winwincure

Nurani Airin


Airin masih mengamati ponselnya yang tergeletak di samping ranjang tempatnya berbaring, dia baru saja membalas pesan dari Wira barusan, entahlah, hatinya bergejolak saat mengingat isi pesan terakhir dari lelaki itu. Airin tidak tau harus menjawab apa, tapi munafik jika dia tidak mengagumi sosok Wira apalagi sekarang isi pikirannya penuh oleh lelaki itu. Airin menatap langit-langit kamarnya dan memejamkan matanya sejenak, dia juga tidak tau kenapa lelaki yang baru dikenalnya itu mulai memenuhi isi otaknya.

Airin berdecak kesal saat mengamati ponselnya yang tidak lagi berdering setelah Wira mengakhiri obrolan singkat mereka melalui pesan tadi, Airin tau lelaki itu butuh banyak istirahat karena pasti besok dia akan terbang lagi entah kemana Airin belum tanya soal itu.

Sebenarnya Airin juga sedikit takut jika dia menyinggung perasaan Wira, tetapi, faktanya dia memang tidak tau harus membalas apa.

Dia membuka matanya lagi dan melirik ke arah ponsel, lalu dia bangkit dari tempatnya tidur. Gadis itu membuka totebag-nya dan mengambil topi hitam yang sejak kemarin ada di dalam sana. Ya, itu topi pemberian Wira, ah maksudnya topi yang direbut paksa Airin dari Wira. Ia memakai topi itu dan memandang pantulannya di cermin meja rias. Senyumannya mengembang tak terduga. Kilatan wajah dengan senyuman manis yang selalu tak berani menatap matanya itu mulai terbesit. Airin terkekeh. “Mas Wira, apa lo terlalu sempurna buat gue?”

Namun, sejenak suara berat yang terngiang di pikirannya kembali terdengar. “Tidak ada manusia yang sempurna, Airin. Aku memiliki kekurangan, kamu memiliki kekurangan, bahkan semua orang pasti memiliki kekurangan. Maka dari itu, pasangan diciptakan untuk saling melengkapi ketidaksempurnaan itu. Kekurangan yang ada dalam diri seseorang bisa jadi kelebihan di diri pasangannya. Dua insan yang tidak utuh dan tidak sempurna itu dapat menyatu melengkapi ketidaksempurnaan dalam diri masing-masing yang terbangun atas dasar cinta yang sempurna, Airin.”

———

Nurani Airin


Airin masih mengamati ponselnya yang tergeletak di samping ranjang tempatnya berbaring, dia baru saja membalas pesan dari Wira barusan, entahlah, hatinya bergejolak saat mengingat isi pesan terakhir dari lelaki itu. Airin tidak tau harus menjawab apa, tapi munafik jika dia tidak mengagumi sosok Wira apalagi sekarang isi pikirannya penuh oleh lelaki itu. Airin menatap langit-langit kamarnya dan memejamkan matanya sejenak, dia juga tidak tau kenapa lelaki yang baru dikenalnya itu mulai memenuhi isi otaknya.

Airin berdecak kesal saat mengamati ponselnya yang tidak lagi berdering setelah Wira mengakhiri obrolan singkat mereka melalui pesan tadi, Airin tau lelaki itu butuh banyak istirahat karena pasti besok dia akan terbang lagi entah kemana Airin belum tanya soal itu.

Sebenarnya Airin juga sedikit takut jika dia menyinggung perasaan Wira, tetapi, faktanya dia memang tidak tau harus membalas apa.

Dia membuka matanya lagi dan melirik ke arah ponsel, lalu dia bangkit dari tempatnya tidur. Gadis itu membuka totebag-nya dan mengambil topi hitam yang sejak kemarin ada di dalam sana. Ya, itu topi pemberian Wira, ah maksudnya topi yang direbut paksa Airin dari Wira. Ia memakai topi itu dan memandang pantulannya di cermin meja rias. Senyumannya mengembang tak terduga. Kilatan wajah dengan senyuman manis yang selalu tak berani menatap matanya itu mulai terbesit. Airin terkekeh. “Mas Wira, apa lo terlalu sempurna buat gue?”

