winwincure

Rules on Him


Sorot mata William begitu tajam kala matanya lurus memandang bola putih yang sedang menjadi sasarannya untuk mendorong bola di depannya agar masuk ke dalam kantung, William mendapat giliran main pertama kali ini sehingga ia mendapat jatah bola nomor 1 – 7 dan Arasha sebagai pemain kedua harus memasukkan bola nomor 9 – 15.

Arasha sebenarnya sudah tahu bahwa dirinya pasti akan kalah telak dengan lelaki itu yang sudah bak seorang pemain biliard profesional, dilihat dari bagaimana lelaki itu tampak fokus berpikir dan berusaha mengarahkan stik cue-nya agar tepat pada sasaran. Arasha menelan ludahnya susah payah setelah William berhasil menembak bola ke-7 masuk ke dalam kantung di lima menit pertama.

“Hah? Bagaimana bisa?!”

Arasha mendengus kasar saat William menyeringai seraya kembali hendak menembak bola keduanya itu, tidak lama setelah itu dalam pukulan yang singkat lelaki itu berhasil memasukkan bola keduanya itu. Arasha menggeram mulai tidak sabar untuk menunggu gilirannya karena kalau tidak ia akan kalah.

Hingga setelah itu giliran Arasha yang bermain, wanita itu sebisa mungkin berusaha fokus agar hasil tembakannya bisa memuaskan meskipun dia bisa melihat bagaimana William yang kembali mengepulkan asap vape-nya itu menatapnya penuh seringaian.

Suasana di dalam ruangan temaram itu mendadak panas sampai dahi gadis itu berkeringat. William meraih botol rum dari atas meja dan meneguknya langsung seraya mendekat pada perempuan cantik itu.

“Lepas jaketmu,” titah William.

Arasha menggertakkan rahangnya kala William tiba-tiba menarik tubuhnya mendekat pada lelaki itu kemudian berusaha melepaskan outer berwarna peach yang dikenakan oleh Arasha. “Aku tidak mau, Sir.” William mengamati bulir peluh yang membasahi rambut wanita itu dan tangannya menelusup pada tengkuk gadis itu, dia hampir mencengkram leher Arasha erat namun ia buru-buru menahannya. “Tapi kau tampak kepanasan.”

Arasha dapat membaca taktik seorang William Wolfed yang tampaknya berusaha membuyarkan fokus Arasha pada permainan kali ini. Itu pikiran Arasha saat ini sehingga sebisa mungkin wanita itu tidak mau hanyut dengan tatapan William.

Arasha kembali memunggungi William dan sedikit membungkuk untuk menyetarakan stik cue yang tengah ia arahkan pada bola cue di meja biliard. Dia bahkan tidak peduli dengan jarak tubuhnya yang begitu dekat dengan William yang masih berdiri di belakangnya.

William mengeluarkan dasinya dari saku celananya, dia menunduk sedikit untuk meraih rambut panjang wanita itu yang terurai lalu dengan telaten William mengikat rambut wanita itu menggunakan dasinya. Cukup rapi karena dia tampak tidak menyisakan helaian rambut panjang Arasha kecuali poninya yang memanjang.

“Tembak sekarang, kau payah sekali huh?”

“Diam, jika berhasil, aku akan menagih satu informasi darimu itu.”

Arasha memberikan tembakan pada bola putih yang rupanya berhasil mendorong dua bola sekaligus masuk ke dalam kantung. “Yeah!”

That was so amazing, Darling.

William memberikan satu kali applause untuk Arasha, kemudian ia menggeser tubuh gadis itu karena ini sudah memasukki gilirannya setelah tak sadar Arasha juga memasukkan bola putih ke dalam kantung. Arasha memukul lengan William.

“Kau curang! Kau harus memberi satu hal itu padaku, aku butuh jawaban itu darimu! Kau jangan curang, William!”

William menoleh pada Arasha dengan tatapannya yang setajam elang mendengar kata terakhir gadis itu yang memanggil namanya saja. Lelaki itu segera mendekat pada Arasha namun buru-buru Arasha menahan dadanya. “Ish!”

“Kita selesaikan dulu, kau harus memasukkan delapan bola itu untuk jadi pemenang, lalu kau bisa bertanya apapun padaku dan aku pun akan menjelaskan semuanya. Mengerti?”

“Ah tidak mau! Aku pasti akan kalah darimu, Sir!”

“Pecundang sekali ya kau ini?”

“Aku tidak peduli.”

Setelah kembali berhasil menembak bola masuk sekaligus tiga ke dalam kantung, William menoleh dengan senyum penuh kemenangan saat melihat Arasha tampak mengerucutkan bibirnya, dia semakin frustasi di tengah skor yang nyaris saja dimenangkan oleh William, dia mendadak merasa semua tidak akan lagi ada harapan untuknya, sekalipun setelah ini mereka melanjutkan permainan, pada akhirnya William yang akan selalu menguasai semuanya.

“I'm done with this shit.”

“No, you're not.”

Arasha ditarik oleh lelaki itu ke hadapan meja biliar, sehingga William berada tepat mengurungnya dengan kedua tangan bertumpu di meja biliar. Arasha yang memunggungi lelaki itu seketika mendadak kikuk dalam posisi yang sedekat ini terlebih saat William menuntunnya memegang stik cue dengan benar. Bahkan tidak hanya disitu, posisi tangan mereka saling bertumpukan seiring dengan tubuhnya keduanya yang condong memposisikan sesuai dengan letak bola cue di sana.

“Fokus.”

William berbisik dengan nada rendah lalu dia melepaskan pegangannya pada stik cue setelah Arasha mulai bisa memposisikan dirinya. Tanpa sadar tangan William turun pada pinggang ramping Arasha kala dirinya mulai mengamati posisi mereka yang membuat sang lelaki tersenyum kemenangan, posisi yang sedikit berbahaya bagi Arasha yang sekarang fokusnya hanya pada objek sasarannya itu.

William memegang rambut panjang Arasha yang masih terikat oleh dasinya itu. Sekali lagi dia memandangi pemandangan Arasha di hadapannya dengan kedua tangannya sudah memegang dua sisi pinggang gadis itu.

William berusaha menahan napasnya meski matanya sudah mulai gelap.

“Ahh, fuck, Arasha.”

Arasha bergerak mundur saat ia merasa senang telah berhasil menembak dua bola sasarannya hingga masuk ke dalam kantung. Belum sempat bersorak, dia dibuat terkejut saat berbalik badan melihat William yang tampak menggertakkan rahangnya kuat dengan tatapan mematikan. Matanya mulai sayu dan menggelap. Gadis itu menelan ludahnya susah payah saat William kembali mengukungnya di tempat yang sama, sialnya kali ini keduanya saling bertatapan. William mendekat di telinga gadis itu lalu berbisik rendah. “You nudged me.

