winwincure

All of Mine is Yours

Cw// mature scene


Suara pintu kamar yang terbuka membuat Wira sontak menoleh dan melihat seorang wanita dengan senyum tulusnya tampak tak bisa menyembunyikan wajah lelahnya yang telah seharian bekerja di rumah menjadi seorang ibu sekaligus istri, hidup Airin benar-benar berubah setelah kehadiran Arsena Radian Prawira, putra pertama keduanya. Airin yang melihat senyuman teduh suaminya itu langsung meluluh dan memasang raut wajah cemberutnya. “Capek ya, hm?”

Wira memegang tangan istrinya agar ikut bergabung di atas ranjang dengannya, Airin yang sudah tidak bisa lagi menutupi sifatnya yang mendadak melemah saat dekat suaminya, segera memeluk suaminya erat dan menelusup pada dada bidang Wira, dia membiarkan suaminya itu mengusap surai panjangnya yang harum. “Makasih ya, Cantik, kamu udah kerja keras hari ini. Saya bangga liat kamu, kamu bisa jadi ibu sekaligus istri yang baik dalam satu waktu. Kamu boleh capek sekarang, kamu pun boleh ngeluh juga sama saya sekarang, boleh manja sama saya sekarang, karena  ketika malam mungkin bagian saya untuk menemani, mendengar, dan menjaga kamu sampai pagi nanti. Airin, saya sayang kamu.”

Airin memejamkan matanya, senyumannya mengembang tipis ketika Wira membisikkan kata-kata indah yang bagaikan mantra membuat Airin jauh lebih tenang, bahkan lelahnya pun seperti terbayarkan seketika. Ia membiarkan suaminya mengecup puncak kepalanya kemudian beralih pada dahinya, Wira benar-benar paham bagaimana memperlakukan Airin ketika wanita itu sedang membutuhkannya.

“Sayang, kamu mau saya buatin minuman hangat?” Tanya Wira.

Airin menggeleng samar. “Nggak usah, Mas. Aku cuma mau kamu di samping aku sekarang.”

“Iya, Sayang, saya ada.” Wira mengangkat wajah cantik istrinya sejenak, dia lalu menangkup dagu sang istri dan menatap Airin begitu dalam. “Kamu mau apa dong, Sayang?”

“Apa mau saya pijitin?” Wira kembali bertanya, Airin rupanya masih saja bungkam dan menatapnya balik tanpa berbicara apapun. Wira merasa salah tingkah sendiri melihat tatapan Airin yang begitu serius dan tanpa ekspresi apapun. Lelaki itu bisa merasakan napas berat sang istri saat ini. “Ai, Sena sudah tidur 'kan?”

“Udah, Mas.”

“Ai, sini coba lebih dekat lagi.” Wira mengangkat tubuh Airin agar lebih menempel padanya, bahkan jarak pandanganya dengan Airin hanya sepersekian senti sekarang. Lelaki itu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Airin saat tangan Airin bergerak turun ke dada suaminya. Wira terus mengusap pinggang wanitanya seiring dengan jemari sang istri yang kini menyusup masuk ke dalam kaus putih yang dikenakannya.

“Airin, saya buka ya?” Wira memandang Airin yang menatapnya sayu, dia melirik sekilas pada kaus putihnya beserta tangan istrinya yang sudah menyelinap di dalam sana. “Biar kamu nggak kesusahan.”

“Aku aja yang buka, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah ketika ia merasa tenggorokannya begitu kering mendadak, detak jantungnya berdetak lebih cepat bersamaan dengan napasnya yang memberat, Wira hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wanita yang kini bertubuh sedikit berisi dan semakin cantik itu di matanya itu.

“Iya, Sayang, boleh.”

Airin melepaskan tangan suaminya yang merangkulnya tadi lalu ia bergerak membantu melepaskan kaus putih yang dikenakan suaminya itu. Wira sempat menahan napas kala Airin reflek menggigit bibirnya setelah tubuh Wira di bagian atas sudah terekspos jelas. Airin menatap Wira dengan tatapan damba, dia benar-benar mengagumi bentuk tubuh suaminya yang indah. Wira mengusap wajah istrinya itu lembut, lalu berbisik dengan nada rendahnya. “Kamu boleh mau lakuin sesuka kamu, semuanya cuma punya kamu.”

Airin memicingkan matanya sinis diikuti dengan senyuman evil khasnya yang menggoda sebelum ia berpindah duduk di atas perut suaminya dan membungkuk seraya mengusap rahang lelaki tampan di bawahnya kini. “Mas, boleh ...”