Namun, sejenak suara berat yang terngiang di pikiran Airin kembali terdengar. “Tidak ada manusia yang sempurna, Airin. Aku memiliki kekurangan, kamu memiliki kekurangan, bahkan semua orang pasti memiliki kekurangan. Maka dari itu, pasangan diciptakan untuk saling melengkapi ketidaksempurnaan itu. Kekurangan yang ada dalam diri seseorang bisa jadi kelebihan di diri pasangannya. Dua insan yang tidak utuh dan tidak sempurna itu dapat menyatu melengkapi ketidaksempurnaan dalam diri masing-masing yang terbangun atas dasar cinta yang sempurna, Airin.”


Kirana dan Petuahnya.

![] (https://i.imgur.com/dsxCa8r.jpg)


Kirana dan Petuahnya.


Kirana dan Petuahnya.


“Dengerin kata aku ya, semuanya itu bergantung pada diri kamu sendiri, kamu yang berhak menentukan pilihan kamu, Ai. Kalau kamu udah yakinin diri kamu, kamu harus segera ambil keputusan. Ngerti, kan?”

Airin masih mengaduk minumannya seraya mencerna setiap petuah yang keluar dari mulut Kirana—wanita yang kini duduk di hadapannya.

“Aku gak tau, aku bingung banget. Serius deh kak, aku lagi banyak banget yang dipikirin.” Airin menghela napasnya. “Kayak ada aja gitu masalah yang dateng.”

“Ya udah, kamu jangan dulu mikirin banyak hal kalau gitu, pikirin hal yang menurutmu penting aja, tapi ya kamu juga harus kasih jawaban ke lelaki itu—eh, siapa tadi namanya?”

“Mas Wira, Kak.”

“Oh, okay, iya kamu harus kasih jawaban cepet ke Mas Wira. Kalian berarti belum dekat sebulanan ya? Maksud aku, kalian baru aja deket, kan?”

“Baru kenal, Kak, tapi aneh aja gitu dia bisa langsung tanyain soal itu. Mungkin karena dia menganggap perkenalan ini sebagai perjodohan juga kali ya?”

“Mungkin?” Kirana mengedikan bahunya, dia menarik napasnya sejenak lalu menatap Airin intens. “Kamu tau 'kan kalau cinta itu emang enggak terduga, Airin. Bahkan, dia aja datang sebagai orang asing di hidup kamu dan dia datang dengan niat serius sama kamu. Aku rasa itu niat yang bagus, bener-bener harus kamu pertimbangin karena kamu tau? Sekarang itu mulai susah cari lelaki yang serius.” Kirana tersenyum miris, “Revan sekalipun.”


Lalita dan Leo.


“Kak, aku mau terus belajar bareng kakak.”

Airin tersemyum memandang gadis cantik berkuncir kuda yang tengah menatapnya juga dengan mata kucing, sangat menggemaskan, Airin senang bisa bertemu gadis itu dan mengajarinya belajar. Airin pun mengusap rambut gadis itu seraya melirik ke atas. “Hm, beneran nih kamu mau belajar terus sama aku? Janji nggak males-malesan lagi?”

“Lalita janji, Kak.”

Gadis bernama Lalita itu—yang merupakan adik kandung Leo tampak mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Airin. Airin terkekeh pelan lalu menautkan jari kelingkingnya juga pada Lalita. “Kalau ingkar, kakak marah ya?”

“Engga akan, ingkar!”

Airin mengacak rambut Lalita gemas. Dia kemudian melirik ke arah jam dinding yang rupanya sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ia sendiri sebenarnya bertanya-tanya kenapa rumah sebesar ini begitu hening, bahkan ia hanya bertemu dengan pembantu di rumah sahabatnya itu, Leo sendiri sedang ada di kamarnya selama Airin mengajarkan adiknya belajar, semakin lah terasa sepi.

“Kakak kenapa?” tanya Lalita.

Airin menggeleng. “Engga kenapa-napa,” dia tersenyum, “kamu besok sekolah jam berapa? Besok ada tugas yang lain nggak?”

“Aku sekolah jam tujuh, Kak, tapi engga ada tugas lagi kok, tinggal yang tadi aja. Kak Airin aku mau ikut kakak...”

Airin mengerutkan keningnya, “Loh masa mau ikut aku? Nanti aku dateng lagi kok ke sini...”

“Kakak jangan pulang, aku engga ada temen, kakak baik sama aku, kalau gak ada kakak aku main salon-salonannya sama boneka...”

Airin merasa tak tega saat melihat Lalita yang langsung menundukkan kepalanya, gadis itu tampaknya senang bisa belajar sekaligus bermain bersama Airin sebab dia terlihat sangat kesepian.

