Under the same heaven

Knock knock!

“Sir, are you okay?”

Arasha mengetuk pintu kamar William, suara di dalam sana mulai hening setelah beberapa saat gadis itu mendengar teriakkan seorang William juga suara barang-barang yang dengan sengaja dijatuhkan. Honestly, she worried about him.

“Come, Arasha,” sahut William pelan.

Perlahan tapi pasti Arasha membuka pintu kamar William, dia sudah tidak terkejut melihat keadaan kamar lelaki itu yang berantakan—semua barang dijatuhkan dengan sengaja olehnya. Arasha tidak mengerti apa yang terjadi pada William tapi jujur saja ini menyeramkan.

“Sir ... what's going on?!”

Arasha menoleh ke arah William yang duduk di ranjangnya seraya menundukkan kepalanya dan menutup kedua telinganya. He seems can't deal with his anger issues, Arasha pikir.

“Sir?” Arasha menghampiri William, berjalan dengan sedikit jinjit agar tidak mengenai beberapa serpihan kaca yang berserakan di bawah sana. Gadis itu berdiri di depan William yang tampak kacau. “Sir, you are not okay.”

“Then you don't need to ask how I feel,” sahut William, dia menengadah menatap Arasha, air mukanya penuh kegelisahan. “Aku tidak tahu bagaimana cara menahan semuanya, maaf sudah mengganggu kenyamananmu.”

“You don't need to.” Arasha tersenyum miris. “Ini tempat tinggalmu, kau bisa melakukan apa saja yang kau mau, tidak perlu pedulikan orang asing yang hanya menumpang sepertiku.”

“You're not a strangers.”

“So ... would you share what's or who's the suspect of these mess?”

“Too much, Arasha.”

“So, what can I do for you?”

Oh damn, I should think twice before I say, batin Arasha.

William mengamati Arasha sejenak, pandangannya sudah meneduh dibandingkan dirinya yang masih kesetanan sebelumnya, dia lalu bangkit dari ranjang tempatnya duduk—masih belum melepaskan pandangannya dari sosok gadis di depannya.

William berhadapan dengan Arasha, tubuh kecil Arasha membuatnya harus menunduk untuk bisa mengamati wajah cantik itu. Dia berbisik pelan, “can I get a hug?”

“Sir?” Arasha berucap ragu, dia melihat mata berbinar William yang tampak menaruh harapan padanya dan baru kali ini, ia melihat tatapan setulus itu dari William. Arasha menghela napasnya panjang, ia mengangguk perlahan. “Hug me, then.”

William tersenyum tipis, tanpa banyak berkata-kata, ia langsung memeluk Arasha erat—menelusup pada rambut panjang gadis itu dan menghirup aroma khas Arasha yang memabukkan. William mengusap surai gadis itu dengan lembut tanpa berharap pelukannya dibalas oleh sang empu tetapi dengan begini dia mulai bisa merasakan sekaligus melepaskan semua penat yang dia rasakan, semua amarah yang sempat membuncah, dan semua rasa jengkel yang sudah sekian lama terbesit dalam benaknya hingga pada akhirnya dia menemukan tempat pelepasan terbaik dari semua itu.

At the end, he realize that she's the cure...

Perlahan Arasha berusaha membalas pelukan yang diberikan William, dia mengusap punggung lelaki itu lembut dan menepuknya pelan. Entah mengapa dia merasakan kehangatan dari lelaki itu, ia memejamkan matanya—seakan apa yang dirasakan William tersalurkan padanya. Meskipun dia tidak banyak tahu apa yang terjadi pada lelaki itu.

Pelukan yang berlangsung sejenak tetapi sangat bermakna bagi William, bahkan saat lelaki itu kini memegang wajah Arasha sebelah dan menatapnya dalam setelah ia melepaskan pelukannya.

“Arasha,”

“Hm?”

“You said you will help me, right?”