“Boleh, apapun pertanyaan kamu itu, saya bolehkan, Airin.”

Airin sedikit menunduk dan memperkecil jarak antara dirinya dan Wira, bahkan mereka sudah bertukar napas satu sama lain. Perempuan itu membasahi bibirnya kemudian tanpa aba-aba memagut bibir suaminya dengan rakus. Bukan hanya sekadar pagutan pelepas rindu, tapi gurat napsu terselinap di dalamnya, bagaimana Airin menyesap bibir Wira lapar, dan sesekali ia akan meminta akses lidahnya untuk bermain lebih dalam dengan milik suaminya. Wira malam ini akan membiarkan Airin mendominasi dirinya, Airin yang akan memegang kendali dalam setiap permainannya itu sendiri.

Airin melepaskan ciumannya dengan isapan terakhir pada bibir suaminya, matanya yang sayu itu mampu menyihir Wira hingga lelaki itu hanya diam dan menikmati permainan Airin saat ini. Wira menggeram pelan ketika sesuatu yang lembab kini turun di bagian dadanya. Lelaki itu benar-benar hanyut dengan setiap sentuhan Airin padanya saat ini. Wira mengusap surai panjang istrinya yang kini merangkak di atas tubuhnya, membuat suhu di dalam tubuh lelaki itu panas seketika.

“Ai ... argh,” Wira menggeram saat kecupan istrinya itu semakin turun ke bawah perut berbentuknya, membuat Wira mendongakkan kepalanya ke atas seraya terpejam dengan tangannya yang tak henti mengusap sesekali meremas rambut panjang istrinya.

Airin menyudahi aktivitasnya setelah melihat suaminya yang tampak berkeringat dan menikmati permainannya kala itu, wanita itu tampak puas dan tersenyum miring seraya merangkak naik di atas tubuh suaminya. Wira membuka kelopak matanya lagi saat keduanya kembali bertatapan, napas dua insan itu semakin memberat, mata yang sayu dan memerah. Dengan sekali gerakan, Wira mendorong tengkuk Airin dan memagut bibir istrinya tak mau kalah.

“Ehm, Mas...”

Perlahan Airin mulai menikmati pagutan bibir keduanya sembari tangannya tak tinggal diam terus bergerak menyentuh perut suaminya, Airin bergerak gelisah ketika tangan besar suaminya mulai menelusup ke dalam dress tidurnya, tangan yang satu menahan pinggang sang istri.

“Ahh, Mas Wira...” Airin mengerang pelan saat Wira meremas pahanya kuat dengan pagutan keduanya yang masih menyatu. Airin memejamkan matanya seakan terbuai dengan sentuhan suaminya yang mendominasi kala itu.

Tangan Wira dengan gesit menyingkap dress tipis yang dikenakan istrinya itu dan melemparnya asal, pagutan keduanya kembali menyatu setelah sempat terlepas sepersekian detik setelah lelaki itu kini menukar posisinya sehingga istrinya itu kini berada dalam kukungannya.

Airin menggigit bibir suaminya untuk berusaha melepaskan pagutan keduanya dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya kala Wira tersenyum tipis dengan alis yang mengangkat sementara Airin menatap lelaki itu tajam. “Kamu!”

“Kamu yang mancing, Airin.”

“Aku pikir kamu bakal biarin aku dulu.” Airin berdecak kesal, sementara lelaki yang ranumnya merona itu hanya terkekeh pelan. “Jangan ketawa kamu.”

“Saya gak bisa tahan, kamu kelamaan, Sayang.” Wira mengendus leher Airin seraya memberi kecupan dan sesekali mengisapnya kuat seolah ingin mempermainkan Airin seperti wanita itu mempermainkannya semula. Airin meremas rambut Wira dan meleguh nikmat. “Mas...”

“Kamu diem aja ya, Sayang, biar saya ambil alih...” bisik Wira dengan nada rendah. “Kamu juga boleh mau minta apapun sama saya saat ini, tapi dengan satu syarat ...”

Nanar keduanya kembali bertemu dengan napas hangat yang saling memburu, gejolak kerinduan, nafsu, cinta, dan kasih sayang menyatu dalam perasaan keduanya saat itu. Sentuhan satu sama lain bagaikan simbiosis mutualisme yang membuat keduanya semakin hanyut dengan permainan malam ini.

Airin mengusap wajah suaminya menggoda berbisik pelan. “Apa syaratnya hm?” Satu kecupan melandas di rahang tegas suaminya, Wira memejamkan mata sejenak menikmati jemari Airin yang bergerak melepas kancing celana lelaki itu.

