Keliru.
“Maaf.”
Itu kata yang pertama diucapkan oleh Arion saat Alana membukakan pintu rumahnya untuk lelaki yang rupanya sudah dari tadi menuturi dirinya dari belakang.
Alana masih mematung, dia memandang ke arah luar, masih belum terpikirkan akan berkata apa dengan suasana canggung seperti ini. Mereka sudah ada di teras rumah Alana sekarang.
“Alana aku bukan patung.”
“Iya sabar, aku lagi mikir!” dengus Alana.
Arion pun mengangguk, dia menghela napasnya panjang. “Kamu bisa tarik ucapan yang tadi?”
“Arion tapi kamu tuh keterlaluan,” ujar Alana.
Namun, pandangan Alana sekarang beralih pada muka lebam di wajah Arion juga punggung tangan lelaki itu yang memar. Alana terkejut lalu ia segera mendekati cowok itu. Ia pun menarik lengan Arion dan membawanya masuk ke dalam rumahnya.
“Alana, mau ngapain?”
“Tuh,” Alana membanting tangan Arion hingga lelaki itu meringis, dia lalu mengedikkan dagu ke arah sofa ruang tamunya. “Duduk dulu.”
Seolah menurut, Arion langsung duduk di sofa, mengamati Alana yang masuk ke dalam sebentar dan kembali lagi bersama kotak P3K yang ada dalam genggamannya. Saat gadis itu duduk di sampingnya, Arion terus mengamati Alana serius, air mukanya penuh damba sekaligus kecemasan. Alana membantu mengobati luka-luka di punggung tangan Arion membuat lelaki itu sesekali meringis dan berujung memegang tangan Alana.
“Jangan modus!”
“Engga, ga sengaja. Sakit, jangan pake emosi, bisa?”
“Ga bisa.”
“Udah.” kata Alana lagi setelah memberi plester pada luka-luka Arion yang sudah diberi obat merah, dia hendak bangkit berdiri sebelum tertahan oleh panggilan Arion.
“Mukanya engga?”
“Urus sendiri.”
“Alana ini aset,” ucap Arion, lalu menyengir. Buat keturunan kita.
Alana memutar bola matanya malas lalu meninggalkan Arion lagi. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali tetapi tidak bersuara bahkan ia hanya berdiri menatap ke luar pintu rumah. “Pulang sana.”
“Alana...” Arion memasang mata kucingnya saat ia bangkit mendekati Alana. “Maafin aku.”
“Minta maaf soal yang mana?”
“Ya Allah, sebanyak itu kesalahan aku?”
“Pulang aja deh sana, udah malem juga,” usir Alana.
Arion menghela napasnya panjang, dia pun mengangguk pelan lalu menyodorkan sebuah paperbag yang sedari tadi dijinjingnya. “Buat kamu.”
Alana menaikkan alisnya sebelah, dia tidak berucap sepatah kata pun, ia membiarkan Arion keluar dari rumahnya begitu saja karena jujur ia masih kesal pada lelaki itu. Terlebih ada banyak kekeliruan yang terbesit dalam benak Alana tentang Arion, tapi sejujurnya ia tidak ingin hubungannya benar-benar beraihir dengan lelaki itu.