Luka dan Obat
“Airin.”
Gadis yang tadi sedang berdiam diri seraya memegangi tangannya yang terluka itu langsung bangkit dan berlari menghampiri lelaki yang memanggilnya, matanya merah dan sedikit bengkak. Airin segera menghamburkan pelukan pada Wira yang kontan terkejut dan tidak tahu bagaimana caranya merespon semua ini yang tiba-tiba.
“Hey, kenapa?”
“Oh ya, gue lupa, gue gak boleh peluk lo,” kata Airin sembari melepas pelukannya, dia mengusap matanya yang berair.
“Boleh, Airin, siapa yang melarang?”
“Boleh?”
Wira mengangguk pelan dengan senyum yang menenangkan, dia terlanjur khawatir melihat lengan gadis itu yang luka, dia segera menahan Airin yang hendak memeluknya lagi. “Nanti ya tapi, kita obati lukamu dulu.”
Airin pun mengangguk, dia meringis saat tengah berjalan di samping Wira. Sementara pria di sampingnya terus memerhatikannya seraya membatin, Wira tidak senang melihat perempuannya diperlakukan seperti ini meskipun dia belum tahu apa yang terjadi tapi tetap saja raut wajah yang ditunjukkan oleh Airin menunjukkan semuanya.
Wira membukakan pintu untuk Airin, di dalam mobil dia mengambil kotak P3K yang selalu tersedia, dia melirik Airin sejenak. “Saya boleh bantu kamu obati lukamu ini?”
Airin mengangguk. Dia membiarkan Wira mengobati luka yang terlihat seperti bekas cakaran panjang dan juga sobekan kecil itu, dia mengamati bagaimana dengan hati-hatinya Wira berusaha membersihkan luka gadis itu terlebih dahulu. Saat Airin meringis, lelaki itu langsung melirik sang wanita. “Sakit?”
“Sedikit.”
“Tadi saya main basket sama adikmu, rupanya dia keren, saya sampai kalah telak kamu tau?”
“Kok bisa?”
“Bisa apa?”
“Main ke rumah.”
“Ya bisa, sudah izin juga sama mama kamu.”
Wira terus berusaha mengajak Airin berbicara agar gadis itu mengalihkan rasa sakitnya saat ia sedang menempelkan kapas beralkohol pada luka gadis itu.
“Kamu tau apa yang diceritakan adikmu tadi?”
“Apa? Dia bilang macem-macem ya?”
“Tidak, dia hanya bilang, kalau saya tampan. Katanya cocok sama tetehnya.” Wira terkekeh pelan, dia mengangkat pandangannya sejenak dan memandang Airin yang sialnya juga sedang menatapnya. Belum lagi senyuman menggoda khas gadis itu yang ditampilkan olehnya membuat Wira tidak sanggup berlama-lama menatap Airin.
“Sekarang udah berani natap gue ya?”
“Maaf.”
“Tatap gue lagi.”
Wira tidak merespon Airin, dia kini sibuk membuka plaster yang mendadak terasa sulit di saat jantungnya sedang berdebar seperti ini, Airin segera merebutnya lalu membukanya sendiri dan menempelkannya pula sendiri. Gadis itu melirik Wira yang langsung mengalihkan pandangannya ke depan.
“Kenapa bisa berantem?”
“Gara-gara Arkan.”
Wira menoleh, “mantan kamu?”
Airin mengangguk, dia menghela napasnya sebelum bercerita. “Jadi, gue putus sama Arkan karena dia selingkuh dan setelah dua bulan putus I guess si bangsat itu nyesel dan berusaha ngejer gue lagi tapi gak gue kasih celah pokoknya, terus ada saatnya cewek yang jadi selingkuhannya tuh maki-maki gue gitu di base twitter lo bayangin satu kampus bisa tau, Mas. Ya gue labrak dong, gue sempet temuin dia tapi dia lari gitu kayaknya dari gue, menghindar.”
“Terus, gue bilang kan ya kalo Arkan mau ketemu gue atau ngomong sama gue lagi, suruh ceweknya itu minta maaf sama gue, dan lo tau gue kira tadi itu cewek sialan mau minta maaf ke gue taunya pas kita janjian di deket tongkrongan kampus yang emang agak sepi dia malah bawa pasukannya, maksud gue gengnya, gue kaget di situ ada cewek yang anggep gue musuh juga soalnya karena masalah pekerjaan sih, dia itu model juga. Habis deh gue dimaki-maki. Gue lawan dong ya enam lawan satu, gue gak lama-lama tapi karena gue takutnya dia manggil orang lagi jadi abis itu gue kabur.”
“Bukan takut ya, Cuma gue gak mau aja gue bonyok, muka gue masih punya harga, Mas.” Airin tertawa membuat Wira yang sedang serius itu tersenyum tipis seraya menggeleng samar.
“Kamu tuh ya, saya lagi serius nanggepinnya.”
“Gue gapapa kok, gue pernah bilang ‘kan sama lo kalau yang nganggep gue as rival tuh banyak hampir di setiap sisi, ya tapi gue bodo amat aja sih, selagi mereka nggak sampe ngusik kehidupan pribadi gue, karena meskipun mereka bilang yang jelek-jelek tentang gue ya yaudah terserah orang mau percaya atau nggak, lagipula gue inget kata lo, kalo bicara soal orang yang benci sama kita gak akan ada habisnya, coba liat ada orang lain yang suka dan senang sama lo. Iya, kan, Mas?”
Wira mengangguk, senyumannya mengembang lebar. “Saya salah satunya, orang yang akan selalu suka dan senang dengan adanya kamu.”