Selembut Kapas

cw// mention of kiss


“Mas bisa berhenti liatin aku kayak gitu nggak?”

Perempuan dengan mata sembab dan hidung merah itu tampak sebisa mungkin menyeka sisa tangisannya sedari tadi yang mulai mereda sejak kedatangan sosok lelaki berbadan kekar di sampingnya. Airin memang sedang tidak memiliki kondisi mental yang stabil semenjak kehamilannya, seperti sekarang ini dia baru saja berhasil mengalahkan egonya untuk membiarkan Wira masuk ke dalam kamar.

Setelah perdebatan dengan batinnya—yang menuntut agar dia terus bersikeras menahan diri untuk dekat dengan suaminya itu gagal, Airin sempat terdengar terisak dengan napas yang tersenggal-senggal. Wira enggan untuk mendekatinya lebih dekat sebelum Airin benar-benar telah menumpahkan seluruh tangisannya itu. Airin mulai mereda, barulah suaminya datang menghampiri dan bergabung dengannya di ranjang. Ia menatap Airin dengan serius tanpa berkedip, membuat sang Puan mendadak salah tingkah dan kikuk.

“Saya nggak ngerti, dalam keadaan nangis begini kamu tetap cantik.”

“Mas diem deh,” sinis Airin berusaha menghalau godaan suaminya.

“Kamu sudah nangisnya?” tanya Wira lembut. Wira menggerakan tangannya menyentuh surai wanita itu, dia melihat terlebih dahulu respon sang Puan, rupanya Airin tak bergeming. Lelaki itu pun mengusap surai wanitanya yang cantik itu. “Sudah, capek nangis terus, sini kamu boleh marah-marah, kesal, atau kalau mau luapin apapun itu ke saya boleh.”

Wira mengangkat tubuh perempuan itu dalam pangkuannya, Airin tidak banyak memberontak, dia malah langsung menyembunyikan wajahnya di dada suaminya. “Maaf.”

Wira tidak banyak berbicara, dia hanya memeluk Airin erat seraya terus membelai rambut panjang sang istri. Saat isak tangis mulai terdengar, Wira pun semakin mengeratkan pelukannya pada wanitanya itu. Dia membisikkan kata-kata manis seolah menjadi mantra-mantra yang dapat menenangkan istrinya. “Sayangku yang cantik, permata indah yang tidak akan saya temui di mana pun, kamu boleh kok cerita apa yang kamu rasain pada saya bahkan itu sifatnya wajib kalau bagi saya. Karena saya bukan seorang peramal yang bisa tau bagaimana perasaan kamu, saya manusia biasa, Airin. Mungkin jika kamu menutut saya untuk bisa selalu memahami kamu saya akan berusaha, tapi saya juga perlu kamu bicara tentang apa yang kamu mau karena saya bukan orang yang bisa menebak isi hati seseorang...”

“Kalau kamu terus kayak gini, saya bingung, tapi saya nggak pernah kesal kok sama kamu. Saya cuma sedih kalau kamu kayak gini ke saya, saya takut kalau selama ini ternyata saya emang gagal jadi suami yang baik untuk kamu. Saya minta maaf ya...” Wira merenggangkan pelukannya pada Airin, pandangannya menyorot pada mata berlinang sang Istri. “Mulai sekarang, kalau kamu ada sesuatu yang ingin kamu utarakan, tolong bilang ya? Saya nggak mau lagi kamu kayak gini, saya gak ingin kamu bersikap dingin sama saya... Bantu saya untuk jadi suami yang terbaik buat kamu ya, Ai.”

“Maafin aku, aku yang salah,” cicit Airin dengan sisa isakkannya, dia mengeratkan pelukannya pada leher suaminya. “Aku juga nggak tau kenapa aku jadi gini, aku gampang sensitif dan makin cemburuan, padahal kamu nggak ngapa-ngapain. Cuma aku gak suka aja kamu jadi pemandangan indah yang dilihat wanita lain.”

Wira tersenyum miring. “Oh, jadi akar masalahnya cemburu hm?”

