winwincure

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil meraih

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil mengisap rokok elektriknya hingga menguar aroma blueberry ice. Adimas memandangi setiap gerak-gerik Pramudina sambil sesekali mengisap pod-nya lagi.

Pramudina menoleh sedikit kepalanya saat ia memunggungi Adimas. Matanya menyorot tajam lelaki itu. Hingga saat semua kainnya berhasil terlepas satu persatu, Adimas bersiul menggodanya.

“Udah gitu aja, biar aku nggak ribet, Din,” goda Adimas.

Pramudina tak membiarkan lama-lama tubuhnya menjadi tontonan suaminya, dia buru-buru memakai penutup.

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil mengisap rokok elektriknya hingga menguar aroma blueberry ice. Adimas memandangi setiap gerak-gerik Pramudina sambil sesekali mengisap pod-nya lagi.

Pramudina menoleh sedikit kepalanya saat ia memunggungi Adimas. Matanya menyorot tajam lelaki itu. Hingga saat semua kainnya berhasil terlepas satu persatu, Adimas bersiul menggodanya.

“Udah gitu aja, biar aku nggak ribet, Din,” goda Adimas.

Pramudina tak membiarkan lama-lama tubuhnya menjadi tontonan suaminya, dia buru-buru memakai outer dress piyama merah mudanya itu. Perempuan itu segera membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi.

“Ah sayang,” Adimas mendesah pelan. “Kenapa di dalem gantinya?”

Dia terkekeh melihat tingkah istrinya yang malu-malu setelah ia goda habis-habisan bahkan sejak mereka hendak pulang ke rumah. Padahal Adimas sudah sejak tadi ingin sekali meringkus istrinya itu ke dalam pelukannya. Dia sudah gemas terhadap Pramudina yang begitu sinis padanya kini.

Saat perempuan itu telah kembali dari kamar mandi dan sudah lengkap dengan dress lengan pendek bergaya v neck yang panjangnya setengah pahanya. Rambutnya dicepol asal saat hendak berjalan ke meja rias untuk menghapus riasan wajahnya.

Adimas beranjak menghampiri istrinya itu sambil melepaskan gesper celana bahan yang masih dikenakannya. Lelaki itu berdiri di depan Pramudina yang masih sibuk menghapus riasan wajahnya.

“Sayang, bersihin muka aku juga ya nanti, kotor.”

Pramudina hanya mengangguk pelan dan mamandang Adimas dari pantulan cermin yang belum juga mengenakan baju gantinya. Mereka merasa sangat lelah setelah beraktivitas seharian, meski itu juga menyenangkan karena keduanya bertemu dengan rekan dan kerabat dekat yang sudah lama tak jumpa.

Dilirik oleh Adimas jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan dia bersyukur bisa pulang lebih awal karena dia dapat menikmati pemandangan istrinya lebih leluasa lagi.

Setelah Pramudina selesai membersihkan wajahnya, Adimas duduk di tepi ranjang dan menarik kursi tempat istrinya duduk. Kini Pramudina bisa lebih mudah membersihkan wajah Adimas yang juga kotor oleh debu dan kotoran lainnya.

“Dim,” panggil Pramudina. “Itu tadi mas-mas yang salam ke aku siapa sih? Yang sendirian duduk samping kamu.”

“Oh itu Revaldi, Aldi namanya. Kenapa?” Tanya Adimas dengan mata yang memicing.

“Nanya aja, jarang liat orangnya di acara kumpul keluarga.”

“Ganteng ya? Dia sepupu aku juga, Sayang, dia baru aja balik dari Jerman buat kelarin sekolahnya. Sekarang udah Insinyur, Din.”

Pramudina setuju dan menyengir. “Iya ganteng. Oh keren dong.”

“Kalo keren iya, tapi soal ganteng, kayaknya gantengan aku deh sayang.” Adimas mengangkat tubuh Pramudina berpindah di atas pahanya. “Coba liat aku dari deket sekarang, kayak gini.”

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil mengisap rokok elektriknya hingga menguar aroma blueberry ice. Adimas memandangi setiap gerak-gerik Pramudina sambil sesekali mengisap pod-nya lagi.

Pramudina menoleh sedikit kepalanya saat ia memunggungi Adimas. Matanya menyorot tajam lelaki itu. Hingga saat semua kainnya berhasil terlepas satu persatu, Adimas bersiul menggodanya.

“Udah gitu aja, biar aku nggak ribet, Din,” goda Adimas.

Pramudina tak membiarkan lama-lama tubuhnya menjadi tontonan suaminya, dia buru-buru memakai outer dress piyama merah mudanya itu. Perempuan itu segera membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi.

“Ah sayang,” Adimas mendesah pelan. “Kenapa di dalem gantinya?”

Dia terkekeh melihat tingkah istrinya yang malu-malu setelah ia goda habis-habisan bahkan sejak mereka hendak pulang ke rumah. Padahal Adimas sudah sejak tadi ingin sekali meringkus istrinya itu ke dalam pelukannya. Dia sudah gemas terhadap Pramudina yang begitu sinis padanya kini.

Saat perempuan itu telah kembali dari kamar mandi dan sudah lengkap dengan dress lengan pendek bergaya v neck yang panjangnya setengah pahanya. Rambutnya dicepol asal saat hendak berjalan ke meja rias untuk menghapus riasan wajahnya.

Adimas beranjak menghampiri istrinya itu sambil melepaskan gesper celana bahan yang masih dikenakannya. Lelaki itu berdiri di depan Pramudina yang masih sibuk menghapus riasan wajahnya.

“Sayang, bersihin muka aku juga ya nanti, kotor.”

Pramudina hanya mengangguk pelan dan mamandang Adimas dari pantulan cermin yang belum juga mengenakan baju gantinya. Mereka merasa sangat lelah setelah beraktivitas seharian, meski itu juga menyenangkan karena keduanya bertemu dengan rekan dan kerabat dekat yang sudah lama tak jumpa.

Dilirik oleh Adimas jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan dia bersyukur bisa pulang lebih awal karena dia dapat menikmati pemandangan istrinya lebih leluasa lagi.

