Weakness
cw// mention of sex
Mungkin sebagian besar orang sudah beristirahat dan terlelap atau sudah terbawa oleh alam mimpinya pada jam yang menunjukkan pukul satu dini hari ini. Berbeda dengan dua insan yang masih melanjutkan pergulatan yang sedari tadi berlangsung. Saling melepas rasa rindu dan meluapkan seluruh hasrat masing-masing pada satu sama lain membuat mereka begitu hanyut dengan ini semua. Napas yang saling memburu bertukar satu sama lain dan tak beraturan.
“Mas, pelan-pelan…” Airin merintih dalam geramannya.
Wanita itu masih memeluk leher suaminya yang berada di atasnya, Airin sesekali akan meracau tak jelas setiap Wira terus bergerak tak beraturan dengan sentuhannya di sekujur tubuh perempuan tercintanya.
Wira mengangkat pandangannya menatap istrinya yang berpeluh. Ia membelai wajah Airin yang matanya tampak sayu, kemudian mengecup pipinya lembut. “Tahan ya.”
Airin meremas rambut suaminya tanpa sempat berkata-kata karena Wira langsung melayangkan ciuman panasnya yang menggebu. Lelaki itu mendominasi permainan tersebut dengan terus memberi lumatan kasar yang membuat istrinya tak berkutik. Airin berusaha membalas namun ia terlalu menikmati dominasi suaminya, belum lagi tenaganya yang sudah cukup terkuras.
Wira melepaskan ciumannya, napas hangatnya menerpa wajah Airin. Matanya gelap menatap sang Istri seraya menarik kedua tungkai Airin ke atas punggungnya. “Peluk saya erat.”
Airin hanya menurut perintah suaminya dan memeluk lelaki itu erat. Dia mendesah panjang merasakan sesuatu di bawah sana terus mendesak masuk, gerakan brutal lelaki di atasnya membuatnya menggeram nikmat. Airin menelusup ke dalam ceruk leher Wira dan menggigit bahu suaminya untuk meluapkan apa yang dirasakannya.
Wira menggeram seraya terus mengecupi leher Airin. “Sayang, enak hm?”
“Mas… ahh, jangan tanya soal itu,” racau Airin.
Wira mengulum kuping wanitanya dan beralih mengisap leher Airin sambil terus bergerak. “Emh.” Desah lelaki itu. “Kamu … enak.”
“Iya, Mas…”
“Iya apa hm?”
“Mas, lebih cepet.”
“Iya sayang. Peluk saya, kalau sakit pukul bahu saya.”
Wira mencengkram kedua sisi pinggang Airin sembari bergerak lebih cepat seperti permintaan istrinya. Dia begitu bertenaga penuh hingga setiap gerakannya menimbulkan suara yang membuat keduanya semakin bergairah.
Sepertinya Airin mulai menyadari kalau suaminya sekarang mulai memahami apa yang dia suka dan bagaimana dengan mudahnya Wira membuatnya tak berdaya dengan kenikmatan penuh yang ia berikan pada istrinya. Airin tidak bisa banyak berkutik, dia hanya menuruti setiap perintah suaminya. Dia sangat suka dengan dominasi kuat pria di hadapannya ini, sebab itu mampu membuatnya tak bisa melawan dan hanya menikmati apa yang didapatnya.
“Sayang, mau ganti posisi?” tanya Wira sambil menempelkan dahinya pada wajah Airin.
Tak ada jawaban pasti yang sempat keluar dari mulut Airin, tetapi Wira sepertinya sudah memahami tentang wanita itu sehingga dia sendiri akhirnya yang kembali mengatur.
Setelah melepaskan dirinya dari dalam tubuh Airin, dia membantu istrinya untuk bangun dengan penampilan yang sudah berantakan tetapi begitu menggairahkan di mata Wira.
“Balik badan, Sayang.”
