winwincure

Permohonan.

Sebenarnya Alana tidak mau menghampiri Arion yang sudah memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, lelaki itu memang sempat ditawarkan masuk ke dalam oleh bundanya Alana tetapi dia tidak mau karena dia hanya ingin bertemu Alana. Alana terpaksa keluar untuk menghampiri Arion di tengah emosi yang masih membuncah karena lelaki itu sangat keras kepala. Alana terdiam melihat wajah kusut Arion yang penuh penyesalan saat memandangnya.

Arion tersenyum miris, sementara yang ditatap malah membuang mukanya, mata Alana tidak bisa berbohong jika dia habis menangis.

“Ke mobil sebentar yuk?” ajak Arion.

“Di sini aja.”

“Sebentar. Gak enak kalo orang rumah denger, ada yang mau aku bicarain.” Arion menyentuh pergelangan tangan Alana namun dengan lembut gadis itu menepisnya. Arion menghela napasnya. “Ayo.”

Alana pun melangkah terlebih dahulu yang disusul Arion saat mereka masuk ke dalam mobil lelaki itu. Alana terus memalingkan pandangannya dari Arion seolah-olah dia tidak mau kontak mata dengan lelaki itu. Dia terlihat sangat marah pada Arion.

“Jangan lama-lama,” kata Alana.

Arion menghela napasnya panjang, dia menolah pada gadis yang tampak memandang ke arah jendela, dia menepuk bahu Alana. “Liat aku.”

Alana menggelengkan kepalanya dan menepis tangan Arion sehingga lelaki itu tampak mendesah pasrah. “Na ...”

Arion bisa melihat gadis di sampingnya itu tampak langsung menutup wajahnya, tak lama ia mendengar suara tangisan Alana yang membuatnya merasa bersalah. Arion mendekatkan dirinya pada Alana, mereka duduk di bangku belakang mobil sehingga Arion bisa menjangkau gadis itu dengan mudah. “Hey, jangan nangis...”

“Alana, maaf...” Arion menangkup kedua wajah Alana, sesekali dia akan menyeka air mata gadis itu, lelaki itu tidak tahan melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu. Arion pun menempelkan dahinya dengan dahi gadis itu, dia memejamkan matanya lama lalu mengecup dahi Alana lembut. “Maafin aku...”

Alana tidak menjawab, dia masih merasakan sesak di dadanya karena emosi yang membuncah dalam dirinya seolah terluapkan sekarang. Alana menjauhkan dirinya dari Arion, dia memalingkan pandangannya lagi sambil berusaha menahan tangisannya, napasnya tersenggal-senggal saat ia mulai bicara, dia melirik Arion dengan senyum tipis. “Kita cukup sampai sini aja ya? Kalau dilanjut akan saling menyakitkan.”

Arion tidak menjawab, dia masih terdiam dengan tatapan kosong sampai akhirnya ia tampak menutup wajahnya sambil menundukan kepalanya. Arion merasakan dadanya begitu sesak sekarang, diam-diam lelaki itu menangis, meskipun isakannya tidak terdengar oleh Alana.

“Aku belum baik untuk kamu, aku bukan yang terbaik,” ucap Alana.

Arion menengadah lagi sambil mengusap wajahnya kasar dengan mata memerah, dia menatap Alana dan menggeleng. “Engga, ga ada kata selesai. Tarik ucapan kamu barusan.”

Alana memandangi Arion, lelaki itu mengeluarkan air mata, terang saja Alana terkejut melihat Arion menangis karenanya. Arion memegang kedua tangan Alana dan mengusap matanya yang berlinang. “Aku minta maaf, please, kasih aku kesempatan lagi, aku mohon... Alana aku sayang kamu, aku gak bisa kehilangan kamu. Aku akan berusaha untuk bisa menjaga emosi aku, aku coba buat berubah jadi lebih baik lagi. Aku mohon, Na.”

Alana sejujurnya juga tidak mau hubungannya berakhir dengan Arion, tetapi dia juga tidak mau terjebak dalam hubungan percintaan yang tidak baik seperti ini. Ia merasa ini terlalu toxic untuk dijalani, namun di sisi lain, ia masih membutuhkan Arion di sampingnya. Alana bisa melihat bagaimana ketulusan lelaki itu saat ini, meski dia sempat kecewa dengan kata-kata kasar lelaki itu dari pesan chat tadi. Alana mengusap wajah Arion dan menyeka air mata lelaki itu lalu dia memeluk Arion erat. Pelukan itu semakin erat saat Arion membalasnya dan menumpahkan semua isakannya di ceruk leher gadis itu. Dia berbisik pelan. “I love you... Maafin aku, Alana.”


sumber: https://www.klook.com/id/activity/3973-hangpu-river-cruise-shanghai/


Shanghai, China


Hari semakin larut setelah William menghabiskan hampir setengah harinya untuk bersama Arasha, mulanya mereka pergi ke pusat perbelanjaan—entahlah lelaki itu sebenarnya hanya ingin membuat Arasha senang sehingga William memberikan kebebasan untuk gadis itu belanja apapun meskipun Arasha nyatanya hanya membeli beberapa pakaian padahal lelaki itu bahkan tidak akan peduli berapa uang yang akan dikeluarkan untuk Arasha.

Setelah berbelanja, mereka lanjut makan petang di mall tersebut sebelum melanjutkan perjalanan—yang tidak tahu akan kemana tetapi Arasha hanya mengikuti saja William akan membawanya kemana.

Untungnya William sudah fasih berbahasa Mandarin, jujur Arasha sampai terus menatapnya bingung kenapa lelaki itu begitu pandai, namun tidak ada satu pertanyaan pun yang diajukan olehnya terhadap William.