Setelah Pramudina selesai membersihkan wajahnya, Adimas duduk di tepi ranjang dan menarik kursi tempat istrinya duduk. Kini Pramudina bisa lebih mudah membersihkan wajah Adimas yang juga kotor oleh debu dan kotoran lainnya.

“Dim,” panggil Pramudina. “Itu tadi mas-mas yang salam ke aku siapa sih? Yang sendirian duduk samping kamu.”

“Oh itu Revaldi, Aldi namanya. Kenapa?” Tanya Adimas dengan mata yang memicing.

“Nanya aja, jarang liat orangnya di acara kumpul keluarga.”

“Ganteng ya? Dia sepupu aku juga, Sayang, dia baru aja balik dari Jerman buat kelarin sekolahnya. Sekarang udah Insinyur, Din.”

Pramudina setuju dan menyengir. “Iya ganteng. Oh keren dong.”

“Kalo keren iya, tapi soal ganteng, kayaknya gantengan aku deh sayang.” Adimas mengangkat tubuh Pramudina berpindah di atas pahanya. “Coba liat aku dari deket sekarang, kayak gini.”

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil mengisap rokok elektriknya hingga menguar aroma blueberry ice. Adimas memandangi setiap gerak-gerik Pramudina sambil sesekali mengisap pod-nya lagi.

Pramudina menoleh sedikit kepalanya saat ia memunggungi Adimas. Matanya menyorot tajam lelaki itu. Hingga saat semua kainnya berhasil terlepas satu persatu, Adimas bersiul menggodanya.

“Udah gitu aja, biar aku nggak ribet, Din,” goda Adimas.

Pramudina tak membiarkan lama-lama tubuhnya menjadi tontonan suaminya, dia buru-buru memakai outer dress piyama merah mudanya itu. Perempuan itu segera membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi.

“Ah sayang,” Adimas mendesah pelan. “Kenapa di dalem gantinya?”

Dia terkekeh melihat tingkah istrinya yang malu-malu setelah ia goda habis-habisan bahkan sejak mereka hendak pulang ke rumah. Padahal Adimas sudah sejak tadi ingin sekali meringkus istrinya itu ke dalam pelukannya. Dia sudah gemas terhadap Pramudina yang begitu sinis padanya kini.

Saat perempuan itu telah kembali dari kamar mandi dan sudah lengkap dengan dress lengan pendek bergaya v neck yang panjangnya setengah pahanya. Rambutnya dicepol asal saat hendak berjalan ke meja rias untuk menghapus riasan wajahnya.

Adimas beranjak menghampiri istrinya itu sambil melepaskan gesper celana bahan yang masih dikenakannya. Lelaki itu berdiri di depan Pramudina yang masih sibuk menghapus riasan wajahnya.

“Sayang, bersihin muka aku juga ya nanti, kotor.”

Pramudina hanya mengangguk pelan dan mamandang Adimas dari pantulan cermin yang belum juga mengenakan baju gantinya. Mereka merasa sangat lelah setelah beraktivitas seharian, meski itu juga menyenangkan karena keduanya bertemu dengan rekan dan kerabat dekat yang sudah lama tak jumpa.

Dilirik oleh Adimas jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan dia bersyukur bisa pulang lebih awal karena dia dapat menikmati pemandangan istrinya lebih leluasa lagi.

Setelah Pramudina selesai membersihkan wajahnya, Adimas duduk di tepi ranjang dan menarik kursi tempat istrinya duduk. Kini Pramudina bisa lebih mudah membersihkan wajah Adimas yang juga kotor oleh debu dan kotoran lainnya.

“Dim,” panggil Pramudina. “Itu tadi mas-mas yang salam ke aku siapa sih? Yang sendirian duduk samping kamu.”

“Oh itu Revaldi, Aldi namanya. Kenapa?” Tanya Adimas dengan mata yang memicing.

“Nanya aja, jarang liat orangnya di acara kumpul keluarga.”

“Ganteng ya? Dia sepupu aku juga, Sayang, dia baru aja balik dari Jerman buat kelarin sekolahnya. Sekarang udah Insinyur, Din.”

Pramudina setuju dan menyengir. “Iya ganteng. Oh keren dong.”

“Kalo keren iya, tapi soal ganteng, kayaknya gantengan aku deh sayang.” Adimas mengangkat tubuh Pramudina berpindah di atas pahanya. “Coba liat aku dari deket sekarang, kayak gini.”

Pramudina memicingkan matanya, berusaha menyidik wajah Adimas. Bibirnya mengerucut sambil menggeleng pelan. “Ganteng sih, tapi...”

Adimas mengerutkan keningnya. “Tapi apa?”

“Tapi... nyebelin.”

Adimas mengerutkan hidungnya gemas, dia mendekati wajah Pramudina seraya mengendus-ngendus pipi istrinya itu. Entah sejak kapan tangannya yang lain sudah menelusup bagian bawah pakaian Pramudina. Tangannya terus meraba paha hingga Pramudina dibuat bergelinjang di pangkuan Adimas.

“Engh, Dim.” Pramudina meremat bahu bidang lelaki itu sambil menggigit bibirnya, tidak berusaha menolak sentuhan Adimas. “Kamu mau ajak adek jalan-jalan ke mana emangnya?”

“Kamu maunya ke mana, Sayang?”

“Aku gak tau kenapa pengen ke Ancol, Dim. Macet nggak ya?” Pramudina melingkarkan tangannya di leher Adimas. “Terus pengen belanja juga kalau sempet.”

“Ayo, boleh, Hun. Macet sih jangan ditanya, tapi pasti penuh kalau weekend. Tapi nggak apa-apa kita ke sana ya nanti.” Adimas membelai wajah Pramudina. “Abis itu kita belanja ya, kamu mau beli apa emangnya?”

“Skincare-ku udah mau habis, terus aku mau cari makeup juga sama pengen beli baju katanya lagi banyak yang sale besar-besaran. Boleh ya, Dim?” Pinta Pramudina manja. Dia membelai wajah Adimas dengan lembut.

“Sini, cium dulu,” kata Adimas.

Pramudina memajukan duduknya lebih dekat dengan Adimas hingga dada keduanya bertubrukan. Perempuan itu meraih bibir lelakinya perlahan dengan lumatan lembutnya pada ranum tebal yang menyatu dengan miliknya. Saat ia hendak melepaskan ciumannya dan kembali membuka mata Adimas meremat pahanya untuk menahan dirinya menjauh.

