winwincure

First Meet.

Sebenarnya pandangan Airin sudah agak buram, matanya juga pening, itu semua terjadi karena ia sudah cukup banyak minum alkohol. Apalagi Leo yang membawanya kesini malah meninggalkannya bersama perempuan lain. Airin sudah biasa begini, dia juga tidak takut selagi dia masih sadar, lagipula Leo akan selalu muncul di saat dia butuh nanti.

Airin bersandar di koridor yang sepi dekat toilet. Dia memegangi kepalanya yang terasa berat.

Saat Airin masih dalam posisi menunduk, dia melihat ada seseorang yang datang dan kini berada di hadapannya, gadis itu mendongak dan melihat seorang pria jangkung yang berbaju hitam tampak sedang menatapnya.

“Airin?”

Lelaki itu mengerutkan keningnya saat melihat Airin menatapnya dengan senyum miring. “Mas Wira...”

“Kamu minum ya?”

Airin hanya menaikkan alisnya, dia mengamati lelaki itu sangat intens. Gadis itu melangkah lebih dekat pada lelaki yang dia baru temui untuk pertama kalinya. Ya, itu Wira. Airin melingkarkan tangannya pada leher Wira, sontak saja lelaki itu terkejut. “Lo ganteng juga ya?”

Wira menatap gadis itu sinis, “Airin, kamu harus pulang.”

“Engga mau.”

“Kamu bilang kamu datang dengan temanmu, mana dia?”

“Pergi sama cewek lain.”

“Astaga,” Wira menghela napasnya, “kamu sendirian sekarang?”

“Tenang aja, udah biasa kok, dia nanti juga balik,” Airin menatap Wira. “Lagipula sekarang ada lo.”

“Airin, kita baru kenal. Jangan begini.” Wira melepaskan kedua tangan gadis itu dari lehernya, dia juga menjauhkan dirinya, tidak ingin disangka mencuri kesempatan saat gadis itu sedang mabuk. Wira melirik lagi pada Airin. “Saya antar kamu ya?”

Airin cemberut, “gue mau sama lo di sini.”

“Temanmu mana? Saya suruh dia antar kamu pulang aja.”

“Engga mau.”

“Ya sudah, saya yang antar kamu pulang. Ini sudah malam.”

“Kenalan dulu ...”

“Nanti saja, ayo.” Wira memegang pergelangan tangan Airin kuat, dia tidak menarik gadis itu, melainkan mengajaknya jalan berdampingan sesekali dia akan menarik gadis itu mendekat dengannya jika ada lelaki yang mengamati Airin atau berjalan di dekat gadis itu.

“Lo udah bilang ke Jay?”

“Nanti saja.”

“Mas...” Airin memegang lengan lelaki itu, membuatnya menoleh. “Lo ganteng banget, gue mau nikah sama Mas.”

Wira menyipitkan matanya lalu memutar bola matanya malas setelah membukakan pintu mobilnya untuk Airin, “masuk.”

Airin pun masuk setelah tersenyum menggoda pada Wira. Wira langsung menutup pintu mobilnya lalu dia tersenyum tipis seraya menggeleng samar. “Ada-ada saja.”

First Meet.

Sebenarnya pandangan Airin sudah agak buram, matanya juga pening, itu semua terjadi karena ia sudah cukup banyak minum alkohol. Apalagi Leo yang membawanya kesini malah meninggalkannya bersama perempuan lain. Airin sudah biasa begini, dia juga tidak takut selagi dia masih sadar, lagipula Leo akan selalu muncul di saat dia butuh nanti.

Airin bersandar di koridor yang sepi dekat toilet. Dia memegangi kepalanya yang terasa berat.

Saat Airin masih dalam posisi menunduk, dia melihat ada seseorang yang datang dan kini berada di hadapannya, gadis itu mendongak dan melihat seorang pria jangkung yang berbaju hitam tampak sedang menatapnya.

“Airin?”

Lelaki itu mengerutkan keningnya saat melihat Airin menatapnya dengan senyum miring. “Mas Wira...”

“Kamu minum ya?”

Airin hanya menaikkan alisnya, dia mengamati lelaki itu sangat intens. Gadis itu melangkah lebih dekat pada lelaki yang dia baru temui untuk pertama kalinya. Ya, itu Wira. Airin melingkarkan tangannya pada leher Wira, sontak saja lelaki itu terkejut. “Lo ganteng juga ya?”

Wira menatap gadis itu sinis, “Airin, kamu harus pulang.”

“Engga mau.”

“Kamu bilang kamu datang dengan temanmu, mana dia?”

“Pergi sama cewek lain.”

“Astaga,” Wira menghela napasnya, “kamu sendirian sekarang?”

“Tenang aja, udah biasa kok, dia nanti juga balik,” Airin menatap Wira. “Lagipula sekarang ada lo.”

“Airin, kita baru kenal. Jangan begini.” Wira melepaskan kedua tangan gadis itu dari lehernya, dia juga menjauhkan dirinya, tidak ingin disangka mencuri kesempatan saat gadis itu sedang mabuk. Wira melirik lagi pada Airin. “Saya antar kamu ya?”

Airin cemberut, “gue mau sama lo di sini.”

“Temanmu mana? Saya suruh dia antar kamu pulang aja.”

“Engga mau.”

“Ya sudah, saya yang antar kamu pulang. Ini sudah malam.”

“Kenalan dulu ...”

“Nanti saja, ayo.” Wira memegang pergelangan tangan Airin kuat, dia tidak menarik gadis itu, melainkan mengajaknya jalan berdampingan sesekali dia akan menarik gadis itu mendekat dengannya jika ada lelaki yang mengamati Airin atau berjalan di dekat gadis itu.

“Lo udah bilang ke Jay?”

“Nanti saja.”

“Mas...” Airin memegang lengan lelaki itu, membuatnya menoleh. “Lo ganteng banget, gue mau nikah sama Mas.”

Wira menyipitkan matanya lalu memutar bola matanya malas setelah membukakan pintu mobilnya untuk Airin, “masuk.”

Airin pun masuk setelah tersenyum menggoda pada Wira. Wira langsung menutup pintu mobilnya lalu dia tersenyum tipis seraya menggeleng samar. “Ada-ada saja.”

Detak Jantung

[]! (https://i.imgur.com/QEYLf5n.jpg)

Suasana canggung memenuhi seisi ruangan apartemen milik Airin hari ini. Sebenarnya kecanggungan itu bukan Airin yang merasakannya, ia hanya melihat bagaimana pria yang kini berdiri di dekat meja bar tampak terdiam sembari menundukkan kepalanya kala Airin tengah menata makanan ringan dan buah-buahan yang dibawa oleh Wira.

“Mas,” panggil Airin, senyumannya tipis saat memandang Wira, ia melihat lelaki itu menatapnya sekilas. “Mas kenapa engga beli makanan berat?”

Wira menggeleng, tatapannya ragu saat melihat Airin. “Maaf, saya tadi buru-buru.”

“Buru-buru karena engga sabar liat gue ya?” goda Airin, dia melihat Wira memandangnya lalu dengan iseng ia mengerlingkan matanya genit. “Tenang aja, gue gak kemana-mana kok, Mas.”

Aduh celaka. Wira membatin. Dia segera membuang mukanya dan mengamati sekeliling apartemen Airin yang sebenarnya tidak lebih menarik dari gadis yang sedang memotong buah apel sekaligus melahapnya satu potong.

“Mas, gue cantik gini, liat sini dong.”

Airin menghampiri Wira, niatnya gadis itu memang ingin iseng menggoda lelaki itu karena sedari tadi Wira tidak banyak bicara, tidak seperti kemarin rasanya. Mungkin saja Wira sangat gugup hari ini.

Wira menoleh ke arah Airin, dia hampir terkejut melihat gadis itu sudah duduk di depan meja bar seraya memegang sepiring apel yang sudah dipotong kecil-kecil. Airin menatap Wira sambil menggigit apel utuh yang ada di genggaman tangannya yang satu. Ia menyodorkan piring apel itu pada Wira. “Nih.”

Wira tersenyum kecil, dia hendak meraih piring tersebut namun Airin menarik ulur. Airin tersenyum miring, dia kemudian menyodorkan apel bekas gigitannya pada lelaki itu. “Mau yang ini engga?”

Demi Tuhan, Airin...

Wira menggeleng polos. “Kamu saja makan sendiri.”

Airin pun mengangguk, dia menaruh piring apel di atas meja bar lalu ia kembali menggigit apel yang dipegangnya. Dia kemudian bangkit dari tempatnya duduk, gadis itu meraih tangan Wira untuk mengikutinya.

“Tangan mas dingin banget.” Wira melepaskan genggaman Airin lembut, gadis itu membawanya ke ruang tengah—yang juga terdapat televisi di sana. “Kenapa?”