Wira menggeram dengan rahangnya yang menggertak kuat seraya meremas paha istrinya gemas. Airin membuka mulutnya dan diam-diam menikmati sentuhan suaminya itu. “Syaratnya, kamu jangan sekali lagi mendominasi saya malam ini karena kamu hanya perlu menikmati apa yang saya kasih, Airin Sayang.” Wira kembali meremas paha Airin lebih kuat sehingga istrinya itu mendongak ke atas. “Kamu suka, hm?”

“Mas, please, all of mine is yours, just do what you want and I wont do anything except with you command. Please...” Airin memohon dengan mata terpejam dan suara parau.

I love you, My Hottest Wife.

Wira mengecup telinga Airin dan mengendus area sensitif istrinya itu tanpa ampun dan kini ia lebih bebas untuk memimpin permainan panjang keduanya malam ini. Dan ia yakin, malam ini menjadi malam panjang yang indah untuk keduanya. Pernikahan mereka yang sudah melahirkan satu keturunan yang tampan membuat kehidupan rumah tangga keduanya semakin lebih baik, Airin semakin banyak mengenal sisi lain Wira lebih jauh, bahkan sosok suaminya yang kini ia kenal bisa dibilang memiliki sifat 180° berbeda dengan sosok Wira yang pertama kali ada dalam kesan pertamanya. Lelaki alim yang tidak tahu apa-apa, polos, dewasa, dan mudah didominasi. Itu dulu. Sampai sekarang Wira banyak menunjukkan sisi lain dirinya, salah satunya ialah dominasinya yang kuat dan dengan mudah terjerat dalam godaan Airin, bahkan Wira jauh lebih hebat dalam mengimbangi bagaimana sifat nakal sang istri saat bersamanya dan ia mampu membuat istrinya bertekuk lutut padanya dan tak berdaya karenanya. Cintanya yang semakin dalam pada Airin membuat Wira sulit menahan setiap kali Airin hendak mendominasinya, hingga akhirnya lelaki itulah yang dengan caranya mampu membuat Airin merasa sangat dicintai terlebih dengan kelembutan hati Wira dalam memperlakukan sang istri.

All of Mine is Yours

[]!(https://i.imgur.com/JFuBonA.jpg)

Cw// mature scene


Suara pintu kamar yang terbuka membuat Wira sontak menoleh dan melihat seorang wanita dengan senyum tulusnya tampak tak bisa menyembunyikan wajah lelahnya yang telah seharian bekerja di rumah menjadi seorang ibu sekaligus istri, hidup Airin benar-benar berubah setelah kehadiran Arsena Radian Prawira, putra pertama keduanya. Airin yang melihat senyuman teduh suaminya itu langsung meluluh dan memasang raut wajah cemberutnya. “Capek ya, hm?”

Wira memegang tangan istrinya agar ikut bergabung di atas ranjang dengannya, Airin yang sudah tidak bisa lagi menutupi sifatnya yang mendadak melemah saat dekat suaminya, segera memeluk suaminya erat dan menelusup pada dada bidang Wira, dia membiarkan suaminya itu mengusap surai panjangnya yang harum. “Makasih ya, Cantik, kamu udah kerja keras hari ini. Saya bangga liat kamu, kamu bisa jadi ibu sekaligus istri yang baik dalam satu waktu. Kamu boleh capek sekarang, kamu pun boleh ngeluh juga sama saya sekarang, boleh manja sama saya sekarang, karena  ketika malam mungkin bagian saya untuk menemani, mendengar, dan menjaga kamu sampai pagi nanti. Airin, saya sayang kamu.”

Airin memejamkan matanya, senyumannya mengembang tipis ketika Wira membisikkan kata-kata indah yang bagaikan mantra membuat Airin jauh lebih tenang, bahkan lelahnya pun seperti terbayarkan seketika. Ia membiarkan suaminya mengecup puncak kepalanya kemudian beralih pada dahinya, Wira benar-benar paham bagaimana memperlakukan Airin ketika wanita itu sedang membutuhkannya.

“Sayang, kamu mau saya buatin minuman hangat?” Tanya Wira.

Airin menggeleng samar. “Nggak usah, Mas. Aku cuma mau kamu di samping aku sekarang.”

“Iya, Sayang, saya ada.” Wira mengangkat wajah cantik istrinya sejenak, dia lalu menangkup dagu sang istri dan menatap Airin begitu dalam. “Kamu mau apa dong, Sayang?”