Hisapan Adimas membuatnya kembali memejamkan matanya dan menikmati tangan lelaki itu yang menyentuh bagian dada istrinya. Ciuman berlangsung semakin panas setelah sang lelaki dengan rakus menghabisi bibir perempuan itu dengan mengulumnya tanpa ampun.

Pramudina menyentuh lengan yang penuh dengan garis urat menonjol saat lelaki itu hendak menyusuri bagian paha dalamnya. Ia meremat tangan itu dengan erangan dalam tautan yang masih berlangsung.

Lelaki itu membuat Pramudina membuka mulutnya lebih lebar dan membebaskan lidah Adimas menyusuri keseluruhan bibir perempuannya. Adimas memang jagonya soal pergulatan lidah yang kadang membuat Pramudina kewalahan. Lihat saja bagaimana lihainya saat Adimas memainkan lidahnya yang dihisap oleh bibir seksi istrinya.

“Mmh,” gumam Pramudina pelan saat merasakan hawa dingin yang menusuk bagian belakang tubuhnya. Adimas telah menurunkan resleting pakaiannya dari belakang sana.

“Euh, Hun, pindah ke ranjang ya?” Kata Adimas setelah melepaskan pagutannya pada milik sang istri. Kini dia mengangkat tubuh Pramudina dan berpindah ke atas ranjang.

Pramudina hanya mengangguk pelan, dia sudah pasrah jika akan menjadi makan malam bagi Adimas yang kelaparan sekarang. Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, dan merangkak di atas tubuh istrinya selanjutnya.

“Hun, bukain celana aku.”

Pramudina melihat celana itu sudah tampak sesak dengan sesuatu yang semakin membesar dan menonjol di baliknya. Pramudina hanya menurut, dia melepaskan celana bahan yang dikenakan Adimas menyisakan pakaian dalam lelaki itu yang begitu ketat.

Sekarang wajahnya berhadapan dengan milik Adimas yang masih dibalut oleh kain terakhir di tubuh lelaki itu. Pramudina meremas paha Adimas dan membuat lelaki itu menggeram.

“Hun, lepasin ini.”

Adimas memandang mata sayu Pramudina sambil menggigit bibirnya saat istrinya menurunkan kain terakhir yang ia kenakan. Pramudina menelan ludahnya sulit ketika melihat sesuatu yang ada di atasnya itu begitu tegak dan besar. Dengan ragu, perempuan itu menyentuh benda kokoh di atas wajahnya. Adimas mengerang saat Pramudina memegang miliknya dengan begitu ketat.

Mata Pramudina berbinar saat Adimas mengerang seraya membelai rambutnya lembut. Perlahan perempuan itu mulai menggerakan milik suaminya seperti yang biasa dia lakukan pada Adimas.

“Din, aku mau masuk.”

Pramudina tampak membuka mulutnya, Adimas mengarahkan miliknya ke arah sana dan membiarkan sesuatu yang lunak menyusuri kejantanannya.

“Uh, Din...” Adimas menggeram kuat, tangannya menelusup ke dalam kerah pakaian istrinya. Dia meremas sesuatu yang berisi dari balik pakaian perempuan itu.

Adimas gila melihat perempuan di bawahnya tampak mengemut miliknya dengan lahap. Ia terus menggeram kenikmatan sembari menggerakan miliknya di dalam mulut istrinya itu, tanpa melepaskan sentuhan pada dada Pramudina.

Air mata menetes dari mata perempuan itu ketika tak sengaja Adimas mendesak miliknya lebih dalam. Dia segera menarik miliknya dari dalam sana setelah melihat istrinya tersedak.

“Sayang, sakit?” tanya Adimas sembari mengusap bibir istrinya yang basah itu.

Wajah polos Pramudina begitu menggemaskan ketika mengangguk, membuat Adimas rasanya semakin gemas. Lelaki itu turun dari atas istrinya, bergerak ke samping dan setengah bersandar pada kepala ranjang. Dia memegang tangan Pramudina seraya menepuk pahanya.

“Duduk sini, Sayang.”

Pramudina duduk memunggungi Adimas di pangkuannya, sungguh dia bisa merasakan sesuatu yang keras itu menyentuh bokongnya. Kini Adimas melingkari tangannya di leher istrinya sembari melepaskan celana pendek yang dikenakan Pramudina.

“Dimas,” lirih Dina sembari memegang erat lengan suaminya.

Tubuhnya menggelinjang ketika tangan Adimas bergerak menelusuri miliknya di bawah sana. Sialnya Adimas memang jago dalam membuat Pramudina berteriak gila, apalagi dengan gerakannya yang semula lembut hingga berakhir tak beraturan.

“Kamu kalau udah denial gitu aku suka nggak percaya deh, ini buktinya udah basah.”

“Ehm, Dim—ugh.”

“Sini cium aku,” ujar Adimas, dia kembali berbisik. “Kamu kalau mau desah, desah aja yang kenceng, nggak ada siapa-siapa sayang selain kita.”

Pramudina mengerang tertahan karena ciuman Adimas yang masih membungkam mulutnya, tetapi pikiran wanita itu sudah tidak karuan apalagi merasakan sentuhan suaminya yang semakin liar. Kini Adimas melepaskan tautannya sejenak untuk menarik lepas baju yang dikenakan istrinya.

“Hun, tolong lepas baju aku,”

Pramudina pun melepaskan kain terakhir yang melekat di tubuh suaminya. Kini tubuhnya kembali direngkuh dalam pangkuan Adimas dan dia bisa merasakan tubuh mereka menempel tanpa penghalang. Ini begitu merinding apalagi ketika merasakan jemari panjang milik Adimas kembali menerobos dirinya. Pramudina tak kuasa terus melenguh geli juga ketika ia merasakan ciuman di leher jenjangnya sebab kumis tipis suaminya itu begitu menggelitik.

“Sayang, kamu mau habisin aku ya? Kenapa… argh, agresif banget.”

“Iya, susah dapet waktunya biar leluasa.” Adimas mengecup kuping perempuannya. “Biasanya mulut kamu harus aku bekep dulu biar gak berisik, tapi susah.”