Airin hanya menuruti perintah suaminya kemudian dengan bantuan lelakinya tubuhnya langsung berbalik memunggungi Wira. Kakinya berlutut membelakangi suaminya dan mulai merasakan seseorang memegang erat sebelah pinggangnya. Airin mendesah kuat saat Wira mencoba kembali memasukinya. Tubuh mereka menempel begitu erat, Wira memberi kecupan lembut di leher Airin dengan hisapan-hisapan penuh nafsu.
“Sayang,” panggil Wira dengan suara bergetar. Tangannya menyentuh surai panjang istrinya yang berantakan dan mengumpulkannya menjadi satu dalam genggamannya. Ia kembali berbisik sambil mengulum kuping wanitanya lagi. “Rileks, Sayang.”
“Mas, uhh,” desah Airin. Tangannya memegang kuat bantal di bawahnya.
“Saya gerak ya,” lirih Wira.
Ia memulai gerakannya secara perlahan sembari memegang rambut Airin dengan satu tangan lain menahan tubuh istrinya agar tetap seimbang. Dia terus bergerak teratur sambil memandangi tubuh istrinya dari belakang sana.
Bibirnya tak mau tinggal diam, terus menyusuri leher jenjang Airin dan memberi hisapan dan lumatan penuh nafsu. Gerakannya terus bertambah tempo hingga ia mulai bergerak dengan cepat membuat istrinya menumpukan wajahnya pada bantal.
Wira meracau dalam kenikmatan yang ia rasakan sambil terus mengusap tubuh Airin di hadapannya. Ia membelai punggung mulus wanita yang bertubuh indah itu hingga tangan besarnya berhenti di bawah sana. Ia menggeram seraya meremas bagian itu dan menamparnya gemas.
“Awh.” Tubuh Airin menjengit di bawah sana meski sudah tak berdaya.
“Sayang…” Wira membungkukkan tubuhnya dan berhenti sejenak mendekati wajah Airin. “Ini yang kamu mau tadi, kan? Kamu lemes hm?”
Airin hanya mengangguk tanpa menatap Wira. Wira mengecup pipinya lembut, keringat langsung menempel dengan cepat di tubuh Airin darinya. “Nikmatin ya, saya kasih semuanya untuk kamu.”
“Mas, aku nggak bisa ngelawan,” cicit Airin.
“Kamu tadi yang mancing saya, Ai.” Wira kembali melandaskan ciumannya di leher Airin. “Sudah, nikmatin aja ya.”
Airin hanya mengangguk pasrah.
“Kamu sudah keluar berapa kali hm?”
“Nggak tau, Mas… Aku engh, nggak kuat.”
Wira menggigit bibirnya saat ia kembali mempercepat tempo dorongannya hingga tangan Airin mencengkram pahanya di belakang. Wira terus memberi sentuhan dan belaian di bagian tubuh istrinya agar tubuh Airin lebih rileks saat ia bergerak.
“Sayang,” panggil Wira. “Mau dikeluarin di mana, cantik?”
Rasanya mendengar suara lembut dan berat suaminya di telinganya semakin membuatnya tak bisa berpikir waras. Apalagi merasakan tubuhnya yang terus bertabrakan menciptakan kenikmatan yang tak kunjung usai dalam dirinya.
“Terserah kamu, Mas.”
“Saya tanya kamu, Sayang. Kamu maunya di mana?”
“Ehm, kamu galak banget…”
Wira tersenyum menyeringai. “Ya jawab yang bener, Sayang.”
Airin masih menelan ludahnya susah payah. “Di tempat kesukaan kamu, Mas.”
Wira menahan senyumannya. Dia kemudian menahan tubuh Airin yang hampir tak seimbang.
“Sayang, kamu mau di atas saya? Saya ingin lihat wajah kamu.”
