Pertentangan
“Lo masih mau di sini? Mau abis berapa botol itu hm?”
Nathan menggelengkan kepalanya samar seraya terkekeh melihat Airin yang duduk di sampingnya di meja bar. Mereka duduk menghadap ke lantai dansa yang menyorotkan kerlap kerlip lampu di tengah banyaknya orang yang menari termasuk rekan mereka berdua juga. Sebenarnya party ini bukan sebuah pesta resmi yang digelarkan oleh agensi model gadis itu, tetapi memang tujuannya ya hanya untuk bersenang-senang saja di tengah semakin padatnya jadwal mereka.
“Berisik lo.” Airin mendelik sebal.
Nathan melirik Airin lagi di sampingnya, dia menyeringai seraya memandang Airin yang kembali meneguk habis segelas wine-nya itu. Airin melirik Nathan balik. “Apaan lo liat-liat gue?”
“Cantik lo malam ini.”
Airin memutar matanya malas, dia seolah tidak lagi bisa termakan oleh gombalan maut Nathan karena dia merasa sudah mengenal jauh tentang lelaki di sampingnya itu. Nathan memang sering kali mendekatinya, bahkan beberapa kali sempat menyatakan perasaan lelaki itu pada Airin tetapi Airin tidak pernah menghiraukan lelaki itu. Dia sudah cukup paham apa yang Nathan mau darinya, terlebih dia sudah kenal tipe lelaki seperti apa Nathan itu.
“Ai, mau ke sana gak? Ayo sama yang lain juga.” Nathan mengedikkan dagunya ke arah lantai dansa, dia menegak habis alkoholnya. “Ayo?”
“Lo duluan.”
“Ya udah, gue tunggu lo di sini aja deh,” ujar Nathan. Lelaki yang berparas blasteran itu tampak tampan dengan kaus putihnya malam ini, senyumannya begitu menawan saat bertukar pandang dengan Airin. “Lo lagi kenapa sih?”
“Gapapa gue,” kata Airin, matanya terangkat dari ponsel yang baru saja gadis itu cek.
“Mata lo udah merah tuh,” ujar Nathan. “Abis berapa gelas lo?”
“Baru enam,” jawab Airin santai.
Sebenarnya pandangan gadis itu mulai sedikit kabur tapi dia masih bisa menjaga kesadarannya karena Airin memang cukup kuat dalam mengonsumsi minuman keras itu, terlebih emosinya masih membuncah dan pikirannya masih tidak fokus sekarang, dia memikirkan sosok yang membuat dirinya kacau seperti ini, ya Wira belum sama sekali menghubunginya. Ada sejumput kekhawatiran, juga kekesalan dalam diri gadis itu. Emosi yang tidak dapat tertahan ini membuat dirinya perlu meluapkan pelampiasannya malam ini.
Entahlah Airin hanya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, padahal seperti biasanya, dia sudah terbiasa harusnya hidup sendiri tanpa bayang-bayang suaminya sebab sekalipun ia sudah menikah tetap saja Wira tidak bisa selalu ada di sampingnya. Belum lagi dengan jarak yang terpisah itu menimbulkan banyak keresahan yang seolah muncul dengan sendirinya. Tidak munafik jika Airin merindukan lelaki itu.
Airin merasa Wira tidak berhak melarang-larangnya karena lelaki itu saja jarang ada di sisinya, meskipun gadis itu tahu bahwa dari jarak yang membentang jauh sekalipun, Wira akan selalu ada di sampingnya, tapi rupanya yang gadis itu inginkan ialah bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan suaminya. Jika dianggap kelakuannya kali ini adalah upaya memberontak atau pertentangan, mungkin benar adanya, atau ini cara lain gadis itu untuk mengekspresikan isi hatinya.
Airin menarik napasnya perlahan, dia melirik Nathan. “Nath.”
“Hm?”
“Lo pernah jatuh cinta?”