Sesak dan Isakan.
Sebenarnya Alana tidak mau menghampiri Arion yang sudah memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, lelaki itu memang sempat ditawarkan masuk ke dalam oleh bundanya Alana tetapi dia tidak mau karena dia hanya ingin bertemu Alana. Alana terpaksa keluar untuk menghampiri Arion di tengah emosi yang masih membuncah karena lelaki itu sangat keras kepala. Alana terdiam melihat wajah kusut Arion yang penuh penyesalan saat memandangnya.
Arion tersenyum miris, sementara yang ditatap malah membuang mukanya, mata Alana tidak bisa berbohong jika dia habis menangis.
“Ke mobil sebentar yuk?” ajak Arion.
“Di sini aja.”
“Sebentar. Gak enak kalo orang rumah denger, ada yang mau aku bicarain.” Arion menyentuh pergelangan tangan Alana namun dengan lembut gadis itu menepisnya. Arion menghela napasnya. “Ayo.”
Alana pun melangkah terlebih dahulu yang disusul Arion saat mereka masuk ke dalam mobil lelaki itu. Alana terus memalingkan pandangannya dari Arion seolah-olah dia tidak mau kontak mata dengan lelaki itu. Dia terlihat sangat marah pada Arion.
“Jangan lama-lama,” kata Alana.
Arion menghela napasnya panjang, dia menolah pada gadis yang tampak memandang ke arah jendela, dia menepuk bahu Alana. “Liat aku.”
Alana menggelengkan kepalanya dan menepis tangan Arion sehingga lelaki itu tampak mendesah pasrah. “Na ...”
Arion bisa melihat gadis di sampingnya itu tampak langsung menutup wajahnya, tak lama ia mendengar suara tangisan Alana yang membuatnya merasa bersalah. Arion mendekatkan dirinya pada Alana, mereka duduk di bangku belakang mobil sehingga Arion bisa menjangkau gadis itu dengan mudah. “Hey, jangan nangis...”
“Alana, maaf...” Arion menangkup kedua wajah Alana, sesekali dia akan menyeka air mata gadis itu, lelaki itu tidak tahan melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu. Arion pun menempelkan dahinya dengan dahi gadis itu, dia memejamkan matanya lama lalu mengecup dahi Alana lembut. “Maafin aku...”
Alana tidak menjawab, dia masih merasakan sesak di dadanya karena emosi yang membuncah dalam dirinya seolah terluapkan sekarang. Alana menjauhkan dirinya dari Arion, dia memalingkan pandangannya lagi sambil berusaha menahan tangisannya, napasnya tersenggal-senggal saat ia mulai bicara, dia melirik Arion dengan senyum tipis. “Kita cukup sampai sini aja ya? Kalau dilanjut akan saling menyakitkan.”
Arion tidak menjawab, dia masih terdiam dengan tatapan kosong sampai akhirnya ia tampak menutup wajahnya sambil menundukan kepalanya. Arion merasakan dadanya begitu sesak sekarang, diam-diam lelaki itu menangis, meskipun isakannya tidak terdengar oleh Alana.
“Aku belum baik untuk kamu, aku bukan yang terbaik,” ucap Alana.
Arion menengadah lagi sambil mengusap wajahnya kasar dengan mata memerah, dia menatap Alana dan menggeleng. “Engga, ga ada kata selesai. Tarik ucapan kamu barusan.”
Alana memandangi Arion, lelaki itu mengeluarkan air mata, terang saja Alana terkejut melihat Arion menangis karenanya. Arion memegang kedua tangan Alana dan mengusap matanya yang berlinang. “Aku minta maaf, please, kasih aku kesempatan lagi, aku mohon... Alana aku sayang kamu, aku gak bisa kehilangan kamu. Aku akan berusaha untuk bisa menjaga emosi aku, aku coba buat berubah jadi lebih baik lagi. Aku mohon, Na.”
Alana sejujurnya juga tidak mau hubungannya berakhir dengan Arion, tetapi dia juga tidak mau terjebak dalam hubungan percintaan yang tidak baik seperti ini. Ia merasa ini terlalu toxic untuk dijalani, namun di sisi lain, ia masih membutuhkan Arion di sampingnya. Alana bisa melihat bagaimana ketulusan lelaki itu saat ini, meski dia sempat kecewa dengan kata-kata kasar lelaki itu dari pesan chat tadi. Alana mengusap wajah Arion dan menyeka air mata lelaki itu lalu dia memeluk Arion erat. Pelukan itu semakin erat saat Arion membalasnya dan menumpahkan semua isakannya di ceruk leher gadis itu. Dia berbisik pelan. “I love you... Maafin aku, Alana.”