Wira hanya menggeleng. Airin dibuat gemas dengan lelaki itu, dia pun mengulurkan tangannya terlebih dahulu pada Wira sehingga Wira mengangkat alisnya sebelah. “Airin Revita Putri, 20 tahun.”

Uluran tangan Airin disambut hangat oleh Wira yang akhirnya menjabat tangan gadis itu, Wira tersenyum teduh. “Prawira Nugraha.”

“Engga pake embel-embel, Mas?”

“Terserah kamu.”

“Prawira Nugraha, si Pilot Ganteng?” Airin tersenyum miring, dia bisa melihat perubahan rona wajah Wira yang langsung menunduk. Airin pun mendekati lelaki itu, dia menarik wajah Wira agar menatapnya. “Mas, kalau diajak ngobrol, lihat orangnya.”

Tuhan ... apakah aku masih di dunia?

—♡♡♡—

“Mas, kita engga usah keluar ya, pesen makanan aja atau lo mau coba masakan gue?”

Airin menoleh pada Wira yang duduk di sampingnya, lelaki itu sempat menoleh padanya sekilas saja, melihat hal itu Airin jadi merubah posisinya menghadap lelaki itu. Airin menumpukan kepalanya di atas sandaran sofa sambil terus menginterupsi Wira.

“Kamu janjinya hanya sebentar saja, bukan menetap.”

“Mas engga mau menetap sama gue?”

Lelaki yang memakai hoodie putih dengan topi hitam itu tampak meremat lututnya, dia terus berusaha menutupi wajahnya bahkan saat hendak kembali bersuara. “Airin, saya—”

Airin menarik topi yang dikenakan Wira—sontak membuat sang empu terkejut dan menoleh ke arah gadis itu, tatapannya seperti ingin marah tetapi jatuhnya malah gemas dengan mata yang membulat. “Lo ganteng begini, Mas. Jangan ditutupi.”

“Airin,” Wira menghela napas, dia mulai berani memandang Airin. “Kamu ini kenapa?”

“Apanya?”

“Menggoda saya terus.”

“Ya ajak gue ngobrol dong,” kata Airin, dia memakai topi milik Wira, lalu alisnya mengangkat sebelah. “Keren gak?”

Wira menggeleng. Airin mendengus. “Loh, kok engga?”

“Memang tidak keren kalau kamu yang pakai.”

“Cantik?”

Wira mengangguk ragu. Dia sebenarnya sangat gugup sampai dia lupa sudah menyusun beberapa pertanyaan yang ingin dia tanyakan mengenai gadis itu, tapi sungguh jika keadaannya begini—hanya ada mereka berdua saja apalagi ini ruang privasi, itu membuat Wira tidak nyaman dan jatuh dalam kecanggungan seperti ini.

“Mas, kenapa masih mau ketemu gue? Lo engga ilfeel sama gue gara-gara kemarin? Gue bukan perempuan baik-baik, Mas. Beda jauh sama lo.“ 

Wira kembali melirik Airin. “Kenapa kamu berbicara begitu?”

“Ya aneh aja, kayaknya lo terlalu sempurna buat gue, Mas. Gue gak yakin juga kita bakal bisa bersatu.” Airin menaikkan alisnya sebelah, menunggu respon yang diberikan Wira.

“Manusia tidak ada yang sempurna Airin.”

Then? Hanya itu respon lo?”

“Saya tidak sebaik yang kamu pikir, belum tentu juga kamu seburuk yang kelihatannya. Tolong jangan berbicara begitu, saya tidak suka. Biarkan saya yang akan menilaimu, izinkan saya mengenalmu lebih dahulu, Airin.” Wira menatap Airin serius.

Airin tersenyum tipis, jujur saja dia terenyuh mendengar apa yang dikatakan pria dewasa yang masih memandangnya itu. Airin terkekeh pelan sambil dengan lancang merapikan rambut Wira yang sedikit berantakan dan tanpa sadar itu membuat jarak di antara keduanya menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

Airin bisa merasakan Wira tampak menahan napasnya, wajahnya begitu tegang apalagi saat Airin memandangnya penuh. Airin berbisik pelan di samping telinga lelaki itu. “Gue izinin mas untuk itu tapi dengan satu hal,” jeda Airin. “Biarkan gue perlahan masuk ke dalam kehidupan lo, gue juga ingin banyak mengenal lo. Lo bilang, lo tertarik sama gue 'kan, Mas?”

Jantungku ..., lagi-lagi.

Airin tersenyum miring di hadapan wajah Wira.

“Airin, tolong jantung saya hampir berhenti,” cicit Wira.

■ ■ ■

Detak Jantung

Suasana canggung memenuhi seisi ruangan apartemen milik Airin hari ini. Sebenarnya kecanggungan itu bukan Airin yang merasakannya, ia hanya melihat bagaimana pria yang kini berdiri di dekat meja bar tampak terdiam sembari menundukkan kepalanya kala Airin tengah menata makanan ringan dan buah-buahan yang dibawa oleh Wira.

“Mas,” panggil Airin, senyumannya tipis saat memandang Wira, ia melihat lelaki itu menatapnya sekilas. “Mas kenapa engga beli makanan berat?”

Wira menggeleng, tatapannya ragu saat melihat Airin. “Maaf, saya tadi buru-buru.”

“Buru-buru karena engga sabar liat gue ya?” goda Airin, dia melihat Wira memandangnya lalu dengan iseng ia mengerlingkan matanya genit. “Tenang aja, gue gak kemana-mana kok, Mas.”

Aduh celaka. Wira membatin. Dia segera membuang mukanya dan mengamati sekeliling apartemen Airin yang sebenarnya tidak lebih menarik dari gadis yang sedang memotong buah apel sekaligus melahapnya satu potong.

“Mas, gue cantik gini, liat sini dong.”

Airin menghampiri Wira, niatnya gadis itu memang ingin iseng menggoda lelaki itu karena sedari tadi Wira tidak banyak bicara, tidak seperti kemarin rasanya. Mungkin saja Wira sangat gugup hari ini.

Wira menoleh ke arah Airin, dia hampir terkejut melihat gadis itu sudah duduk di depan meja bar seraya memegang sepiring apel yang sudah dipotong kecil-kecil. Airin menatap Wira sambil menggigit apel utuh yang ada di genggaman tangannya yang satu. Ia menyodorkan piring apel itu pada Wira. “Nih.”

Wira tersenyum kecil, dia hendak meraih piring tersebut namun Airin menarik ulur. Airin tersenyum miring, dia kemudian menyodorkan apel bekas gigitannya pada lelaki itu. “Mau yang ini engga?”

Demi Tuhan, Airin...

Wira menggeleng polos. “Kamu saja makan sendiri.”

Airin pun mengangguk, dia menaruh piring apel di atas meja bar lalu ia kembali menggigit apel yang dipegangnya. Dia kemudian bangkit dari tempatnya duduk, gadis itu meraih tangan Wira untuk mengikutinya.

“Tangan mas dingin banget.” Wira melepaskan genggaman Airin lembut, gadis itu membawanya ke ruang tengah—yang juga terdapat televisi di sana. “Kenapa?”

Wira hanya menggeleng. Airin dibuat gemas dengan lelaki itu, dia pun mengulurkan tangannya terlebih dahulu pada Wira sehingga Wira mengangkat alisnya sebelah. “Airin Revita Putri, 20 tahun.”

Uluran tangan Airin disambut hangat oleh Wira yang akhirnya menjabat tangan gadis itu, Wira tersenyum teduh. “Prawira Nugraha.”

“Engga pake embel-embel, Mas?”

“Terserah kamu.”

“Prawira Nugraha, si Pilot Ganteng?” Airin tersenyum miring, dia bisa melihat perubahan rona wajah Wira yang langsung menunduk. Airin pun mendekati lelaki itu, dia menarik wajah Wira agar menatapnya. “Mas, kalau diajak ngobrol, lihat orangnya.”

Tuhan ... apakah aku masih di dunia?

—♡♡♡—

“Mas, kita engga usah keluar ya, pesen makanan aja atau lo mau coba masakan gue?”

Airin menoleh pada Wira yang duduk di sampingnya, lelaki itu sempat menoleh padanya sekilas saja, melihat hal itu Airin jadi merubah posisinya menghadap lelaki itu. Airin menumpukan kepalanya di atas sandaran sofa sambil terus menginterupsi Wira.

“Kamu janjinya hanya sebentar saja, bukan menetap.”

“Mas engga mau menetap sama gue?”

Lelaki yang memakai hoodie putih dengan topi hitam itu tampak meremat lututnya, dia terus berusaha menutupi wajahnya bahkan saat hendak kembali bersuara. “Airin, saya—”

Airin menarik topi yang dikenakan Wira—sontak membuat sang empu terkejut dan menoleh ke arah gadis itu, tatapannya seperti ingin marah tetapi jatuhnya malah gemas dengan mata yang membulat. “Lo ganteng begini, Mas. Jangan ditutupi.”