“Ih jangan sedih ... nanti aku dateng lagi kok,” kata Airin, dia pun merentangkan tangannya lebar-lebar. “Mau peluk dulu nggak sebelum aku pulang?”

Lalita mengangkat kepalanya dengan mata yang berlinang, dia sekuat mungkin menahan tangisannya lalu dia segera memeluk erat dan terisak di pelukan Airin. “Kakak janji ya dateng ... lagi?”

“Ih kok nangis, anak cantik kok nangis sih?” Airin merenggangkan pelukannya pada Lalita, kemudian menangkup pipi anak itu dan mengusap wajahnya yang berlinang air mata. Airin jadi ingin menangis juga melihatnya, namun dia segera tertawa kecil. “Ih jangan nangis ah, nanti kalau nangis aku nggak dateng lagi loh...”

Airin pun mengambil minum di atas meja dan memberikannya pada Lalita. “Ini minum dulu.”

Setelah itu Airin merapikan rambut Lalita dan mengusap lagi air matanya di tengah Lalita yang masih sesenggukan.

“Heh apain adik gue lo sampe nangis?”

Airin menoleh dan langsung melotot tajam ke arah Leo yang tiba=tiba datang dengan senyum tertahan, dia berniat bercanda namu setelah diberi kode oleh Airin, ia langsung mengerti.

Lalita pun berdiri, dia menghampiri Leo dan memeluk kakaknya erat. “Aku nggak mau kak Airin tinggalin aku. Aku kesepian.”

“Kak Airin nanti ke sini lagi kok, 'kan ada aku di sini, ada bibi juga, ada papa dan mama juga kok.”

Lalita langsung menengadah—menatap mata kakaknya tajam saat mendengar akhir kalimat dari pria itu, ia segera berlari menaiki anak tangga begitu terburu-buru seraya terisak.

“Lalita!” Airin yang terkejut hendak mengejarnya namun Leo langsung menahannya dan menggeleng. Gadis itu menatap mata Leo yang kosong, sebelum Leo bersuara.

“Gue boleh pinjem bahu lo sebentar?”

Airin tersenyum dan mengangguk, selang beberapa saat Leo berdiri di samping Airin seraya menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu. Airin melirik Leo dan mengusap kepala sahabatnya itu lembut.

“Bokap nyokap lo sesibuk itu ya? Gue—”

Leo memotong perkataan Airin. “Ya, sampai dia mengabaikan Lalita juga, gue nggak tega, Ai... Gue emang nggak masalah mau dipeduliin atau nggak, tapi ini anak sekecil Lalita yang masih butuh kasih sayang mereka, Ai...”

“Leo...”

“Ai, sorry lo jangan liat gue dulu, gue malu banget.”

Airin sedikit menggoda Leo dan melirik lelaki itu yang rupanya menitikkan air mata sedikit. “Masa bad boy nangis sih, udah ah jangan nangis, badan kayak titan gitu masa cengeng!”

“Ya Tuhan, Ai, gue punya perasaan juga...”

“Iya iya, bercanda. Lo tenang aja ya, kalaupun nanti gue gak diterima jadi guru les adik lo, gue bakal ketemu lagi sama Lalita.”

Leo mengangkat wajahnya. “Ai, jangan bercanda, lo udah langsung keterima kok.”

“Serius lo?”

Leo tersenyum seraya kembali bangkit, dia memandang Airin yang menatapnya dengan mata berbinar. Lelaki itu mengangguk.

Thanks banget, Leo, gue gak tau mau bilang apa lagi selain terima kasih karena lo itu baik banget sama gue.”

Leo mengangguk pelan, dia pun mengacak rambut Airin gemas. “Lo pulang sendiri bisa? Gue mau—”

“Bisa, tenang aja, lo temenin adik lo aja ya gak perlu khawatir sama gue.”

“Ya udah. Eh, mau makan dulu?”

“Gak usah, nanti aja deh baliknya,” jeda Airin.

“Bener?”

“Iya benerann!”