“Dim…,” panggil Pramudina, “kamu jagonya bikin aku nggak berdaya.”

“Hadap aku, sayang.”

Adimas sudah memuncak dan napasnya tak beraturan sekarang. Dia merangkul sepenuhnya tubuh istrinya yang berada di atasnya, ia mengangkat tubuh Pramudina ketika hendak memulai penetrasinya dan istrinya itu membuka mulutnya lebar seraya mendesah kuat.

“Ouh, sayang…”

Adimas tersenyum menyeringai. “Kenapa? Enak?”

“Adim aku malu…”

“Bilang aja kalau enak sayang, kalau sakit juga bilang,” gumam Adimas.

“Dim, kamu belum capek?”

“Kamu udah?” tanya Adimas, “mau aku selesain sekarang?”

Pramudina hanya mengangguk malu dalam pelukan suaminya itu. Selanjutnya, dia menyerahkan apapun itu pada Adimas, lelaki yang kini berkuasa atas tubuhnya malam ini.

—-

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil mengisap rokok elektriknya hingga menguar aroma blueberry ice. Adimas memandangi setiap gerak-gerik Pramudina sambil sesekali mengisap pod-nya lagi.

Pramudina menoleh sedikit kepalanya saat ia memunggungi Adimas. Matanya menyorot tajam lelaki itu. Hingga saat semua kainnya berhasil terlepas satu persatu, Adimas bersiul menggodanya.

“Udah gitu aja, biar aku nggak ribet, Din,” goda Adimas.

Pramudina tak membiarkan lama-lama tubuhnya menjadi tontonan suaminya, dia buru-buru memakai outer dress piyama merah mudanya itu. Perempuan itu segera membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi.

“Ah sayang,” Adimas mendesah pelan. “Kenapa di dalem gantinya?”

Dia terkekeh melihat tingkah istrinya yang malu-malu setelah ia goda habis-habisan bahkan sejak mereka hendak pulang ke rumah. Padahal Adimas sudah sejak tadi ingin sekali meringkus istrinya itu ke dalam pelukannya. Dia sudah gemas terhadap Pramudina yang begitu sinis padanya kini.

Saat perempuan itu telah kembali dari kamar mandi dan sudah lengkap dengan dress lengan pendek bergaya v neck yang panjangnya setengah pahanya. Rambutnya dicepol asal saat hendak berjalan ke meja rias untuk menghapus riasan wajahnya.

Adimas beranjak menghampiri istrinya itu sambil melepaskan gesper celana bahan yang masih dikenakannya. Lelaki itu berdiri di depan Pramudina yang masih sibuk menghapus riasan wajahnya.

“Sayang, bersihin muka aku juga ya nanti, kotor.”

Pramudina hanya mengangguk pelan dan mamandang Adimas dari pantulan cermin yang belum juga mengenakan baju gantinya. Mereka merasa sangat lelah setelah beraktivitas seharian, meski itu juga menyenangkan karena keduanya bertemu dengan rekan dan kerabat dekat yang sudah lama tak jumpa.

Dilirik oleh Adimas jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan dia bersyukur bisa pulang lebih awal karena dia dapat menikmati pemandangan istrinya lebih leluasa lagi.

Setelah Pramudina selesai membersihkan wajahnya, Adimas duduk di tepi ranjang dan menarik kursi tempat istrinya duduk. Kini Pramudina bisa lebih mudah membersihkan wajah Adimas yang juga kotor oleh debu dan kotoran lainnya.

“Dim,” panggil Pramudina. “Itu tadi mas-mas yang salam ke aku siapa sih? Yang sendirian duduk samping kamu.”

“Oh itu Revaldi, Aldi namanya. Kenapa?” Tanya Adimas dengan mata yang memicing.

“Nanya aja, jarang liat orangnya di acara kumpul keluarga.”

“Ganteng ya? Dia sepupu aku juga, Sayang, dia baru aja balik dari Jerman buat kelarin sekolahnya. Sekarang udah Insinyur, Din.”

Pramudina setuju dan menyengir. “Iya ganteng. Oh keren dong.”

“Kalo keren iya, tapi soal ganteng, kayaknya gantengan aku deh sayang.” Adimas mengangkat tubuh Pramudina berpindah di atas pahanya. “Coba liat aku dari deket sekarang, kayak gini.”

Pramudina memicingkan matanya, berusaha menyidik wajah Adimas. Bibirnya mengerucut sambil menggeleng pelan. “Ganteng sih, tapi...”

Adimas mengerutkan keningnya. “Tapi apa?”

“Tapi... nyebelin.”

Adimas mengerutkan hidungnya gemas, dia mendekati wajah Pramudina seraya mengendus-ngendus pipi istrinya itu. Entah sejak kapan tangannya yang lain sudah menelusup bagian bawah pakaian Pramudina. Tangannya terus meraba paha hingga Pramudina dibuat bergelinjang di pangkuan Adimas.

“Engh, Dim.” Pramudina meremat bahu bidang lelaki itu sambil menggigit bibirnya, tidak berusaha menolak sentuhan Adimas. “Kamu mau ajak adek jalan-jalan ke mana emangnya?”

“Kamu maunya ke mana, Sayang?”

“Aku gak tau kenapa pengen ke Ancol, Dim. Macet nggak ya?” Pramudina melingkarkan tangannya di leher Adimas. “Terus pengen belanja juga kalau sempet.”

“Ayo, boleh, Hun. Macet sih jangan ditanya, tapi pasti penuh kalau weekend. Tapi nggak apa-apa kita ke sana ya nanti.” Adimas membelai wajah Pramudina. “Abis itu kita belanja ya, kamu mau beli apa emangnya?”

“Skincare-ku udah mau habis, terus aku mau cari makeup juga sama pengen beli baju katanya lagi banyak yang sale besar-besaran. Boleh ya, Dim?” Pinta Pramudina manja. Dia membelai wajah Adimas dengan lembut.

“Sini, cium dulu,” kata Adimas.