Arasha seolah sudah paham atas apa yang tak sengaja ia perbuat dan tampaknya ini sangat fatal terlebih dia tahu sosok William Wolfed seperti apa. Arasha menggigit bibir bawahnya getir, tangannya masih menahan dada lelaki itu. “Maaf, aku tidak sengaja, Sir.”

Forget the whole fuckin game, you've messed up, so you should be responsible.


Rules on Him


Sorot mata William begitu tajam kala matanya lurus memandang bola putih yang sedang menjadi sasarannya untuk mendorong bola di depannya agar masuk ke dalam kantung, William mendapat giliran main pertama kali ini sehingga ia mendapat jatah bola nomor 1 – 7 dan Arasha sebagai pemain kedua harus memasukkan bola nomor 9 – 15.

Arasha sebenarnya sudah tahu bahwa dirinya pasti akan kalah telak dengan lelaki itu yang sudah bak seorang pemain biliard profesional, dilihat dari bagaimana lelaki itu tampak fokus berpikir dan berusaha mengarahkan stik cue-nya agar tepat pada sasaran. Arasha menelan ludahnya susah payah setelah William berhasil menembak bola ke-7 masuk ke dalam kantung di lima menit pertama.

“Hah? Bagaimana bisa?!”

Arasha mendengus kasar saat William menyeringai seraya kembali hendak menembak bola keduanya itu, tidak lama setelah itu dalam pukulan yang singkat lelaki itu berhasil memasukkan bola keduanya itu. Arasha menggeram mulai tidak sabar untuk menunggu gilirannya karena kalau tidak ia akan kalah.

Hingga setelah itu giliran Arasha yang bermain, wanita itu sebisa mungkin berusaha fokus agar hasil tembakannya bisa memuaskan meskipun dia bisa melihat bagaimana William yang kembali mengepulkan asap vape-nya itu menatapnya penuh seringaian.

Suasana di dalam ruangan temaram itu mendadak panas sampai dahi gadis itu berkeringat. William meraih botol rum dari atas meja dan meneguknya langsung seraya mendekat pada perempuan cantik itu.

“Lepas jaketmu,” titah William.

Arasha menggertakkan rahangnya kala William tiba-tiba menarik tubuhnya mendekat pada lelaki itu kemudian berusaha melepaskan outer berwarna peach yang dikenakan oleh Arasha. “Aku tidak mau, Sir.” William mengamati bulir peluh yang membasahi rambut wanita itu dan tangannya menelusup pada tengkuk gadis itu, dia hampir mencengkram leher Arasha erat namun ia buru-buru menahannya. “Tapi kau tampak kepanasan.”

Arasha dapat membaca taktik seorang William Wolfed yang tampaknya berusaha membuyarkan fokus Arasha pada permainan kali ini. Itu pikiran Arasha saat ini sehingga sebisa mungkin wanita itu tidak mau hanyut dengan tatapan William.

Arasha kembali memunggungi William dan sedikit membungkuk untuk menyetarakan stik cue yang tengah ia arahkan pada bola cue di meja biliard. Dia bahkan tidak peduli dengan jarak tubuhnya yang begitu dekat dengan William yang masih berdiri di belakangnya.

William mengeluarkan dasinya dari saku celananya, dia menunduk sedikit untuk meraih rambut panjang wanita itu yang terurai lalu dengan telaten William mengikat rambut wanita itu menggunakan dasinya. Cukup rapi karena dia tampak tidak menyisakan helaian rambut panjang Arasha kecuali poninya yang memanjang.

“Tembak sekarang, kau payah sekali huh?”

“Diam, jika berhasil, aku akan menagih satu informasi darimu itu.”

Arasha memberikan tembakan pada bola putih yang rupanya berhasil mendorong dua bola sekaligus masuk ke dalam kantung. “Yeah!”

That was so amazing, Darling.

William memberikan satu kali applause untuk Arasha, kemudian ia menggeser tubuh gadis itu karena ini sudah memasukki gilirannya setelah tak sadar Arasha juga memasukkan bola putih ke dalam kantung. Arasha memukul lengan William.

“Kau curang! Kau harus memberi satu hal itu padaku, aku butuh jawaban itu darimu! Kau jangan curang, William!”

William menoleh pada Arasha dengan tatapannya yang setajam elang mendengar kata terakhir gadis itu yang memanggil namanya saja. Lelaki itu segera mendekat pada Arasha namun buru-buru Arasha menahan dadanya. “Ish!”

“Kita selesaikan dulu, kau harus memasukkan delapan bola itu untuk jadi pemenang, lalu kau bisa bertanya apapun padaku dan aku pun akan menjelaskan semuanya. Mengerti?”

“Ah tidak mau! Aku pasti akan kalah darimu, Sir!”

“Pecundang sekali ya kau ini?”

“Aku tidak peduli.”

Setelah kembali berhasil menembak bola masuk sekaligus tiga ke dalam kantung, William menoleh dengan senyum penuh kemenangan saat melihat Arasha tampak mengerucutkan bibirnya, dia semakin frustasi di tengah skor yang nyaris saja dimenangkan oleh William, dia mendadak merasa semua tidak akan lagi ada harapan untuknya, sekalipun setelah ini mereka melanjutkan permainan, pada akhirnya William yang akan selalu menguasai semuanya.

“I'm done with this shit.”

“No, you're not.”

Arasha ditarik oleh lelaki itu ke hadapan meja biliar, sehingga William berada tepat mengurungnya dengan kedua tangan bertumpu di meja biliar. Arasha yang memunggungi lelaki itu seketika mendadak kikuk dalam posisi yang sedekat ini terlebih saat William menuntunnya memegang stik cue dengan benar. Bahkan tidak hanya disitu, posisi tangan mereka saling bertumpukan seiring dengan tubuhnya keduanya yang condong memposisikan sesuai dengan letak bola cue di sana.

“Fokus.”

William berbisik dengan nada rendah lalu dia melepaskan pegangannya pada stik cue setelah Arasha mulai bisa memposisikan dirinya. Tanpa sadar tangan William turun pada pinggang ramping Arasha kala dirinya mulai mengamati posisi mereka yang membuat sang lelaki tersenyum kemenangan, posisi yang sedikit berbahaya bagi Arasha yang sekarang fokusnya hanya pada objek sasarannya itu.

William memegang rambut panjang Arasha yang masih terikat oleh dasinya itu. Sekali lagi dia memandangi pemandangan Arasha di hadapannya dengan kedua tangannya sudah memegang dua sisi pinggang gadis itu.

William berusaha menahan napasnya meski matanya sudah mulai gelap.

“Ahh, fuck, Arasha.”