“Airin,” Wira menghela napas, dia mulai berani memandang Airin. “Kamu ini kenapa?”

“Apanya?”

“Menggoda saya terus.”

“Ya ajak gue ngobrol dong,” kata Airin, dia memakai topi milik Wira, lalu alisnya mengangkat sebelah. “Keren gak?”

Wira menggeleng. Airin mendengus. “Loh, kok engga?”

“Memang tidak keren kalau kamu yang pakai.”

“Cantik?”

Wira mengangguk ragu. Dia sebenarnya sangat gugup sampai dia lupa sudah menyusun beberapa pertanyaan yang ingin dia tanyakan mengenai gadis itu, tapi sungguh jika keadaannya begini—hanya ada mereka berdua saja apalagi ini ruang privasi, itu membuat Wira tidak nyaman dan jatuh dalam kecanggungan seperti ini.

“Mas, kenapa masih mau ketemu gue? Lo engga ilfeel sama gue gara-gara kemarin? Gue bukan perempuan baik-baik, Mas. Beda jauh sama lo.“ 

Wira kembali melirik Airin. “Kenapa kamu berbicara begitu?”

“Ya aneh aja, kayaknya lo terlalu sempurna buat gue, Mas. Gue gak yakin juga kita bakal bisa bersatu.” Airin menaikkan alisnya sebelah, menunggu respon yang diberikan Wira.

“Manusia tidak ada yang sempurna Airin.”

Then? Hanya itu respon lo?”

“Saya tidak sebaik yang kamu pikir, belum tentu juga kamu seburuk yang kelihatannya. Tolong jangan berbicara begitu, saya tidak suka. Biarkan saya yang akan menilaimu, izinkan saya mengenalmu lebih dahulu, Airin.” Wira menatap Airin serius.

Airin tersenyum tipis, jujur saja dia terenyuh mendengar apa yang dikatakan pria dewasa yang masih memandangnya itu. Airin terkekeh pelan sambil dengan lancang merapikan rambut Wira yang sedikit berantakan dan tanpa sadar itu membuat jarak di antara keduanya menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

Airin bisa merasakan Wira tampak menahan napasnya, wajahnya begitu tegang apalagi saat Airin memandangnya penuh. Airin berbisik pelan di samping telinga lelaki itu. “Gue izinin mas untuk itu tapi dengan satu hal,” jeda Airin. “Biarkan gue perlahan masuk ke dalam kehidupan lo, gue juga ingin banyak mengenal lo. Lo bilang, lo tertarik sama gue 'kan, Mas?”

Jantungku ..., lagi-lagi.

Airin tersenyum miring di hadapan wajah Wira.

“Airin, tolong jantung saya hampir berhenti,” cicit Wira.

■ ■ ■

Detak Jantung

Suasana canggung memenuhi seisi ruangan apartemen milik Airin hari ini. Sebenarnya kecanggungan itu bukan Airin yang merasakannya, ia hanya melihat bagaimana pria yang kini berdiri di dekat meja bar tampak terdiam sembari menundukkan kepalanya kala Airin tengah menata makanan ringan dan buah-buahan yang dibawa oleh Wira.

“Mas,” panggil Airin, senyumannya tipis saat memandang Wira, ia melihat lelaki itu menatapnya sekilas. “Mas kenapa engga beli makanan berat?”

Wira menggeleng, tatapannya ragu saat melihat Airin. “Maaf, saya tadi buru-buru.”

“Buru-buru karena engga sabar liat gue ya?” goda Airin, dia melihat Wira memandangnya lalu dengan iseng ia mengerlingkan matanya genit. “Tenang aja, gue gak kemana-mana kok, Mas.”

Aduh celaka. Wira membatin. Dia segera membuang mukanya dan mengamati sekeliling apartemen Airin yang sebenarnya tidak lebih menarik dari gadis yang sedang memotong buah apel sekaligus melahapnya satu potong.

“Mas, gue cantik gini, liat sini dong.”

Airin menghampiri Wira, niatnya gadis itu memang ingin iseng menggoda lelaki itu karena sedari tadi Wira tidak banyak bicara, tidak seperti kemarin rasanya. Mungkin saja Wira sangat gugup hari ini.

Wira menoleh ke arah Airin, dia hampir terkejut melihat gadis itu sudah duduk di depan meja bar seraya memegang sepiring apel yang sudah dipotong kecil-kecil. Airin menatap Wira sambil menggigit apel utuh yang ada di genggaman tangannya yang satu. Ia menyodorkan piring apel itu pada Wira. “Nih.”

Wira tersenyum kecil, dia hendak meraih piring tersebut namun Airin menarik ulur. Airin tersenyum miring, dia kemudian menyodorkan apel bekas gigitannya pada lelaki itu. “Mau yang ini engga?”

Demi Tuhan, Airin...

Wira menggeleng polos. “Kamu saja makan sendiri.”

Airin pun mengangguk, dia menaruh piring apel di atas meja bar lalu ia kembali menggigit apel yang dipegangnya. Dia kemudian bangkit dari tempatnya duduk, gadis itu meraih tangan Wira untuk mengikutinya.

“Tangan mas dingin banget.” Wira melepaskan genggaman Airin lembut, gadis itu membawanya ke ruang tengah—yang juga terdapat televisi di sana. “Kenapa?”

Wira hanya menggeleng. Airin dibuat gemas dengan lelaki itu, dia pun mengulurkan tangannya terlebih dahulu pada Wira sehingga Wira mengangkat alisnya sebelah. “Airin Revita Putri, 20 tahun.”

Uluran tangan Airin disambut hangat oleh Wira yang akhirnya menjabat tangan gadis itu, Wira tersenyum teduh. “Prawira Nugraha.”

“Engga pake embel-embel, Mas?”

“Terserah kamu.”

“Prawira Nugraha, si Pilot Ganteng?” Airin tersenyum miring, dia bisa melihat perubahan rona wajah Wira yang langsung menunduk. Airin pun mendekati lelaki itu, dia menarik wajah Wira agar menatapnya. “Mas, kalau diajak ngobrol, lihat orangnya.”

Tuhan ... apakah aku masih di dunia?

—♡♡♡—

“Mas, kita engga usah keluar ya, pesen makanan aja atau lo mau coba masakan gue?”

Airin menoleh pada Wira yang duduk di sampingnya, lelaki itu sempat menoleh padanya sekilas saja, melihat hal itu Airin jadi merubah posisinya menghadap lelaki itu. Airin menumpukan kepalanya di atas sandaran sofa sambil terus menginterupsi Wira.

“Kamu janjinya hanya sebentar saja, bukan menetap.”

“Mas engga mau menetap sama gue?”

Lelaki yang memakai hoodie putih dengan topi hitam itu tampak meremat lututnya, dia terus berusaha menutupi wajahnya bahkan saat hendak kembali bersuara. “Airin, saya—”

Airin menarik topi yang dikenakan Wira—sontak membuat sang empu terkejut dan menoleh ke arah gadis itu, tatapannya seperti ingin marah tetapi jatuhnya malah gemas dengan mata yang membulat. “Lo ganteng begini, Mas. Jangan ditutupi.”

“Airin,” Wira menghela napas, dia mulai berani memandang Airin. “Kamu ini kenapa?”

“Apanya?”

“Menggoda saya terus.”

“Ya ajak gue ngobrol dong,” kata Airin, dia memakai topi milik Wira, lalu alisnya mengangkat sebelah. “Keren gak?”

Wira menggeleng. Airin mendengus. “Loh, kok engga?”

“Memang tidak keren kalau kamu yang pakai.”

“Cantik?”

Wira mengangguk ragu. Dia sebenarnya sangat gugup sampai dia lupa sudah menyusun beberapa pertanyaan yang ingin dia tanyakan mengenai gadis itu, tapi sungguh jika keadaannya begini—hanya ada mereka berdua saja apalagi ini ruang privasi, itu membuat Wira tidak nyaman dan jatuh dalam kecanggungan seperti ini.

“Mas, kenapa masih mau ketemu gue? Lo engga ilfeel sama gue gara-gara kemarin? Gue bukan perempuan baik-baik, Mas. Beda jauh sama lo.“ 

Wira kembali melirik Airin. “Kenapa kamu berbicara begitu?”

“Ya aneh aja, kayaknya lo terlalu sempurna buat gue, Mas. Gue gak yakin juga kita bakal bisa bersatu.” Airin menaikkan alisnya sebelah, menunggu respon yang diberikan Wira.

“Manusia tidak ada yang sempurna Airin.”

Then? Hanya itu respon lo?”

“Saya tidak sebaik yang kamu pikir, belum tentu juga kamu seburuk yang kelihatannya. Tolong jangan berbicara begitu, saya tidak suka. Biarkan saya yang akan menilaimu, izinkan saya mengenalmu lebih dahulu, Airin.” Wira menatap Airin serius.