“Hm—ngg ... so, what can I do for you? Is a hug is doesn't enough?”

“I want you ...,” William meraih wajah Arasha dan menangkupnya—ia menatap gadis itu dalam.

Arasha melirik sekilas pada botol alkohol yang terdapat di atas nakas, dia melihat mata lelaki itu yang memerah—oh damn, he has been drunk too much.

“Can you help me to get our pleasure together?” William bersuara parau, “yeah, i said it, our pleasure. You and me. Making our heaven together.”

Arasha tidak sama sekali berkutik, tatapan William terlalu menghipnotisnya, she's like a manequin now, can't even move from two hazel eyes which starring at her.

William kiss her with a really slow tempo, smooth touching, and eyes closed.

It's their first kiss.

Arasha tidak pernah membayangkan sebelumnya semua ini akan terjadi, dia tidak pernah mengharapkan sosok devil di depannya akan menciumnya—moreover, dia tidak sama sekali memberontak, she also doesn't know why she didn't refuse him.

Arasha memejamkan matanya, saat merasakan pagutan yang diberikan William semakin dalam—mengakses setiap inci bibirnya, menggigit bibir Arasha untuk bisa menerobos masuk ke dalam dan menikmati setiap bagian yang ada. Lelaki itu mengusap tengkuk Arasha lembut, help her to relaxing it. Tubuh Arasha terpaku, dia hanya bisa menerima ciuman yang diberikan oleh William untuk kali pertamanya.

William mengisap bibir bawah gadis itu—membuat sang empu mengerang pelan dan meremas rambutnya, seringaian terbentuk di bibir lelaki itu melihat Arasha yang memejamkan matanya menikmati ciuman yang dilayangkan olehnya.

William melepaskan pagutannya dengan mengecup bibir Arasha lembut di akhir permainan. Matanya menggelap bertatapan dengan gadis di depannya yang diam tak berkutik.

Dengan sekali gerakan William menggendong Arasha dan menghimpitnya pada dinding kamarnya.

“Sir...eungh..” Arasha mendesah pelan merasakan sentuhan William pada pahanya, lelaki itu menarik kedua tangannya untuk melingkar di sepanjang leher William. “Sir, i'm here just for help you, mm...”

“So this is the way you help me.”

William kembali melayangkan ciuman—kali ini pada leher jenjang Arasha yang pada umumnya menjadi area sensitif seorang wanita, Arasha mengerang pelan sambil meremas rambut William. “Sir, enough please....”

“No, I can't.”

William choke Arasha neck then make she shout his name, “Oh damn, Sir, ugh William don't choke me.”

“I'm sorry, you look so hot if I do that.”

“Please...” Arasha breathtaking, she hold his arms which still choking her neck.

“Beggin me.”

William mengendus leher gadis itu, satu tangannya mencekik Arasha dan tangan lain menahan agar gadis itu tetap stabil di gendongannya.

“Sir William, please... ugh.”

“Good girl.”

William melepaskan cekikannya pada leher Arasha dan menjatuhkannya di atas sofa—so now she sitting on his lap. For sure everything what his done for today was under his control, he unders a drunk effect.

William kembali mencium Arasha, kali ini ciumannya more deeply than before, he push her neck for kiss her hard.

William just took off his shirt and threw it away naturally.

He stares at her after that, he breathtaking.

William perlahan membuka kancing baju tidur Arasha, then he kiss her neck again to divert it.

“Sir ... uh.”

William merapatkan tubuhnya dengan Arasha after he looks that she a half-naked.

“Pretty, Bluebear.”

William touched Arasha's stomach and squeezed the girl's waist.

Jemarinya yang lain sengaja menggores lengan telanjang gadis di hadapannya, he try to making a butterflies in her stomach.

Sentuhan William semakin turun to her leg, he touch it so smooth and let Arasha sighs slowly. His touch also turn to her breast and Arasha can't hold it on.

“Ah, shit, Sir...”

