Rencana Gagal


Rencana awal Pramudina setelah seharian mengurus anaknya yang baru berusia dua tahun itu ialah beristirahat panjang. Tentunya menjadi ibu rumah tangga di sela-sela kesibukannya bekerja juga tidaklah mudah, meski pekerjaan yang ia jalani dilakukan dari rumah tetapi tetap saja itu menjadi hal yang dua tahun belakangan ini ia jalani. Sebenarnya suaminya sudah memintanya untuk tidak usah ambil pusing soal pekerjaan, toh tentu Adimas siap menanggung segala kebutuhan hidup keluarganya termasuk Pramudina sebagai istrinya. Namun, tekad kuat Pramudina masih tetap di jalannya, apalagi pekerjaannya ini tidak menuntutnya harus setiap hari on-site sebab ia juga bisa work from home.

Pramudina paham betul jika suaminya ingin membuat bebannya berkurang, meski sejauh ini dia tidak terlalu merasa terbebani. Dia menjalani kehidupannya dengan senang, apalagi soal tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Itu sudah hal yang mutlak dia jalani dengan senang tanpa beban.

Pernikahan yang memasuki usia dua tahun terbilang masih muda meski dibandingkan dengan usia pacaran Pramudina dan Adimas yang mencapai enam tahun lamanya. Tentu dia sudah mengenal jelas sosok Adimas seperti apa dan bagaimana cara lelaki itu menunjukkan rasa sayangnya.

Seperti sekarang ini, Adimas yang baru saja pulang dari kantor langsung menghampiri Pramudina yang sedang menghangatkan makanan untuknya. Perempuan itu terlihat lebih lelah dari biasanya, apalagi saat ditatapnya mata yang sudah mengantuk dan sesekali dia akan mengusapnya perlahan.

Adimas yang tak tega segera menghampiri Pramudina sembari merangkul leher wanita itu dari belakang. “Sayang, hei, udah aku bisa sendiri kok, kamu istirahat ya. Kamu capek banget gitu mukanya, ayo aku temenin dulu kita tidur ya?”

Pramudina hanya menoleh ke arah suaminya dengan senyuman lembut, ia mengusap lengan kekar yang melingkari lehernya itu. Wajah lelaki itu begitu teduh meski setengah basah, juga kaos oblong hitamnya yang tampak basah di bagian dada.

“Kamu kebiasaan kalau bersih-bersih basahnya kemana-mana deh,” cibir Pramudina.

“Suka banget ngalihin pembicaraan,” ucap lelaki itu gemas, dia meraih pinggang wanitanya agar lebih mendekat. “Nurut, istirahat ayo.”

“Aku temenin makan dulu kamunya,” ujar Pramudina.

Adimas menatap istrinya dengan wajah datar, dia jauh lebih serius sekarang. “Sayang, ayo, aku belum laper juga. Nanti kalau mau makan pasti aku makan sendiri. Ini udah malem kami harus istirahat sekarang.”

Pramudina mencebikkan bibirnya dengan mata kucing yang ia tunjukkan saat mengusap wajah Adimas yang lembut itu. Terlihat kumis tipis tumbuh di atas bibirnya, itu malah membuat Adimas semakin tampan karena Pramudina menyukainya.

Tanpa berpikir lebih lama, Adimas langsung menggendong istrinya itu di depan seperti cara seekor koala menggendong anaknya. Pramudina mengeratkan rangkulannya pada leher suaminya sambil menelusup di sana dengan kaki yang melingkari punggung Adimas. Adimas terus mengendus wajah istrinya itu saat tengah menggendongnya seperti dia betul-betul mengagumi sosok Pramudina.

Adimas tidak menurunkan istrinya langsung di atas ranjang, melainkan di atas sofa single kamarnya. Kini Pramudina berakhir di pangkuan Adimas, membiarkan wajahnya serta rambut dan sekujur tubuhnya dibelai manja oleh suaminya. Jelas ia menyukai ini, dia menyukai segala ketenangan serta kenyamanan dalam keintiman ini.

Pramudina menghimpit tubuhnya dengan tubuh suaminya yang erat dalam pelukannya. Dia menggelinjang seketika saat merasakan belaian lembut Adimas berubah jadi cengkraman erat pada pahaya. Lelaki itu meneguk ludahnya susah payah saat menatap Pramudina yang tampak menggigit bibir merah dan tebalnya itu. Dia memejamkan matanya seraya menggeram merasakan gerakan istrinya di atasnya, dia benar-benar tak bisa berkutik.

Pramudina mendekat saat Adimas menariknya lebih dekat dengan tatapan yang tajam dan napas memburu. Adimas menelusup ke dalam dress tidur istrinya itu dan terus menyapa setiap inci kulit wanitanya. Pramudina bergumam pasrah menikmati sentuhan Adimas hingga lelaki itu menarik tengkuknya dan meraih ciumannya lebih dulu yang sedari tadi ia coba tahan. Adimas melayangkan ciuman lembut sebagai permulaan pagutan di antara keduanya, tangannya masih tak bisa berhenti bergerilya di sekujur tubuh istrinya. Dengan kedua mata yang terpejam demi merasakan cinta yang berusaha saling disalurkan satu sama lainnya disertai nafsu yang semakin membuncah di antara keduanya.