Sekarang mereka sedang berjalan entah kemana yang pasti William menggenggam gadis itu erat setelah keduanya turun dari mobil dan lelaki itu meminta kepada orang suruhannya untuk tidak menunggu keduanya. Arasha sesekali mengamati lelaki jangkung yang satu tangannya menggenggamnya dan satunya lagi menjinjing jas hitamnya.

Kota Shanghai sangat ramai di malam hari ya meskipun Arasha tidak tau letak tepatnya ada di mana tapi dia menikmati bagaimana gedung-gedung tinggi menjulang ada di sekitarnya dan banyak gemerlap lampu yang berwarna-warni membuat kota Shanghai tampak cantik dalam kegelapan.

William melirik pada gadis di sampingnya, dia melepaskan tangan Arasha. “Aku ingin membeli tiket.”

“Tiket apa?”

William tidak menjawab, dia mencondongkan badannya saat memandang Arasha. Lelaki itu menepuk kepala Arasha dua kali. “I'll take you on a cruise so we can explore Huangpu River, won't you?” William berbicara dengan senyuman manisnya, dia seperti sedang menjelaskan pada anak kecil. Saat Arasha mengangguk, lelaki itu pun meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam sebuah loket tiket dan untungnya loket tiket itu tidak memiliki antrian yang begitu panjang.


Arasha tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah berada di sebuah kapal pesiar yang akan membawanya menjelajahi kota Shanghai dari sudut pandang Huangpu River. Arasha sedikit bingung karena pikirnya tadi ada banyak orang yang mengantri bersamanya, dia memandang sekelilingnya.

Arasha dan William berada di haluan kapal—yang mana mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan indah dua wilayah kota Shanghai yang dipisahkan oleh Huangpu River yaitu Pudong dan Puxi.

“Aku menyewa haluan ini khusus untuk kau,” kata William—kala mereka duduk bersebelahan dengan pandangan yang langsung mengarah ke depan melihat kecantikan gemerlap kota di antara sungai dengan hembusan angin. William merangkul pundak gadis itu. “So, what's your thoughts?”

Arasha hanya tersenyum tipis saat memandang lelaki itu lalu pandangannya beralih pada bangunan gedung-gedung tinggi yang arsitekturnya terlihat berbeda dari gedung di wilayah Pudong. Dia melirik William yang dengan paham langsung menjelaskan. “Puxi is the historical heart of the city. In former foreign concession times, this was the area that hosted the multitude of foreign nationals from the mid-19th century to the World War II.

The area had a French Concession and an International Concession as well as a walled Chinese area. It is in this area that the historical houses and buildings (or what's left of them), the Bund, and the famous Art Deco heritage architecture are found.

sumber: https://www.tripsavvy.com/two-sides-of-shanghai-pudong-puxi-1495288

“Ooo...” Arasha hanya mengangguk sebelum sepesekian detik ia berbicara lagi, “Oh iya, actually I don't know are you fuently spoke in Chinese Langueage but I think you good at that, how could you—mm, I mean after a hundred time Ilook at you then I realize that you look like a half Chinese, so correct me if i'm wrong.

“Yeah, my mother's Chinese. I've live here when I was 11 years old, but after my grandma passed away, we move to New York then I met your sister in our teenager.” Willim tertawa renyah, dia memandangi Arasha. “Tidak hanya itu, kau tau? Ayahku yang membesarkan Wolfed corporation.”

Arasha memicingkan matanya, “Logan Wolfed?”

William membuka mulutnya terkejut. “Bagaimana bisa kau tau? I've never told you about my fam especially my dad's name.

“Namanya tertera di majalah yang tadi aku baca.”

William mengangguk samar, dia pun bangkit dari tempatnya duduk, berjalan ke luar haluan kapal. Gadis itu menghampiri William seraya membawa dua gelas wine. Arasha menyodorkan gelas itu pada William. Arasha mengangkat gelasnya ke atas, “so, cheers?

William tersenyum tipis dan mendentingkan gelasnya pada gelas gadis itu. Keduanya saling memandang, lebih tepatnya William yang menatap Arasha terlalu dalam sampai minumannya habis dalam sekali teguk. Ia menaruh minumannya di atas meja, begitupun dengan punya Arasha yang ditaruhnya juga.

William meraih tangan gadis itu dan mengusapnya pelan, tangannya yang lain mendorong Arasha agar lebih dekat dengannya. Napas William menari bersamaan dengan angin malam yang menerpa wajah Arasha, jantungnya semakin berdebar saat lelaki itu terus memandangnya. “Arasha, I've ask you before but maybe you don't take it seriously before so ... what if I proposed you to be my wife? Won't you?” William tersenyum miring, “But you know, I don't take any rejection from anyone including you, right?*”

Arasha masih diam, senyumannya mengembang tipis saat lelaki itu mengeluarkan sebuah ring box merah dari saku jasnya lalu meraih cincin berlian model solitaire klasik yang memiliki satu mata berlian dengan enam prong yang minimalis namun berkesan cantik. William memandang Arasha saat memegang tangan gadis itu, “so, can I?

“Ini sebuah ajakan atau paksaan?”

Both, I guess,” William terkekeh.

Arasha mengangguk. “Katamu aku tidak bisa menolak, bukan?”

William tersenyum lalu menyematkan cincin itu ke jari manis gadis yang sekarang sudah resmi menjadi tunangannya. “It's look beautiful on you.

Thanks.

William mengecup punggung tangan gadisnya, lalu memeluk pinggang Arasha erat seolah tempat ini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang berakhir dengan serius meskipun tidak pernah ada yang mengetahui bagaimana perasaan mereka satu sama lain selain mereka sendiri. William menarik dagu Arasha dan memberikan ciumannya sebagai hidangan penutup perjalanan melelahkan mereka hari ini. Arasha mengusap pelan rambut lelaki itu lalu membalas ciuman dari sosok asing yang kini menjadi tunangannya.

