Terbuai cw// mature scene
“Itu baju kamu mau saya yang benerin atau kamu yang benerin?” ucapan Wira kali ini penuh penekanan setelah melihat sang istri yang memakai mini dress yang memperlihatkan dadanya bagian atas, perempuan itu sedari tadi tampak acuh dengan perkataan suaminya yang berulang kali memperingatkan pakaiannya yang terlalu minim itu. “Saya gak suka kamu pakai baju itu.”
“Ya udah, aku buka aja ya?” Airin mengangkat pandangannya pada Wira yang sedang duduk di hadapannya, wanita itu seolah mencoba menantang suaminya karena mulai jengah dengan omongan Wira yang berulang kali ia dengar.
Wira menatap Airin dengan serius beberapa saat, tatapannya begitu mengintimidasi Airin sampai akhirnya wanita itu menundukkan kepalanya dan berusaha membetulkan pakaiannya yang sebenarnya pun hasilnya nihil karena memang modelnya yang dibuat seperti itu.
Airin langsung takut melihat tatapan intimidasi yang jarang sekali ia dapatkan dari suaminya itu, dia pun kembali melanjutkan memakan makanannya.
Hari ini ialah hari kedua Airin berlibur bersama suaminya yang baru menerima masa cutinya yang kurang dari 15 hari. Sebenarnya ini semua tidak sepenuhnya menjadi liburan bagi mereka karena mereka pun datang untuk mengunjungi bisnis Wira di Bali yang sudah lama tak dikunjungi.
Tentunya Arsena tidak ikut bersama mereka karena banyak alasan terlebih mereka pun punya urusan yang penting di sini dan terpaksa tidak membawa sang putra, mereka merasa bahwa Arsena akan lebih aman jika berada dengan sang nenek dan juga Ramzy yang akan menemani serta menjaganya. Lagipula mereka tidak akan lama di Bali dan terus menghubungi baik Ramzy maupun ibunda Airin untuk mengetahui kabar sang anak.
Wira yang sudah selesai memakan makanannya kembali memandangi sang istri yang masih fokus menghabiskan makanannya, ada rasa menyesal telah sedikit keras dengan Airin tapi ya tahu sendiri bahwa istrinya itu memang senang mengabaikan perkataan suaminya yang menurutnya bukan masalah besar, itu yang terkadang membuat Wira jengkel.
Wira dengan tatapannya yang penuh intimidasi akan memandangi beberapa lelaki yang menatap istrinya terus menerus karena ia tidak suka melihat Airin menjadi tontonan lelaki-lelaki asing yang pikirannya tidak dapat ditebak.
“Sudah selesai, kan? Ayo pulang.”
“Kok pulang?” Airin mengernyit memandang Wira. “Kamu bilang mau belanja dulu?”
“Gak jadi, saya ngantuk.”
“Ya udahlah terserah.”
“Jangan pergi duluan, tunggu saya.” Cegah Wira saat Airin dengan tatapan tajamnya sudah mencoba mengalihkan pandangannya langsung dan hendak pergi, namun Wira segera bangkit terlebih dahulu kemudian lelaki itu menarik pergelangan tangan Airin keluar dari sana.
“Mas kamu apa-apaan sih, gak usah kenceng-kenceng megangnya!”
Airin menepis genggaman tangan Wira, dia menatap suaminya itu dengan mata yang tampak lembab. Ia sebenarnya kesal dengan suaminya yang belakangan ini kerap posesif padanya, entahlah sejak kapan Wira berubah, meski Airin tahu itu terjadi karena suaminya sangat mencintainya tetapi tetap saja itu cukup menyebalkan baginya.
“Maaf, maaf Airin saya nggak bermaksud. Mana yang sakit? Apa saya terlalu kencang? Ya ampun sayang maaf...” Wira menghela napasnya panjang, dia berusaha menarik Airin ke dalam dekapannya namun Airin menghindarinya. “Ai, maaf, saya berlebihan ya sama kamu? Maaf saya nggak bermaksud, bahkan saya nggak sadar... cemburunya saya sudah kelewat batas rupanya... Maaf.”