“Mas!” Airin mendelik sebal, dia mendorong dada bidang lelaki itu erat dan berusaha menjauh tetapi Wira tak melepasnya begitu saja. “Udah, aku capek, mau tidur.”

“Ih kok kamu begitu? Saya masih nunggu penjelasan kamu.”

“Itu udah!”

“Belum puas.”

“Mas...”

“Iya iya maaf, saya bercanda, Sayang. Habis saya kangen kayak gini sama kamu, sudah berapa hari kamu menghindar terus? Nggak sedih lusa saya tinggal terbang lagi?” Wira mengusap wajah Airin yang basah bekas tangisannya. “Kamu emang nggak sayang saya ya?”

“Kok ngomongnya gitu?” Airin cemberut, “kamu jadi nuduh aku gitu.”

“Saya nanya, nggak nuduh...”

Wira terkikik geli, senang bisa puas menggoda istrinya yang padahal sedang sensitif itu. Beberapa hari ini Airin banyak bersikap dingin padanya, bahkan untuk memeluk saja harus menunggu wanita itu tertidur lelap. Untung saja suaminya itu punya sifat yang selembut kapas dan kesabaran yang tanpa batas menghadapi perilaku istrinya yang berubah-ubah. Dia selalu bisa mengatasi bagaimanapun perilaku istrinya padanya, tak pernah sekalipun mengeluh atau marah, sebab cintanya kalah besar pada kekasih hatinya itu.

“Ya sudah, saya nggak mau kamu makin marah karena saya godain terus. Hmm, tapi, apa boleh saya meminta dua hal sama kamu, Ai?”

“Apa?”

“Kamu harus janji sama saya untuk selalu bilang tentang apapun yang kamu rasakan, apapun isi hati kamu, dan apa yang kamu pikirkan kepada saya. Saya mohon...”

Airin mengangguk pelan. Wira pun menangkup kedua sisi wajah istrinya. “Yang kedua, malam ini saya mau kamu tidur begini di pelukan saya.” Senyuman sungging yang semakin membuat ketampanan pria itu nyaris melelehkan mata Airin, belum lagi dahi mulusnya terpampang di antara rambut belah tengahnya yang sedikit berantakan. Ketampanan yang paripurna tanpa banding milik suaminya tercinta, Prawira Nugraha. “Mau 'kan?”

“Diam artinya setuju,” tambah Wira.

Cuddlings time! Jantung Airin berdebar kencang melihat bagaimana lelaki yang entah kenapa malam ini sangat tampan itu hanya berjarak beberapa senti darinya. Wira membiarkan Airin berada di atasnya dengan membelakanginya, ia memeluk tubuh wanita itu dari belakang. Ia tidur setengah berbaring karena berusaha membuat Airin nyaman di pelukannya dengan bantal yang ditaruh di dadanya, tanpa peduli punggung yang akan terasa pegal bersandar ke kepala ranjang.

“Kamu nggak sakit badannya?” tanya Airin.

“Kamu sudah enak tidurnya?”

“Aku nanya kamu, Mas.”

Wira mengusap perut Airin penuh sayang, ada sesosok cinta yang ia nanti-nanti kehadirannya di bumi ini, calon anaknya. Ia tersenyum. “Saya yang nanya kamu, apa tidurnya sudah nyaman?”

“Sudah, Ayah!” Airin menyahut pelan sambil mengelus perutnya dan mendongak menatap suaminya.

Wira menarik dagu wanitanya sedikit. “Saya boleh cium kamu?”

Tanpa ada jawaban, Airin bergerak mengangkat kepalanya mendekat pada Wira dan meraih bibir suaminya lebih dulu. Tangan suaminya membelai wajah istrinya, begitu pun Airin yang meremas pelan rambut Wira. Dua insan yang mabuk oleh hasrat dan cinta itu saling mencumbu satu sama lain, tak ada rasa ingin kalah, pagutan keduanya berlangsung penuh harmoni. Dalam napas yang terengah-engah, Wira berbisik pada Airin. “Nggak ada yang bisa ngalahin hebatnya permainan kamu yang selalu jadi candu bagi saya. I love you.”