William melepaskan pagutannya sejenak, ia berbisik dengan napas tersenggal. “Aku mau lebih dari ini.”


sumber: https://www.klook.com/id/activity/3973-hangpu-river-cruise-shanghai/


Shanghai, China


Hari semakin larut setelah William menghabiskan hampir setengah harinya untuk bersama Arasha, mulanya mereka pergi ke pusat perbelanjaan—entahlah lelaki itu sebenarnya hanya ingin membuat Arasha senang sehingga William memberikan kebebasan untuk gadis itu belanja apapun meskipun Arasha nyatanya hanya membeli beberapa pakaian padahal lelaki itu bahkan tidak akan peduli berapa uang yang akan dikeluarkan untuk Arasha.

Setelah berbelanja, mereka lanjut makan petang di mall tersebut sebelum melanjutkan perjalanan—yang tidak tahu akan kemana tetapi Arasha hanya mengikuti saja William akan membawanya kemana.

Untungnya William sudah fasih berbahasa Mandarin, jujur Arasha sampai terus menatapnya bingung kenapa lelaki itu begitu pandai, namun tidak ada satu pertanyaan pun yang diajukan olehnya terhadap William.

Sekarang mereka sedang berjalan entah kemana yang pasti William menggenggam gadis itu erat setelah keduanya turun dari mobil dan lelaki itu meminta kepada orang suruhannya untuk tidak menunggu keduanya. Arasha sesekali mengamati lelaki jangkung yang satu tangannya menggenggamnya dan satunya lagi menjinjing jas hitamnya.

Kota Shanghai sangat ramai di malam hari ya meskipun Arasha tidak tau letak tepatnya ada di mana tapi dia menikmati bagaimana gedung-gedung tinggi menjulang ada di sekitarnya dan banyak gemerlap lampu yang berwarna-warni membuat kota Shanghai tampak cantik dalam kegelapan.

William melirik pada gadis di sampingnya, dia melepaskan tangan Arasha. “Aku ingin membeli tiket.”

“Tiket apa?”

William tidak menjawab, dia mencondongkan badannya saat memandang Arasha. Lelaki itu menepuk kepala Arasha dua kali. “I'll take you on a cruise so we can explore Huangpu River, won't you?” William berbicara dengan senyuman manisnya, dia seperti sedang menjelaskan pada anak kecil. Saat Arasha mengangguk, lelaki itu pun meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam sebuah loket tiket dan untungnya loket tiket itu tidak memiliki antrian yang begitu panjang.


Arasha tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah berada di sebuah kapal pesiar yang akan membawanya menjelajahi kota Shanghai dari sudut pandang Huangpu River. Arasha sedikit bingung karena pikirnya tadi ada banyak orang yang mengantri bersamanya, dia memandang sekelilingnya.

Arasha dan William berada di haluan kapal—yang mana mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan indah dua wilayah kota Shanghai yang dipisahkan oleh Huangpu River yaitu Pudong dan Puxi.

“Aku menyewa haluan ini khusus untuk kau,” kata William—kala mereka duduk bersebelahan dengan pandangan yang langsung mengarah ke depan melihat kecantikan gemerlap kota di antara sungai dengan hembusan angin. William merangkul pundak gadis itu. “So, what's your thoughts?”

Arasha hanya tersenyum tipis saat memandang lelaki itu lalu pandangannya beralih pada bangunan gedung-gedung tinggi yang arsitekturnya terlihat berbeda dari gedung di wilayah Pudong. Dia melirik William yang dengan paham langsung menjelaskan. “Puxi is the historical heart of the city. In former foreign concession times, this was the area that hosted the multitude of foreign nationals from the mid-19th century to the World War II.

The area had a French Concession and an International Concession as well as a walled Chinese area. It is in this area that the historical houses and buildings (or what's left of them), the Bund, and the famous Art Deco heritage architecture are found.

sumber: https://www.tripsavvy.com/two-sides-of-shanghai-pudong-puxi-1495288

“Ooo...” Arasha hanya mengangguk sebelum sepesekian detik ia berbicara lagi, “Oh iya, actually I don't know are you fuently spoke in Chinese Langueage but I think you good at that, how could you—mm, I mean after a hundred time Ilook at you then I realize that you look like a half Chinese, so correct me if i'm wrong.

“Yeah, my mother's Chinese. I lived here when I was 11 years old, but after my grandma passed away, we decided moved to New York then I met your sister in our teenager.” Willim tertawa renyah, dia memandangi Arasha. “Tidak hanya itu, kau tau? Ayahku yang membesarkan Wolfed corporation.”

Arasha memicingkan matanya, “Logan Wolfed?”

William membuka mulutnya terkejut. “Bagaimana bisa kau tau? I've never told you about my fam especially my dad's name.

“Namanya tertera di majalah yang tadi aku baca.”

William mengangguk samar, dia pun bangkit dari tempatnya duduk, berjalan ke luar haluan kapal. Gadis itu menghampiri William seraya membawa dua gelas wine. Arasha menyodorkan gelas itu pada William. Arasha mengangkat gelasnya ke atas, “so, cheers?

William tersenyum tipis dan mendentingkan gelasnya pada gelas gadis itu. Keduanya saling memandang, lebih tepatnya William yang menatap Arasha terlalu dalam dan setelah itu ia meminum wine-nya hingga habis dalam sekali teguk. Ia menaruh minumannya di atas meja, begitupun dengan punya Arasha yang ditaruhnya juga.

William meraih tangan gadis itu dan mengusapnya pelan, tangannya yang lain mendorong Arasha agar lebih dekat dengannya. Napas William menari bersamaan dengan angin malam yang menerpa wajah Arasha, jantungnya semakin berdebar saat lelaki itu terus memandangnya. “Arasha, I've ask you before but maybe you don't take it seriously before so ... what if I proposed you to be my wife? Won't you?” William tersenyum miring, “But you know, I don't take any rejection from anyone including you, right?*”

Arasha masih diam, senyumannya mengembang tipis saat lelaki itu mengeluarkan sebuah ring box merah dari saku jasnya lalu meraih cincin berlian model solitaire klasik yang memiliki satu mata berlian dengan enam prong yang minimalis namun berkesan cantik. William memandang Arasha saat memegang tangan gadis itu, “so, can I?