Airin berusaha menahan isak tangisnya, Wira menatap perempuan itu sendu dan penuh rasa bersalah. “Sayang, maaf...”
“Aku mau pulang.”
“Ya sudah, kita pulang ya, selesaikan di rumah saja. Saya boleh pegang kamu? Jangan nangis...”
Wira mendekati Airin dan menarik istrinya ke dalam dekapannya, dia merangkul erat pinggang istrinya dan satu tangan yang lain menggenggam tangan istrinya dan membelainya penuh kasih seraya berjalan mencari taksi untuk membawa mereka pulang di tengah keramaian kota ini.
“Airin, saya sayang kamu.”
Wira menatap Airin sekilas dan mengecup pucuk kepala wanita itu lembut, mencoba menenangkan perasaan takut istrinya saat itu, ia sama sekali tidak bermaksud untuk kasar atau bahkan membuat Airin takut tetapi rasa cintanya yang semakin dalam mendorong tindakan spontan itu semua keluar dalam dirinya yang semakin membuka sifat asli Wira yang sedikit posesif dan memiliki dominasi yang kuat mempengaruhi istrinya itu. Terkadang menakutkan, terkadang menaklukan.
—
Suasana malam ini cerah dihiasi bintang-bintang yang menyinari cakrawala dan terpampang indah melalui balik kaca jendela yang menampilkan layout pesisir pantai Kuta kala itu, angin terus berhembus kencang melalui setiap celah yang ada hingga mampu menusuk ke dalam tubuh menimbulkan hawa dingin yang seketika mendesir di sekujurnya.
Hawa dingin itu serta merta membuat Airin enggan untuk menyia-nyiakan pemandangan indah itu yang memanjakan netra, belum lagi keheningan yang begitu khidmat membuatnya terlena dan tanpa sadar memeluk tubuhnya sendiri demi menahan terpaan angin yang mendesak masuk. Ia berdiri di depan pintu balkon kamarnya dengan rambut hitam panjang yang terus bergerak seiring dengan hembusan angin yang menerpanya.
Perempuan itu mencoba menutup mata sejenak demi merasakan lebih dalam keheningan malam yang tenang ini sampai ia berkejap saat tangan besar mengalung di sekitar lehernya beriringan dengan benda kenyal yang tebal menempel di dekat telinganya. Airin menoleh sedikit, suaminya yang semakin mengeratkan pelukannya ada di belakangnya. Ia tersenyum menyambut kehangatan yang baru saja ia rasakan setelah lelaki itu meraih tubuh Airin berbalik mendekapnya.
“Kenapa belum tidur, hm?”
“Nungguin kamu,” jawab Airin lembut. “Kamu yang dari tadi cuek sama aku, padahal kamu sempet minta maaf sebelumnya.”
Wira mengusap pinggang Airin lembut, “sayang, maaf... saya nggak bermaksud untuk bikin kamu nunggu.”
“Jangan minta maaf,” ucap Airin, ia mendongak menatap nanar Wira yang teduh sedikit sendu. “Kamu lagi kenapa? Jawab yang jujur sama aku. Aku nggak pernah denger kebohongan kamu apalagi sampe kamu nutupin sesuatu, sebenernya kenapa sama kamu? Kamu sadar nggak kalau kamu jadi beda?”
“Saya seratus persen sadar dan saya tidak ada pembelaan apapun, maafin saya, Airin. Saya sekarang terlalu berposesi terhadap kamu, saya ingin melindungi kamu lebih. Saya trauma. Jujur saja. Saya takut kalau kamu ..., kamu tau, Ai, soal beberapa waktu lalu kamu dilecehkan sama pihak staff agensi kamu, itu buat saya marah dan saya benci saya nggak bisa lindungi kamu. Maaf. Saya malu sama diri saya sendiri dan saya terpukul. Kamu tahu? Sakit hati saya ini bukan main, Airin. Benar-benar hati saya hancur...”