Airin tersenyum tipis, jujur saja dia terenyuh mendengar apa yang dikatakan pria dewasa yang masih memandangnya itu. Airin terkekeh pelan sambil dengan lancang merapikan rambut Wira yang sedikit berantakan dan tanpa sadar itu membuat jarak di antara keduanya menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

Airin bisa merasakan Wira tampak menahan napasnya, wajahnya begitu tegang apalagi saat Airin memandangnya penuh. Airin berbisik pelan di samping telinga lelaki itu. “Gue izinin mas untuk itu tapi dengan satu hal,” jeda Airin. “Biarkan gue perlahan masuk ke dalam kehidupan lo, gue juga ingin banyak mengenal lo. Lo bilang, lo tertarik sama gue 'kan, Mas?”

Jantungku ..., lagi-lagi.

Airin tersenyum miring di hadapan wajah Wira.

“Airin, tolong jantung saya hampir berhenti,” cicit Wira.

■ ■ ■

“Saya aneh, ya?”

Sore itu mobil Wira sudah terparkir di halaman sebuah restoran, lelaki itu akhirnya dapat menghela napasnya lega karena telah beberapa jam terperangkap dengan suasana canggung saat berada di apartemen Airin. Wira benar-benar tak biasa berduaan dengan perempuan terlebih lagi ia baru saja kenal dengan Airin, tapi yang paling menjengkelkan saat gadis itu terus menerus menggodanya. Ah, untung saja Wira bukan lelaki sembarangan, dia masih bisa menahan segala fantasi liar yang mungkin jika lelaki lain yang ada di posisinya akan sulit untuk itu.

Wira masih diam di posisinya, kedua tangannya masih memegang stir mobil, dia menoleh sekilas namun sialnya Airin mengetahuinya dan terkekeh pelan. “Kenapa sih, Mas? Gue gak kemana-mana kok, ada di sini.”

Wira terdiam sejenak, dia menarik napasnya, memberanikan untuk menoleh sejenak pada Airin. Tidak disangka gadis itu malah tengah membuka jaket yang tadi dikenakannya, sontak Wira membuang mukanya lagi.

“Airin.”

“Hmm?”

“Topi saya.”

Airin tidak merespon apapun selain memandang Wira yang enggan menatapnya, untung saja dia selalu punya ide jahil untuk menggoda lelaki kaku sekaligus polos itu. Airin pun menepuk lengan Wira, dia mendekatkan dirinya dengan lelaki itu dan saat Wira tampak terkejut saat menoleh pada Airin. Airin menunjuk topi yang ada di kepalanya. “Ambil nih, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah saat matanya tak sengaja bertemu dengan Airin, lelaki itu lalu mengerjapkan matanya beberapa kali, membuat Airin gemas melihat Wira. Airin mengulum senyumnya, dia menaikkan alisnya. “Masa lo salting terus sih, gimana nanti kalau kita beneran nikah, Mas?”

Wira sontak menggeleng, “saya tidak salting.”

“Terus apa?”

“Saya bingung.”

“Kenapa bingung?”

“Tidak tau, semuanya terasa asing.”

“Mas bener-bener engga pernah deket sama perempuan?”

“Teman biasa saja.”

“Kalau sama gue teman tapi mesra gitu?” Airin menaikkan alisnya sebelah, senyumannya menyungging. Melihat ekspresi Wira yang begitu gemas, ia rasanya tidak tahan untuk tidak tertawa. “Kok mas gak larang gue?”

“Larang apa?”

“Gue pake baju begini,” ujar Airin. Dia memang hanya memakai tanktop hitam dengan bawahan celana jeans, Airin sudah melepaskan cardigan yang tadi sempat dia pakai. Airin pikir Wira akan memarahinya atau melarangnya untuk berpakaian begini. “Bukannya tadi lo suruh gue pakai jaket?”

Wira tersenyum teduh, dia menggeleng. “Tidak, itu hak kamu, saya bukan siapa-siapa kamu, saya tidak ingin melarang apa yang kamu senang juga. Tadi saya melarangnya karena itu demi kebaikan saya, saya tidak ingin terjadi hal-hal lain, bukan berarti saya berpikiran macam-macam tetapi saya hanya ingin menjaga pikiran saya karena bagaimana pun saya ini lelaki, Airin, kita hanya berdua saja tadi.”

“Jadi mas lebih rela kalau gue dipertontonkan orang lain daripada mas sendiri?”

“Bukan begitu, Airin. Saya tidak mau menyinggung perasaan kamu, saya mungkin memang lebih senang jika kamu tidak mengenakan pakaian terbuka tetapi jika kamu memang senang dengan apa yang kamu lakukan, saya tidak akan melarang, tapi jika begitu saya ingin berada di dekat kamu Airin.”

Airin tidak merespon apapun. Dia terdiam saat memandang Wira yang tidak berhenti membuat hatinya teduh. Wira membuang mukanya sejenak, tidak sanggup berlama-lama menatap Airin. “Kamu pakai saja topinya kalau suka.”

“Buat gue, Mas?”

“Iya untuk kamu saja.”

Airin terkekeh pelan, “kalo mas-nya buat gue boleh?”

Wira menoleh pada gadis itu. “Kamu duluan saja, saya mau salat dulu.”

“Katanya engga mau ninggalin gue, gimana sih, Mas?”

“Maaf, saya hanya ingin salat ashar.”

Airin tertawa. “Hahaha, bercanda, Mas. Ya udah gue pesen makanan ya, mas mau apa?”

“Ya sudah, saya antar kamu dulu, ayo.”

Airin tersenyum. Dia mengamati Wira yang keluar dari mobilnya dan tiba-tiba membukakan pintu mobil untuk Airin yang sebenarnya juga tidak perlu diperlakukan seperti itu. Airin pun keluar dari sana, dia melirik Wira seraya menyodorkan telapak tangannya. “Mau pegangan?”

“Sepertinya tidak usah. Kita tidak akan menyebrang, kan?” tanya Wira polos.

Airin memutar bola matanya malas lalu berjalan mendahului lelaki yang kini tampak menyugar rambut hitamnya ke belakang dan menampilkan dahi mulusnya yang membuatnya semakin tampan. Wira berlari kecil agar ia bisa berdampingan dengan Airin. “Kamu malah meninggalkan saya.”

“Airin,” panggil Wira.

“Hm?”

“Saya aneh ya?” tanya Wira.

Airin melirik Wira dan berhenti sejenak membuat lelaki itu mau tidak mau menatapnya juga. “Aneh ... tapi, gue suka.”

Wira tersenyum tipis.

Ibu, tolong aku...

■ ■ ■

Make A “Wish”.

Malam ini menjadi malam yang paling menyedihkan bagi Aurora, sebab ini adalah malam di mana ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-20 tahun. Dia tinggal jauh dari orang tuanya yang berada di Bandung sedangkan Aurora berkuliah di Jakarta. Sebenarnya ia tidak perlu terlalu berlarut dalam kesedihan ini karena ini sudah tahun kedua, ia merayakan ulang tahunnya tanpa kedua orang tuanya. Namun, entah mengapa hawa malam ini terasa begitu pilu, belum lagi hujan di tengah malam seperti ini semakin cocok hawanya untuk Aurora larut dalam kesedihan. Ya, bisa dibilang mungkin ia sedang homesick.

Aurora melirik ke arah jam di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan hampir pukul 12 dini hari. Hanya ada suara hujan yang terdengar dari luar apartemennya, membuat terus berganti posisi mencari kenyamanan di tengah dinginnya suasana saat ini. Anehnya Aurora tetap tidak mematikan ac di kamarnya itu.

Aurora mencoba memejamkan matanya mengingat bahwa tidak akan ada yang spesial di hari itu terlebih Aurora bukanlah sosok yang mempunyai banyak teman—yang biasanya akan mendapat kejutan dari teman-temannya itu, salahnya sendiri yang terlalu sulit untuk mempunyai seorang sahabat kecuali Agatha, sahabatnya yang ada di Bandung. Aurora tidak lupa juga jika ia masih mempunyai Antariksa, kekasihnya yang sudah dua tahun bersamanya namun sayangnya Antariksa tidak mengabarinya sejak tadi sore karena katanya dia sedang pergi bersama teman-temannya.

Aurora tidak masalah dengan itu karena Antariksa memang mempunyai banyak teman, ya meskipun dia kelihatan cuek dan dingin, dia mempunyai teman-teman tongkrongan terlebih lagi dia ialah seorang gitaris di band-nya. Aurora senang bisa kenal Antariksa, sosok yang selalu bersikap manis meskipun terkadang lelaki itu terlihat acuh padanya, Antariksa menjadikan Aurora sebagai perempuan paling spesial.

Saat ia sempat tidak sengaja tertidur beberapa menit, Aurora entah kenapa kembali terbangun dan melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan tepat pukul 12 dini hari. Dia merapalkan doa dan memejamkan matanya dengan memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya sebatas dada. Aurora tersenyum tipis. “Selamat ulang tahun, Aurora.”