Pramudina memajukan duduknya lebih dekat dengan Adimas hingga dada keduanya bertubrukan. Perempuan itu meraih bibir lelakinya perlahan dengan lumatan lembutnya pada ranum tebal yang menyatu dengan miliknya. Saat ia hendak melepaskan ciumannya dan kembali membuka mata Adimas meremat pahanya untuk menahan dirinya menjauh.

Hisapan Adimas membuatnya kembali memejamkan matanya dan menikmati tangan lelaki itu yang menyentuh bagian dada istrinya. Ciuman berlangsung semakin panas setelah sang lelaki dengan rakus menghabisi bibir perempuan itu dengan mengulumnya tanpa ampun.

Pramudina menyentuh lengan yang penuh dengan garis urat menonjol saat lelaki itu hendak menyusuri bagian paha dalamnya. Ia meremat tangan itu dengan erangan dalam tautan yang masih berlangsung.

Lelaki itu membuat Pramudina membuka mulutnya lebih lebar dan membebaskan lidah Adimas menyusuri keseluruhan bibir perempuannya. Adimas memang jagonya soal pergulatan lidah yang kadang membuat Pramudina kewalahan. Lihat saja bagaimana lihainya saat Adimas memainkan lidahnya yang dihisap oleh bibir seksi istrinya.

“Mmh,” gumam Pramudina pelan saat merasakan hawa dingin yang menusuk bagian belakang tubuhnya. Adimas telah menurunkan resleting pakaiannya dari belakang sana.

“Euh, Hun, pindah ke ranjang ya?” Kata Adimas setelah melepaskan pagutannya pada milik sang istri. Kini dia mengangkat tubuh Pramudina dan berpindah ke atas ranjang.

Pramudina hanya mengangguk pelan, dia sudah pasrah jika akan menjadi makan malam bagi Adimas yang kelaparan sekarang. Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, dan merangkak di atas tubuh istrinya selanjutnya.

“Hun, bukain celana aku.”

Pramudina melihat celana itu sudah tampak sesak dengan sesuatu yang semakin membesar dan menonjol di baliknya. Pramudina hanya menurut, dia melepaskan celana bahan yang dikenakan Adimas menyisakan pakaian dalam lelaki itu yang begitu ketat.

Sekarang wajahnya berhadapan dengan milik Adimas yang masih dibalut oleh kain terakhir di tubuh lelaki itu. Pramudina meremas paha Adimas dan membuat lelaki itu menggeram.

“Hun, lepasin ini.”

Adimas memandang mata sayu Pramudina sambil menggigit bibirnya saat istrinya menurunkan kain terakhir yang ia kenakan. Pramudina menelan ludahnya sulit ketika melihat sesuatu yang ada di atasnya itu begitu tegak dan besar. Dengan ragu, perempuan itu menyentuh benda kokoh di atas wajahnya. Adimas mengerang saat Pramudina memegang miliknya dengan begitu ketat.

Mata Pramudina berbinar saat Adimas mengerang seraya membelai rambutnya lembut. Perlahan perempuan itu mulai menggerakan milik suaminya seperti yang biasa dia lakukan pada Adimas.

“Din, aku mau masuk.”

Pramudina tampak membuka mulutnya, Adimas mengarahkan miliknya ke arah sana dan membiarkan sesuatu yang lunak menyusuri kejantanannya.

“Uh, Din...” Adimas menggeram kuat, tangannya menelusup ke dalam kerah pakaian istrinya. Dia meremas sesuatu yang berisi dari balik pakaian perempuan itu.

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil mengisap rokok elektriknya hingga menguar aroma blueberry ice. Adimas memandangi setiap gerak-gerik Pramudina sambil sesekali mengisap pod-nya lagi.

Pramudina menoleh sedikit kepalanya saat ia memunggungi Adimas. Matanya menyorot tajam lelaki itu. Hingga saat semua kainnya berhasil terlepas satu persatu, Adimas bersiul menggodanya.

“Udah gitu aja, biar aku nggak ribet, Din,” goda Adimas.

Pramudina tak membiarkan lama-lama tubuhnya menjadi tontonan suaminya, dia buru-buru memakai outer dress piyama merah mudanya itu. Perempuan itu segera membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi.

“Ah sayang,” Adimas mendesah pelan. “Kenapa di dalem gantinya?”

Dia terkekeh melihat tingkah istrinya yang malu-malu setelah ia goda habis-habisan bahkan sejak mereka hendak pulang ke rumah. Padahal Adimas sudah sejak tadi ingin sekali meringkus istrinya itu ke dalam pelukannya. Dia sudah gemas terhadap Pramudina yang begitu sinis padanya kini.

Saat perempuan itu telah kembali dari kamar mandi dan sudah lengkap dengan dress lengan pendek bergaya v neck yang panjangnya setengah pahanya. Rambutnya dicepol asal saat hendak berjalan ke meja rias untuk menghapus riasan wajahnya.

Adimas beranjak menghampiri istrinya itu sambil melepaskan gesper celana bahan yang masih dikenakannya. Lelaki itu berdiri di depan Pramudina yang masih sibuk menghapus riasan wajahnya.

“Sayang, bersihin muka aku juga ya nanti, kotor.”

Pramudina hanya mengangguk pelan dan mamandang Adimas dari pantulan cermin yang belum juga mengenakan baju gantinya. Mereka merasa sangat lelah setelah beraktivitas seharian, meski itu juga menyenangkan karena keduanya bertemu dengan rekan dan kerabat dekat yang sudah lama tak jumpa.

Dilirik oleh Adimas jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan dia bersyukur bisa pulang lebih awal karena dia dapat menikmati pemandangan istrinya lebih leluasa lagi.

Setelah Pramudina selesai membersihkan wajahnya, Adimas duduk di tepi ranjang dan menarik kursi tempat istrinya duduk. Kini Pramudina bisa lebih mudah membersihkan wajah Adimas yang juga kotor oleh debu dan kotoran lainnya.

“Dim,” panggil Pramudina. “Itu tadi mas-mas yang salam ke aku siapa sih? Yang sendirian duduk samping kamu.”

“Oh itu Revaldi, Aldi namanya. Kenapa?” Tanya Adimas dengan mata yang memicing.

“Nanya aja, jarang liat orangnya di acara kumpul keluarga.”