Airin mulai terbawa suasana sampai wanita itu membalikkan tubuhnya sepenuhnya menghadap Wira—lelaki yang dengan mata mengkilap dan kelopak mata yang penuh oleh air yang berusaha ditampungnya, Airin menatap Wira sendu, matanya memerah seketika. “Mas...” Airin menangkup wajah tampan itu dengan kedua tangannya, dia kemudian mengecup bibir ranum suaminya. “Maaf... itu semua bukan salah kamu, jangan pernah kamu menyalahkan diri kamu kayak gitu.”
Wira mengangkat kepalanya, dia berusaha menahan air matanya yang hendak jatuh, dia menggeleng samar. “Airin, saya sepayah itu ya dalam melindungi kamu, Sayang?” Wira mengacak rambutnya kasar namun Airin dengan reflek menahan tangan suaminya dan membelai serta mengecup punggung tangan itu lembut. “Airin, saya pastikan itu tidak akan pernah terulang, orang itu sudah dapat ganjarannya dan saya akan mengerahkan seluruh kemampuan saya yang terbatas ini untuk melindungi kamu sampai kapanpun, Ai. Saya cinta kamu.”
“Aku memang wanita yang beruntung banget ya, Mas? Beruntung karena kamu ada, kamu ada di bumi ini dan kamu hanya diciptakan untuk aku.” Airin tersenyum manis, ia merapikan rambut suaminya yang sempat berantakan kemudian ia membelai wajah tampan itu sekali lagi. Jemarinya berputar mengelilingi bibir serta menyentuh bulu halus nan tipis yang tumbuh di sekitarannya dan jarinya menyentuh bibir ranum suaminya. Wanita itu menatap nanar Wira dalam seraya membasahi bibirnya sendiri. “Aku juga cinta sama kamu, Mas, dan kamu tau itu nggak akan pernah berakhir bahkan habis masanya. Aku cuma mau kamu, Prawira Nugraha.”
Wira tersenyum tipis dengan gurat merah yang tampak di pipinya, dia menarik istrinya lebih dekat lagi untuk meraih bibir Airin yang selalu menjadi candunya itu. Ciuman yang lembut berubah menjadi pergulatan bibir dengan hisapan-hisapan panas yang saling mendominasi satu sama lain sampai akhirnya Wira mengangkat tubuh istrinya dan membawanya masuk ke dalam. “Di dalam ya, Sayang.”
Airin masih terus membalas ciuman selanjutnya yang diawali olehnya sendiri seraya terus meremas dan mengacak pelan rambut suaminya. Ciuman keduanya terus berlangsung hingga Airin kini berada di pangkuan Wira dengan kedua tangannya yang mengalung di leher suaminya.
“Mas,” desah Airin ketika tangan besar suaminya itu menelusup ke dalam dress tidurnya. Tangan itu terus membelai dan bergerak masuk memberikan sentuhan-sentuhan yang berdampak hebat bagi Airin, “Mas Wira, argh...”
“Hm, kenapa, Sayang? Suka hm?” Suara berat Wira bersamaan dengan deru napas panasnya terasa di sekitar telinga Airin yang selanjutnya digigit pelan oleh lelaki itu. Airin terus menyebutkan namanya beberapa kali. Terang saja itu menjadi suatu pemandangan yang semakin membuat suasana bergelora, Wira berhasil meloloskan pakaian sang istri, lelaki itu benar-benar semakin liar. “Jawab, kamu suka hm?”
“Stop..., Mas,” Airin memeluk tubuh suaminya dan berusaha menahan desir gairah yang tak bisa tertahan olehnya lagi.
“Airin, saya nggak akan minta apa-apa, Sayang. Saya cuma mau kasih kamu kesenangan aja, mau tetep berhenti hm?” Suara Wira semakin menimbulkan gelora yang membuat Airin merinding, lelaki itu mengangkat tubuh istrinya berada di pangkuannya namun kini membelakanginya. Airin bersandar lembah di dada bidang suaminya, ia menoleh pada Wira yang tersenyum miring. “Mau?”
“Mas, kamu curang, aku malu...”