Ting!

Aurora terkejut bukan main, pasalnya ini sudah dini hari dan tiba-tiba saja bel apartemennya berbunyi, namun ia kembali tersenyum setelah mengingat bahwa ada seseorang yang datang untuk memberinya kejutan, namun di sisi lain dia juga takut, siapa yang tengah malam begini bertamu? Dia bukan takut pada makhluk tak kasat mata, tetapi dia lebih takut pada orang-orang jahat.

Aurora pun perlahan bangkit dari ranjangnya, dia keluar dari kamarnya dan melangkah ke arah pintu apartemen yang terus berbunyi itu. Setelah beberapa saat menimbang, dia segera membukakan pintu apartemennya dengan sudah memegang sebuah stick baseball yang selalu tersedia untuk menjaga diri.

Aurora terkejut melihat seseorang yang membawa kue ulang tahun dengan kepala yang tertutupi oleh jaket jeans birunya yang sudah setengah basah, lelaki itu tersenyum tipis. Antariksa. Ya, dia datang!

“Happy birthday, Aurora.”

Aurora tersenyum senang melihat kehadiran kekasihnya yang rela sudah menembus hujan demi menghampirinya dan memberinya kejutan, namun secepat mungkin Aurora mempersilakan Antariksa masuk ke dalam, meraih jaket yang menutupi kepala lelaki itu, sementara Antariksa masih dengan kue yang terabaikan oleh gadisnya. Gadis itu terlalu khawatir dengan kekasihnya yang basah karena hujan. “Kamu ngapain sih? Udah malam, hujan juga, kenapa repot-repot segala sih? Sini jaketnya.”

“Sayang, aku mau kasih kejutan, kok malah—”

“Sebentar aku ambil handuk,” kata Aurora.

Antariksa kini masuk ke dalam dan duduk di sofa setelah menaruh kue di atas meja. Lelaki itu mendengus kesal karena kekasihnya malah mengabaikan kejutan yang diberikannya, malah meninggalkannya untuk mengambil handuk. Antariksa pun mengacak rambutnya yang lepek akibat terkena hujan barusan hingga beberapa saat Aurora datang dan duduk di sampingnya.

Aurora mengusap kepala Antariksa dengan handuk kecil yang dia bawa, sebenarnya Antariksa masih kesal tapi menikmati wajah Aurora dari dekat membuat senyumannya merekah.

“Kamu engga mau niup kue dulu? Kok malah mengabaikan poin utamanya sih, ini ulang tahun kamu, aku rela dateng tapi kamu malah cuekin kejutannya.”

Aurora menjauhkan tangannya dari rambut Antariksa, dia mengamati raut wajah kecewa dari kekasihnya itu, ia pun menatap Antariksa dengan mata kucing. Dia segera melirik ke atas meja tepat kue ulang tahunnya masih ada dengan lilin menyala, dia melirik kekasihnya lagi, “aku tiup ya?”

Antariksa mengangguk, lalu dia mengusap rambut Aurora. “Make a wish dulu, Ra.”

Aurora pun memejamkan matanya dan berdoa sebelum akhirnya dia meniup lilin ulang tahunnya yang terdapat tulisan namanya di atas sana. Aurora melirik Antariksa, ia hampir menangis kalau saja Antariksa tidak menariknya ke dalam pelukan. “Makasih, Antariksa.”

“Sama-sama.”

Aurora melepaskan pelukannya lalu Antariksa menangkup kedua sisi wajahnya, lelaki itu mengerutkan dahinya. “Kok nangis?”

Aurora menggeleng, dia pun naik ke atas pangkuan Antariksa dan kembali memeluk kekasihnya erat. “Aku sayang kamu.”

Antariksa membalas pelukan Aurora, dia memejamkan matanya merasakan kehangatan dari pelukan yang diberikan kekasih tercintanya setelah ia merasakan betapa dinginnya hawa di luar tadi. Antariksa mencium pipi Aurora lembut. “I love you.

Antariksa sedikit mengangkat wajah Aurora yang menatapnya sayu, gadis itu kelihatan sedang tidak baik-baik saja, Antariksa merapikan rambut gadis itu yang berantakan. “Why, babe?

“Aku kangen mama, papa.”

Antariksa mengerucutkan bibirnya, dia tersenyum kecil sambil kembali mengusap rambut gadis yang masih ada dalam pangkuannya. “Besok ajak mama dan papa video call, kita tiup lilin lagi bareng mereka ya melalui virtual. Okay? Jangan sedih tapi ya?”

“Memangnya mereka mau?”

“Ya mau dong, kamu tau sendiri kalo orang tua kamu sayang kamu, meskipun mereka sibuk pasti mereka inget kok sama kamu dan pasti mereka juga mau untuk itu. Kalau emang gak bisa gapapa, nanti aku yang ceritanya jadi papa sekaligus mama kamu dulu.”

“Ih, Anta, serius...”

“Iya, semoga aja bisa ya, tapi kamu jangan sedih pasti mereka inget selalu sama kamu kok. Nanti bulan depan 'kan liburan semester, kamu bisa pulang deh.”

Aurora pun mengangguk, dia menatap Antariksa dan mengusap rambut lelaki itu yang semakin panjang bisa jadi sebentar lagi potongannya berbentuk mullet. Aurora mengusap wajah Antariksa. “Makasih.”

“Makasih aja?”

“Ah iya, potong kue ya, kamu mau makan kuenya 'kan?”

Antariksa menggeleng, hal itu membuat Aurora memicingkan matanya menatap lelaki itu, gadis itu kembali mengusap rambut kekasihnya dengan handuk. “Kamu jadi kehujanan gara-gara aku.”

“Ra,” panggil Antariksa, dia menarik tubuh Aurora menjadi lebih dekat dengan dirinya, hal itu membuat Aurora reflek menjatuhkan handuknya di belakang sofa. Mata gadis itu terpejam saat Antariksa menelusup ke ceruk lehernya, mulai memberikan kecupan-kecupan lembut yang membuat Aurora bergedik geli.

Tangan Antariksa sudah mulai bergerilya menelusup ke dalam piyama yang dikenakan oleh kekasihnya itu, Aurora memegang dada bidang Antariksa yang masih terbalut kaos putih yang dikenakan lelaki itu. Aurora semakin menempel dengan Antariksa dan duduk di atas perut berbentuk milik Antariksa.

Antariksa mencengkram dagu Aurora dan menariknya maju untuk meraih ranum milik gadis itu yang tengah sekuat tenaga menahan suara. Antariksa mencium Aurora dengan matanya yang terpejam, dia sedikit mendorong tengkuk Aurora untuk memperdalam ciumannya. Saat itu juga tangan lelaki itu mulai melepaskan kancing dress piyama gadisnya dan berhasil meloloskan itu semua dari tubuh kekasihnya sekarang. Jemari Antariksa memutar di sekitar perut ramping Aurora sehingga gadis itu menggelinjang kegelian. “Mmh...”

I'm gonna give you special gift, Darling.“  Antariksa berbisik setelah melepaskan ciumannya dengan Aurora, ia mengusap bibir gadis itu yang lembab karena ulahnya. Antariksa mengangkat tubuh Aurora sehingga berada dalam gendongannya, dia bangkit dari sofa dan melangkah masuk ke kamar Aurora. Wajah gadis itu bersemu merah melihat Antariksa yang menatapnya saat ia telah membaringkan Aurora di atas ranjang.

Aurora mengamati Antariksa yang tengah membuka pakaian atasnya itu, membuatnya tidak tahan menggigit bibir bawahnya melihat ketampanan kekasihnya yang ada di atasnya. Antariksa menatap Aurora dengan mata sayu, lelaki itu tersenyum miring melihat reaksi gadis itu.

Antariksa memberikan tatapan yang sangat dalam sambil mengusap peluh di dahi Aurora yang mulai mengalir, dia juga mengamati keseluruhan tubuh Aurora yang indah di bawahnya. Ia mengecup kedua pipi kekasihnya itu, kemudian beralih mengecup dahi,  dagu, dan berakhir pada bibir ranum gadis itu. “You look so gorgeous.”

Keduanya saling mencumbu satu sama lain, meraup kenikmatan masing-masing dari pertarungan lidah yang mereka ciptakan. Antariksa jauh lebih mendominasi dalam permainan kali ini karena Aurora masih kelihatan ragu saat ia hendak membalas ciuman dari kekasihnya itu. Antariksa menyesap bibir bawah Aurora saat tangannya tengah menelusuri paha gadis itu dan meremasnya gemas. “Ahh.”

Aurora meremas rambut Antariksa saat lelaki itu menggigit bibirnya, “Ahh, An...”

Aurora memegang tangan Antariksa yang semakin turun ke bagian paha dalamnya, namun tiba-tiba saja tangannya dicengkram kuat oleh satu tangan besar lelaki itu. Mulutnya masih dibungkam oleh bibir Antariksa. “Engh...”

