Sambutan Hangat
“Mas… gue takut beneran deh…”
Airin menahan tangan Wira yang hendak mengetuk pintu rumahnya, dia menatap lelaki jangkung di sampingnya itu ragu, sementara yang ditatap hanya tersenyum.
“Jangan takut, ibu bukan hantu, Airin.” Wira terkekeh pelan membuat gadis itu mendelik sebal.
“Gue gak takut hantu ya, Mas, sembarangan lo!”
“Ya iya saya percaya kamu ini pemberani.”
“Gausah ngeledek deh, Mas,” dengus Airin.
Wira terkekeh pelan, lalu dia mulai mengetuk pintu rumahnya itu beberapa kali berharap ibunya segera datang dan membukakan pintu untuknya. “Assalamualaikum, ibu.”
Setelah beberapa saat menunggu, barulah terdengar suara lembut dari dalam sana yang menyahuti mereka. “Waalaikumsalam.”
Tidak lama setelah itu, seseorang membukakan pintu dari dalam sana dengan senyuman lebar yang begitu manis dan tulus. Sorot matanya langsung tertuju pada sang anak yang segera menghaburkan pelukan padanya.
“Ibu bagaimana kabarnya?” tanya Wira seraya membalas pelukan hangat sang ibu.
“Ibu baik-baik saja dan alhamdulillah kamu pun sepertinya baik-baik saja ya.” Diana melepaskan pelukannya pada sang anak, lalu dia melirik pada seorang gadis yang berdiri di samping Wira seraya mengangguk sopan. “Apalagi kamu datang ditemani gadis cantik ini.”
“Airin … boleh ibu memelukmu?” tanya Diana, Airin langsung mengangguk dengan senyuman, segera Diana memeluk gadis itu. “Senang bisa bertemu denganmu, kamu cantik, sangat cantik jika bertemu aslinya. Kau tau, kau cantik seperti ibumu.”
“Tante juga cantik, kayak …” Airin melirik Wira yang menahan senyuman, lalu Diana melepaskan pelukannya dan mengusap wajah Airin.
“Kayak Wira gitu?”
“Bukan gitu sih, Tan, tapi biasanya kalau ibunya cantik pasti anaknya ganteng kayak …”
Diana tertawa kecil melihat Airin menggoda sang anak, lihat saja Wira langsung menunduk dan enggan menatap balik Airin. Diana menggandeng tangan Airin. “Kamu bagaimana kabarnya? Sungguh, ibu senang bisa bertemu denganmu, Airin.”
“Aku baik, Tan, aku juga seneng bisa ketemu tante cantik.”
“Panggil ibu aja ya?”
Airin pun mengangguk, “iya, ibu.”
Diana menoleh pada Wira dan Airin secara bergantian. “Maaf jika kalian tadi menunggu lama, ibu sedang menerima telepon saat sedang masak tadi.” Diana melirik Wira. “Telepon dari tante Mirna, dia ingin bicara dengan kamu tentang Mahesa, Wir. Nanti kamu hubungi dia ya?”
Wira pun mengangguk. “Iya, Bu.”
“Ya sudah, ayo masuk.”
“Airin mau makan sekarang? Takutnya Wira lama, dia sedang menelepon bibinya dulu.”
“Nanti aja, Tan, eh, Bu. Aku masih belum lapar kok.”
“Ya sudah, kita mengobrol dulu saja ya, ini ada bolu kamu coba deh ini buatan ibu.”
“Mas Wira suka cerita katanya ibu ini hobi masak, apalagi bikin kue.”
Diana tersenyum pada gadis yang duduk di sampingnya itu. “Coba ayo.”
“Aku coba ya, Bu.”
Airin pun memakan kue yang sudah disajikan di atas meja ruang tamu tempat mereka mengobrol sekarang ini, dia langsung menyantapnya habis. Dia menatap Diana dengan mata berbinar. “Ibu enak banget! Ini kayak ada rasa pisangnya gitu tapi ada karamelnya juga ya?”
“Iya, betul, itu namanya bolu pisang karamel. Iseng saja buat, ibu kalau bosan ya begitu. Kau suka?”
“Suka, suka banget! Enak banget, Bu. Kenapa gak buka toko kue aja, Bu?” “Sudah buka kok, tapi di Bandung.”
Airin membuka mulutnya seraya manggut-manggut. Diana kembali bersuara. “Sama adik ibu, tante Mirna namanya, dia tinggal di Bandung sama ibu. Dia juga meneruskan toko ibu saat ibu pindah kesini. Sebenarnya berat juga, tapi ibu sudah percaya padanya, toh dia juga sudah tahu resep-resep kue buatan ibu dan alhamdulillah semuanya masih jalan sampai sekarang. Ya memang sih ibu masih suka kangen bahkan kadang ibu suka pengin balik ke Bandung tapi Wira sendirian di sini nanti.”
“Ah, maaf Airin … ini jadi ibu yang banyak bercerita, kamu mau bercerita juga?”
“Nggak apa-apa ibu, aku seneng denger cerita ibu. Ibu aja dulu yang cerita.”
Diana tersenyum, “sambil makan saja kue yang kamu ingin, itu ambil saja ya kalau mau, jangan malu-malu seperti Wira.”
Airin mengangguk seraya terkekeh pelan sebelum Diana kembali bercerita. “Jadi, tante Mirna itu punya anak lelaki namanya Mahesa, sebenarnya dia anak yang baik dan penurut meskipun ya namanya juga remaja pasti ada saja sisi nakalnya, bukan? Nah, tadi itu tante Mirna menelepon ibu karena Mahesa itu habis bertengkar sampai ibunya dipanggil ke sekolah. Kasihan juga memang. Mahesa itu sangat dekat dengan Wira, Airin. Biasanya jika kata-kata ibunya sudah tidak didengarnya, hanya Wira yang mampu berbicara dengannya, dan Mahesa pasti mau mendengarkan Wira.”
Airin masih mendengarkan cerita ibu dengan serius, lalu wanita setengah paruh baya itu kembali berucap. “Jadi, Mahesa sudah kehilangan sosok ayah sejak dia kecil, Setelah Tante Mirna dan suaminya bercerai, suaminya itu menghilang dan tidak lagi menemui mereka berdua. Itu pasti sangat sulit bagi mereka tapi ibu salut sama kekuatan mereka.” “Mahesa sudah besar ibu?”
“Dia kelas 3 SMA, Airin. Anaknya pendiam tapi jika sudah sama Wira dia tuh senang, makanya dulu Wira sering ke Bandung untuk menjenguk ibu sehingga Hesa juga senang jadinya. Mereka itu sangat dekat sampai akhirnya Wira pindah untuk melanjutkan pendidikan dan karirnya. Mahesa jelas sangat terpukul dan sedih kala itu.”
“Pasti nanti Wira akan bercerita tentang Mahesa dan mengenalkannya padamu.”
Airin tersenyum dan mengangguk, entahlah mendengar cerita ibu tidak membuatnya bosan sama sekali sebab Diana begitu menyambutnya hangat, belum lagi suaranya yang lembut membuat Airin nyaman mendengar semua ceritanya. Baik Wira maupun sang ibu rupanya sama-sama sempurna di matanya, dia juga hampir tidak percaya bisa dipertemukan dengan orang-orang yang sangat baik seperti mereka berdua.