“Ini sebuah ajakan atau paksaan?”

Both, I guess,” William terkekeh.

Arasha mengangguk. “Katamu aku tidak bisa menolak, bukan?”

William tersenyum lalu menyematkan cincin itu ke jari manis gadis yang sekarang sudah resmi menjadi tunangannya. “It's look beautiful on you.

Thanks.

“Setelah kau jadi milikku, jangan harap kau bisa lepas dariku, Arasha.”

William mengecup punggung tangan gadisnya, lalu memeluk pinggang Arasha erat seolah tempat ini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang berakhir dengan serius meskipun tidak pernah ada yang mengetahui bagaimana perasaan mereka satu sama lain selain mereka sendiri. William menarik dagu Arasha dan memberikan ciumannya sebagai hidangan penutup perjalanan melelahkan mereka hari ini. Arasha mengusap pelan rambut lelaki itu lalu membalas ciuman dari sosok asing yang kini menjadi tunangannya.

William melepaskan pagutannya sejenak, ia berbisik dengan napas tersenggal. “Aku mau lebih dari ini.”

But we're in...

William memotong pembicaraan, dia mengecup gadis itu sekilas dan memutar bola matanya jengah, “yeah, that's the problem. Aku tidak mau kejadian di pesawat itu terulang, tapi baiklah aku tidak akan menyia-nyiakan ini.” Dia kembali menarik tengkuk gadis itu dan mencium Arasha lagi—mercilessly.


sumber: https://www.klook.com/id/activity/3973-hangpu-river-cruise-shanghai/


Shanghai, China


Hari semakin larut setelah William menghabiskan hampir setengah harinya untuk bersama Arasha, mulanya mereka pergi ke pusat perbelanjaan—entahlah lelaki itu sebenarnya hanya ingin membuat Arasha senang sehingga William memberikan kebebasan untuk gadis itu belanja apapun meskipun Arasha nyatanya hanya membeli beberapa pakaian padahal lelaki itu bahkan tidak akan peduli berapa uang yang akan dikeluarkan untuk Arasha.

Setelah berbelanja, mereka lanjut makan petang di mall tersebut sebelum melanjutkan perjalanan—yang tidak tahu akan kemana tetapi Arasha hanya mengikuti saja William akan membawanya kemana.

Untungnya William sudah fasih berbahasa Mandarin, jujur Arasha sampai terus menatapnya bingung kenapa lelaki itu begitu pandai, namun tidak ada satu pertanyaan pun yang diajukan olehnya terhadap William.

Sekarang mereka sedang berjalan entah kemana yang pasti William menggenggam gadis itu erat setelah keduanya turun dari mobil dan lelaki itu meminta kepada orang suruhannya untuk tidak menunggu keduanya. Arasha sesekali mengamati lelaki jangkung yang satu tangannya menggenggamnya dan satunya lagi menjinjing jas hitamnya.

Kota Shanghai sangat ramai di malam hari ya meskipun Arasha tidak tau letak tepatnya ada di mana tapi dia menikmati bagaimana gedung-gedung tinggi menjulang ada di sekitarnya dan banyak gemerlap lampu yang berwarna-warni membuat kota Shanghai tampak cantik dalam kegelapan.

William melirik pada gadis di sampingnya, dia melepaskan tangan Arasha. “Aku ingin membeli tiket.”

“Tiket apa?”

William tidak menjawab, dia mencondongkan badannya saat memandang Arasha. Lelaki itu menepuk kepala Arasha dua kali. “I'll take you on a cruise so we can explore Huangpu River, won't you?” William berbicara dengan senyuman manisnya, dia seperti sedang menjelaskan pada anak kecil. Saat Arasha mengangguk, lelaki itu pun meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam sebuah loket tiket dan untungnya loket tiket itu tidak memiliki antrian yang begitu panjang.


Arasha tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah berada di sebuah kapal pesiar yang akan membawanya menjelajahi kota Shanghai dari sudut pandang Huangpu River. Arasha sedikit bingung karena pikirnya tadi ada banyak orang yang mengantri bersamanya, dia memandang sekelilingnya.

Arasha dan William berada di haluan kapal—yang mana mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan indah dua wilayah kota Shanghai yang dipisahkan oleh Huangpu River yaitu Pudong dan Puxi.

“Aku menyewa haluan ini khusus untuk kau,” kata William—kala mereka duduk bersebelahan dengan pandangan yang langsung mengarah ke depan melihat kecantikan gemerlap kota di antara sungai dengan hembusan angin. William merangkul pundak gadis itu. “So, what's your thoughts?”

Arasha hanya tersenyum tipis saat memandang lelaki itu lalu pandangannya beralih pada bangunan gedung-gedung tinggi yang arsitekturnya terlihat berbeda dari gedung di wilayah Pudong. Dia melirik William yang dengan paham langsung menjelaskan. “Puxi is the historical heart of the city. In former foreign concession times, this was the area that hosted the multitude of foreign nationals from the mid-19th century to the World War II.

The area had a French Concession and an International Concession as well as a walled Chinese area. It is in this area that the historical houses and buildings (or what's left of them), the Bund, and the famous Art Deco heritage architecture are found.

sumber: https://www.tripsavvy.com/two-sides-of-shanghai-pudong-puxi-1495288

“Ooo...” Arasha hanya mengangguk sebelum sepesekian detik ia berbicara lagi, “Oh iya, actually I don't know are you fuently spoke in Chinese Langueage but I think you good at that, how could you—mm, I mean after a hundred time Ilook at you then I realize that you look like a half Chinese, so correct me if i'm wrong.

