Sisi Lain
Pandangan yang sudah semakin berkunang-kunang, kepala yang semakin pening, dan badan yang terasa lemas rupanya tidak membuat Airin—yang baru saja ditinggal oleh Nathan dari lantai dansa setelah lelaki itu pamit entah kemana—berhenti menari di tengah lantai dansa bersama teman-temannya yang lain. Matanya sebenarnya masih terus memandang ke sekeliling untuk mencari sosok suaminya setelah tadi ia mendapat pesan yang seolah mengungkapkan bahwa Wira sedang ada di sekitar.
Airin tanpa berhenti meliukkan tubuhnya kala mengikuti alunan musik dari sang dj terus menyipit kala mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sebenarnya agak sulit karena itu terhalangi oleh banyak orang di sana, belum lagi penglihatannya mulai kabur pula.
Sebenarnya Airin setengah percaya dan tidak, tetapi dia seolah berusaha meyakinkan dirinya dengan terus melihat-lihat sampai akhirnya suara dua perempuan asing yang berpakaian minim di sampingnya tampak mengalihkan perhatiannya dengan pembicaraan keduanya.
“Tau gak sih? Tadi gue nemu cowok seragaman, keren, ganteng, badannya … beuh, gue tuh udah nawarin, tapi sial jual mahal banget itu cowok,” kata si perempuan berambut pirang. “Tapi parah cakep banget, doi pilot, Beb, bayangin gimana gue nggak ngiler sih? Tadinya gue mau deketin tapi pas gue cari lagi itu orang ngilang…”
“Anjir, gue tau! Gue juga ngeliat dia, bahkan lo tau gak? Yang gokil, dia nanya ke gue woy!”
“Hah nanya apaan anjing??”
Si perempuan berambut hitam pekat berponi, langsung memutar bola matanya malas. “Masa dia nanyain mushola anjir? Katanya belum salat isya, hadeeeh, ya mana gue tau? Emang di tempat begini ada mushola?”
Mereka berdua pun tergelak tawa, namun samar-samar Airin bisa mendengar dengan jelas perbincangan kedua perempuan itu. Airin menatap mereka dengan sinis lalu dia kembali memandang ke sekeliling, kakinya berjinjit dan sesekali membuka ruang yang menutupinya.
Berseragam? Pilot? Wira?
Airin kembali meraih ponselnya dari dalam tas, namun kala ia mencoba menghubungi suaminya itu, ponsel Wira malah tidak aktif, berakhir membuat Airin kembali jengkel.
Hati Airin sebenarnya ingin berteriak saat itu juga, tetapi rasanya ia tidak ingin terlalu memedulikan tentang suaminya itu, meskipun jujur saja dia masih mencari-cari keberadaan Wira sekarang. Airin berusaha mengalahkan rasa itu dengan menutupinya dengan segala kekesalannya sekarang, ia kembali masuk ke dalam kerumunan dan menari seraya meneguk botol wine dalam genggamannya, tidak peduli berapa liter yang mungkin sudah mengalir di dalam tubuhnya.
Perempuan itu menari dan menikmatinya sendirian meskipun di tengah keramain seperti ini, dia seolah berusaha hanyut dengan efek minuman hangat yang mulai mengurangi kesadarannya, terlebih saat ada seorang lelaki dewasa yang jelas lebih dewasa tampaknya dari suaminya tiba-tiba menghampirinya dan menari bersamanya dengan seringaian yang membuat Airin mendecih.
“Lo siapa anjing? Gak usah ganggu gue!”
Airin mendorong lelaki itu yang semakin mendekat padanya. Pria berkumis itu tampak tersenyum menggoda. “Aku mau temani kamu aja kok, mau, kan?”
Airin bergedik geli, dia sesekali terpejam lalu memutar bola matanya jengah. “Najis, tau najis? Gue udah punya suami!”
“Masa sih? Nggak percaya tuh aku,” ujar pria itu.
“Jauh-jauh lo,” ujar Airin yang terus menahan lelaki itu mendekat.
Pria itu rupanya masih jauh lebih kuat dan dia berusaha memanfaatkan kondisi Airin yang tidak sepenuhnya sadar itu, dia mengamati ke sekeliling, tangan kuatnya melepaskan dorongan Airin, dan dengan santainya meraih pinggang gadis itu.
“Anjing lepasin gue!”
Airin sebisa mungkin memberontak dalam ketidaksadaran, lelaki itu bahkan hampir benar-benar memeluk Airin sampai akhirnya kedatangan seorang pria ke tengah lantai dansa yang menarik Airin menjauh dari lelaki mata keranjang tadi, pria dengan seragam pilot yang masih melekat di tubuhnya. Wira menatap Airin dengan rahang yang menggertak.
“Bajingan! Beraninya kamu sentuh istri saya!”
Wira menarik kerah lelaki itu, matanya menyorot penuh amarah, tatapan elangnya begitu menusuk, bukan seperti Wira yang biasanya menatap Airin dengan tatapan teduh dan tulus. Napasnya menggebu kala ia memberikan pukulan keras di rahang pria itu sebanyak dua kali dan beralih memberikan sikutan pada perut lelaki tadi dengan penuh tenaga.
Hanya itu, dia benar-benar berhenti sampai di situ apalagi saat melihat tidak ada perlawanan dari lelaki bajingan itu. Wira menarik napasnya perlahan, dia melihat suasana di sekelilingnya yang mulai kacau bahkan seluruh perhatian teralihkan padanya terlebih banyak dari mereka yang pasti menggunjing tentang dirinya.
“Kamu! Saya akan ingat wajah kamu, Brengsek!”
Wira menunjuk lelaki yang kini meringis kesakitan itu, hanya sebentar karena ia langsung menghampiri Airin yang tampak terkejut dengan kehadirannya, belum lagi gadis itu menutup wajahnya. Tatapan Wira kembali melebur, dia benar-benar langsung merangkul tubuh istrinya dan mengusap rambut Airin. “Sayang, kamu nggak apa-apa? Maafin saya, saya baru menghampiri kamu…”
“Jangan menangis… Maaf.” lirih Wira.
Airin terisak. Dia enggan memperlihatkan wajahnya yang ditutupi oleh tangannya. Wira terus memeluknya dan membawanya pergi tanpa ia sadar kalau Nathan baru saja berpapasan dengannya tadi. “Kita pulang.”