Leo memegang pundak Airin dan tersenyum tulus. “Ai, emang gak salah banyak yang jatuh hati sama lo, lo cantik, hati lo pun cantik dan lo sangat tulus. Ai, makasih udah nolak gue saat itu karena gue sadar, gue akan jauh sakit hati kalau nanti hubungan kita berakhir, tapi dengan jadi sahabat lo, gue gak perlu khawatir soal itu tapi yang perlu gue pastiin adalah lo jatuh pada orang yang tepat. Inget, gue nggak mau lo balik sama Arkan lagi, meskipun gue temen dia, tapi gue nggak mau kalau lo jatuh ke tangan orang brengsek lagi.”


Mau Peluk.


Aku tidak tahu kenapa sampai detik ini jantungku masih terus berdegup kencang apalagi setelah aku mendapati sosok jelitanya dari kejauhan, dia tersenyum tipis seraya melambaikan tangannya padaku. Sebenarnya aku ingin sekali mengenalkan dirinya dengan Kevin tapi sepertinya gadis itu masih malu-malu dan ya mungkin ini belum saatnya untuk itu.

Aku berjalan perlahan tapi pasti demi melihat sosok cantik itu lebih dekat lagi, dia tersenyum begitu manis padaku. Ini seperti sebuah mimpi, ya, aku tidak percaya dia akan datang menjemputku, gadis yang kuimpikan.

Aku bisa melihat bagaimana rambut panjangnya yang indah itu terurai dan menghalangi bagian wajahnya saat dia berlari kecil ke arahku.

“Mas Wira!”

Aku terkejut bukan main saat ia datang mendekat—ah, tidak, ini terlalu dekat bahkan aku sontak menjauh darinya, dia sudah merentangkan kedua tangannya itu, jantungku dipermainkan oleh gadis itu.

“Mas, gue mau peluk...” Airin menatapku dengan mata kucing, sedikit terlihat merajuk dengan jarak yang masih berdekatan denganku namun untungnya koper yang kutaruh di antara kami dapat membuatku bernapas lega. “Kok malah dihalangi?”

Aku mencoba sebisa mungkin menahan senyuman yang sialnya tidak bisa, aku malu jika pipiku ini ikut memerah melihat wajah lucunya saat aku menahan pelukan yang ingin dia berikan. Sebenarnya aku tidak mau dia memelukku, jujur aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti jika itu benar terjadi, aku mencoba meminimalisir getaran hebat yang telah disalurkan gadis itu sejak awal aku tiba di sini.

“Nanti saja, ini banyak orang.”

“Terus?”

“Ya udah lah, terserah! Lo tuh ya, Mas, gue jauh-jauh loh dateng ke sini, gak dikasih sambutan hangat gitu?” Airin mendelik sebal padaku, aku hanya terkekeh pelan, dia sangat lucu.

“Mana kuncinya?” tanyaku.

Airin pun memberikan kunci mobilnya padaku lalu dia membuang muka dan berjalan mendahuluiku. Aku tidak bisa menahan senyuman melihat tingkahnya di awal pertemuan kita yang ketiga kali ini.

Aku membiarkannya berjalan mendahuluiku, dia menoleh sejenak dengan mata sinisnya tapi itu tidak membuatku ingin menyusulnya, aku tidak apa berjalan di belakangnya sebab aku bisa melindunginya dan menjaganya. Munafik memang jika aku bilang aku tidak ingin ada di sampingnya, tapi aku takut, aku takut jika aku tak pantas untuk itu.

Dia menoleh sekali lagi, langkahnya pun terhenti. “Nggak mau gandengan?”

Aku hanya tersenyum. “Kamu duluan saja.”

Airin menatapku tajam lalu dia berjalan lebih cepat mendahuluiku dengan raut wajah yang sudah bisa kupastikan menggemaskan jika dilihat.

Ibu, aku akan membawanya ke rumah, aku tidak percaya itu....

Mau Peluk.


Aku tidak tahu kenapa sampai detik ini jantungku masih terus berdegup kencang apalagi setelah aku mendapati sosok jelitanya dari kejauhan, dia tersenyum tipis seraya melambaikan tangannya padaku. Sebenarnya aku ingin sekali mengenalkan dirinya dengan Kevin tapi sepertinya gadis itu masih malu-malu dan ya mungkin ini belum saatnya untuk itu.

Aku berjalan perlahan tapi pasti demi melihat sosok cantik itu lebih dekat lagi, dia tersenyum begitu manis padaku. Ini seperti sebuah mimpi, ya, aku tidak percaya dia akan datang menjemputku, gadis yang kuimpikan.

