Mengenang Masa Lalu


Suasana terik cuaca Jakarta meski pada sore hari tidak dapat dipungkiri lagi meskipun hari ini tak begitu panas, tetapi cukup menghangatkan dikala angin terus menerus berhembus di udara saat itu. Dengan demikian, itu menjadi alasan Hadraniel mengajak Gadis duduk sejenak sambil menyeruput es kelapa yang berada tepat di seberang gedung sekolahnya dulu.

Ya, lokasi kedua yang mereka kunjungi hari ini adalah SMA negeri tempat mereka bersekolah dulu. Gadis tak menyangka bahwa dirinya akan kembali menginjakkan kakinya di sini. Rasanya sudah sangat lama ia tidak datang kemari, mungkin sekira lebih dari lima tahun sejak reuni SMA pernah diadakan dulu. Tiba-tiba ia teringat pada waktu itu, ketika ia datang ke acara reuni SMA-nya dan seingatnya dia tidak melihat lelaki di sampingnya itu datang.

“Daniel, waktu reuni terakhir SMA, lo nggak dateng ya?”

Lelaki itu menoleh ke arah Gadis, dia menggeleng dengan senyuman tipis. “Sorry kalau waktu itu lo cari gue, gue nggak dateng karena masih pelatihan di sekolah pilot 'kan.”

Gadis memutar bola matanya jengah, enggan melanjutkan perbincangan yang mengarah pada guyonan Hadraniel beserta rasa percaya dirinya yang tinggi itu.

Beberapa saat kala keduanya menikmati pemandangan para siswa yang berlalu lalang di hadapan mereka dari pintu gerbang—yang tampaknya di dalam sedang ada kegiatan, Gadis melirik pada Hadraniel.

“Niel,” panggil Gadis.

“Mau masuk?”

Hadraniel melirik ke arah gerbang sekolahnya, alisnya naik sebelah, bermaksud untuk mengajak Gadis bernostalgia lebih jauh jika keduanya masuk ke dalam sekolahnya. Sebab, pasti akan banyak memori yang akan kembali jika mereka masuk ke sana. Hadraniel tampak terkekeh pelan kala melihat pandangan Gadis yang belum teralih darinya.

“Nggak mau, lo aja gih.” Ujar Gadis.

“Gue mah males, bosen. Gue suka ke sini kadang meski cuma buat minum es kelapa sambil nostalgia masa muda.”

“Iya deh yang udah tua,” ledek Gadis.

“Brengsek iya juga ya? Salah ngomong gue,” kata Hadraniel seraya terkekeh. “Oh ya, tadi lo mau ngomong?”

Daniel mengerutkan keningnya kala melihat perempuan di sampingnya tersenyum tipis memandangnya. Surai panjangnya yang kini cepol asal menyisakan helaian rambut pinggir yang berterbangan tertiup angin membuatnya begitu tampak cantik. Buru-buru Daniel mengedarkan pandangan ke arah lain, tidak ingin kelihatan terlalu memperhatikan dan terpikat pada perempuan itu.

“Makasih ya untuk hari ini.”

Jika saja Daniel bisa mengutuk dirinya, ia akan mengutuk dirinya sendiri sekarang yang hanya bisa mengulum senyuman saat bertukar pandang dengan perempuan cantik itu. Bukan soal perkataannya saja, tapi senyumannya yang begitu mudah terpatri dalam pikirannya. Gadis benar-benar cantik sampai ia tidak sanggup bertukar pandang terlalu lama.

“Gue yang makasih,” ujar Daniel.

“Makasih untuk apa? Gue yang ngerepotin lo tau gak hari ini tuh!”

Daniel terkekeh pelan. “Makasih udah balik ke Indonesia, Gadis.”