“Ganteng ya? Dia sepupu aku juga, Sayang, dia baru aja balik dari Jerman buat kelarin sekolahnya. Sekarang udah Insinyur, Din.”

Pramudina setuju dan menyengir. “Iya ganteng. Oh keren dong.”

“Kalo keren iya, tapi soal ganteng, kayaknya gantengan aku deh sayang.” Adimas mengangkat tubuh Pramudina berpindah di atas pahanya. “Coba liat aku dari deket sekarang, kayak gini.”

Pramudina memicingkan matanya, berusaha menyidik wajah Adimas. Bibirnya mengerucut sambil menggeleng pelan. “Ganteng sih, tapi...”

Adimas mengerutkan keningnya. “Tapi apa?”

“Tapi... nyebelin.”

Adimas mengerutkan hidungnya gemas, dia mendekati wajah Pramudina seraya mengendus-ngendus pipi istrinya itu. Entah sejak kapan tangannya yang lain sudah menelusup bagian bawah pakaian Pramudina. Tangannya terus meraba paha hingga Pramudina dibuat bergelinjang di pangkuan Adimas.

“Engh, Dim.” Pramudina meremat bahu bidang lelaki itu sambil menggigit bibirnya, tidak berusaha menolak sentuhan Adimas. “Kamu mau ajak adek jalan-jalan ke mana emangnya?”

“Kamu maunya ke mana, Sayang?”

“Aku gak tau kenapa pengen ke Ancol, Dim. Macet nggak ya?” Pramudina melingkarkan tangannya di leher Adimas. “Terus pengen belanja juga kalau sempet.”

“Ayo, boleh, Hun. Macet sih jangan ditanya, tapi pasti penuh kalau weekend. Tapi nggak apa-apa kita ke sana ya nanti.” Adimas membelai wajah Pramudina. “Abis itu kita belanja ya, kamu mau beli apa emangnya?”

“Skincare-ku udah mau habis, terus aku mau cari makeup juga sama pengen beli baju katanya lagi banyak yang sale besar-besaran. Boleh ya, Dim?” Pinta Pramudina manja. Dia membelai wajah Adimas dengan lembut.

“Sini, cium dulu,” kata Adimas.

Pramudina memajukan duduknya lebih dekat dengan Adimas hingga dada keduanya bertubrukan. Perempuan itu meraih bibir lelakinya perlahan dengan lumatan lembutnya pada ranum tebal yang menyatu dengan miliknya. Saat ia hendak melepaskan ciumannya dan kembali membuka mata Adimas meremat pahanya untuk menahan dirinya menjauh.

Hisapan Adimas membuatnya kembali memejamkan matanya dan menikmati tangan lelaki itu yang menyentuh bagian dada istrinya. Ciuman berlangsung semakin panas setelah sang lelaki dengan rakus menghabisi bibir perempuan itu dengan mengulumnya tanpa ampun.

Pramudina menyentuh lengan yang penuh dengan garis urat menonjol saat lelaki itu hendak menyusuri bagian paha dalamnya. Ia meremat tangan itu dengan erangan dalam tautan yang masih berlangsung.

Lelaki itu membuat Pramudina membuka mulutnya lebih lebar dan membebaskan lidah Adimas menyusuri keseluruhan bibir perempuannya. Adimas memang jagonya soal pergulatan lidah yang kadang membuat Pramudina kewalahan. Lihat saja bagaimana lihainya saat Adimas memainkan lidahnya yang dihisap oleh bibir seksi istrinya.

“Mmh,” gumam Pramudina pelan saat merasakan hawa dingin yang menusuk bagian belakang tubuhnya. Adimas telah menurunkan resleting pakaiannya dari belakang sana.

“Euh, Hun, pindah ke ranjang ya?” Kata Adimas setelah melepaskan pagutannya pada milik sang istri. Kini dia mengangkat tubuh Pramudina dan berpindah ke atas ranjang.

Pramudina hanya mengangguk pelan, dia sudah pasrah jika akan menjadi makan malam bagi Adimas yang kelaparan sekarang. Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, dan merangkak di atas tubuh istrinya selanjutnya.

“Hun, bukain celana aku.”

Pramudina melihat celana itu sudah tampak sesak dengan sesuatu yang semakin membesar dan menonjol di baliknya. Pramudina hanya menurut, dia melepaskan celana bahan yang dikenakan Adimas menyisakan pakaian dalam lelaki itu yang begitu ketat.

Sekarang wajahnya berhadapan dengan milik Adimas yang masih dibalut oleh kain terakhir di tubuh lelaki itu. Pramudina meremas paha Adimas dan membuat lelaki itu menggeram.

“Hun, lepasin ini.”

Adimas memandang mata sayu Pramudina sambil menggigit bibirnya saat istrinya menurunkan kain terakhir yang ia kenakan. Pramudina menelan ludahnya sulit ketika melihat sesuatu yang ada di atasnya itu begitu tegak dan besar. Dengan ragu, perempuan itu menyentuh benda kokoh di atas wajahnya. Adimas mengerang saat Pramudina memegang miliknya dengan begitu ketat.

Mata Pramudina berbinar saat Adimas mengerang seraya membelai rambutnya lembut. Perlahan perempuan itu mulai menggerakan milik suaminya seperti yang biasa dia lakukan pada Adimas.

“Din, aku mau masuk.”

Pramudina tampak membuka mulutnya, Adimas mengarahkan miliknya ke arah sana dan membiarkan sesuatu yang lunak menyusuri kejantanannya.

“Uh, Din...” Adimas menggeram kuat, tangannya menelusup ke dalam kerah pakaian istrinya. Dia meremas sesuatu yang berisi dari balik pakaian perempuan itu.

J

The Chance

Kalau saja Adimas tidak menitipkan Kenanga pada kakaknya—Sonia, dia pasti tidak akan lagi mendapat kesempatan bisa berduaan dengan Pramudina. Selepas acara resepsi pernikahan sepupu Adimas sore tadi, Kenanga yang asyik bermain dengan Lily—sepupunya, Adimas menyarankan gadis kecilnya itu untuk menginap di rumah Lily.