Aku bisa melihat bagaimana rambut panjangnya yang indah itu terurai dan menghalangi bagian wajahnya saat dia berlari kecil ke arahku.

“Mas Wira!”

Aku terkejut bukan main saat ia datang mendekat—ah, tidak, ini terlalu dekat bahkan aku sontak menjauh darinya, dia sudah merentangkan kedua tangannya itu, jantungku dipermainkan oleh gadis itu.

“Mas, gue mau peluk...” Airin menatapku dengan mata kucing, sedikit terlihat merajuk dengan jarak yang masih berdekatan denganku namun untungnya koper yang kutaruh di antara kami dapat membuatku bernapas lega. “Kok malah dihalangi?”

Aku mencoba sebisa mungkin menahan senyuman yang sialnya tidak bisa, aku malu jika pipiku ini ikut memerah melihat wajah lucunya saat aku menahan pelukan yang ingin dia berikan. Sebenarnya aku tidak mau dia memelukku, jujur aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti jika itu benar terjadi, aku mencoba meminimalisir getaran hebat yang telah disalurkan gadis itu sejak awal aku tiba di sini.

“Nanti saja, ini banyak orang.”

“Ya udah lah, terserah! Lo tuh ya, Mas, gue jauh-jauh loh dateng ke sini, gak dikasih sambutan hangat gitu?” Airin mendelik sebal padaku, aku hanya terkekeh pelan, dia sangat lucu.

“Mana kuncinya?” tanyaku.

Airin pun memberikan kunci mobilnya padaku lalu dia membuang muka dan berjalan mendahuluiku. Aku tidak bisa menahan senyuman melihat tingkahnya di awal pertemuan kita yang ketiga kali ini.

Aku membiarkannya berjalan mendahuluiku, dia menoleh sejenak dengan mata sinisnya tapi itu tidak membuatku ingin menyusulnya, aku tidak apa berjalan di belakangnya sebab aku bisa melindunginya dan menjaganya. Munafik memang jika aku bilang aku tidak ingin ada di sampingnya, tapi aku takut, aku takut jika aku tak pantas untuk itu.

Dia menoleh sekali lagi, langkahnya pun terhenti. “Nggak mau gandengan?”

Aku hanya tersenyum. “Kamu duluan saja.”

Airin menatapku tajam lalu dia berjalan lebih cepat mendahuluiku dengan raut wajah yang sudah bisa kupastikan menggemaskan jika dilihat.

Ibu, aku akan membawanya ke rumah, aku tidak percaya itu....

Jelita yang Menjemputku.


Aku tidak tahu kenapa sampai detik ini jantungku masih terus berdegup kencang apalagi setelah aku mendapati sosok jelitanya dari kejauhan, dia tersenyum tipis seraya melambaikan tangannya padaku. Sebenarnya aku ingin sekali mengenalkan dirinya dengan Kevin tapi sepertinya gadis itu masih malu-malu dan ya mungkin ini belum saatnya untuk itu.

Aku berjalan perlahan tapi pasti demi melihat sosok cantik itu lebih dekat lagi, dia tersenyum begitu manis padaku. Ini seperti sebuah mimpi, ya, aku tidak percaya dia akan datang menjemputku, gadis yang kuimpikan.

Aku bisa melihat bagaimana rambut panjangnya yang indah itu terurai dan menghalangi bagian wajahnya saat dia berlari kecil ke arahku.

“Mas Wira!”

Aku terkejut bukan main saat ia datang mendekat—ah, tidak, ini terlalu dekat bahkan aku sontak menjauh darinya, dia sudah merentangkan kedua tangannya itu, jantungku dipermainkan oleh gadis itu.

“Mas, gue mau peluk...” Airin menatapku dengan mata kucing, sedikit terlihat merajuk dengan jarak yang masih berdekatan denganku namun untungnya koper yang kutaruh di antara kami dapat membuatku bernapas lega. “Kok malah dihalangi?”

Aku mencoba sebisa mungkin menahan senyuman yang sialnya tidak bisa, aku malu jika pipiku ini ikut memerah melihat wajah lucunya saat aku menahan pelukan yang ingin dia berikan. Sebenarnya aku tidak mau dia memelukku, jujur aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti jika itu benar terjadi, aku mencoba meminimalisir getaran hebat yang telah disalurkan gadis itu sejak awal aku tiba di sini.

“Nanti saja, ini banyak orang.”