Aurora bergerak gelisah saat jari Antariksa sudah memasukki area sensitifnya di bagian bawah, gadis itu mengerang saat lelakinya memutar jarinya di dalam sana. Antariksa melepaskan ciumannya saat ia merasa Aurora hampir kehabisan napas, dia bisa melihat mata sayu kekasihnya dan mulut lembabnya yang terbuka diiringi leguhan yang keluar dari sana. Saat tangan Antariksa bergerak turun pada dada gadis itu, Aurora segera memeluk tubuh lelaki itu dan mencengkram bahu Antariksa. Kekasihnya memang pandai mendominasi dalam permainan seperti ini.

Aurora memejamkan matanya menikmati sentuhan Antariksa, dia mengerang saat Antariksa meremas bagian atasnya. “An... faster...

Am I hurt you?

Aurora menggeleng, dia menatap Antariksa dengan bibir yang bergerak menggoda. Lelaki itu sudah membuat milik Aurora lembab, namun Antariksa segera mengeluarkan jarinya dari sana, miliknya sudah sesak di balik celana jeans yang ia kenakan. Sontak Aurora menatap Antariksa dengan tatapan kecewa. Antariksa tersenyum miring sambil menatap Aurora, dia memasukkan jarinya yang basah ke dalam mulut gadis itu. “Kulum.”

Aurora mengulumnya dengan mata sayu saat menatap Antariksa. Lelaki itu sudah tidak bisa menahan sesuatu yang sedari tadi ia tahan. Ia segera menarik jarinya dari mulut gadis itu. Ia juga melepaskan ikat pinggangnya dan melepaskan celananya yang sudah sesak itu.

Antariksa menarik kedua kaki Aurora mendekat, gadis itu menatap Antariksa begitu lekat, keduanya saling memandang terutama saat lelaki itu menarik kedua tangan Aurora agar melingkar di lehernya. Antariksa menunduk sejenak, ia mengecup bibir Aurora lembut. “Get ready.

Aurora membuka mulutnya yang spontan meleguh kuat sambil meremas rambut hitam Antariksa saat milik lelaki itu mendesak masuk, Antariksa menggigit bibirnya sambil menggeram nikmat saat ia mulai bergerak masuk. “Damn, Aurora.”

“Antariksa, move ...”

Antariksa terus menggeram saat ia tengah berusaha menggapai kenikmatan yang sama seperti yang Aurora rasakan, pandangannya tertuju pada gadis yang tergeletak pasrah di bawah sana, Aurora sangat cantik saat dia menggigit bibirnya menahan suara yang akan keluar dari dalam mulutnya. Antariksa mencengkram leher gadis itu dan menarik wajah Aurora mendekat untuk memberikan ciuman yang dalam seiring dengan pergerakannya kala itu.

“An ...”

“Yeah,” sahut Antariksa.

Suara aktivitas mereka mendominasi seisi ruangan, keduanya mencoba saling meraih surga masing-masing. Punggung Antariksa sudah banyak bekas cakaran Aurora, begitupun dengan tubuh gadis itu yang tampak bekas kemerahan akibat Antariksa.

“An, aku mau keluar.” Bisik Aurora parau seolah menahan sesuatu yang hendak ia ingin lepaskan di sela-sela pergulatan bibir mereka.

“Gak sekarang,” tegas Antariksa, dia melepaskan tautan bibir keduanya, dia menarik tubuh gadisnya hingga keadaan berbalik sekarang gadis itu berada di atasnya. Antariksa tidak melepaskan tubuh bawah mereka yang masih bersatu, dia membiarkan miliknya bisa semakin masuk karena kini Aurora duduk di atasnya. Aurora memekik saat merasakan pergerakan di dalam tubuhnya. “Ahh, An.”

Antariksa menatapnya. “Move.

Aurora masih diam, dia mengamati Antariksa yang memejamkan matanya. Antariksa memegang pinggang Aurora dan membantu gadis itu untuk bergerak, dia mengusap punggung Aurora lembut. Mulutnya menggeram saat gadis itu mulai terus bergerak di atasnya, membuat Antariksa juga tak hanya diam, dia menarik Aurora menunduk dan mencium bibirnya lagi.

Antariksa meremas pinggang Aurora yang terus bergerak, membuat dirinya merasakan kenikmatan yang tiada dua. Antariksa menggeram dalam ciumannya dengan gadis itu, tangannya terus bergerilya pada tubuh Aurora. Sesekali ia akan menampar dan meremas bokong sintal kekasihnya itu.  “You're so fuckin great, Aurora.”

“An, aku engga tahan,” ucap Aurora sambil memegangi lengan Antariksa yang kini mencengkram lehernya setengah mencekik. “Nghh, An.”

Antariksa menikmati pemandangan Aurora yang menengadah ke atas dengan mata terpejam saat ia mencekik gadisnya itu. Tangan lelaki itu yang lain terus menciptakan bekas kemerahan dengan tamparan dan remasannya di beberapa bagian tubuh kekasihnya. Tubuh gadis itu sesekali bergetar dan dadanya membusung saat Antariksa mempermainkannya.

“Suka, hm?” Antariksa melepaskan cekikannya saat gadis itu mulai terlihat kehabisan napas, dia bergerak mengusap pipi Aurora yang kini menatapnya sayu. Sangat cantik dan menggoda. Pemandangan kesukaan Antariksa. Antariksa menampar sekali lagi bokong gadis itu. “Answer it properly.

Aurora menggelinjang sambil mengangguk membuat Antariksa tersenyum penuh kemenangan. Aurora menelusup di dada lelaki itu dan lidahnya bergerak bermain di sana, terus berputar sampai ke sekitar leher Antariksa. Lelaki itu menggeram nikmat, dia menyukai jika Aurora sudah menggodanya.

Fuck, Aurora.” geram Antariksa.

Aurora tidak berhenti sampai di situ, dia mulai memimpin permainan kali ini dan diam-diam Antariksa menikmati suatu hal yang langka ini, Aurora mengisap bibir Antariksa lembut, lalu dia kembali mencium dada lelakinya itu sampai Antariksa menarik rambutnya gemas.

I'm cumming An.”

Aurora menghela napasnya lega saat ia mendapatkan pelepasannya yang pertama setelah ia mendominasi permainannya kali ini dengan Antariksa. Ini kali pertamanya karena ia kesal Antariksa tidak kunjung menghiraukannya.

Naughty, Girl.

Antariksa menatap Aurora tajam, dia tidak terima dengan gadis itu yang memanfaatkan dirinya dan mengambil alih permainan demi kepuasan sendiri, segera lelaki itu melepaskan miliknya dan membalikkan tubuh Aurora hingga ia berada di belakangnya. Antariksa menampar bokong sintal gadis dengan keras. “Ahh, An, maaf!”

Tanpa aba-aba, Antariksa kembali memasukkan miliknya dari belakang sehingga Aurora terkejut dan memekik pelan sambil meremas sprei yang sudah tidak karuan bentuknya. Antariksa mengumpulkan rambut panjang Aurora dan menariknya kebelakang. “Ini hukuman.” Antariksa mengecup telinga Aurora lalu mulai bergerak dengan tempo cepat dan tergesa-gesa mendapatkan pelepasannya.

“Ann, pelan-pelan,” ringis Aurora.

“Sstt.”

Antariksa terus menarik rambut panjang Aurora hingga kepala gadis itu mendongak ke atas, Aurora meringis kesakitan sekaligus merasakan nikmat yang tiada dua. “An, sakitt...”

Ahh.” Antariksa menggeram, dia mencium leher Aurora. “Tahan.”

“Aku keluar.”

Antariksa yang merasa pelepasannya segera tiba segera mengeluarkan miliknya dari milik Aurora. Gadis itu pun terjatuh lemas di atas ranjang saat ia merasakan cairan lelaki itu mengalir di punggungnya. Aurora sudah sangat lemas sekarang. “Ahh, i love you, Ra.

Antariksa segera bangkit dan meraih tissue untuk membersihkan bekas pelepasannya yang membasahi punggung kekasihnya. Antariksa segera memakai celananya dan membantu membenarkan posisi Aurora yang sudah berantakan. Lelaki itu mengangkat tubuh Aurora agar berbaring di atasnya, ia membiarkan Aurora bersandar di dadanya. “Cape?”

Aurora mengangguk polos. Antariksa menutupi tubuh mereka dengan selimut, dia juga mengusap peluh yang membasahi dahi kekasihnya itu. “Sorry, kamu nyebelin lagian, aku gemes juga jadinya.”

Antariksa mengendus pipi Aurora, “Sekali lagi, happy birthday, Sayang.”

Aurora melirik Antariksa dengan bibir mengerucut dan mata yang sinis. Dia kecapean sekaligus kesal dengan kekasihnya yang satu itu.