“Yeah, my mother's Chinese. I've live here when I was 11 years old, but after my grandma passed away, we move to New York then I met your sister in our teenager.” Willim tertawa renyah, dia memandangi Arasha. “Tidak hanya itu, kau tau? Ayahku yang membesarkan Wolfed corporation.”

Arasha memicingkan matanya, “Logan Wolfed?”

William membuka mulutnya terkejut. “Bagaimana bisa kau tau? I've never told you about my fam especially my dad's name.

“Namanya tertera di majalah yang tadi aku baca.”

William mengangguk samar, dia pun bangkit dari tempatnya duduk, berjalan ke luar haluan kapal. Gadis itu menghampiri William seraya membawa dua gelas wine. Arasha menyodorkan gelas itu pada William. Arasha mengangkat gelasnya ke atas, “so, cheers?

William tersenyum tipis dan mendentingkan gelasnya pada gelas gadis itu. Keduanya saling memandang, lebih tepatnya William yang menatap Arasha terlalu dalam dan setelah itu ia meminum wine-nya hingga habis dalam sekali teguk. Ia menaruh minumannya di atas meja, begitupun dengan punya Arasha yang ditaruhnya juga.

William meraih tangan gadis itu dan mengusapnya pelan, tangannya yang lain mendorong Arasha agar lebih dekat dengannya. Napas William menari bersamaan dengan angin malam yang menerpa wajah Arasha, jantungnya semakin berdebar saat lelaki itu terus memandangnya. “Arasha, I've ask you before but maybe you don't take it seriously before so ... what if I proposed you to be my wife? Won't you?” William tersenyum miring, “But you know, I don't take any rejection from anyone including you, right?*”

Arasha masih diam, senyumannya mengembang tipis saat lelaki itu mengeluarkan sebuah ring box merah dari saku jasnya lalu meraih cincin berlian model solitaire klasik yang memiliki satu mata berlian dengan enam prong yang minimalis namun berkesan cantik. William memandang Arasha saat memegang tangan gadis itu, “so, can I?

“Ini sebuah ajakan atau paksaan?”

Both, I guess,” William terkekeh.

Arasha mengangguk. “Katamu aku tidak bisa menolak, bukan?”

William tersenyum lalu menyematkan cincin itu ke jari manis gadis yang sekarang sudah resmi menjadi tunangannya. “It's look beautiful on you.

Thanks.

“Setelah kau jadi milikku, jangan harap kau bisa lepas dariku, Arasha.”

William mengecup punggung tangan gadisnya, lalu memeluk pinggang Arasha erat seolah tempat ini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang berakhir dengan serius meskipun tidak pernah ada yang mengetahui bagaimana perasaan mereka satu sama lain selain mereka sendiri. William menarik dagu Arasha dan memberikan ciumannya sebagai hidangan penutup perjalanan melelahkan mereka hari ini. Arasha mengusap pelan rambut lelaki itu lalu membalas ciuman dari sosok asing yang kini menjadi tunangannya.

William melepaskan pagutannya sejenak, ia berbisik dengan napas tersenggal. “Aku mau lebih dari ini.”

But we're in...

William memotong pembicaraan, dia mengecup gadis itu sekilas dan memutar bola matanya jengah, “yeah, that's the problem. Aku tidak mau kejadian di pesawat itu terulang, tapi baiklah aku tidak akan menyia-nyiakan ini.” Dia kembali menarik tengkuk gadis itu dan mencium Arasha lagi—mercilessly.


| 328—Huangpu River Cruise

sumber: https://www.klook.com/id/activity/3973-hangpu-river-cruise-shanghai/


Shanghai, China


Hari semakin larut setelah William menghabiskan hampir setengah harinya untuk bersama Arasha, mulanya mereka pergi ke pusat perbelanjaan—entahlah lelaki itu sebenarnya hanya ingin membuat Arasha senang sehingga William memberikan kebebasan untuk gadis itu belanja apapun meskipun Arasha nyatanya hanya membeli beberapa pakaian padahal lelaki itu bahkan tidak akan peduli berapa uang yang akan dikeluarkan untuk Arasha.

Setelah berbelanja, mereka lanjut makan petang di mall tersebut sebelum melanjutkan perjalanan—yang tidak tahu akan kemana tetapi Arasha hanya mengikuti saja William akan membawanya kemana.

Untungnya William sudah fasih berbahasa Mandarin, jujur Arasha sampai terus menatapnya bingung kenapa lelaki itu begitu pandai, namun tidak ada satu pertanyaan pun yang diajukan olehnya terhadap William.

Sekarang mereka sedang berjalan entah kemana yang pasti William menggenggam gadis itu erat setelah keduanya turun dari mobil dan lelaki itu meminta kepada orang suruhannya untuk tidak menunggu keduanya. Arasha sesekali mengamati lelaki jangkung yang satu tangannya menggenggamnya dan satunya lagi menjinjing jas hitamnya.

Kota Shanghai sangat ramai di malam hari ya meskipun Arasha tidak tau letak tepatnya ada di mana tapi dia menikmati bagaimana gedung-gedung tinggi menjulang ada di sekitarnya dan banyak gemerlap lampu yang berwarna-warni membuat kota Shanghai tampak cantik dalam kegelapan.

William melirik pada gadis di sampingnya, dia melepaskan tangan Arasha. “Aku ingin membeli tiket.”

“Tiket apa?”

William tidak menjawab, dia mencondongkan badannya saat memandang Arasha. Lelaki itu menepuk kepala Arasha dua kali. “I'll take you on a cruise so we can explore Huangpu River, won't you?” William berbicara dengan senyuman manisnya, dia seperti sedang menjelaskan pada anak kecil. Saat Arasha mengangguk, lelaki itu pun meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam sebuah loket tiket dan untungnya loket tiket itu tidak memiliki antrian yang begitu panjang.