“Terus?”

“Ya udah lah, terserah! Lo tuh ya, Mas, gue jauh-jauh loh dateng ke sini, gak dikasih sambutan hangat gitu?” Airin mendelik sebal padaku, aku hanya terkekeh pelan, dia sangat lucu.

“Mana kuncinya?” tanyaku.

Airin pun memberikan kunci mobilnya padaku lalu dia membuang muka dan berjalan mendahuluiku. Aku tidak bisa menahan senyuman melihat tingkahnya di awal pertemuan kita yang ketiga kali ini.

Aku membiarkannya berjalan mendahuluiku, dia menoleh sejenak dengan mata sinisnya tapi itu tidak membuatku ingin menyusulnya, aku tidak apa berjalan di belakangnya sebab aku bisa melindunginya dan menjaganya. Munafik memang jika aku bilang aku tidak ingin ada di sampingnya, tapi aku takut, aku takut jika aku tak pantas untuk itu.

Dia menoleh sekali lagi, langkahnya pun terhenti. “Nggak mau gandengan?”

Aku hanya tersenyum. “Kamu duluan saja.”

Airin menatapku tajam lalu dia berjalan lebih cepat mendahuluiku dengan raut wajah yang sudah bisa kupastikan menggemaskan jika dilihat.

Ibu, aku akan membawanya ke rumah, aku tidak percaya itu....

Sambutan Hangat


“Mas… gue takut beneran deh…”

Airin menahan tangan Wira yang hendak mengetuk pintu rumahnya, dia menatap lelaki jangkung di sampingnya itu ragu, sementara yang ditatap hanya tersenyum.

“Jangan takut, ibu bukan hantu, Airin.” Wira terkekeh pelan membuat gadis itu mendelik sebal.

“Gue gak takut hantu ya, Mas, sembarangan lo!”

“Ya iya saya percaya kamu ini pemberani.”

“Gausah ngeledek deh, Mas,” dengus Airin.

Wira terkekeh pelan, lalu dia mulai mengetuk pintu rumahnya itu beberapa kali berharap ibunya segera datang dan membukakan pintu untuknya. “Assalamualaikum, ibu.”

Setelah beberapa saat menunggu, barulah terdengar suara lembut dari dalam sana yang menyahuti mereka. “Waalaikumsalam.”

Tidak lama setelah itu, seseorang membukakan pintu dari dalam sana dengan senyuman lebar yang begitu manis dan tulus. Sorot matanya langsung tertuju pada sang anak yang segera menghaburkan pelukan padanya.

“Ibu bagaimana kabarnya?” tanya Wira seraya membalas pelukan hangat sang ibu.

“Ibu baik-baik saja dan alhamdulillah kamu pun sepertinya baik-baik saja ya.” Diana melepaskan pelukannya pada sang anak, lalu dia melirik pada seorang gadis yang berdiri di samping Wira seraya mengangguk sopan. “Apalagi kamu datang ditemani gadis cantik ini.”

“Airin … boleh ibu memelukmu?” tanya Diana, Airin langsung mengangguk dengan senyuman, segera Diana memeluk gadis itu. “Senang bisa bertemu denganmu, kamu cantik, sangat cantik jika bertemu aslinya. Kau tau, kau cantik seperti ibumu.”

“Tante juga cantik, kayak …” Airin melirik Wira yang menahan senyuman, lalu Diana melepaskan pelukannya dan mengusap wajah Airin.

“Kayak Wira gitu?”

“Bukan gitu sih, Tan, tapi biasanya kalau ibunya cantik pasti anaknya ganteng kayak …”

Diana tertawa kecil melihat Airin menggoda sang anak, lihat saja Wira langsung menunduk dan enggan menatap balik Airin. Diana menggandeng tangan Airin. “Kamu bagaimana kabarnya? Sungguh, ibu senang bisa bertemu denganmu, Airin.”

“Aku baik, Tan, aku juga seneng bisa ketemu tante cantik.”

“Panggil ibu aja ya?”

Airin pun mengangguk, “iya, ibu.”

Diana menoleh pada Wira dan Airin secara bergantian. “Maaf jika kalian tadi menunggu lama, ibu sedang menerima telepon saat sedang masak tadi.” Diana melirik Wira. “Telepon dari tante Mirna, dia ingin bicara dengan kamu tentang Mahesa, Wir. Nanti kamu hubungi dia ya?”

