Possessive Bad Boy

Travis Maverick. Pacarku, dia memang agak nakal, sebenarnya bukan 'agak' lagi sih tapi dia benar-benar berbahaya. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mau menjadi kekasihnya, aku jatuh cinta padanya sejak awal pertemuan kita. Bahkan aku tidak menyangka dia akan menjadi pacarku sekarang. Travis orang yang sangat keras, dia tidak suka dibantah, posesif, dan cemburuan.

Sekarang ini aku sedang berada di dalam mobil bersamanya, sedari tadi dia tidak bicara padaku, dia marah setelah melihatku pergi bersama Arga tanpa sepengetahuannya. Padahal aku dengan Arga hanya hangout biasa saja, sekaligus membahas salah satu program kerja kita karena kita ada di divisi yang sama.

“Travis, aku minta maaf, aku sama Arga sama sekali enggak ada hubungan apapun,” kataku, dia tidak melirikku sama sekali, aku pun memegang erat tangannya namun langsung ditepis. “Babe, please.”

“Jangan ajak aku bicara saat aku nyetir,” jawabnya tajam.

Setelah itu akupun diam sepanjang perjalanan menuju apartemenku.

***

Setibanya di apartemenku, dia tidak banyak bicara, dia hanya diam di depan ruang televisi bahkan setelah selesai aku berganti pakaian. Aku hendak menghampirinya yang tampak berkutat dengan ponsel namun aku sedikit ragu. Travis memang sangat menyeramkan jika dia sedang cemburu, aku sangat takut melihatnya.

“Travis, kamu mau istirahat di kamarku?” tanyaku saat aku menghampirinya, dia menoleh sekilas namun kembali berkutat pada ponsel. “Travis, aku ...”

Aku menggigit bibirku, tanpa ragu aku duduk di sampingnya sekarang. Aku meraih ponselku dari atas meja, mulai berkutat sejenak sampai tiba-tiba Travis merebutnya dari genggamanku.

Aku hendak marah padanya namun tatapannya jauh lebih tajam saat aku menatapnya, aku sangat takut. Dia meremat pinggangku secara tiba-tiba, seolah menarik tubuhku agar merapat padanya sehingga kini bibirnya menempel di dekat telingaku. Dia tampak leluasa mengecup bagian leher dan tengkukku yang terekspos karena aku mencepol asal rambutku.

“Trav, geli,” kataku. Aku memang benar merasa geli sekaligus merinding apalagi kini napasnya menari di dekat telingaku, belum lagi tangannya mengusap pinggang polosku—sebab aku memakai crop top.

“Jelasin. Aku kasih kamu waktu.”

“Aku engga bisa jelasin kalo kamu terus kayak gini.”

“Stop ngebantah.” kata Travis seraya mencubit pinggangku, sedikit membuatku meringis.

Dia kini mengulum telingaku, kemudian beralih pada leher jenjangku yang dengan mudah terakses karena jarak kami yang sangat sempit. Aku sudah tidak bisa berkata-kata, dia terus membuyarkan pikiranku, aku memang selalu dibuat hanyut oleh permainan Travis setiap hendak menggodaku.

Tangan Travis bergerak naik ke belakang punggungku, dia menarik bra yang aku kenakan lalu melepas tarikan itu sehingga aku memekik. “Ah, sakit...”

“Sakit hm?” bisik Travis tepat di telingaku dengan hembusan-hembusan napas yang menggelitik, dia mencium telingaku setelahnya. “Sakit mana sama dibohongin?”

“Aku engga bohong, Trav...”

Travis tidak merespon tapi aku bisa merasakan tangannya mulai menggerayangi pahaku, aku salah memang memakai pakaian minim di saat begini, aku memakai crop top v-neck lilac dengan bawahan rok minim putih.

“Sengaja hm?”

“Engga, aku minta maaf, aku engga ada apa-apa sama dia, kita cuma bahas tentang proker aja sekalian kita membangun chemistry.”

“Oh, gitu ya? Sengaja engga bilang dulu?” Travis menggoreskan kukunya naik dan turun di sekitaran pahaku, sungguh aku sudah tidak tahan merasakan tubuhku yang tidak nyaman begini. Travis membuat semuanya kacau. Tangannya semakin bergerak ke dalam rok yang aku kenakan. Dia mengusap paha dalamku dengan perlahan. Aku tidak bisa menahan perasaan ini, refleks aku memejamkan mataku dan memegang erat tangannya. “Ngh, Travis.”

“Jawab.”

Travis mengangkat tubuhku dengan sekali gerakan sehingga aku berada di atas pangkuannya sekarang. Aku bisa merasakan sesuatu dalam dirinya mulai muncul, sisi dominannya yang sangat melekat, tatapannya begitu membara saat menatapku.

“Aku minta maaf, ahh, Trav.”

Aku mendesah saat dia meremas dadaku yang terbalut pakaian, aku rasa ini akan menjadi awal yang buruk bagiku. Travis berbisik setelah menjilat leherku. “Aku marah.”

“Aku tau, aku minta maaf, aku udah bilang kalo—Ahh, Trav, please...” Desahanku tidak bisa tertahan lagi saat aku merasakan tangannya mulai menyentuh area sensitifku di bagian bawah sana.

“Udah, aku janji engga akan lagi kaya gitu.”

“Janji aja engga cukup.”

“Travis...”

Aku merasakan tangan Travis mulai menurunkan sedikit celana dalamku setengah paha, setelah itu aku merasakan kedua jarinya yang panjang itu bermain di bawah sana. Sontak tubuhku menggelinjang di atas tubuh Travis yang kini tersenyum miring memandangku. Dia terus menggerakkan jari-jarinya di dalam sana dan mengoyak milikku sesukanya. Aku memegang erat lengannya dan mendesah kuat, “Nghh, Travis. Ahh!

Dia senang membuatku tersiksa di saat dirinya sedang marah atau cemburu padaku. “Sebut nama aku lagi.”

Uhh, please...” Aku bergetar saat tangan kekasihku yang lain menyusup pakaianku dan memainkan dadaku. Dia benar-benar menguasai area sensitifku dengan dua tangan handalnya. “Travis...”

Beggin me.

Aku mengerjapkan mataku kala memandang Travis yang sedang menatapku dengan napas memburu. Aku bisa mencium bau alkohol dari mulutnya, namun sekali lagi aku meringis saat dia mempermainkanku lagi. “Please, forgive me...

Travis menangkup kedua sisi wajahku setelah membiarkan bagian bawahku yang sudah terlanjur lembab, dia tersenyum menyeringai, “lagi.”

“Trav, please...”

Sekali gerakan dia langsung mengangkat tubuhku ke atas pangkuannya, dia menarik tengkukku kemudian menciumku begitu dalam sampai aku hampir kehabisan napas. Belum lagi cengkramannya begitu kuat pada pinggangku sehingga aku tidak dapat berkutik lagi, aku melingkarkan tanganku pada lehernya membiarkan tangannya yang lain terus menggerayangi tubuhku.

Emmh.” Aku mencoba melepaskan ciuman itu setelah merasa aku kehabisan napas, dia menatapku datar namun beberapa detik dia tersenyum miring. Tangannya menyusup ke dalam pakaianku lagi dan melepaskan kaitan bra yang tengah kupakai itu. “Trav,”

“Hm?”

Dia membalikkan lagi tubuhku, kepalaku bersandar di dadanya