Arasha tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah berada di sebuah kapal pesiar yang akan membawanya menjelajahi kota Shanghai dari sudut pandang Huangpu River. Arasha sedikit bingung karena pikirnya tadi ada banyak orang yang mengantri bersamanya, dia memandang sekelilingnya.

Arasha dan William berada di haluan kapal—yang mana mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan indah dua wilayah kota Shanghai yang dipisahkan oleh Huangpu River yaitu Pudong dan Puxi.

“Aku menyewa haluan ini khusus untuk kau,” kata William—kala mereka duduk bersebelahan dengan pandangan yang langsung mengarah ke depan melihat kecantikan gemerlap kota di antara sungai dengan hembusan angin. William merangkul pundak gadis itu. “So, what's your thoughts?”

Arasha hanya tersenyum tipis saat memandang lelaki itu lalu pandangannya beralih pada bangunan gedung-gedung tinggi yang arsitekturnya terlihat berbeda dari gedung di wilayah Pudong. Dia melirik William yang dengan paham langsung menjelaskan. “Puxi is the historical heart of the city. In former foreign concession times, this was the area that hosted the multitude of foreign nationals from the mid-19th century to the World War II.

The area had a French Concession and an International Concession as well as a walled Chinese area. It is in this area that the historical houses and buildings (or what's left of them), the Bund, and the famous Art Deco heritage architecture are found.

sumber: https://www.tripsavvy.com/two-sides-of-shanghai-pudong-puxi-1495288

“Ooo...” Arasha hanya mengangguk sebelum sepesekian detik ia berbicara lagi, “Oh iya, actually I don't know are you fuently spoke in Chinese Langueage but I think you good at that, how could you—mm, I mean after a hundred time Ilook at you then I realize that you look like a half Chinese, so correct me if i'm wrong.

“Yeah, my mother's Chinese. I've live here when I was 11 years old, but after my grandma passed away, we move to New York then I met your sister in our teenager.” Willim tertawa renyah, dia memandangi Arasha. “Tidak hanya itu, kau tau? Ayahku yang membesarkan Wolfed corporation.”

Arasha memicingkan matanya, “Logan Wolfed?”

William membuka mulutnya terkejut. “Bagaimana bisa kau tau? I've never told you about my fam especially my dad's name.

“Namanya tertera di majalah yang tadi aku baca.”

William mengangguk samar, dia pun bangkit dari tempatnya duduk, berjalan ke luar haluan kapal. Gadis itu menghampiri William seraya membawa dua gelas wine. Arasha menyodorkan gelas itu pada William. Arasha mengangkat gelasnya ke atas, “so, cheers?

William tersenyum tipis dan mendentingkan gelasnya pada gelas gadis itu. Keduanya saling memandang, lebih tepatnya William yang menatap Arasha terlalu dalam dan setelah itu ia meminum wine-nya hingga habis dalam sekali teguk. Ia menaruh minumannya di atas meja, begitupun dengan punya Arasha yang ditaruhnya juga.

William meraih tangan gadis itu dan mengusapnya pelan, tangannya yang lain mendorong Arasha agar lebih dekat dengannya. Napas William menari bersamaan dengan angin malam yang menerpa wajah Arasha, jantungnya semakin berdebar saat lelaki itu terus memandangnya. “Arasha, I've ask you before but maybe you don't take it seriously before so ... what if I proposed you to be my wife? Won't you?” William tersenyum miring, “But you know, I don't take any rejection from anyone including you, right?*”

Arasha masih diam, senyumannya mengembang tipis saat lelaki itu mengeluarkan sebuah ring box merah dari saku jasnya lalu meraih cincin berlian model solitaire klasik yang memiliki satu mata berlian dengan enam prong yang minimalis namun berkesan cantik. William memandang Arasha saat memegang tangan gadis itu, “so, can I?

“Ini sebuah ajakan atau paksaan?”

Both, I guess,” William terkekeh.

Arasha mengangguk. “Katamu aku tidak bisa menolak, bukan?”

William tersenyum lalu menyematkan cincin itu ke jari manis gadis yang sekarang sudah resmi menjadi tunangannya. “It's look beautiful on you.

Thanks.

“Setelah kau jadi milikku, jangan harap kau bisa lepas dariku, Arasha.”

William mengecup punggung tangan gadisnya, lalu memeluk pinggang Arasha erat seolah tempat ini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang berakhir dengan serius meskipun tidak pernah ada yang mengetahui bagaimana perasaan mereka satu sama lain selain mereka sendiri. William menarik dagu Arasha dan memberikan ciumannya sebagai hidangan penutup perjalanan melelahkan mereka hari ini. Arasha mengusap pelan rambut lelaki itu lalu membalas ciuman dari sosok asing yang kini menjadi tunangannya.

William melepaskan pagutannya sejenak, ia berbisik dengan napas tersenggal. “Aku mau lebih dari ini.”

But we're in...

William memotong pembicaraan, dia mengecup gadis itu sekilas dan memutar bola matanya jengah, “yeah, that's the problem. Aku tidak mau kejadian di pesawat itu terulang, tapi baiklah aku tidak akan menyia-nyiakan ini.” Dia kembali menarik tengkuk gadis itu dan mencium Arasha lagi—mercilessly.


| 328 — Huangpu River Cruise

sumber: https://www.klook.com/id/activity/3973-hangpu-river-cruise-shanghai/


Shanghai, China


Hari semakin larut setelah William menghabiskan hampir setengah harinya untuk bersama Arasha, mulanya mereka pergi ke pusat perbelanjaan—entahlah lelaki itu sebenarnya hanya ingin membuat Arasha senang sehingga William memberikan kebebasan untuk gadis itu belanja apapun meskipun Arasha nyatanya hanya membeli beberapa pakaian padahal lelaki itu bahkan tidak akan peduli berapa uang yang akan dikeluarkan untuk Arasha.