Arasha bergerak mundur saat ia merasa senang telah berhasil menembak dua bola sasarannya hingga masuk ke dalam kantung. Belum sempat bersorak, dia dibuat terkejut saat berbalik badan melihat William yang tampak menggertakkan rahangnya kuat dengan tatapan mematikan. Matanya mulai sayu dan menggelap. Gadis itu menelan ludahnya susah payah saat William kembali mengukungnya di tempat yang sama, sialnya kali ini keduanya saling bertatapan. William mendekat di telinga gadis itu lalu berbisik rendah. “You nudged me.

Arasha seolah sudah paham atas apa yang tak sengaja ia perbuat dan tampaknya ini sangat fatal terlebih dia tahu sosok William Wolfed seperti apa. Arasha menggigit bibir bawahnya getir, tangannya masih menahan dada lelaki itu. “Maaf, aku tidak sengaja, Sir.”

Forget the whole fuckin game, you've messed me up. So, you should be responsible, Darling.” bisik William rendah.


Rules on Him


Sorot mata William begitu tajam kala matanya lurus memandang bola putih yang sedang menjadi sasarannya untuk mendorong bola di depannya agar masuk ke dalam kantung, William mendapat giliran main pertama kali ini sehingga ia mendapat jatah bola nomor 1 – 7 dan Arasha sebagai pemain kedua harus memasukkan bola nomor 9 – 15.

Arasha sebenarnya sudah tahu bahwa dirinya pasti akan kalah telak dengan lelaki itu yang sudah bak seorang pemain biliard profesional, dilihat dari bagaimana lelaki itu tampak fokus berpikir dan berusaha mengarahkan stik cue-nya agar tepat pada sasaran. Arasha menelan ludahnya susah payah setelah William berhasil menembak bola ke-7 masuk ke dalam kantung di lima menit pertama.

“Hah? Bagaimana bisa?!”

Arasha mendengus kasar saat William menyeringai seraya kembali hendak menembak bola keduanya itu, tidak lama setelah itu dalam pukulan yang singkat lelaki itu berhasil memasukkan bola keduanya itu. Arasha menggeram mulai tidak sabar untuk menunggu gilirannya karena kalau tidak ia akan kalah.

Hingga setelah itu giliran Arasha yang bermain, wanita itu sebisa mungkin berusaha fokus agar hasil tembakannya bisa memuaskan meskipun dia bisa melihat bagaimana William yang kembali mengepulkan asap vape-nya itu menatapnya penuh seringaian.

Suasana di dalam ruangan temaram itu mendadak panas sampai dahi gadis itu berkeringat. William meraih botol rum dari atas meja dan meneguknya langsung seraya mendekat pada perempuan cantik itu.

“Lepas jaketmu,” titah William.

Arasha menggertakkan rahangnya kala William tiba-tiba menarik tubuhnya mendekat pada lelaki itu kemudian berusaha melepaskan outer berwarna peach yang dikenakan oleh Arasha. “Aku tidak mau, Sir.” William mengamati bulir peluh yang membasahi rambut wanita itu dan tangannya menelusup pada tengkuk gadis itu, dia hampir mencengkram leher Arasha erat namun ia buru-buru menahannya. “Tapi kau tampak kepanasan.”

Arasha dapat membaca taktik seorang William Wolfed yang tampaknya berusaha membuyarkan fokus Arasha pada permainan kali ini. Itu pikiran Arasha saat ini sehingga sebisa mungkin wanita itu tidak mau hanyut dengan tatapan William.

Arasha kembali memunggungi William dan sedikit membungkuk untuk menyetarakan stik cue yang tengah ia arahkan pada bola cue di meja biliard. Dia bahkan tidak peduli dengan jarak tubuhnya yang begitu dekat dengan William yang masih berdiri di belakangnya.

William mengeluarkan dasinya dari saku celananya, dia menunduk sedikit untuk meraih rambut panjang wanita itu yang terurai lalu dengan telaten William mengikat rambut wanita itu menggunakan dasinya. Cukup rapi karena dia tampak tidak menyisakan helaian rambut panjang Arasha kecuali poninya yang memanjang.

“Tembak sekarang, kau payah sekali huh?”

“Diam, jika berhasil, aku akan menagih satu informasi darimu itu.”

Arasha memberikan tembakan pada bola putih yang rupanya berhasil mendorong dua bola sekaligus masuk ke dalam kantung. “Yeah!”

That was so amazing, Darling.

William memberikan satu kali applause untuk Arasha, kemudian ia menggeser tubuh gadis itu karena ini sudah memasukki gilirannya setelah tak sadar Arasha juga memasukkan bola putih ke dalam kantung. Arasha memukul lengan William.

“Kau curang! Kau harus memberi satu hal itu padaku, aku butuh jawaban itu darimu! Kau jangan curang, William!”

William menoleh pada Arasha dengan tatapannya yang setajam elang mendengar kata terakhir gadis itu yang memanggil namanya saja. Lelaki itu segera mendekat pada Arasha namun buru-buru Arasha menahan dadanya. “Ish!”

“Kita selesaikan dulu, kau harus memasukkan delapan bola itu untuk jadi pemenang, lalu kau bisa bertanya apapun padaku dan aku pun akan menjelaskan semuanya. Mengerti?”

“Ah tidak mau! Aku pasti akan kalah darimu, Sir!”

“Pecundang sekali ya kau ini?”

“Aku tidak peduli.”

Setelah kembali berhasil menembak bola masuk sekaligus tiga ke dalam kantung, William menoleh dengan senyum penuh kemenangan saat melihat Arasha tampak mengerucutkan bibirnya, dia semakin frustasi di tengah skor yang nyaris saja dimenangkan oleh William, dia mendadak merasa semua tidak akan lagi ada harapan untuknya, sekalipun setelah ini mereka melanjutkan permainan, pada akhirnya William yang akan selalu menguasai semuanya.

I'm done with this shit.

No, you're not.

Arasha ditarik oleh lelaki itu ke hadapan meja biliar, sehingga William berada tepat mengurungnya dengan kedua tangan bertumpu di meja biliar. Arasha yang memunggungi lelaki itu seketika mendadak kikuk dalam posisi yang sedekat ini terlebih saat William menuntunnya memegang stik cue dengan benar. Bahkan tidak hanya disitu, posisi tangan mereka saling bertumpukan seiring dengan tubuhnya keduanya yang condong memposisikan sesuai dengan letak bola cue di sana.

“Fokus.”

William berbisik dengan nada rendah lalu dia melepaskan pegangannya pada stik cue setelah Arasha mulai bisa memposisikan dirinya. Tanpa sadar tangan William turun pada pinggang ramping Arasha kala dirinya mulai mengamati posisi mereka yang membuat sang lelaki tersenyum kemenangan, posisi yang sedikit berbahaya bagi Arasha yang sekarang fokusnya hanya pada objek sasarannya itu.

William memegang rambut panjang Arasha yang masih terikat oleh dasinya itu. Sekali lagi dia memandangi pemandangan Arasha di hadapannya dengan kedua tangannya sudah memegang dua sisi pinggang gadis itu.

