Jelita yang Menjemputku.
Aku tidak tahu kenapa sampai detik ini jantungku masih terus berdegup kencang apalagi setelah aku mendapati sosok jelitanya dari kejauhan, dia tersenyum tipis seraya melambaikan tangannya padaku. Sebenarnya aku ingin sekali mengenalkan dirinya dengan Kevin tapi sepertinya gadis itu masih malu-malu dan ya mungkin ini belum saatnya untuk itu.
Aku berjalan perlahan tapi pasti demi melihat sosok cantik itu lebih dekat lagi, dia tersenyum begitu manis padaku. Ini seperti sebuah mimpi, ya, aku tidak percaya dia akan datang menjemputku, gadis yang kuimpikan.
Aku bisa melihat bagaimana rambut panjangnya yang indah itu terurai dan menghalangi bagian wajahnya saat dia berlari kecil ke arahku.
“Mas Wira!”
Aku terkejut bukan main saat ia datang mendekat—ah, tidak, ini terlalu dekat bahkan aku sontak menjauh darinya, dia sudah merentangkan kedua tangannya itu, jantungku dipermainkan oleh gadis itu.
“Mas, gue mau peluk...” Airin menatapku dengan mata kucing, sedikit terlihat merajuk dengan jarak yang masih berdekatan denganku namun untungnya koper yang kutaruh di antara kami dapat membuatku bernapas lega. “Kok malah dihalangi?”
Aku mencoba sebisa mungkin menahan senyuman yang sialnya tidak bisa, aku malu jika pipiku ini ikut memerah melihat wajah lucunya saat aku menahan pelukan yang ingin dia berikan. Sebenarnya aku tidak mau dia memelukku, jujur aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti jika itu benar terjadi, aku mencoba meminimalisir getaran hebat yang telah disalurkan gadis itu sejak awal aku tiba di sini.
“Nanti saja, ini banyak orang.”
“Terus?”
“Ya udah lah, terserah! Lo tuh ya, Mas, gue jauh-jauh loh dateng ke sini, gak dikasih sambutan hangat gitu?” Airin mendelik sebal padaku, aku hanya terkekeh pelan, dia sangat lucu.
“Mana kuncinya?” tanyaku.
Airin pun memberikan kunci mobilnya padaku lalu dia membuang muka dan berjalan mendahuluiku. Aku tidak bisa menahan senyuman melihat tingkahnya di awal pertemuan kita yang ketiga kali ini.
Aku membiarkannya berjalan mendahuluiku, dia menoleh sejenak dengan mata sinisnya tapi itu tidak membuatku ingin menyusulnya, aku tidak apa berjalan di belakangnya sebab aku bisa melindunginya dan menjaganya. Munafik memang jika aku bilang aku tidak ingin ada di sampingnya, tapi aku takut, aku takut jika aku tak pantas untuk itu.
Dia menoleh sekali lagi, langkahnya pun terhenti. “Nggak mau gandengan?”
Aku hanya tersenyum. “Kamu duluan saja.”
Airin menatapku tajam lalu dia berjalan lebih cepat mendahuluiku dengan raut wajah yang sudah bisa kupastikan menggemaskan jika dilihat.
Ibu, aku akan membawanya ke rumah, aku tidak percaya itu....