tiket itu tidak memiliki antrian yang begitu panjang.


Arasha tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah berada di sebuah kapal pesiar yang akan membawanya menjelajahi kota Shanghai dari sudut pandang Huangpu River. Arasha sedikit bingung karena pikirnya tadi ada banyak orang yang mengantri bersamanya, dia memandang sekelilingnya.

Arasha dan William berada di haluan kapal—yang mana mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan indah dua wilayah kota Shanghai yang dipisahkan oleh Huangpu River yaitu Pudong dan Puxi.

“Aku menyewa haluan ini khusus untuk kau,” kata William—kala mereka duduk bersebelahan dengan pandangan yang langsung mengarah ke depan melihat kecantikan gemerlap kota di antara sungai dengan hembusan angin. William merangkul pundak gadis itu. “So, what's your thoughts?”

Arasha hanya tersenyum tipis saat memandang lelaki itu lalu pandangannya beralih pada bangunan gedung-gedung tinggi yang arsitekturnya terlihat berbeda dari gedung di wilayah Pudong. Dia melirik William yang dengan paham langsung menjelaskan. “Puxi is the historical heart of the city. In former foreign concession times, this was the area that hosted the multitude of foreign nationals from the mid-19th century to the World War II.

The area had a French Concession and an International Concession as well as a walled Chinese area. It is in this area that the historical houses and buildings (or what's left of them), the Bund, and the famous Art Deco heritage architecture are found.

sumber: https://www.tripsavvy.com/two-sides-of-shanghai-pudong-puxi-1495288

“Ooo...” Arasha hanya mengangguk sebelum sepesekian detik ia berbicara lagi, “Oh iya, actually I don't know are you fuently spoke in Chinese Langueage but I think you good at that, how could you—mm, I mean after a hundred time Ilook at you then I realize that you look like a half Chinese, so correct me if i'm wrong.

“Yeah, my mother's Chinese. I've live here when I was 11 years old, but after my grandma passed away, we move to New York then I met your sister in our teenager.” Willim tertawa renyah, dia memandangi Arasha. “Tidak hanya itu, kau tau? Ayahku yang membesarkan Wolfed corporation.”

Arasha memicingkan matanya, “Logan Wolfed?”

William membuka mulutnya terkejut. “Bagaimana bisa kau tau? I've never told you about my fam especially my dad's name.

“Namanya tertera di majalah yang tadi aku baca.”

William mengangguk samar, dia pun bangkit dari tempatnya duduk, berjalan ke luar haluan kapal. Gadis itu menghampiri William seraya membawa dua gelas wine. Arasha menyodorkan gelas itu pada William. Arasha mengangkat gelasnya ke atas, “so, cheers?

William tersenyum tipis dan mendentingkan gelasnya pada gelas gadis itu. Keduanya saling memandang, lebih tepatnya William yang menatap Arasha terlalu dalam dan setelah itu ia meminum wine-nya hingga habis dalam sekali teguk. Ia menaruh minumannya di atas meja, begitupun dengan punya Arasha yang ditaruhnya juga.

William meraih tangan gadis itu dan mengusapnya pelan, tangannya yang lain mendorong Arasha agar lebih dekat dengannya. Napas William menari bersamaan dengan angin malam yang menerpa wajah Arasha, jantungnya semakin berdebar saat lelaki itu terus memandangnya. “Arasha, I've ask you before but maybe you don't take it seriously before so ... what if I proposed you to be my wife? Won't you?” William tersenyum miring, “But you know, I don't take any rejection from anyone including you, right?*”

Arasha masih diam, senyumannya mengembang tipis saat lelaki itu mengeluarkan sebuah ring box merah dari saku jasnya lalu meraih cincin berlian model solitaire klasik yang memiliki satu mata berlian dengan enam prong yang minimalis namun berkesan cantik. William memandang Arasha saat memegang tangan gadis itu, “so, can I?

“Ini sebuah ajakan atau paksaan?”

Both, I guess,” William terkekeh.

Arasha mengangguk. “Katamu aku tidak bisa menolak, bukan?”

William tersenyum lalu menyematkan cincin itu ke jari manis gadis yang sekarang sudah resmi menjadi tunangannya. “It's look beautiful on you.

Thanks.

“Setelah kau jadi milikku, jangan harap kau bisa lepas dariku, Arasha.”

William mengecup punggung tangan gadisnya, lalu memeluk pinggang Arasha erat seolah tempat ini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang berakhir dengan serius meskipun tidak pernah ada yang mengetahui bagaimana perasaan mereka satu sama lain selain mereka sendiri. William menarik dagu Arasha dan memberikan ciumannya sebagai hidangan penutup perjalanan melelahkan mereka hari ini. Arasha mengusap pelan rambut lelaki itu lalu membalas ciuman dari sosok asing yang kini menjadi tunangannya.

William melepaskan pagutannya sejenak, ia berbisik dengan napas tersenggal. “Aku mau lebih dari ini.”

But we're in...

William memotong pembicaraan, dia mengecup gadis itu sekilas dan memutar bola matanya jengah, “yeah, that's the problem. Aku tidak mau kejadian di pesawat itu terulang, tapi baiklah aku tidak akan menyia-nyiakan ini.” Dia kembali menarik tengkuk gadis itu dan mencium Arasha lagi—mercilessly.