William berusaha menahan napasnya meski matanya sudah mulai gelap.

“Ahh, fuck, Arasha.”

Arasha bergerak mundur saat ia merasa senang telah berhasil menembak dua bola sasarannya hingga masuk ke dalam kantung. Belum sempat bersorak, dia dibuat terkejut saat berbalik badan melihat William yang tampak menggertakkan rahangnya kuat dengan tatapan mematikan. Matanya mulai sayu dan menggelap. Gadis itu menelan ludahnya susah payah saat William kembali mengukungnya di tempat yang sama, sialnya kali ini keduanya saling bertatapan. William mendekat di telinga gadis itu lalu berbisik rendah. “You nudged me.

Arasha seolah sudah paham atas apa yang tak sengaja ia perbuat dan tampaknya ini sangat fatal terlebih dia tahu sosok William Wolfed seperti apa. Arasha menggigit bibir bawahnya getir, tangannya masih menahan dada lelaki itu. “Maaf, aku tidak sengaja, Sir.”

Forget the whole fuckin game, you've messed me up. So, you should be responsible, Darling.” bisik William rendah.


The Scent of Woman


Kenampakan ruangan billiard yang bergaya vintage menjadi pemandangan pertama yang Arasha lihat setelah lelaki jangkung yang kini sudah terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan tersebut tampak sedang menggulung kemeja putihnya sebatas siku. Ruangan ini benar-benar berbeda dengan ruang biliard yang terdapat di penthouse lelaki itu, jelas saja sebab arsitektur di sini senada dengan setiap elemen yang ada pada bangunan tinggi itu, namun bisa Arasha pastikan bahwa ini bukanlah gaya seorang William Wolfed sebab lelaki itu akan lebih senang dengan ruangan yang bergaya minimalis modern lengkap dengan segala furnitur berbahan marmer dan stainless steel.

Tatapan mata Arasha jelas saja berusaha terus menyusuri setiap sisi ruangan ini yang begitu cantik, lampu yang berwarna kekuningan tampak harmoni dengan ruangan yang hampir setiap furniturenya berwarna kecoklatan. Arasha berjalan memandangi setiap sudut ruangan ini terutama ia tertarik pada deretan buku yang berjejer rapi di dalam rak yang sebagian besar di sana berbahasa China yang jelas tidak dipahami oleh gadis itu.

You know this isn't my vibes,” ujar William.

Lelaki itu tampak setengah duduk di atas meja biliard sambil mengamati Arasha yang menoleh padanya sekilas, William mengeluarkan vape-nya dari dalam saku dan mulai mengisap benda berisi liquid itu, tangannya terangkat menyugar rambutnya ke belakang lalu membuka kancing kemejanya paling atas. Sosok tampan berdarah China blasteran itu mulai mengepulkan asap yang mengepul besar dari mulutnya lalu dia melangkah ke arah sebuah meja untuk selanjutnya menuangkan sebotol rum itu ke dua gelas takar kecil.

Kini William melihat gadis itu mulai tertarik pada sebuah lukisan wanita Tionghoa yang tampak mencolok dalam ruangan ini, belum lagi lukisan itu tampak hidup dengan wajah cantik sang wanita Tionghoa yang bak seorang dewi.

“Perempuan memang mampu menyihir dunia, bahkan hingga meruntuhkannya.”

Arasha sempat tersentak saat dari belakang William tiba-tiba hadir dan menyodorkannya gelas rum yang dibawakan oleh pria itu, Arasha yang sebenarnya ingin menolak minuman beralkohol itu mau tak mau menerima setelah melihat tatapan elang pria tampan itu. Selang beberapa lama, William merangkul pinggang gadis itu, masih tanpa berdosa mengamati lukisan di hadapan mereka meski Arasha sudah memberikan tatapan tajam padanya. Dia meminum rum-nya dengan sekali teguk lalu menunjuk sosok wanita di lukisan itu dengan tangan yang memegang gelas.

“Percaya atau tidak, aku meyakini bahwa apa yang baru saja aku katakan itu tidak dapat dipungkiri lagi kenyataannya.” William melirik Arasha sekilas. “Kau tahu siapa perempuan ini? Dia adalah Xi Shi, salah satu wanita tercantik sepanjang sejarah China. Dia yang membuat sebuah negara besar menjadi hancur.”

“Bagaimana bisa dia melakukan itu?” tanya Arasha.

“Habiskan minumanmu jika kau ingin aku melanjuti cerita itu,” ujar William.

Mendengar hal tersebut Arasha segera memutar bola matanya malas, ia hampir saja beranjak dan tidak ingin mendengarkan cerita William kalau saja lelaki itu tidak kembali mengeratkan rangkulannya setelah menaruh gelas kosongnya di meja, berikut dengan gelas penuh milik Arasha.

Lelaki itu mengambil kesempatan untuk memeluk Arasha dengan dua tangan kosongnya dari belakang. Dia berbisik tepat di telinga perempuan itu. “Kau tahu? Kecantikan seorang Xi Shi ini dinilai mampu menyihir siapa saja yang melihatnya dalam sekali pandang. Diceritakan dalam buku The Art of Seduction karangan Robert Greene, pada abad 5 SM Kerajaan Yue berperang dengan kerajaan Wu. Pada tahun 494 Fu Chai, raja Wu mengalahkan Gou Jian, sang raja Yue. Gou Jian ditangkap dan dipaksa untuk tunduk dengan membayar upeti rutin kepada Wu.”

“Lalu?”

“Tentu saja Gou Jian tidak terima dengan kekalahan tersebut, maka dari itu dia ingin berusaha menaklukan Fu Chai dengan memberikan sebuah persembahan yang tak lain ialah perempuan cantik yang bernama Xi Shi. Taktik itu berhasil dan bahkan Fu Chai takluk pada sosok Xi Shi itu.” William mengusap wajah Arasha lembut. “Tanpa sadar, begitu terbuainya sosok Fu Chai terhadap Xi Shi membuat ia lalai akan segala urusan pemerintahan kerajaannya dan lebih senang menghabiskan waktunya bersama Xi Shi.”

Lelaki itu menyelipkan rambut Arasha ke dalam telinga, “lalu, ketika kerajaan Wu mulai kacau, tergeraklah sosok raja Yue untuk menyerang dan pada akhirnya Gou Jian berhasil mengambil alih kerajaan Wu. Setelah kematian Fu Chai, Xi Shi pun tidak diketahui lagi keberadaannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia telah menikah lagi atau dia telah diperintahkan oleh Gou Jian untuk menenggelamkan diri ke sebuah danau agar tidak ada lagi yang memanfaatkan kecantikannya.”

Arasha hanya memanggut-manggut, dia memandangi sosok William yang tampak menatapnya dalam tanpa berkedip cukup lama. “Xi Shi tidak jauh berbeda dengan sosok kakakmu, Alanda.”