Setelah berbelanja, mereka lanjut makan petang di mall tersebut sebelum melanjutkan perjalanan—yang tidak tahu akan kemana tetapi Arasha hanya mengikuti saja William akan membawanya kemana.

Untungnya William sudah fasih berbahasa Mandarin, jujur Arasha sampai terus menatapnya bingung kenapa lelaki itu begitu pandai, namun tidak ada satu pertanyaan pun yang diajukan olehnya terhadap William.

Sekarang mereka sedang berjalan entah kemana yang pasti William menggenggam gadis itu erat setelah keduanya turun dari mobil dan lelaki itu meminta kepada orang suruhannya untuk tidak menunggu keduanya. Arasha sesekali mengamati lelaki jangkung yang satu tangannya menggenggamnya dan satunya lagi menjinjing jas hitamnya.

Kota Shanghai sangat ramai di malam hari ya meskipun Arasha tidak tau letak tepatnya ada di mana tapi dia menikmati bagaimana gedung-gedung tinggi menjulang ada di sekitarnya dan banyak gemerlap lampu yang berwarna-warni membuat kota Shanghai tampak cantik dalam kegelapan.

William melirik pada gadis di sampingnya, dia melepaskan tangan Arasha. “Aku ingin membeli tiket.”

“Tiket apa?”

William tidak menjawab, dia mencondongkan badannya saat memandang Arasha. Lelaki itu menepuk kepala Arasha dua kali. “I'll take you on a cruise so we can explore Huangpu River, won't you?” William berbicara dengan senyuman manisnya, dia seperti sedang menjelaskan pada anak kecil. Saat Arasha mengangguk, lelaki itu pun meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam sebuah loket tiket dan untungnya loket tiket itu tidak memiliki antrian yang begitu panjang.


Arasha tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah berada di sebuah kapal pesiar yang akan membawanya menjelajahi kota Shanghai dari sudut pandang Huangpu River. Arasha sedikit bingung karena pikirnya tadi ada banyak orang yang mengantri bersamanya, dia memandang sekelilingnya.

Arasha dan William berada di haluan kapal—yang mana mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan indah dua wilayah kota Shanghai yang dipisahkan oleh Huangpu River yaitu Pudong dan Puxi.

“Aku menyewa haluan ini khusus untuk kau,” kata William—kala mereka duduk bersebelahan dengan pandangan yang langsung mengarah ke depan melihat kecantikan gemerlap kota di antara sungai dengan hembusan angin. William merangkul pundak gadis itu. “So, what's your thoughts?”

Arasha hanya tersenyum tipis saat memandang lelaki itu lalu pandangannya beralih pada bangunan gedung-gedung tinggi yang arsitekturnya terlihat berbeda dari gedung di wilayah Pudong. Dia melirik William yang dengan paham langsung menjelaskan. “Puxi is the historical heart of the city. In former foreign concession times, this was the area that hosted the multitude of foreign nationals from the mid-19th century to the World War II.

The area had a French Concession and an International Concession as well as a walled Chinese area. It is in this area that the historical houses and buildings (or what's left of them), the Bund, and the famous Art Deco heritage architecture are found.

sumber: https://www.tripsavvy.com/two-sides-of-shanghai-pudong-puxi-1495288

“Ooo...” Arasha hanya mengangguk sebelum sepesekian detik ia berbicara lagi, “Oh iya, actually I don't know are you fuently spoke in Chinese Language but I think you good at that, how could you—mm, I mean after a hundred time I look at you then I realize that you look like a half Chinese, so correct me if i'm wrong.

“Yeah, my mother's Chinese. I lived here when I was 11 years old, but after my grandma passed away, we move to New York then I met your sister in our teenager.” Willim tertawa renyah, dia memandangi Arasha. “Tidak hanya itu, kau tau? Ayahku yang membesarkan Wolfed corporation.”

Arasha memicingkan matanya, “Logan Wolfed?”

William membuka mulutnya terkejut. “Bagaimana bisa kau tau? I've never told you about my fam especially my dad's name.

“Namanya tertera di majalah yang tadi aku baca.”

William mengangguk samar, dia pun bangkit dari tempatnya duduk, berjalan ke luar haluan kapal. Gadis itu menghampiri William seraya membawa dua gelas wine. Arasha menyodorkan gelas itu pada William. Arasha mengangkat gelasnya ke atas, “so, cheers?

William tersenyum tipis dan mendentingkan gelasnya pada gelas gadis itu. Keduanya saling memandang, lebih tepatnya William yang menatap Arasha terlalu dalam dan setelah itu ia meminum wine-nya hingga habis dalam sekali teguk. Ia menaruh minumannya di atas meja, begitupun dengan punya Arasha yang ditaruhnya juga.

William meraih tangan gadis itu dan mengusapnya pelan, tangannya yang lain mendorong Arasha agar lebih dekat dengannya. Napas William menari bersamaan dengan angin malam yang menerpa wajah Arasha, jantungnya semakin berdebar saat lelaki itu terus memandangnya. “Arasha, I've asked you before but maybe you don't take it seriously, so ... what if I proposed you to be my wife? Won't you?” William tersenyum miring, “But you know, I don't take any rejection from anyone including you, right?

Arasha masih diam, senyumannya mengembang tipis saat lelaki itu mengeluarkan sebuah ring box merah dari saku jasnya lalu meraih cincin berlian model solitaire klasik yang memiliki satu mata berlian dengan enam prong yang minimalis namun berkesan cantik. William memandang Arasha saat memegang tangan gadis itu, “so, can I?

“Ini sebuah ajakan atau paksaan?”

Both, I guess,” William terkekeh.

Arasha mengangguk. “Katamu aku tidak bisa menolak, bukan?”

William tersenyum lalu menyematkan cincin itu ke jari manis gadis yang sekarang sudah resmi menjadi tunangannya. “It's look beautiful on you.

Thanks.