Adimas melumat rakus bibir istrinya sambil terus sesekali menggigit dan menyecapnya, begitupun dengan Pramudina yang mengulum bibir tebal suaminya itu. Saling membasahi bibir satu sama lain membuat keduanya tak mau kalah. Hingga akhirnya Pramudina dibuat tak berdaya dengan permainan lidah lelaki itu di dalam sana. Ia bermain liar dan semakin menggebu hingga perempuan itu akhirnya membalasnya. Permainan lidah semakin memanas, keduanya saling mengisap satu sama lain tanpa celah untuk bebas.

“Engh, Dim,” gumam Pramudina berusaha melepaskan pagutannya secara sepihak. Namun, Adimas tidak memberinya ampun, dia kembali meraup ciuman keduanya namun kali ini tangannya tergerak melepas kancing dress piyama istrinya itu.

Pramudina membuka matanya saat Adimas melepaskan ciumannya, dia berupaya fokus membuka kancing baju istrinya. Begitu lincah jemarinya beraksi sampai semuanya terbuka, tanpa membiarkan baju itu lepas dari tubuh Pramudina, Adimas melanjutkan aksinya.

“Nggak aku lepas ya, dingin.” Adimas berbisik seraya kemudian melumat leher jenjang istrinya. Lidahnya kini berpindah di sekitar sana dan menari-nari menggoda Pramudina. Wanita itu sempat menahan namun cengkraman Adimas begitu kuat pada pinggangnya.

Lelaki itu menjauhkan dirinya sejenak dari istrinya kemudian melepaskan atasannya dan menaruhnya sembarang membiarkan Pramudina semakin bebas menyentuh permukaan atas tubuhnya.

Ciuman lagi-lagi dilayangkan oleh Adimas meski kali ini lebih nakal karena bersarang pada leher dan bahu wanitanya. Tentu desahan istrinya membuat Adimas semakin bergairah. Dia mencengkram leher wanita itu kuat saat ciumannya turun ke bagian dada atas istrinya.

“Sayang,” panggil Pramudina membuat Adimas menatapnya. “Aku takut Kenanga bangun.”

Adimas menggeleng. “Udah, sstt, nikmatin aja ya.”

Pramudina hanya mengangguk dan Adimas lanjut memberikan beberapa kecupan yang membuat roba kemerahan di tubuh istrinya. Pramudina bahkan sudah bisa merasakan sesuatu yang menggelitik di bawah sana saling bersentuhan.

“Aku ada pengaman kok,” kata Adimas.

“Ya udah.”

“Mau lanjut hm?” goda lelaki itu dengan senyuman menyeringai. “Jawab sayang.”

“Dimas, please…”

Adimas menatap iba pada wanita yang memandangnya dengan mata sayu khasnya, ia menggertakkan rahangnya saat Pramudina menyentuh dengan sengaja bagian sensitifnya. Adimas membelai wajah istrinya yang cantik itu dengan lembut sambil perlahan membantu Pramudina turun menghadapnya hingga ia tertunduk pada suaminya di atas sana.

Tangan Adimas dengan gesit melepaskan gesper celana jeans yang masih dikenakannya. Dia menarik tangan Pramudina agar membantunya melepaskan pakaian bawahnya membuat perempuan cantik itu mendongak dengan mata kucingnya. Lelaki itu membelai wajah istrinya lembut dan berhenti memainkan jarinya pada bibir lembab Pramudina yang sejenak membuat wanitanya memejamkan mata.

“Buka mulutnya sayang.”

Wanita yang ada di bawah sana hanya menurut dan membuka mulutnya lebar-lebar hingga suaminya mendorong kepalanya lebih mendekat dan perlahan memejamkan matanya.

“Mami! Papi!”

Adimas menggeram kesal sembari mengerutkan hidungnya dengan mata yang masih terpejam dan dia tampak mengusap wajahnya kasar setelah itu. Sementara Pramudina tampak terkejut mendengar suara ketukan pintu disertai suara menggemaskan yang ada di balik sana hingga dengan segera ia mengancingkan keseluruhan pakaiannya. Dia menatap Adimas sejenak dengan wajah cemberut sambil membelai serta mengecup singkat wajah suaminya.

“Sayang, maaf…”

Adimas menarik napasnya panjang, dia tersenyum tipis dan mengecup bibir Pramudina sambil kembali merapikan pakaian yang dikenakannya. Dia jelas tidak mungkin bisa marah kalau yang mengganggu aktivitas mereka ialah putri tercintanya sendiri, tetapi kalau ditanya kesal atau tidak, ya sudah pasti jawabannya memang ada rasa kesal sedikit-sedikitnya itu.

“Nggak apa-apa, belum rezeki aku, lagi…” Adimas mengembuskan napas kasar.

Belum sempat Pramudina benar-benar berlalu darinya, Adimas menariknya mendekat. “Kalau nggak ada Kenanga, kamu udah habis sama aku, Din.”

Istrinya itu menatapnya sinis dengan bibir yang mengerucut. Adimas tersenyum menyeringai. “Aku tunggu, Sayang.”

“Mami!! Papi! Buka pintunya!”

Adimas kembali menghela napasnya seraya menahan senyuman yang tak bisa hilang melihat betapa polosnya sang anak yang tiada tahu menahu telah menggagalkan rencana indah yang telah disusun sang Ayah malam ini. Meski begitu Adimas tetap gemas dan menghampiri Kenanga yang tampak manja, dia mengangkut tubuh mungil itu dalam pelukannya hingga anaknya begitu nyaman digendong oleh ayahnya.

Pramudina hanya tertawa cekikikan melihat bagaimana kesalnya Adimas sebetulnya, tetapi saat tatapan tajam suaminya itu menjurus ke arahnya, ia langsung bungkam seribu bahasa. “Awas kamu ya, Sayang.”