Rendezvous


Azalea tidak tahu apakah hari ini adalah hari yang paling menyenangkan atau malah paling menjengkelkan sebab dia dihadapkan dengan dua keadaan yang berlawanan. Kenyataan yang tidak dapat dipercayai olehnya saat melihat seorang pria jangkung dengan kemeja putih yang sudah sedikit keluar dan berantakan, rambut hitam yang tampak disisir ke belakang dengan mengenakan jarinya yang kembali menampilkan dahi mulus nan menyilaukan mata Azalea. Matanya tidak mengerjap beberapa saat kala berhadapan dengan sosok Nathrach Balfour sementara pikirannya beralih pada Jessica yang pergi ke Puncak dan tidak meninggalkan kunci apartemennya yang artinya dia tidak tahu harus pulang kemana, Azalea tidak membawa kunci duplikat.

Mata Nath melirik ke sekeliling sebelum dia menangkap sosok Azalea yang sudah melambaikan tangan padanya di depan kasir. Nath mengangkat tangannya dan melambai pula pada gadis itu. Dia segera menghampiri Azalea   kemudian mereka berjabat tangan tanpa diduga melainkan Nath yang reflek mengulurkan tangannya pada gadis itu.

“Hey, how's life?”

I guess it would be more exhausting if you didn't come.” Azalea tersenyum menyeringai, tampak di depan matanya deretan gigi rapi Nath setelah itu. “How's yours?

Well, it has been nice since I met you.

Azalea yang berusaha sebisa mungkin menahan segala ekspresi yang bisa saja dia keluarkan saat mendengar ucapan Nath yang terdengar flirty padanya, kalau saja Nath tidak ada di depannya, mungkin dia akan tergeletak di lantai saat ini. Pingsan mendengar perkataan Nath disertai senyum manis yang bahkan lebih manis daripada cappuccino yang di jual di coffee shop tempatnya kerja itu. Sial.

“Ayo mau duduk di mana nih?”

How about in the smoking area? Gue mau sambil ngerokok.”

Sure. Lo mau pesan apa nih? Biar gue yang bikinin.” Nathtersenyum miring saat Azalea kembali berucap. “Well, it's my treat.

Nath hanya memanggut-manggut, kemudian dia mendekat sedikit pada Azalea dengan tatapan matanya yang dalam. “Okay, so... Dear the hottest barista I've ever seen, would you mind making me an hot moccachino huh?

Azalea menyeringai, dia mengulum senyuman setelah Nath menjauh darinya. “As might be expected, my special customer.


Nath tampak sedang berkutat dengan ponselnya sementara ia mengampit rokoknya dengan dua jari tangannya yang satu kala menunggu pesanannya serta Azalea datang menghampirinya. Well, tempat ini cukup nyaman karena meskipun berada di ruang terbuka namun tidak terlalu bising karena dibentengi oleh dinding kokoh pembatas dengan dunia luar. 

Here's your order, Sir.

Azalea menaruh pesanan milik Nath dari nampan yang dibawanya ke atas meja, kemudian lelaki itu menatap Azalea dengan senyuman hangat. “Thanks.

Azalea kemudian duduk di hadapan Nath dan otaknya berusaha memutar untuk mencari topik yang tepat untuk mengawali perbincangannya pertama kali dengan Nath kala itu. Dia juga tidak bisa berhenti manatap sosok di hadapannya yang sedang menyesap moccacino hangat pesanannya.

Perfect.

What? The taste or me?” Gadis itu seperti seorang yang pandai flirting yang auranya dapat langsung dirasakan oleh Nath terlebih saat Azalea menampakan senyuman smirk yang nyaris mematikan.

Both I guess.

Ehm, yeah, so that was kinda annoying, so forgive me then, Sir...

“Azalea, the type of flirty girl, I have been thinking a lot about that before.

Am I?

Kind of.

Nath tersenyum tipis. “Uhm, anyway, so how's your work?

Today was exhausting for me because this place has been crowded since this morning. Gue bener-bener kerja keras hari ini, bagian shift gue rame parah, Nath. Untung aja shift gue cuma sampe sore hari ini, kalau nggak ya I'm gonna die, kaki gue pegel banget.”

“Wow, you worked hard today, great job, Azalea. Istirahat deh ya sekarang, ngobrol sama gue.” Nath tertawa kecil.

“Ya, I'm glad banget lo dateng buat mengusir lelah gue seharian. Oh ya, so how's yours, Nath?”

Just so so, capek tapi gimana ya duit harus dicari. Tapi tenang, gue lakuin itu semua have fun kok, I love to learn by the way so gue kerja juga sambil terus belajar. Bawahan gue nggak banyak bikin salah dan ya so far they've had a great job, also part of them bisa diandalkan sih jadi gue lumayan gak pusing-pusing amat.”

You must be a good leader, huh?”

Indeed, Azalea. At least I'm still trying and I am always learning about how to be a good leader not only to accompany my staff but also to lead them doing the best thing that they should've done.

Azalea memandangi Nath dengan decak kagum, disusul tepuk tangan pelan yang dia anggap sebagai penghargaan kecil untuk Nath. Nath hanya terkekeh pelan. “Lo beres ini mau pulang, kan?”

Mendengar pertanyaan Nath, tiba-tiba Azalea teringat soal problematikanya dengan Jessica yang sampai saat ini belum ada kabar yang artinya Azalea belum bisa untuk kembali ke apartemennya terlebih tanpa membawa kunci duplikat. Azalea menggeleng samar, Nath mengerutkan keningnya bingung. “Gue bingung banget.”

“Lho, kenapa?”

“Hari ini gue nggak bawa kunci duplikat dan masalahnya Jessica lagi pergi ke puncak, itu dia ngabarin mendadak banget tadi. Jujur it sucks banget karena dia bahkan gak ngasih tau sebelumnya ke gue.”

“Jadi lo belum bisa pulang?”

Precisely.

“Kalo lo mau numpang dulu di apart gue, its okay. Sorry jangan nethink dulu, in case she hasn't come ya dan kalau lo mau nunggu di sini pun gue bakal temenin kok. Its up to you aja atau mungkin lo mau gue anterin ke tempat temen lo yang lain gitu.”

So, gue bakal ngerepotin lo lagi?”

“Azalea please? We're friend now okay? Nggak ada repot-repotin segala.”

Thanks in advance, Nath...”

No need, Azalea. If there's anything I can do for you, I'll do.

Mas Chinese, gue mau pingsan. Batin Azalea berteriak melihat tatapan dalam yang dilayangkan oleh Nath, belum lagi senyumannya yang manis dan menghanyutkan bagi siapapun yang melihatnya. Pesona pria itu benar-benar tak dapat terelakkan. Azalea meleleh karenanya.