“Is this your first time or you usually do this with him?” suara William mendominan.

Arasha masih memejamkan matanya, “shut the fuck up sir.”

“Language!”

William kissed her once and sucked her breast without any permission. Arasha sighs, “Sir... please...”

“Answer it properly baby.”

“No, it's my first time, eungh— you're the first.”

“Why would you give it to me?”

“No, I wouldn't.”

“Are you sure?” William touched her under sensitive area, ia berbisik pelan. “But your pretty flowers area will never lie, Arasha.”

“Oh fuck, Sir, gett off from there,” Arasha hendak menyingkirkan tangan William yang menggodanya namun lelaki itu malah menahan kedua tangannya.

“I know how to solve it.”

William mengangkat tubuh Arasha, he take off his belt and pull his pants then he starring at her whose close her eyes.

“Can I?”

Arasha masih mengalungkan tangannya di leher William, dia tidak berkutik sedikit pun.

William mengusap wajah Arasha lembut dan mengecupnya sejenak.

Arasha let him take her underwear, then she stares deeply under his dark eyes.

Arasha bersumpah ini bukan apa yang dia bayangkan, she never ever imagine that she will end like this.

“Am I such a whore?”

William menggeleng, “not you but your sister,” dia menyeringai.

“Sir, i'm afraid,”

“I will do slowly.” William menggertakkan rahangnya after he tried to push his little friend under hers, dia memeluk Arasha dan mencium kening gadis itu lembut.

Arasha memegang bahu William erat dan memejamkan matanya menahan rasa sakit yang ia terima, “It's hurt, ah..”

“Yours so thigh,” William terengah, “can I just move?”

Arasha memeluk William erat, menggoreskan kukunya kuat pada punggung lelaki itu. “Oh damn, Bluebear you're still virgin.”

“Just ... move.”

Arasha sighs deeply, “oh fuck William!”

“Err, your Sir, just call me Sir.”

William still move to get his under her deeply, he wanna know how it's feel in hers.

“Oh, Sir, i'm sorry—ouh!”

“I'll cum.”

“Not yet, hold it on.”

“I can't.”

William menarik dagu Arasha, pasalnya gadis itu tidak menatapnya—dia memejamkan matanya seraya menggigit bibirnya demi menahan semua perasaan yang diberikan oleh William. “You playing well. Then, open your eyes, look at me!”

Seolah patuh seketika Arasha membuka matanya perlahan, she's mess but it's look so damn beautiful in his eyes. “I'm first, then let me be your last, Arasha.”

William mempercepat permainannya membuat Arasha tersiksa, “I'll cum, Sir, please...”

“Do you love me?” William memperlambat tempo permainannya, dia melihat gadis itu merengut, “Answer it.”

“I don't know—but, please move...”

“I'll but first answer it Arasha.”

William kembali bergerak, dia melihat Arasha yang tampak kacau, itu membuat William menyeringai puas. Dia mengusap rambut Arasha dan he stomped on hers pretty flowers once.

“Oh, fuck—”

“Answer!”

“After I left Mark, you still ask about it huh?”

“So you love me, didn't you?”

“I cum, Sir, ah...”

“Together.”

So, both of them have reached their heaven.

Keduanya mencapai pelepasannya bersamaan dan tubuh gadis itu ambruk di atas William. Mereka berdiam sejenak meraih oksigennya masing-masing setelah pergulatan panjang keduanya, William memejamkan matanya dan mengusap punggung halus gadis itu. “Should I ask for apologize?”

“I don't know, Sir.” Arasha memainkan jarinya di dada William, “I am just like a whore.”

“Hey look at me,” Arasha mendongak, “you regret it?”

Gadis itu mengedikkan bahunya, “You're drunk.”

“So you care about it?”

“Kau ... cinta aku?”

William tersenyum, meraih jemari Arasha dan menciumnya lembut. “Be my wife, Arasha.”