“Kamu mau lepas punya saya juga? Boleh, Sayang, tapi ... setelah ini ya?” Lelaki itu kemudian mengecup leher istrinya dari belakang, setelah itu Airin bisa dipastikan melayang terbang tinggi sampai ia tak sanggup membuka matanya untuk menahan lelaki tampan itu—yang terus menyentuhnya lembut di setiap sisinya sampai Airin berusaha menahan pergerakan tangan Wira yang sia-sia sebab lelaki itu tidak menginginkan semua berhenti.
“Ai, tangan kamu diem ya, saya susah geraknya,” bisik Wira.
“Mas..., mm... mau cium.”
“Kamu mau dicium?”
“Mas, ih...”
Wira tersenyum menyeringai, ia senang melihat Airin tampak lemah di dalam dekapannya sementara perempuan itu terus menerus meleguh tanpa berusaha memberontak terhadap apa yang didapatkannya, ia menikmati setiap suaminya berusaha mempermainkannya, membuatnya selalu jatuh dan takluk terhadap sosok tampan itu.
“Argh, Mas, mohon...”
“Airin, hey, mau berhenti Sayang?” Wira menahan sentuhannya meskipun dirinya sendiri sudah menggebu-gebu, ia melihat istrinya itu penuh iba, lelaki itu mengusap perut ramping Airin. Airin menoleh ke arahnya dengan tatapan mata kucingnya, kemudian perempuan itu mengulum bibir suaminya dengan libido yang memuncak dan tak berjeda. Tangannya mulai bergerak masuk ke dalam kaus suaminya yang langsung diloloskan dengan cepat seolah tak ingin berlama-lama melepas pagutan keduanya yang memburu.
Wira memainkan jarinya dari bawah menuju ke atas dan terus berputar mengelilingi tubuh istrinya yang tampak semakin sensitif, lelaki itu menahan napasnya saat Airin melepas pagutannya seketika dan bergerak melepas kancing celana yang dikenakannya. “Sayang, argh, kamu mau apa?”
“Airin.” Geram Wira saat merespon sentuhan yang diberikan Airin, matanya terpejam sejenak namun tak lama sebab ingin memandang wajah elok sang istri yang membuatnya tak bisa berkutik saat itu. “Kamu cantik, selalu cantik.”
“Ai,” Wira menggeram tertahan saat bagian bawahnya berhasil lolos oleh istrinya, dia yang sudah tidak bisa menahan diri pun segera mengambil alih, tapi setengah berbisik di awal. “Sayang, saya gak bisa tahan, maaf...”
“Jangan minta maaf, Mas.”
“Kamu mau?”
Airin mengangguk.
“Pakai atau nggak?”
“Terserah.”
“I love you.”
“Mas Wira...” Airin menggeram saat Wira mencoba memulai permainannya, perempuan itu meremas bahu suaminya kuat. Sementara itu Wira terus menggertakkan rahangnya sambil terus menikmati setiap gurat ekspresi dari wajah cantik yang berkeringat di pangkuannya itu. Sekali lagi tangan Wira menarik tengkuk Airin dan mencium bibir lembabnya itu saat ia memulai pergerakannya, Airin menggigit bibir suaminya saat ia merasakan nikmat dan sakit bersamaan yang sangat terasa.
“Ai, kamu ga usah gerak, biar saya aja, nanti kamu capek,” bisikan Wira membuat Airin menelusup ke dalam dada lelaki itu. “Airin, tubuh kamu itu ya ... salah satu ukiran Tuhan yang nggak ada tandingan indahnya, saya benar-benar mengagumi setiap sisinya. Semua puja puji saya tentang kamu, tidak munafik, tidak dusta, kamu memang layak mendapatkan ini semua, kamu semesta bagi saya dan kamu memang mampu melemahkan saya dan menaklukan saya dalam satu waktu.”
“Ai, kalau udah capek bilang ya karena kalau saya nggak akan pernah capek sama kamu.”
“Aku juga, Mas.”
Wira mengecup bibir Airin lembut. “Ya sudah, sampai pagi ya begini?”
—