“Setelah kau jadi milikku, jangan harap kau bisa lepas dariku, Arasha.”

William mengecup punggung tangan gadisnya, lalu memeluk pinggang Arasha erat seolah tempat ini menjadi saksi bisu hubungan mereka yang berakhir dengan serius meskipun tidak pernah ada yang mengetahui bagaimana perasaan mereka satu sama lain selain mereka sendiri. William menarik dagu Arasha dan memberikan ciumannya sebagai hidangan penutup perjalanan melelahkan mereka hari ini. Arasha mengusap pelan rambut lelaki itu lalu membalas ciuman dari sosok asing yang kini menjadi tunangannya.

William melepaskan pagutannya sejenak, ia berbisik dengan napas tersenggal. “Aku mau lebih dari ini.”

But we're in...

William memotong pembicaraan, dia mengecup gadis itu sekilas dan memutar bola matanya jengah, “yeah, that's the problem. Aku tidak mau kejadian di pesawat itu terulang, tapi baiklah aku tidak akan menyia-nyiakan ini.” Dia kembali menarik tengkuk gadis itu dan mencium Arasha lagi—mercilessly.


Nurani Airin

———

Airin masih mengamati ponselnya yang tergeletak di samping ranjang tempatnya berbaring, dia baru saja membalas pesan dari Wira barusan, entahlah, hatinya bergejolak saat mengingat isi pesan terakhir dari lelaki itu. Airin tidak tau harus menjawab apa, tapi munafik jika dia tidak mengagumi sosok Wira apalagi sekarang isi pikirannya penuh oleh lelaki itu. Airin menatap langit-langit kamarnya dan memejamkan matanya sejenak, dia juga tidak tau kenapa lelaki yang baru dikenalnya itu mulai memenuhi isi otaknya.

Airin berdecak kesal saat mengamati ponselnya yang tidak lagi berdering setelah Wira mengakhiri obrolan singkat mereka melalui pesan tadi, Airin tau lelaki itu butuh banyak istirahat karena pasti besok dia akan terbang lagi entah kemana Airin belum tanya soal itu.

Sebenarnya Airin juga sedikit takut jika dia menyinggung perasaan Wira, tetapi, faktanya dia memang tidak tau harus membalas apa.

Dia membuka matanya lagi dan melirik ke arah ponsel, lalu dia bangkit dari tempatnya tidur. Gadis itu membuka totebag-nya dan mengambil topi hitam yang sejak kemarin ada di dalam sana. Ya, itu topi pemberian Wira, ah maksudnya topi yang direbut paksa Airin dari Wira. Ia memakai topi itu dan memandang pantulannya di cermin meja rias. Senyumannya mengembang tak terduga. Kilatan wajah dengan senyuman manis yang selalu tak berani menatap matanya itu mulai terbesit. Airin terkekeh. “Mas Wira, apa lo terlalu sempurna buat gue?”

Namun, sejenak suara berat yang terngiang di pikirannya kembali terdengar. “Tidak ada manusia yang sempurna, Airin. Aku memiliki kekurangan, kamu memiliki kekurangan, bahkan semua orang pasti memiliki kekurangan. Maka dari itu, pasangan diciptakan untuk saling melengkapi ketidaksempurnaan itu. Kekurangan yang ada dalam diri seseorang bisa jadi kelebihan di diri pasangannya. Dua insan yang tidak utuh dan tidak sempurna itu dapat menyatu melengkapi ketidaksempurnaan dalam diri masing-masing yang terbangun atas dasar cinta yang sempurna, Airin.”

———

Nurani Airin

——

Airin masih mengamati ponselnya yang tergeletak di samping ranjang tempatnya berbaring, dia baru saja membalas pesan dari Wira barusan, entahlah, hatinya bergejolak saat mengingat isi pesan terakhir dari lelaki itu. Airin tidak tau harus menjawab apa, tapi munafik jika dia tidak mengagumi sosok Wira apalagi sekarang isi pikirannya penuh oleh lelaki itu. Airin menatap langit-langit kamarnya dan memejamkan matanya sejenak, dia juga tidak tau kenapa lelaki yang baru dikenalnya itu mulai memenuhi isi otaknya.

Airin berdecak kesal saat mengamati ponselnya yang tidak lagi berdering setelah Wira mengakhiri obrolan singkat mereka melalui pesan tadi, Airin tau lelaki itu butuh banyak istirahat karena pasti besok dia akan terbang lagi entah kemana Airin belum tanya soal itu.

Sebenarnya Airin juga sedikit takut jika dia menyinggung perasaan Wira, tetapi, faktanya dia memang tidak tau harus membalas apa.

Dia membuka matanya lagi dan melirik ke arah ponsel, lalu dia bangkit dari tempatnya tidur. Gadis itu membuka totebag-nya dan mengambil topi hitam yang sejak kemarin ada di dalam sana. Ya, itu topi pemberian Wira, ah maksudnya topi yang direbut paksa Airin dari Wira. Ia memakai topi itu dan memandang pantulannya di cermin meja rias. Senyumannya mengembang tak terduga. Kilatan wajah dengan senyuman manis yang selalu tak berani menatap matanya itu mulai terbesit. Airin terkekeh. “Mas Wira, apa lo terlalu sempurna buat gue?”

Namun, sejenak suara berat yang terngiang di pikirannya kembali terdengar. “Tidak ada manusia yang sempurna, Airin. Aku memiliki kekurangan, kamu memiliki kekurangan, bahkan semua orang pasti memiliki kekurangan. Maka dari itu, pasangan diciptakan untuk saling melengkapi ketidaksempurnaan itu. Kekurangan yang ada dalam diri seseorang bisa jadi kelebihan di diri pasangannya. Dua insan yang tidak utuh dan tidak sempurna itu dapat menyatu melengkapi ketidaksempurnaan dalam diri masing-masing yang terbangun atas dasar cinta yang sempurna, Airin.”

———