Tidak disangka anaknya itu sangat antusias menyambut hari esok yang masih libur sekolah agar bisa bermain dengan saudaranya. Tentu Adimas dengan senang hati mengizinkan anaknya menginap dengan iming-iming hari Minggu nanti ia akan dijemput sekaligus diajak jalan-jalan oleh orang tuanya.

Setelah Kenanga setuju, Adimas segera menitipkan anaknya pada sang Kakak Perempuannya, Sonia. Tentu Sonia dengan senang hati juga menerima Kenanga di rumahnya, apalagi dia juga kerapkali menitipkan Lily pada Adimas dan Pramudina. Meski dia sudah tau adiknya itu ingin bisa leluasa bersama sang istri di malam minggu ini.

Jadilah, Adimas berakhir berduaan bersama Pramudina. Mereka berdua baru saja sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Adimas terlihat dengan senyuman sumringahnya sepanjang dia berjalan masuk ke dalam kamar yang diikuti istrinya di belakangnya.

Pramudina hanya mengulum senyuman memandang suaminya yang mesem-mesem tak jelas membuatnya malu sendiri melihatnya.

“Kamu kenapa sih Dim?” Pramudina menggeleng tak percaya. “Aneh banget anak kamu nggak ada malah seneng. Jahat kamu, Dim.”

Adimas tertawa geli seraya melepaskan kancing baju batik yang dipakainya tadi. Sedikit demi sedikit pakaiannya terlepas dan memperlihatkan dada bidangnya yang sedikit berbulu itu. Setelah menaruh pakaian kotornya ke dalam kantung cucian, dia mengangkat pandangnya sambil mengamati Pramudina yang sedang berusaha melepaskan baju kebayanya.

“Mau dibantu nggak?” Tawar Dimas.

“Gak,” timpal Pramudina. Dia sudah sebal melihat senyum nakal lelaki itu. “Kamu suka macem-macem.”

“Akhirnya bisa berduaan sama kamu ya sayang,” ujar Adimas sambil mengisap rokok elektriknya hingga menguar aroma blueberry ice. Adimas memandangi setiap gerak-gerik Pramudina sambil sesekali mengisap pod-nya lagi.

Pramudina menoleh sedikit kepalanya saat ia memunggungi Adimas. Matanya menyorot tajam lelaki itu. Hingga saat semua kainnya berhasil terlepas satu persatu, Adimas bersiul menggodanya.

“Udah gitu aja, biar aku nggak ribet, Din,” goda Adimas.

Pramudina tak membiarkan lama-lama tubuhnya menjadi tontonan suaminya, dia buru-buru memakai outer dress piyama merah mudanya itu. Perempuan itu segera membawa baju gantinya ke dalam kamar mandi.

“Ah sayang,” Adimas mendesah pelan. “Kenapa di dalem gantinya?”

Dia terkekeh melihat tingkah istrinya yang malu-malu setelah ia goda habis-habisan bahkan sejak mereka hendak pulang ke rumah. Padahal Adimas sudah sejak tadi ingin sekali meringkus istrinya itu ke dalam pelukannya. Dia sudah gemas terhadap Pramudina yang begitu sinis padanya kini.

Saat perempuan itu telah kembali dari kamar mandi dan sudah lengkap dengan dress lengan pendek bergaya v neck yang panjangnya setengah pahanya. Rambutnya dicepol asal saat hendak berjalan ke meja rias untuk menghapus riasan wajahnya.

Adimas beranjak menghampiri istrinya itu sambil melepaskan gesper celana bahan yang masih dikenakannya. Lelaki itu berdiri di depan Pramudina yang masih sibuk menghapus riasan wajahnya.

“Sayang, bersihin muka aku juga ya nanti, kotor.”

Pramudina hanya mengangguk pelan dan mamandang Adimas dari pantulan cermin yang belum juga mengenakan baju gantinya. Mereka merasa sangat lelah setelah beraktivitas seharian, meski itu juga menyenangkan karena keduanya bertemu dengan rekan dan kerabat dekat yang sudah lama tak jumpa.

Dilirik oleh Adimas jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan dia bersyukur bisa pulang lebih awal karena dia dapat menikmati pemandangan istrinya lebih leluasa lagi.

Setelah Pramudina selesai membersihkan wajahnya, Adimas duduk di tepi ranjang dan menarik kursi tempat istrinya duduk. Kini Pramudina bisa lebih mudah membersihkan wajah Adimas yang juga kotor oleh debu dan kotoran lainnya.

“Dim,” panggil Pramudina. “Itu tadi mas-mas yang salam ke aku siapa sih? Yang sendirian duduk samping kamu.”

“Oh itu Revaldi, Aldi namanya. Kenapa?” Tanya Adimas dengan mata yang memicing.

“Nanya aja, jarang liat orangnya di acara kumpul keluarga.”

“Ganteng ya? Dia sepupu aku juga, Sayang, dia baru aja balik dari Jerman buat kelarin sekolahnya. Sekarang udah Insinyur, Din.”

Pramudina setuju dan menyengir. “Iya ganteng. Oh keren dong.”

“Kalo keren iya, tapi soal ganteng, kayaknya gantengan aku deh sayang.” Adimas mengangkat tubuh Pramudina berpindah di atas pahanya. “Coba liat aku dari deket sekarang, kayak gini.”

Pramudina memicingkan matanya, berusaha menyidik wajah Adimas. Bibirnya mengerucut sambil menggeleng pelan. “Ganteng sih, tapi...”

Adimas mengerutkan keningnya. “Tapi apa?”

“Tapi... nyebelin.”

Adimas mengerutkan hidungnya gemas, dia mendekati wajah Pramudina seraya mengendus-ngendus pipi istrinya itu. Entah sejak kapan tangannya yang lain sudah menelusup bagian bawah pakaian Pramudina. Tangannya terus meraba paha hingga Pramudina dibuat bergelinjang di pangkuan Adimas.

“Engh, Dim.” Pramudina meremat bahu bidang lelaki itu sambil menggigit bibirnya, tidak berusaha menolak sentuhan Adimas. “Kamu mau ajak adek jalan-jalan ke mana emangnya?”

“Kamu maunya ke mana, Sayang?”

“Aku gak tau kenapa pengen ke Ancol, Dim. Macet nggak ya?” Pramudina melingkarkan tangannya di leher Adimas. “Terus pengen belanja juga kalau sempet.”