¤ ¤ ¤

Wira baru saja tiba di apartemennya, dia menghampiri sang istri yang tampak tertidur pulas di atas sofa, ini kebiasaan Airin jika menunggu suaminya pulang, dia pasti akan selalu menunggu di sofa ruang televisi bahkan sampai tertidur. Seperti biasa Wira akan langsung menghampirinya dan melepas rindu dengan menghujani kecupan di sekitar wajah cantik sang istri maupun kepalanya. Wira mengecup bibir Airin seraya bersimpuh memandangi wajah cantik sekaligus lelah sang istri kemudian ia mengusap perut Airin yang sudah cukup besar itu. Sentuhan Wira membuat Airin mengerjapkan matanya membuat sang suami tertegun dan mengusap rambut Airin.

“Sayang, bangun yuk, kita pindah ke kamar... kok tidur di sini hm?” Wira mengusap pipi Airin lembut.

Airin membuka matanya perlahan dan bangkit duduk dengan susah payah dibantu oleh sang suami yang kini duduk di sampingnya. Wira menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah wanita itu. Dia juga membenarkan pakaian minim istrinya itu.

“Kamu baru sampe, Mas?” Tanya Airin dengan suaranya yang rendah, dia tampak mengusap matanya dan masih berusaha mengumpulkan nyawa.

“Iya, Sayang.”

Wira masih mengusap surai panjang istrinya itu, dia tersenyum. “Kamu ketiduran ya?”

“Iya, Mas, maaf. Padahal aku nggak sabar nunggu kamu pulang.”

Airin menatap Wira dengan mata kucingnya, dia mencebikkan bibirnya sambil mengusap lembut wajah tampan pria yang sedang sangat dirindukannya. Airin terus menatap suaminya penuh damba kemudian tangannya beralih melepas dasi kemeja suaminya dengan telaten seraya membuka kancingnya pula karena Wira sudah terlebih dahulu melepas jas kerjanya. Wira membiarkan sang istri melakukan itu untuknya dan dia juga bisa lebih puas mengamati kecantikan istrinya dari jarak dekat.

“Mas mau mandi air hangat? Kamu mau makan apa? Sekalian aku buatin minumannya ya, Sayang.”

“Kamu udah mandi belum?” Satu tangan Wira memeluk pinggang istrinya itu.

“Emang aku bau ya?” Airin mengendus tubuhnya sendiri dengan alisnya yang mengerut lalu dia melirik lagi pada suaminya. “Aku nggak bau.”

“Siapa yang bilang kamu bau sih?” Wira terkekeh, “saya cuma tanya kamu udah mandi belum? Bukan berarti kamu bau.”

“Oh, udah lah, aku nyambut kamu tuh pasti aku mandi!”

“Kirain.”

“Apa?”

“Nggak, Sayang.”

All of Mine is Yours

———

Suara pintu kamar yang terbuka membuat Wira sontak menoleh dan melihat seorang wanita dengan senyum tulusnya tampak tak bisa menyembunyikan wajah lelahnya yang telah seharian bekerja di rumah menjadi seorang ibu sekaligus istri, hidup Airin benar-benar berubah setelah kehadiran Arsena Radian Prawira, putra pertama keduanya. Airin yang melihat senyuman teduh suaminya itu langsung meluluh dan memasang raut wajah cemberutnya. “Capek ya, hm?”

Wira memegang tangan istrinya agar ikut bergabung di atas ranjang dengannya, Airin yang sudah tidak bisa lagi menutupi sifatnya yang mendadak melemah saat dekat suaminya, segera memeluk suaminya erat dan menelusup pada dada bidang Wira, dia membiarkan suaminya itu mengusap surai panjangnya yang harum. “Makasih ya, Cantik, kamu udah kerja keras hari ini. Saya bangga liat kamu, kamu bisa jadi ibu sekaligus istri yang baik dalam satu waktu. Kamu boleh capek sekarang, kamu pun boleh ngeluh juga sama saya sekarang, boleh manja sama saya sekarang, karena  ketika malam mungkin bagian saya untuk menemani, mendengar, dan menjaga kamu sampai pagi nanti. Airin, saya sayang kamu.”

Airin memejamkan matanya, senyumannya mengembang tipis ketika Wira membisikkan kata-kata indah yang bagaikan mantra membuat Airin jauh lebih tenang, bahkan lelahnya pun seperti terbayarkan seketika. Ia membiarkan suaminya mengecup puncak kepalanya kemudian beralih pada dahinya, Wira benar-benar paham bagaimana memperlakukan Airin ketika wanita itu sedang membutuhkannya.

“Sayang, kamu mau saya buatin minuman hangat?” Tanya Wira.

Airin menggeleng samar. “Nggak usah, Mas. Aku cuma mau kamu di samping aku sekarang.”

“Iya, Sayang, saya ada.” Wira mengangkat wajah cantik istrinya sejenak, dia lalu menangkup dagu sang istri dan menatap Airin begitu dalam. “Kamu mau apa dong, Sayang?”

“Apa mau saya pijitin?” Wira kembali bertanya, Airin rupanya masih saja bungkam dan menatapnya balik tanpa berbicara apapun. Wira merasa salah tingkah sendiri melihat tatapan Airin yang begitu serius dan tanpa ekspresi apapun. Lelaki itu bisa merasakan napas berat sang istri saat ini. “Ai, Sena sudah tidur 'kan?”

“Udah, Mas.”

“Ai, sini coba lebih dekat lagi.” Wira mengangkat tubuh Airin agar lebih menempel padanya, bahkan jarak pandanganya dengan Airin hanya sepersekian senti sekarang. Lelaki itu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Airin saat tangan Airin bergerak turun ke dada suaminya. Wira terus mengusap pinggang wanitanya seiring dengan jemari sang istri yang kini menyusup masuk ke dalam kaus putih yang dikenakannya.

“Airin, saya buka ya?” Wira memandang Airin yang menatapnya sayu, dia melirik sekilas pada kaus putihnya beserta tangan istrinya yang sudah menyelinap di dalam sana. “Biar kamu nggak kesusahan.”

“Aku aja yang buka, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah ketika ia merasa tenggorokannya begitu kering mendadak, detak jantungnya berdetak lebih cepat bersamaan dengan napasnya yang memberat, Wira hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wanita yang kini bertubuh sedikit berisi dan semakin cantik itu di matanya itu.

“Iya, Sayang, boleh.”

Airin melepaskan tangan suaminya yang merangkulnya tadi lalu ia bergerak membantu melepaskan kaus putih yang dikenakan suaminya itu. Wira sempat menahan napas kala Airin reflek menggigit bibirnya setelah tubuh Wira di bagian atas sudah terekspos jelas. Airin menatap Wira dengan tatapan damba, dia benar-benar mengagumi bentuk tubuh suaminya yang indah. Wira mengusap wajah istrinya itu lembut, lalu berbisik dengan nada rendahnya. “Kamu boleh mau lakuin sesuka kamu, semuanya cuma punya kamu.”

