“Saya aneh, ya?”

Sore itu mobil Wira sudah terparkir di halaman sebuah restoran, lelaki itu akhirnya dapat menghela napasnya lega karena telah beberapa jam terperangkap dengan suasana canggung saat berada di apartemen Airin. Wira benar-benar tak biasa berduaan dengan perempuan terlebih lagi ia baru saja kenal dengan Airin, tapi yang paling menjengkelkan saat gadis itu terus menerus menggodanya. Ah, untung saja Wira bukan lelaki sembarangan, dia masih bisa menahan segala fantasi liar yang mungkin jika lelaki lain yang ada di posisinya akan sulit untuk itu.

Wira masih diam di posisinya, kedua tangannya masih memegang stir mobil, dia menoleh sekilas namun sialnya Airin mengetahuinya dan terkekeh pelan. “Kenapa sih, Mas? Gue gak kemana-mana kok, ada di sini.”

Wira terdiam sejenak, dia menarik napasnya, memberanikan untuk menoleh sejenak pada Airin. Tidak disangka gadis itu malah tengah membuka jaket yang tadi dikenakannya, sontak Wira membuang mukanya lagi.

“Airin.”

“Hmm?”

“Topi saya.”

Airin tidak merespon apapun selain memandang Wira yang enggan menatapnya, untung saja dia selalu punya ide jahil untuk menggoda lelaki kaku sekaligus polos itu. Airin pun menepuk lengan Wira, dia mendekatkan dirinya dengan lelaki itu dan saat Wira tampak terkejut saat menoleh pada Airin. Airin menunjuk topi yang ada di kepalanya. “Ambil nih, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah saat matanya tak sengaja bertemu dengan Airin, lelaki itu lalu mengerjapkan matanya beberapa kali, membuat Airin gemas melihat Wira. Airin mengulum senyumnya, dia menaikkan alisnya. “Masa lo salting terus sih, gimana nanti kalau kita beneran nikah, Mas?”

Wira sontak menggeleng, “saya tidak salting.”

“Terus apa?”

“Saya bingung.”

“Kenapa bingung?”

“Tidak tau, semuanya terasa asing.”

“Mas bener-bener engga pernah deket sama perempuan?”

“Teman biasa saja.”

“Kalau sama gue teman tapi mesra gitu?” Airin menaikkan alisnya sebelah, senyumannya menyungging. Melihat ekspresi Wira yang begitu gemas, ia rasanya tidak tahan untuk tidak tertawa. “Kok mas gak larang gue?”

“Larang apa?”

“Gue pake baju begini,” ujar Airin. Dia memang hanya memakai tanktop hitam dengan bawahan celana jeans, Airin sudah melepaskan cardigan yang tadi sempat dia pakai. Airin pikir Wira akan memarahinya atau melarangnya untuk berpakaian begini. “Bukannya tadi lo suruh gue pakai jaket?”

Wira tersenyum teduh, dia menggeleng. “Tidak, itu hak kamu, saya bukan siapa-siapa kamu, saya tidak ingin melarang apa yang kamu senang juga. Tadi saya melarangnya karena itu demi kebaikan saya, saya tidak ingin terjadi hal-hal lain, bukan berarti saya berpikiran macam-macam tetapi saya hanya ingin menjaga pikiran saya karena bagaimana pun saya ini lelaki, Airin, kita hanya berdua saja tadi.”

“Jadi mas lebih rela kalau gue dipertontonkan orang lain daripada mas sendiri?”

“Bukan begitu, Airin. Saya tidak mau menyinggung perasaan kamu, saya mungkin memang lebih senang jika kamu tidak mengenakan pakaian terbuka tetapi jika kamu memang senang dengan apa yang kamu lakukan, saya tidak akan melarang, tapi jika begitu saya ingin berada di dekat kamu Airin.”

Airin tidak merespon apapun. Dia terdiam saat memandang Wira yang tidak berhenti membuat hatinya teduh. Wira membuang mukanya sejenak, tidak sanggup berlama-lama menatap Airin. “Kamu pakai saja topinya kalau suka.”

“Buat gue, Mas?”

“Iya untuk kamu saja.”

Airin terkekeh pelan, “kalo mas-nya buat gue boleh?”

Wira menoleh pada gadis itu. “Kamu duluan saja, saya mau salat dulu.”

“Katanya engga mau ninggalin gue, gimana sih, Mas?”

“Maaf, saya hanya ingin salat ashar.”

Airin tertawa. “Hahaha, bercanda, Mas. Ya udah gue pesen makanan ya, mas mau apa?”

“Ya sudah, saya antar kamu dulu, ayo.”

Airin tersenyum. Dia mengamati Wira yang keluar dari mobilnya dan tiba-tiba membukakan pintu mobil untuk Airin yang sebenarnya juga tidak perlu diperlakukan seperti itu. Airin pun keluar dari sana, dia melirik Wira seraya menyodorkan telapak tangannya. “Mau pegangan?”

“Sepertinya tidak usah. Kita tidak akan menyebrang, kan?” tanya Wira polos.

Airin memutar bola matanya malas lalu berjalan mendahului lelaki yang kini tampak menyugar rambut hitamnya ke belakang dan menampilkan dahi mulusnya yang membuatnya semakin tampan. Wira berlari kecil agar ia bisa berdampingan dengan Airin. “Kamu malah meninggalkan saya.”

“Airin,” panggil Wira.

“Hm?”

“Saya aneh ya?” tanya Wira.

Airin melirik Wira dan berhenti sejenak membuat lelaki itu mau tidak mau menatapnya juga. “Aneh ... tapi, gue suka.”

Wira tersenyum tipis.

Ibu, tolong aku...

■ ■ ■