“Ayo, boleh, Hun. Macet sih jangan ditanya, tapi pasti penuh kalau weekend. Tapi nggak apa-apa kita ke sana ya nanti.” Adimas membelai wajah Pramudina. “Abis itu kita belanja ya, kamu mau beli apa emangnya?”

“Skincare-ku udah mau habis, terus aku mau cari makeup juga sama pengen beli baju katanya lagi banyak yang sale besar-besaran. Boleh ya, Dim?” Pinta Pramudina manja. Dia membelai wajah Adimas dengan lembut.

“Sini, cium dulu,” kata Adimas.

Pramudina memajukan duduknya lebih dekat dengan Adimas hingga dada keduanya bertubrukan. Perempuan itu meraih bibir lelakinya perlahan dengan lumatan lembutnya pada ranum tebal yang menyatu dengan miliknya. Saat ia hendak melepaskan ciumannya dan kembali membuka mata Adimas meremat pahanya untuk menahan dirinya menjauh.

Hisapan Adimas membuatnya kembali memejamkan matanya dan menikmati tangan lelaki itu yang menyentuh bagian dada istrinya. Ciuman berlangsung semakin panas setelah sang lelaki dengan rakus menghabisi bibir perempuan itu dengan mengulumnya tanpa ampun.

Pramudina menyentuh lengan yang penuh dengan garis urat menonjol saat lelaki itu hendak menyusuri bagian paha dalamnya. Ia meremat tangan itu dengan erangan dalam tautan yang masih berlangsung.

Lelaki itu membuat Pramudina membuka mulutnya lebih lebar dan membebaskan lidah Adimas menyusuri keseluruhan bibir perempuannya. Adimas memang jagonya soal pergulatan lidah yang kadang membuat Pramudina kewalahan. Lihat saja bagaimana lihainya saat Adimas memainkan lidahnya yang dihisap oleh bibir seksi istrinya.

“Mmh,” gumam Pramudina pelan saat merasakan hawa dingin yang menusuk bagian belakang tubuhnya. Adimas telah menurunkan resleting pakaiannya dari belakang sana.

“Euh, Hun, pindah ke ranjang ya?” Kata Adimas setelah melepaskan pagutannya pada milik sang istri. Kini dia mengangkat tubuh Pramudina dan berpindah ke atas ranjang.

Pramudina hanya mengangguk pelan, dia sudah pasrah jika akan menjadi makan malam bagi Adimas yang kelaparan sekarang. Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, dan merangkak di atas tubuh istrinya selanjutnya.

“Hun, bukain celana aku.”

Pramudina melihat celana itu sudah tampak sesak dengan sesuatu yang semakin membesar dan menonjol di baliknya. Pramudina hanya menurut, dia melepaskan celana bahan yang dikenakan Adimas menyisakan pakaian dalam lelaki itu yang begitu ketat.

Sekarang wajahnya berhadapan dengan milik Adimas yang masih dibalut oleh kain terakhir di tubuh lelaki itu. Pramudina meremas paha Adimas dan membuat lelaki itu menggeram.

“Hun, lepasin ini.”

Adimas memandang mata sayu Pramudina sambil menggigit bibirnya saat istrinya menurunkan kain terakhir yang ia kenakan. Pramudina menelan ludahnya sulit ketika melihat sesuatu yang ada di atasnya itu begitu tegak dan besar. Dengan ragu, perempuan itu menyentuh benda kokoh di atas wajahnya. Adimas mengerang saat Pramudina memegang miliknya dengan begitu ketat.

Mata Pramudina berbinar saat Adimas mengerang seraya membelai rambutnya lembut. Perlahan perempuan itu mulai menggerakan milik suaminya seperti yang biasa dia lakukan pada Adimas.

“Din, aku mau masuk.”

Pramudina tampak membuka mulutnya, Adimas mengarahkan miliknya ke arah sana dan membiarkan sesuatu yang lunak menyusuri kejantanannya.

“Uh, Din...” Adimas menggeram kuat, tangannya menelusup ke dalam kerah pakaian istrinya. Dia meremas sesuatu yang berisi dari balik pakaian perempuan itu.

“Mana yang katanya kangen saya?”

Wira meraih pinggang istrinya agar senantiasa lebih dekat di atasnya, oh tidak ini bahkan terlalu dekat hingga napas mereka saling bersahutan. Setiap detik bersama Airin ialah waktu yang berharga bagi Wira, dia bahkan tak ingin menyia-nyiakan itu semua. Lihat saja bagaimana matanya terus terjaga meski dia sangat lelah karena baru tiba di rumah pukul 2 dini hari tadi. Hanya saja karena Airin yang semula menggelayut manja padanya, dia jadi semakin tak ingin segera beristirahat. Rasanya seperti tak ada waktu esok pagi untuk bisa berduaan dengan Airin meski dia libur besok.

Sekarang dia sedikit mengangkat tubuh Airin ke atas pahanya, membiarkan perempuan itu menikmati pelukan hangat suaminya meski sekarang Wira menariknya penuh ke atas pangkuannya. Ah, ini terlalu nyaman dan Airin tak ingin segera beranjak.

“Geli, kumis tipis kamu bikin aku merinding,” gumam Airin saat merasakan Wira menelusupkan kepalanya di ceruk lehernya.

Wira tidak langsung diam, sialnya dia malah membuat Airin tak sengaja mengerang saat merasakan bibir tebal mencecap kulitnya dengan kecupan lembut yang membuatnya menggelinjang.

“Mas… nggak capek? Kamu nggak mau tidur aja?”

“Nggak, saya maunya kamu.”

“Udah mau pagi, Mas,” erang Airin.

“Habis itu kita langsung mandi.”

Sembari merasakan setiap sentuhan yang semakin mengembara di sekujur tubuhnya Airin tak tinggal diam, dia menengadah sambil menarik rambut lelaki itu agar menunduk memandangnya, Wira seperti tenggelam di mata wanitanya hingga dia tak kuasa mencium Airin. Meski tak lama saat istrinya sedang menikmatinya, Wira langsung melepaskan tautannya, Airin menatapnya cemberut.

“Sayang, boleh saya minta untuk ciumin sekujur tubuh saya?”