Rindu
cw // mention of kiss , cuddlings.
“Kamu kenyang?”
Airin memanggut. “Kenyang, aku nggak mau tidur dulu, mau sama kamu.”
“Mau apa?”
“Tidur saja yuk? Kamu memang nggak ngantuk hm?”
Airin mencebikkan bibirnya seraya menggeleng, saat Wira bangkit berdiri, dia merentangkan tangannya pada lelaki itu. Seolah sudah mengerti dengan apa yang diminta oleh istrinya itu, Wira langsung mengangkat tubuh Airin dalam gendongannya dan membiarkan Airin menelusup ke dalam ceruk lehernya. “Kamu ini manja sekali ya.”
“Nggak suka?” Airin berbisik seraya menempelkan pipinya dengan pipi suaminya itu, ia mengendus sesekali.
“Kamu jangan mancing.”
“Nggak, aku emang suka kamu wangi.”
Airin merasakan napas hangat dan memburu Wira kala lelaki itu membaringkannya di atas ranjang, mereka masih dalam posisi saling bertatapan, terlebih Airin enggan melepaskan rangkulannya pada tengkuk suaminya itu.
“Ai,” panggil Wira rendah.
“Hm?”
“Kamu mau tidur atau nggak?”
“Aku mau ikutin kamu aja.”
Wira tersenyum miring seraya mengusap wajah gadis itu dengan lembut, ia melayangkan tatapan yang penuh damba kala matanya bertatapan dengan mata sayu yang akan selalu mampu meruntuhkan hatinya.
“Tidur saja ya, nanti pagi saya harus ke rumah ibu.”
Airin mencebikkan bibirnya. “Aku boleh ikut?”
“Nanti saja ya, saya sebentar kok.”
“Ya udah, terus?”
“Terus apa?”
“Mau cium nggak?”
“Kamu mau saya cium?”
Airin menatap sinis lelaki itu, Wira hanya terkekeh. “Nggak ah, kamu nakal sih.”
“Mas ... tuhkan, marah ya? Sorry.... gue emang salah sih. Gue tuh seben-”
“Sstt, nggak saya gak marah, tapi nanti pagi saja jelasin semuanya ya, saya ngantuk juga ini mau tidur sebentar. Kita tidur ya? Ini posisinya mau begini aja?” kata lelaki itu dengan tawa kecil.
Airin segera melepaskan tangannya yang memeluk leher suaminya itu sehingga Wira kini berbaring di sampingnya, Airin pun mendekatkan tubuhnya lebih rapat pada Wira bahkan hampir menubruk dada lelaki itu.
“Terlalu dekat, jangan.”
“Ih kenapa?”
“Sini, coba kalau mau dekat saya sini.”
Wira mengangkat kepala Airin agar menjadikan lengannya sebagai bantalan tidur sementara perempuan itu akan bisa lebih rapat tidur di sampingnya meskipun Wira akan selalu berdebar jika berada di dekat Airin terlebih kini Airin berusaha menelusup ke dalam dadanya.
“Mas.”
Airin menengadah menatap Wira yang kembali membuka matanya. Sorot mata gadis itu lekat, napas hangatnya menerpa wajah sang suami karena Airin semakin mendekat kala itu.
“Kenapa?”
Airin memejamkan matanya saat jarak antara keduanya semakin menipis sampai akhirnya ranum keduanya kembali bersatu saling menyalurkan rasa rindu juga perasaan yang membingungkan dan menimbulkan keresahan dalam diri mereka masing-masing. Wira yang sangat merindukan Airin membiarkan pagutan antara dirinya dan sang istri berlangsung lebih lama bahkan ia tidak peduli dengan rambut panjang Airin yang berjatuhkan menusuk permukaan kulitnya.
Ciuman yang tidak menuntut, tetapi semakin lama semakin dalam sampai membuat keduanya benar-benar hanyut dalam permainan itu. Wira yang semula hanya memegang erat pinggang Airin akhirnya membiarkan wanita itu duduk di atas perutnya dan membungkuk untuk memperdalam pagutan keduanya.
Kala pagutan keduanya terlepas sepersekian menit untuk saling menghirup oksigen, mereka saling memandang dengan napas memburu.
“Saya janji hanya ini saja.”
Sekali lagi, Wira mendorong tubuh Airin dan mengusap pinggang gadis itu untuk kembali melumat habis bibir istrinya itu, berusaha melampiaskan semua rasa rindu, cinta, amarah, dan hawa nafsu yang ada dalam dirinya sekarang dengan batasan yang tetap berusaha dikontrol oleh lelaki itu.
“Katanya nggak mau, emh,” Airin menyeringai puas kala melepas pagutan keduanya dan menatap Wira.
“Kamu yang goda saya terus, mau ampun apa nggak?”
Airin menggeleng.
Wira menggertakkan rahangnya gemas seiring dengan tangan besarnya yang berusaha mendorong Airin agar maju dan lebih dekat dengannya saat lelaki itu berhasil menutup mulut istrinya dengan ciuman yang dilayangkan. Matanya terpejam seiring dengan jemari Airin yang bergerak dan menari-nari di sekitar perut berbentuk suaminya itu, sampai Airin mendengar Wira berbisik rendah. “Jangan berhenti, saya suka.”