Airin hanya mengangguk pasrah. Ia pikir suaminya memang tak pernah kehabisan tenaga dalam apapun, bahkan Wira tak ada lelahnya setelah beberapa jam menikmati semua permainan dengannya. Ada perasaan menggelitik bagi Airin meski ia tetap hanyut pada setiap permainan suaminya itu.
Airin duduk di atas perut suaminya dan tangannya memegang dada Wira sambil bergerak dari atas ke bawah atau memutari perut bawah suaminya. Menciptakan perasaan menggelitik namun memberikan sensasi tersendiri bagi Wira saat merasakan sentuhan istrinya itu.
“Sayang, kamu nggak usah gerak, saya aja ya. Takut kamu capek.”
Airin menggeleng pelan.
Wira mengangkat alisnya, membelai wajah Airin lembut. “Kamu mau gerak, Cantik?”
Airin hanya mengangguk.
“Arahin tangan saya, Sayang.”
Airin menggigit bibirnya kemudian ia mulai bergerak pelan dan menarik tangan Wira ke arah lehernya. Seperti sudah paham, Wira langsung memberi cengkraman kuat dengan geraman di bibir ranumnya yang merah dan basah. Melihat Airin yang mulai bergerak di atas sana membuatnya kini berbalik tak berdaya, lelaki itu terus mendongak ke atas seraya memejamkan matanya.
“Kamu jagonya, Sayang.”
Airin tersenyum malu mendengar pujian tersebut. Dia kemudian menangkup kedua wajah suaminya dan membelai kepala lelaki itu penuh sayang. Dia mengagumi ketampanan wajah Wira dalam keadaan berantakan seperti ini, dahi berpeluh, bibir lebam, dan mata sayu. Dia betul-betul begitu sempurna secara fisik di mata Airin.
“Kamu ganteng banget sih, Mas…”
“Ai,” panggil Wira. “Saya … mau keluar.”
“Aku juga, Mas…” lirih Airin dengan napas yang terengah-engah.
“Boleh saya ambil alih?”
Airin hanya mengangguk, kemudian Wira menarik tubuh Airin ke dalam pelukannya dan berbisik disertai kecupan pada pipi wanitanya itu. “Peluk saya lagi yang erat, tahan ya… Ini mungkin akan lebih kerasa.”
Wira sepenuhnya mengambil alih permainan sembari memeluk Airin erat dan membiarkan dirinya yang kembali mendominasi menjelang tahap klimaks keduanya ini. Baik Wira maupun Airin terus meracau dengan desahan, geraman serta erangan saling bersahutan antara keduanya.
“Airin, kamu … bikin saya begini.”
“Mas Wira…, ampun…”
“Sabar, Sayang…”
“Ouh, Ai.. Airin sayang.”
“Ai, saya uh.. sayang…”
Tubuh Airin merinding sekaligus melemas mendengar suara Wira yang sudah mencapai titik puncaknya, begitupun dengan dirinya yang semakin menggila akibat lelaki itu. Airin menarik napasnya panjang saat dia telah mencapai klimaksnya, dia merasakan punggungnya telah basah sekarang oleh sesuatu yang mengalir dari sana.
Wira melepaskan pelukannya dan memandang Airin seraya mengusap rambutnya yang basah oleh keringat menghalangi wajahnya. Napas lelaki itu masih belum teratur, dia tersenyum memandang istrinya yang terlihat lemas dan lelah.
“Terima kasih, Cantiknya Saya.”
Wira mengecup bibir Airin beberapa lama sembari memeluk tubuhnya erat meski keduanya sama-sama lengket dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh mereka.
“Kamu cantik banget.” Wira menatap mata sayu Airin. “Saya nggak bisa berkata-kata.”
“Aku harusnya yang kayak gitu, Mas. Kamu bener-bener…” Airin memerah.
“Apa?” tanya Wira dengan senyum nakalnya.
“Liar.”
Wira menahan senyumnya, dia tampak malu sekarang dengan tatapan Airin. Matanya berkilau sekarang. “Maaf.”