Antariksa menangkup wajah gadis itu agar memandangnya. “Apa ngeliatinnya gitu? Mau lagi hm?”

Aurora menggeleng. “Engga, udah, maaf...”

Antariksa tersenyum dengan matanya yang sayu, dia memeluk Aurora erat lalu mencium puncak kepalanya, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Tanpa aba-aba, ia memasangkan sebuah kalung berlian yang dia ambil dari dalam saku celananya itu di leher Aurora, sehingga gadis itu terkejut dan menunduk memandang kalung berbandul berlian itu begitu cantik bahkan kini sudah menggantung sempurna di leher Aurora.

“Untuk kamu.”

“Antariksa, ini cantik banget.” Aurora menoleh pada Antariksa dengan tatapan berbinar, ia lalu menelusup ke dada polos lelakinya. “Thank you, An.

My pleasure, Love.” Antariksa mengecup bibir Aurora lembut lalu dia mengusap surai kekasihnya itu. Dia tersenyum sungging. “and anyway, you playing well, Love.

■ ■ ■ ■

Bercerita.

Wira menatap pantulan wajahnya yang setengah basah setelah ia selesai mencuci mukanya, dia mengusap wajah tampannya itu lembut dengan handuk di tangannya. Tatapannya berubah menjadi kosong saat ia sedang memandangi cermin di hadapannya, satu tangannya bertumpu pada wastafel. Dia menyugar rambut setengah basahnya itu ke belakang sambil masih berfokus pada pantulan dirinya. Entahlah tatapannya berubah menjadi kosong seperti sedang memikirkan sesuatu, lelaki itu pun tersadar dan segera menggelengkan kepalanya samar.

Dia berdecak kesal dan bergerutu pelan. “Aku ini kenapa? Kenapa juga aku terus melamun begini?”

Wira menghela napasnya panjang, dia mengusap sekali lagi wajahnya dengan tangan kosong seolah ingin merilekskan seluruh pikirannya sekarang. Akhirnya, ia keluar dari dalam kamar mandi.

Dia melirik pada jam dinding di kamarnya, sudah menunjukkan pukul 8 lebih. Sebenarnya ia ingin tidur lebih cepat karena besok pagi ia akan terbang lagi untuk kembali bekerja, namun sejak ia selesai salat tadi, dia tidak bisa berhenti memikirkan sesuatu. Sesuatu itu terus mengusik pikirannya sampai saat ini.

Wira tersenyum tipis, dia melirik ponsel yang tergeletak di atas nakas. “Sedang apa ya dia? Kenapa tidak kunjung membalas pesanku? Apa dia sedang tidak ingin diganggu?”

Raut wajah Wira berubah menjadi cemas, dia mengacak rambutnya kasar saat ia hendak duduk di sisi ranjang, lelaki itu larut dalam lamunan untuk kesekian kalinya. “Apa aku melakukan suatu kesalahan tadi? Apa dia marah padaku? Apa dia tidak mau denganku? Kenapa tidak langsung bicara, bukan malah menghilang begini.”

Wira pun sebisa mungkin mencoba menepis semua pemikirannya itu, dia tidak mengerti kenapa sekarang malah muncul banyak pertanyaan yang semakin membuatnya bingung dan tidak tahu harus apa. Pikirannya dipenuhi oleh sosok yang baru saja ia temui tadi, jelas itu Airin. Sesekali bayangan Airin yang nyentrik dan senang menggodanya itu muncul membuat senyuman Wira terbentuk secara tak sadar. Airin yang unik, Airin yang mempunyai kesan pertama paling aneh di mata Wira. Wira memegang kembali dadanya di mana jantungnya terletak dan kembali berdegup saat ia memikirkan gadis itu, sungguh ini membuatnya menjadi tak karuan.

“Apa aku benar-benar menyukainya?”

—oOo—

“Ibu, sedang apa?”

“Astaga, kamu mengagetkan aja!”

Wira yang baru saja turun dari anak tangga rumahnya tampak mengamati sang ibu yang sedang sibuk membuat kue, ya ibunya itu memang senang memasak apalagi membuat kue-kue yang disukai oleh Wira. Wira sangat merindukan masakan ibunya itu karena ia senang ibunya bisa kembali tinggal bersamanya sebab selama beberapa tahun silam ia berpisah dengan sang ibu. Ibu sudah lama tinggal di Bandung. Ibu tidak tinggal sendiri di sana, dia bersama adiknya yaitu tante Mirna yang tinggal bersama anaknya bernama Mahesa.

Diana, ibu Wira, memang tidak tinggal bersama Wira sejak Wira pindah ke Jakarta dan bekerja. Jadi sudah cukup lama lelaki itu mengadu nasib sendiri sampai akhirnya ia berhasil membeli sebuah rumah yang kini ditinggali olehnya dan sang ibu. Wira sangat senang karena ia bisa memboyong satu-satunya orang tuanya untuk tinggal bersamanya meskipun ia seringkali meninggalkan sang ibu tapi setidaknya dia bisa hidup bersama dengan wanita yang sangat dia sayangi.

Untuk sementara ini rumah ibu yang di Bandung ditempati oleh Tante Mirna dan Mahesa, tidak apalah, lagipula ibu sangat menyayangi mereka. Diana senang juga bisa kembali ke Jakarta, tempatnya lahir, terutama bisa tinggal bersama anaknya.

“Buat kue lagi, Bu?”

“Iya, untuk kamu ini.”

“Lho? Aku sudah bilang, engga usah repot-repot, Bu. Ah, aku jadi engga enak sama ibu,” ujar Wira.

“Engga apa-apa dong, ibu kan senang kalau bikin kue kesukaan kamu untuk bekal kamu bekerja besok.” Ibu tersenyum pada Wira. “Oh ya, bagaimana? Kamu belum cerita banyak lho tentang Airin.”

Wira tersenyum kecil, dia pun berdiri seraya bersandar pada dinding sambil mengamati sang ibu. “Entahlah, Bu.”

“Kok begitu? Kamu bilang kamu sudah tertarik sama dia, toh?”

“Hmm, Bu,” panggil Wira. Ia bisa melihat sang ibu langsung menoleh ke arahnya. “Aku sudah bertanya padanya, tentang kesiapan dia, apa itu terlalu cepat? Aku tidak mengerti juga kenapa aku bisa bergerak secepat itu, sungguh, Bu, aku hanya mencoba meluapkan semua yang kurasakan padanya. Aku mengatakan jika aku akan melamar dia, itupun jika dia mau padaku, tapi dia tidak kunjung membalas pesanku... apa ini terlalu cepat? Apa dia ilfeel padaku ya, Bu?”

“Loh tap—”

“Sebentar, Bu, maaf aku belum selesai.” tahan Wira. Ibu pun mengangguk. “Maaf, Bu, bukan maksud memotong tapi aku belum selesai bercerita. Aku kesal saja, dia sudah menggodaku terus dia mengajakku berpacaran tapi kenapa kelihatan hanya bercanda. Lagipula aku tidak mau berpacaran.”

“Jangan berpikir negatif, Wir, mungkin saja dia sudah tidur atau mungkin dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Hmm, kalau dia sudah menggoda artinya dia tertarik denganmu, ya jelas anak ibu itu 'kan tampan sekali! Kenapa juga kamu tidak berbicara langsung pada Airin, Wira?”

Wira terdiam sejenak seraya mencerna perkataan dari sang ibu yang sepertinya ada benarnya, bisa saja Airin tidak membalas pesannya karena sedang sibuk atau apapun itu, dia jadi merasa bersalah telah mengganggu gadis itu. Wira pun kembali melamun sampai akhirnya ibu hanya menggelengkan kepala melihatnya. Ibu juga tersenyum melihat tingkah aneh Wira yang baru pertama kali ia lihat.

“Ibu tidak tau jika Airin akan berdampak begini untukmu, Wir,” goda Ibu.

Wira menelan ludahnya susah payah seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia menahan senyumannya namun tidak bisa menyembunyikan pipinya yang bersemu merah sekarang. Wira yang mendadak kikuk akhirnya beranjak dari dapur, belum sempat pergi, Ibu menahannya. “Loh kok udahan ceritanya?”

“Nanti saja deh, ibu malah menggodaku, aku mau kembali ke kamar juga, bersiap untuk besok.”

Ibu hanya terkekeh pelan sambil mengamati Wira yang berlalu pergi menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya. “Ada-ada saja yang sedang kasmaran ini. Aku akan cerita pada Rifany, nih!”

—oOo—

Sesak dan Isakan.

Sebenarnya Alana tidak mau menghampiri Arion yang sudah memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, lelaki itu memang sempat ditawarkan masuk ke dalam oleh bundanya Alana tetapi dia tidak mau karena dia hanya ingin bertemu Alana. Alana terpaksa keluar untuk menghampiri Arion di tengah emosi yang masih membuncah karena lelaki itu sangat keras kepala. Alana terdiam melihat wajah kusut Arion yang penuh penyesalan saat memandangnya.