Airin memicingkan matanya sinis diikuti dengan senyuman evil khasnya yang menggoda sebelum ia berpindah duduk di atas perut suaminya dan membungkuk seraya mengusap rahang lelaki tampan di bawahnya kini. “Mas, boleh ...”

“Boleh, apapun pertanyaan kamu itu, saya bolehkan, Airin.”

Airin sedikit menunduk dan memperkecil jarak antara dirinya dan Wira, bahkan mereka sudah bertukar napas satu sama lain. Perempuan itu membasahi bibirnya kemudian tanpa aba-aba memagut bibir suaminya dengan rakus. Bukan hanya sekadar pagutan pelepas rindu, tapi gurat napsu terselinap di dalamnya, bagaimana Airin menyesap bibir Wira lapar, dan sesekali ia akan meminta akses lidahnya untuk bermain lebih dalam dengan milik suaminya. Wira malam ini akan membiarkan Airin mendominasi dirinya, Airin yang akan memegang kendali dalam setiap permainannya itu sendiri.

All of Mine is Yours


Suara pintu kamar yang terbuka membuat Wira sontak menoleh dan melihat seorang wanita dengan senyum tulusnya tampak tak bisa menyembunyikan wajah lelahnya yang telah seharian bekerja di rumah menjadi seorang ibu sekaligus istri, hidup Airin benar-benar berubah setelah kehadiran Arsena Radian Prawira, putra pertama keduanya. Airin yang melihat senyuman teduh suaminya itu langsung meluluh dan memasang raut wajah cemberutnya. “Capek ya, hm?”

Wira memegang tangan istrinya agar ikut bergabung di atas ranjang dengannya, Airin yang sudah tidak bisa lagi menutupi sifatnya yang mendadak melemah saat dekat suaminya, segera memeluk suaminya erat dan menelusup pada dada bidang Wira, dia membiarkan suaminya itu mengusap surai panjangnya yang harum. “Makasih ya, Cantik, kamu udah kerja keras hari ini. Saya bangga liat kamu, kamu bisa jadi ibu sekaligus istri yang baik dalam satu waktu. Kamu boleh capek sekarang, kamu pun boleh ngeluh juga sama saya sekarang, boleh manja sama saya sekarang, karena  ketika malam mungkin bagian saya untuk menemani, mendengar, dan menjaga kamu sampai pagi nanti. Airin, saya sayang kamu.”

Airin memejamkan matanya, senyumannya mengembang tipis ketika Wira membisikkan kata-kata indah yang bagaikan mantra membuat Airin jauh lebih tenang, bahkan lelahnya pun seperti terbayarkan seketika. Ia membiarkan suaminya mengecup puncak kepalanya kemudian beralih pada dahinya, Wira benar-benar paham bagaimana memperlakukan Airin ketika wanita itu sedang membutuhkannya.

“Sayang, kamu mau saya buatin minuman hangat?” Tanya Wira.

Airin menggeleng samar. “Nggak usah, Mas. Aku cuma mau kamu di samping aku sekarang.”

“Iya, Sayang, saya ada.” Wira mengangkat wajah cantik istrinya sejenak, dia lalu menangkup dagu sang istri dan menatap Airin begitu dalam. “Kamu mau apa dong, Sayang?”

“Apa mau saya pijitin?” Wira kembali bertanya, Airin rupanya masih saja bungkam dan menatapnya balik tanpa berbicara apapun. Wira merasa salah tingkah sendiri melihat tatapan Airin yang begitu serius dan tanpa ekspresi apapun. Lelaki itu bisa merasakan napas berat sang istri saat ini. “Ai, Sena sudah tidur 'kan?”

“Udah, Mas.”

“Ai, sini coba lebih dekat lagi.” Wira mengangkat tubuh Airin agar lebih menempel padanya, bahkan jarak pandanganya dengan Airin hanya sepersekian senti sekarang. Lelaki itu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Airin saat tangan Airin bergerak turun ke dada suaminya. Wira terus mengusap pinggang wanitanya seiring dengan jemari sang istri yang kini menyusup masuk ke dalam kaus putih yang dikenakannya.

“Airin, saya buka ya?” Wira memandang Airin yang menatapnya sayu, dia melirik sekilas pada kaus putihnya beserta tangan istrinya yang sudah menyelinap di dalam sana. “Biar kamu nggak kesusahan.”

“Aku aja yang buka, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah ketika ia merasa tenggorokannya begitu kering mendadak, detak jantungnya berdetak lebih cepat bersamaan dengan napasnya yang memberat, Wira hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wanita yang kini bertubuh sedikit berisi dan semakin cantik itu di matanya itu.

“Iya, Sayang, boleh.”

Airin melepaskan tangan suaminya yang merangkulnya tadi lalu ia bergerak membantu melepaskan kaus putih yang dikenakan suaminya itu. Wira sempat menahan napas kala Airin reflek menggigit bibirnya setelah tubuh Wira di bagian atas sudah terekspos jelas. Airin menatap Wira dengan tatapan damba, dia benar-benar mengagumi bentuk tubuh suaminya yang indah. Wira mengusap wajah istrinya itu lembut, lalu berbisik dengan nada rendahnya. “Kamu boleh mau lakuin sesuka kamu, semuanya cuma punya kamu.”

Airin memicingkan matanya sinis diikuti dengan senyuman evil khasnya yang menggoda sebelum ia berpindah duduk di atas perut suaminya dan membungkuk seraya mengusap rahang lelaki tampan di bawahnya kini. “Mas, boleh ...”

“Boleh, apapun pertanyaan kamu itu, saya bolehkan, Airin.”

Airin sedikit menunduk dan memperkecil jarak antara dirinya dan Wira, bahkan mereka sudah bertukar napas satu sama lain. Perempuan itu membasahi bibirnya kemudian tanpa aba-aba memagut bibir suaminya dengan rakus. Bukan hanya sekadar pagutan pelepas rindu, tapi gurat napsu terselinap di dalamnya, bagaimana Airin menyesap bibir Wira lapar, dan sesekali ia akan meminta akses lidahnya untuk bermain lebih dalam dengan milik suaminya. Wira malam ini akan membiarkan Airin mendominasi dirinya, Airin yang akan memegang kendali dalam setiap permainannya itu sendiri.

All of Mine is Yours


Suara pintu kamar yang terbuka membuat Wira sontak menoleh dan melihat seorang wanita dengan senyum tulusnya tampak tak bisa menyembunyikan wajah lelahnya yang telah seharian bekerja di rumah menjadi seorang ibu sekaligus istri, hidup Airin benar-benar berubah setelah kehadiran Arsena Radian Prawira, putra pertama keduanya. Airin yang melihat senyuman teduh suaminya itu langsung meluluh dan memasang raut wajah cemberutnya. “Capek ya, hm?”