Airin menangkup wajah suaminya gemas seraya mengecup lehernya. “Aku bener-bener nggak nyangka kamu seliar tadi. Kamu mikirin apa, Sayang? Kok bisa begitu?”
“Saya selalu nggak bisa kalau kamu goda saya. Apalagi kamu mancing duluan dengan cara kayak tadi, gimana saya bisa tahan?” kata Wira. “Apalagi ini di hotel, Ai, coba kalau di rumah atau di apartemen ya beda lagi hawanya. Untung juga lagi kebetulan kita berdua di sini.”
“Timing-nya pas ya, Mas?” tanya Airin.
“Iya sayang, 'kan kalau saya di rumah susah, kebanyakan nahan deh. Kasian kamunya capek ngurus banyak hal apalagi urusan anak.”
“Nggak lah, Mas. Kok mikir gitu sih? Ini juga salah satu kewajiban aku kok.”
“Ya gimana, Sayang, kamu tau sendiri saya …”
“Kamu nafsuan?” Airin menyeringai.
Wira berdecak pelan, memutar bola matanya malas. “Nggak ya, gak juga.”
“Yakin?”
“Ah kamu tuh gitu deh, jadi ngeledek,” cibir Wira. Dia tampak malu-malu.
“Iya nggak?” Airin merangkul bahu suaminya.
“Gara-gara kamu sih kalau iya pun. Kamu tuh terlalu … rrr.” Wira tampak memerah. “Ah sudah deh, saya malu banget jadinya. Jangan gitu.”
Selanjutnya, Wira memegang kedua tangan Airin, dia menatap wanita itu sendu. “Sayang, tadi mana yang sakit? Takut saya kekencengan atau apa gitu…” Lelaki itu melihat bagian tubuh istrinya yang lain. “Wah, ini merah-merah, Ai. Sakit?”
“Nggak terlalu kok, gak apa-apa, Mas.”
“Maafin saya, tadi saya bilang ke kamu padahal kalau ada yang sakit pukul aja.”
Airin menggeleng, dia menyentuh wajah suaminya dan membelainya lembut. “Nggak apa-apa kalau sama kamu.”
“Kita bersih-bersih terus tidur ya. Saya siapin air hangat dulu, kamu jangan kemana-mana ya. Diam di sini aja.”
Wira mengangkat tubuh Airin yang semula di atasnya, kemudian dia meraih baju-baju istrinya yang berserakan di bawah sana sambil memakaikannya pada Airin. Ia juga yang mengusap punggung Airin yang basah dengan tissue sambil berusaha menahan malu akan ulahnya sendiri.
Setelah itu, Wira menyiapkan baju ganti serta handuk juga bathrobe milik Airin di atas ranjang. Apapun yang ia lakukan dan siapkan pasti Airin yang didahului daripada dirinya sendiri hingga dia tidak menyadari bagaimana berantakannya ia.
“Mas, baju kamu mana? Airnya sudah siap?” tanya Airin saat Wira kembali menghampirinya.
“Saya gampang kok. Airnya sudah siap, ayo, Sayang.”
Airin terlalu hanyut dengan perlakuan manis suaminya sampai ia tersenyum memandang wajah teduh yang kini duduk di sampingnya. Wira menyentuh lengan Airin hingga wanita itu tersadar kemudian ia langsung diangkat dalam gendongan prianya itu di depan. Airin menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Wira yang aroma tubuhnya begitu ia sukai. Entahlah sepertinya apapun yang ada dalam diri suaminya, jelas sangat ia suka, apalagi setiap sikap manis yang diberikan oleh Wira padanya.
“I love you, Mas.”
“Saya juga cinta kamu, sangat.” Lelaki itu mencium dahi perempuanya lembut kemudian ia beralih meraup bibir Airin dengan gemas. “Kamu kelemahan saya dan akan selalu begitu, Airin.”