Arion tersenyum miris, sementara yang ditatap malah membuang mukanya, mata Alana tidak bisa berbohong jika dia habis menangis.

“Ke mobil sebentar yuk?” ajak Arion.

“Di sini aja.”

“Sebentar. Gak enak kalo orang rumah denger, ada yang mau aku bicarain.” Arion menyentuh pergelangan tangan Alana namun dengan lembut gadis itu menepisnya. Arion menghela napasnya. “Ayo.”

Alana pun melangkah terlebih dahulu yang disusul Arion saat mereka masuk ke dalam mobil lelaki itu. Alana terus memalingkan pandangannya dari Arion seolah-olah dia tidak mau kontak mata dengan lelaki itu. Dia terlihat sangat marah pada Arion.

“Jangan lama-lama,” kata Alana.

Arion menghela napasnya panjang, dia menolah pada gadis yang tampak memandang ke arah jendela, dia menepuk bahu Alana. “Liat aku.”

Alana menggelengkan kepalanya dan menepis tangan Arion sehingga lelaki itu tampak mendesah pasrah. “Na ...”

Arion bisa melihat gadis di sampingnya itu tampak langsung menutup wajahnya, tak lama ia mendengar suara tangisan Alana yang membuatnya merasa bersalah. Arion mendekatkan dirinya pada Alana, mereka duduk di bangku belakang mobil sehingga Arion bisa menjangkau gadis itu dengan mudah. “Hey, jangan nangis...”

“Alana, maaf...” Arion menangkup kedua wajah Alana, sesekali dia akan menyeka air mata gadis itu, lelaki itu tidak tahan melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu. Arion pun menempelkan dahinya dengan dahi gadis itu, dia memejamkan matanya lama lalu mengecup dahi Alana lembut. “Maafin aku...”

Alana tidak menjawab, dia masih merasakan sesak di dadanya karena emosi yang membuncah dalam dirinya seolah terluapkan sekarang. Alana menjauhkan dirinya dari Arion, dia memalingkan pandangannya lagi sambil berusaha menahan tangisannya, napasnya tersenggal-senggal saat ia mulai bicara, dia melirik Arion dengan senyum tipis. “Kita cukup sampai sini aja ya? Kalau dilanjut akan saling menyakitkan.”

Arion tidak menjawab, dia masih terdiam dengan tatapan kosong sampai akhirnya ia tampak menutup wajahnya sambil menundukan kepalanya. Arion merasakan dadanya begitu sesak sekarang, diam-diam lelaki itu menangis, meskipun isakannya tidak terdengar oleh Alana.

“Aku belum baik untuk kamu, aku bukan yang terbaik,” ucap Alana.

Arion menengadah lagi sambil mengusap wajahnya kasar dengan mata memerah, dia menatap Alana dan menggeleng. “Engga, ga ada kata selesai. Tarik ucapan kamu barusan.”

Alana memandangi Arion, lelaki itu mengeluarkan air mata, terang saja Alana terkejut melihat Arion menangis karenanya. Arion memegang kedua tangan Alana dan mengusap matanya yang berlinang. “Aku minta maaf, please, kasih aku kesempatan lagi, aku mohon... Alana aku sayang kamu, aku gak bisa kehilangan kamu. Aku akan berusaha untuk bisa menjaga emosi aku, aku coba buat berubah jadi lebih baik lagi. Aku mohon, Na.”

Alana sejujurnya juga tidak mau hubungannya berakhir dengan Arion, tetapi dia juga tidak mau terjebak dalam hubungan percintaan yang tidak baik seperti ini. Ia merasa ini terlalu toxic untuk dijalani, namun di sisi lain, ia masih membutuhkan Arion di sampingnya. Alana bisa melihat bagaimana ketulusan lelaki itu saat ini, meski dia sempat kecewa dengan kata-kata kasar lelaki itu dari pesan chat tadi. Alana mengusap wajah Arion dan menyeka air mata lelaki itu lalu dia memeluk Arion erat. Pelukan itu semakin erat saat Arion membalasnya dan menumpahkan semua isakannya di ceruk leher gadis itu. Dia berbisik pelan. “I love you... Maafin aku, Alana.”

Sesak dan Isakan.

Sebenarnya Alana tidak mau menghampiri Arion yang sudah memarkirkan mobilnya di depan rumahnya, lelaki itu memang sempat ditawarkan masuk ke dalam oleh bundanya Alana tetapi dia tidak mau karena dia hanya ingin bertemu Alana. Alana terpaksa keluar untuk menghampiri Arion di tengah emosi yang masih membuncah karena lelaki itu sangat keras kepala. Alana terdiam melihat wajah kusut Arion yang penuh penyesalan saat memandangnya.

Arion tersenyum miris, sementara yang ditatap malah membuang mukanya, mata Alana tidak bisa berbohong jika dia habis menangis.

“Ke mobil sebentar yuk?” ajak Arion.

“Di sini aja.”

“Sebentar. Gak enak kalo orang rumah denger, ada yang mau aku bicarain.” Arion menyentuh pergelangan tangan Alana namun dengan lembut gadis itu menepisnya. Arion menghela napasnya. “Ayo.”

Alana pun melangkah terlebih dahulu yang disusul Arion saat mereka masuk ke dalam mobil lelaki itu. Alana terus memalingkan pandangannya dari Arion seolah-olah dia tidak mau kontak mata dengan lelaki itu. Dia terlihat sangat marah pada Arion.

“Jangan lama-lama,” kata Alana.

Arion menghela napasnya panjang, dia menolah pada gadis yang tampak memandang ke arah jendela, dia menepuk bahu Alana. “Liat aku.”

Alana menggelengkan kepalanya dan menepis tangan Arion sehingga lelaki itu tampak mendesah pasrah. “Na ...”

Arion bisa melihat gadis di sampingnya itu tampak langsung menutup wajahnya, tak lama ia mendengar suara tangisan Alana yang membuatnya merasa bersalah. Arion mendekatkan dirinya pada Alana, mereka duduk di bangku belakang mobil sehingga Arion bisa menjangkau gadis itu dengan mudah. “Hey, jangan nangis...”

“Alana, maaf...” Arion menangkup kedua wajah Alana, sesekali dia akan menyeka air mata gadis itu, lelaki itu tidak tahan melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu. Arion pun menempelkan dahinya dengan dahi gadis itu, dia memejamkan matanya lama lalu mengecup dahi Alana lembut. “Maafin aku...”

Alana tidak menjawab, dia masih merasakan sesak di dadanya karena emosi yang membuncah dalam dirinya seolah terluapkan sekarang. Alana menjauhkan dirinya dari Arion, dia memalingkan pandangannya lagi sambil berusaha menahan tangisannya, napasnya tersenggal-senggal saat ia mulai bicara, dia melirik Arion dengan senyum tipis. “Kita cukup sampai sini aja ya? Kalau dilanjut akan saling menyakitkan.”

Arion tidak menjawab, dia masih terdiam dengan tatapan kosong sampai akhirnya ia tampak menutup wajahnya sambil menundukan kepalanya. Arion merasakan dadanya begitu sesak sekarang, diam-diam lelaki itu menangis, meskipun isakannya tidak terdengar oleh Alana.

“Aku belum baik untuk kamu, aku bukan yang terbaik,” ucap Alana.

Arion menengadah lagi sambil mengusap wajahnya kasar dengan mata memerah, dia menatap Alana dan menggeleng. “Engga, ga ada kata selesai. Tarik ucapan kamu barusan.”

Alana memandangi Arion, lelaki itu mengeluarkan air mata, terang saja Alana terkejut melihat Arion menangis karenanya. Arion memegang kedua tangan Alana dan mengusap matanya yang berlinang. “Aku minta maaf, please, kasih aku kesempatan lagi, aku mohon... Alana aku sayang kamu, aku gak bisa kehilangan kamu. Aku akan berusaha untuk bisa menjaga emosi aku, aku coba buat berubah jadi lebih baik lagi. Aku mohon, Na.”

Alana sejujurnya juga tidak mau hubungannya berakhir dengan Arion, tetapi dia juga tidak mau terjebak dalam hubungan percintaan yang tidak baik seperti ini. Ia merasa ini terlalu toxic untuk dijalani, namun di sisi lain, ia masih membutuhkan Arion di sampingnya. Alana bisa melihat bagaimana ketulusan lelaki itu saat ini, meski dia sempat kecewa dengan kata-kata kasar lelaki itu dari pesan chat tadi. Alana mengusap wajah Arion dan menyeka air mata lelaki itu lalu dia memeluk Arion erat. Pelukan itu semakin erat saat Arion membalasnya dan menumpahkan semua isakannya di ceruk leher gadis itu. Dia berbisik pelan. “I love you... Maafin aku, Alana.”