Wira pun mengangguk. “Iya, Bu.”

“Ya sudah, ayo masuk.”


“Airin mau makan sekarang? Takutnya Wira lama, dia sedang menelepon bibinya dulu.”

“Nanti aja, Tan, eh, Bu. Aku masih belum lapar kok.”

“Ya sudah, kita mengobrol dulu saja ya, ini ada bolu kamu coba deh ini buatan ibu.”

“Mas Wira suka cerita katanya ibu ini hobi masak, apalagi bikin kue.”

Diana tersenyum pada gadis yang duduk di sampingnya itu. “Coba ayo.”

“Aku coba ya, Bu.”

Airin pun memakan kue yang sudah disajikan di atas meja ruang tamu tempat mereka mengobrol sekarang ini, dia langsung menyantapnya habis. Dia menatap Diana dengan mata berbinar. “Ibu enak banget! Ini kayak ada rasa pisangnya gitu tapi ada karamelnya juga ya?”

“Iya, betul, itu namanya bolu pisang karamel. Iseng saja buat, ibu kalau bosan ya begitu. Kau suka?”

“Suka, suka banget! Enak banget, Bu. Kenapa gak buka toko kue aja, Bu?” “Sudah buka kok, tapi di Bandung.”

Airin membuka mulutnya seraya manggut-manggut. Diana kembali bersuara. “Sama adik ibu, tante Mirna namanya, dia tinggal di Bandung sama ibu. Dia juga meneruskan toko ibu saat ibu pindah kesini. Sebenarnya berat juga, tapi ibu sudah percaya padanya, toh dia juga sudah tahu resep-resep kue buatan ibu dan alhamdulillah semuanya masih jalan sampai sekarang. Ya memang sih ibu masih suka kangen bahkan kadang ibu suka pengin balik ke Bandung tapi Wira sendirian di sini nanti.”

“Ah, maaf Airin … ini jadi ibu yang banyak bercerita, kamu mau bercerita juga?”

“Nggak apa-apa ibu, aku seneng denger cerita ibu. Ibu aja dulu yang cerita.”

Diana tersenyum, “sambil makan saja kue yang kamu ingin, itu ambil saja ya kalau mau, jangan malu-malu seperti Wira.”

Airin mengangguk seraya terkekeh pelan sebelum Diana kembali bercerita. “Jadi, tante Mirna itu punya anak lelaki namanya Mahesa, sebenarnya dia anak yang baik dan penurut meskipun ya namanya juga remaja pasti ada saja sisi nakalnya, bukan? Nah, tadi itu tante Mirna menelepon ibu karena Mahesa itu habis bertengkar sampai ibunya dipanggil ke sekolah. Kasihan juga memang. Mahesa itu sangat dekat dengan Wira, Airin. Biasanya jika kata-kata ibunya sudah tidak didengarnya, hanya Wira yang mampu berbicara dengannya, dan Mahesa pasti mau mendengarkan Wira.”

Airin masih mendengarkan cerita ibu dengan serius, lalu wanita setengah paruh baya itu kembali berucap. “Jadi, Mahesa sudah kehilangan sosok ayah sejak dia kecil, Setelah Tante Mirna dan suaminya bercerai, suaminya itu menghilang dan tidak lagi menemui mereka berdua. Itu pasti sangat sulit bagi mereka tapi ibu salut sama kekuatan mereka.” “Mahesa sudah besar ibu?”

“Dia kelas 3 SMA, Airin. Anaknya pendiam tapi jika sudah sama Wira dia tuh senang, makanya dulu Wira sering ke Bandung untuk menjenguk ibu sehingga Hesa juga senang jadinya. Mereka itu sangat dekat sampai akhirnya Wira pindah untuk melanjutkan pendidikan dan karirnya. Mahesa jelas sangat terpukul dan sedih kala itu.”

“Pasti nanti Wira akan bercerita tentang Mahesa dan mengenalkannya padamu.”

Airin tersenyum dan mengangguk, entahlah mendengar cerita ibu tidak membuatnya bosan sama sekali sebab Diana begitu menyambutnya hangat, belum lagi suaranya yang lembut membuat Airin nyaman mendengar semua ceritanya. Baik Wira maupun sang ibu rupanya sama-sama sempurna di matanya, dia juga hampir tidak percaya bisa dipertemukan dengan orang-orang yang sangat baik seperti mereka berdua.