Wira memegang tangan istrinya agar ikut bergabung di atas ranjang dengannya, Airin yang sudah tidak bisa lagi menutupi sifatnya yang mendadak melemah saat dekat suaminya, segera memeluk suaminya erat dan menelusup pada dada bidang Wira, dia membiarkan suaminya itu mengusap surai panjangnya yang harum. “Makasih ya, Cantik, kamu udah kerja keras hari ini. Saya bangga liat kamu, kamu bisa jadi ibu sekaligus istri yang baik dalam satu waktu. Kamu boleh capek sekarang, kamu pun boleh ngeluh juga sama saya sekarang, boleh manja sama saya sekarang, karena  ketika malam mungkin bagian saya untuk menemani, mendengar, dan menjaga kamu sampai pagi nanti. Airin, saya sayang kamu.”

Airin memejamkan matanya, senyumannya mengembang tipis ketika Wira membisikkan kata-kata indah yang bagaikan mantra membuat Airin jauh lebih tenang, bahkan lelahnya pun seperti terbayarkan seketika. Ia membiarkan suaminya mengecup puncak kepalanya kemudian beralih pada dahinya, Wira benar-benar paham bagaimana memperlakukan Airin ketika wanita itu sedang membutuhkannya.

“Sayang, kamu mau saya buatin minuman hangat?” Tanya Wira.

Airin menggeleng samar. “Nggak usah, Mas. Aku cuma mau kamu di samping aku sekarang.”

“Iya, Sayang, saya ada.” Wira mengangkat wajah cantik istrinya sejenak, dia lalu menangkup dagu sang istri dan menatap Airin begitu dalam. “Kamu mau apa dong, Sayang?”

“Apa mau saya pijitin?” Wira kembali bertanya, Airin rupanya masih saja bungkam dan menatapnya balik tanpa berbicara apapun. Wira merasa salah tingkah sendiri melihat tatapan Airin yang begitu serius dan tanpa ekspresi apapun. Lelaki itu bisa merasakan napas berat sang istri saat ini. “Ai, Sena sudah tidur 'kan?”

“Udah, Mas.”

“Ai, sini coba lebih dekat lagi.” Wira mengangkat tubuh Airin agar lebih menempel padanya, bahkan jarak pandanganya dengan Airin hanya sepersekian senti sekarang. Lelaki itu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Airin saat tangan Airin bergerak turun ke dada suaminya. Wira terus mengusap pinggang wanitanya seiring dengan jemari sang istri yang kini menyusup masuk ke dalam kaus putih yang dikenakannya.

“Airin, saya buka ya?” Wira memandang Airin yang menatapnya sayu, dia melirik sekilas pada kaus putihnya beserta tangan istrinya yang sudah menyelinap di dalam sana. “Biar kamu nggak kesusahan.”

“Aku aja yang buka, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah ketika ia merasa tenggorokannya begitu kering mendadak, detak jantungnya berdetak lebih cepat bersamaan dengan napasnya yang memberat, Wira hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wanita yang kini bertubuh sedikit berisi dan semakin cantik itu di matanya itu.

“Iya, Sayang, boleh.”

Airin melepaskan tangan suaminya yang merangkulnya tadi lalu ia bergerak membantu melepaskan kaus putih yang dikenakan suaminya itu. Wira sempat menahan napas kala Airin reflek menggigit bibirnya setelah tubuh Wira di bagian atas sudah terekspos jelas. Airin menatap Wira dengan tatapan damba, dia benar-benar mengagumi bentuk tubuh suaminya yang indah. Wira mengusap wajah istrinya itu lembut, lalu berbisik dengan nada rendahnya. “Kamu boleh mau lakuin sesuka kamu, semuanya cuma punya kamu.”

Airin memicingkan matanya sinis diikuti dengan senyuman evil khasnya yang menggoda sebelum ia berpindah duduk di atas perut suaminya dan membungkuk seraya mengusap rahang lelaki tampan di bawahnya kini. “Mas, boleh ...”

“Boleh, apapun pertanyaan kamu itu, saya bolehkan, Airin.”

Airin sedikit menunduk dan memperkecil jarak antara dirinya dan Wira, bahkan mereka sudah bertukar napas satu sama lain. Perempuan itu membasahi bibirnya kemudian tanpa aba-aba memagut bibir suaminya dengan rakus. Bukan hanya sekadar pagutan pelepas rindu, tapi gurat napsu terselinap di dalamnya, bagaimana Airin menyesap bibir Wira lapar, dan sesekali ia akan meminta akses lidahnya untuk bermain lebih dalam dengan milik suaminya. Wira malam ini akan membiarkan Airin mendominasi dirinya, Airin yang akan memegang kendali dalam setiap permainannya itu sendiri.

Airin melepaskan ciumannya dengan isapan terakhir pada bibir suaminya, matanya yang sayu itu mampu menyihir Wira hingga lelaki itu hanya diam dan menikmati permainan Airin saat ini. Wira menggeram pelan ketika sesuatu yang lembab kini turun di bagian dadanya. Lelaki itu benar-benar hanyut dengan setiap sentuhan Airin padanya saat ini. Wira mengusap surai panjang istrinya yang kini merangkak di atas tubuhnya, membuat suhu di dalam tubuh lelaki itu panas seketika.

“Ai ... argh,” Wira menggeram saat kecupan istrinya itu semakin turun ke bawah perut berbentuknya, membuat Wira mendongakkan kepalanya ke atas seraya terpejam dengan tangannya yang tak henti mengusap sesekali meremas rambut panjang istrinya.

Airin menyudahi aktivitasnya setelah melihat suaminya yang tampak berkeringat dan menikmati permainannya kala itu, wanita itu tampak puas dan tersenyum miring seraya merangkak naik di atas tubuh suaminya. Wira membuka kelopak matanya lagi saat keduanya kembali bertatapan, napas dua insan itu semakin memberat, mata yang sayu dan memerah. Dengan sekali gerakan, Wira mendorong tengkuk Airin dan memagut bibir istrinya tak mau kalah.

“Ehm, Mas...”

Perlahan Airin mulai menikmati pagutan bibir keduanya sembari tangannya tak tinggal diam terus bergerak menyentuh perut suaminya, Airin bergerak gelisah ketika tangan besar suaminya mulai menelusup ke dalam dress tidurnya, tangan yang satu menahan pinggang sang istri.

“Ahh, Mas Wira...” Airin mengerang pelan saat Wira meremas pahanya kuat dengan pagutan keduanya yang masih menyatu. Airin memejamkan matanya seakan terbuai dengan sentuhan suaminya yang mendominasi kala itu.

Tangan Wira dengan gesit menyingkap dress tipis yang dikenakan istrinya itu dan melemparnya asal, pagutan keduanya kembali menyatu setelah sempat terlepas sepersekian detik setelah lelaki itu kini menukar posisinya sehingga istrinya itu kini berada dalam kukungannya.