“Apa mau saya pijitin?” Wira kembali bertanya, Airin rupanya masih saja bungkam dan menatapnya balik tanpa berbicara apapun. Wira merasa salah tingkah sendiri melihat tatapan Airin yang begitu serius dan tanpa ekspresi apapun. Lelaki itu bisa merasakan napas berat sang istri saat ini. “Ai, Sena sudah tidur 'kan?”

“Udah, Mas.”

“Ai, sini coba lebih dekat lagi.” Wira mengangkat tubuh Airin agar lebih menempel padanya, bahkan jarak pandanganya dengan Airin hanya sepersekian senti sekarang. Lelaki itu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Airin saat tangan Airin bergerak turun ke dada suaminya. Wira terus mengusap pinggang wanitanya seiring dengan jemari sang istri yang kini menyusup masuk ke dalam kaus putih yang dikenakannya.

“Airin, saya buka ya?” Wira memandang Airin yang menatapnya sayu, dia melirik sekilas pada kaus putihnya beserta tangan istrinya yang sudah menyelinap di dalam sana. “Biar kamu nggak kesusahan.”

“Aku aja yang buka, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah ketika ia merasa tenggorokannya begitu kering mendadak, detak jantungnya berdetak lebih cepat bersamaan dengan napasnya yang memberat, Wira hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wanita yang kini bertubuh sedikit berisi dan semakin cantik itu di matanya itu.

“Iya, Sayang, boleh.”

Airin melepaskan tangan suaminya yang merangkulnya tadi lalu ia bergerak membantu melepaskan kaus putih yang dikenakan suaminya itu. Wira sempat menahan napas kala Airin reflek menggigit bibirnya setelah tubuh Wira di bagian atas sudah terekspos jelas. Airin menatap Wira dengan tatapan damba, dia benar-benar mengagumi bentuk tubuh suaminya yang indah. Wira mengusap wajah istrinya itu lembut, lalu berbisik dengan nada rendahnya. “Kamu boleh mau lakuin sesuka kamu, semuanya cuma punya kamu.”

Airin memicingkan matanya sinis diikuti dengan senyuman evil khasnya yang menggoda sebelum ia berpindah duduk di atas perut suaminya dan membungkuk seraya mengusap rahang lelaki tampan di bawahnya kini. “Mas, boleh ...”

“Boleh, apapun pertanyaan kamu itu, saya bolehkan, Airin.”

Airin sedikit menunduk dan memperkecil jarak antara dirinya dan Wira, bahkan mereka sudah bertukar napas satu sama lain. Perempuan itu membasahi bibirnya kemudian tanpa aba-aba memagut bibir suaminya dengan rakus. Bukan hanya sekadar pagutan pelepas rindu, tapi gurat napsu terselinap di dalamnya, bagaimana Airin menyesap bibir Wira lapar, dan sesekali ia akan meminta akses lidahnya untuk bermain lebih dalam dengan milik suaminya. Wira malam ini akan membiarkan Airin mendominasi dirinya, Airin yang akan memegang kendali dalam setiap permainannya itu sendiri.

Airin melepaskan ciumannya dengan isapan terakhir pada bibir suaminya, matanya yang sayu itu mampu menyihir Wira hingga lelaki itu hanya diam dan menikmati permainan Airin saat ini. Wira menggeram pelan ketika sesuatu yang lembab kini turun di bagian dadanya. Lelaki itu benar-benar hanyut dengan setiap sentuhan Airin padanya saat ini. Wira mengusap surai panjang istrinya yang kini merangkak di atas tubuhnya, membuat suhu di dalam tubuh lelaki itu panas seketika.

“Ai ... argh,” Wira menggeram saat kecupan istrinya itu semakin turun ke bawah perut berbentuknya, membuat Wira mendongakkan kepalanya ke atas seraya terpejam dengan tangannya yang tak henti mengusap sesekali meremas rambut panjang istrinya.

Airin menyudahi aktivitasnya setelah melihat suaminya yang tampak berkeringat dan menikmati permainannya kala itu, wanita itu tampak puas dan tersenyum miring seraya merangkak naik di atas tubuh suaminya. Wira membuka kelopak matanya lagi saat keduanya kembali bertatapan, napas dua insan itu semakin memberat, mata yang sayu dan memerah. Dengan sekali gerakan, Wira mendorong tengkuk Airin dan memagut bibir istrinya tak mau kalah.

“Ehm, Mas...”

Perlahan Airin mulai menikmati pagutan bibir keduanya sembari tangannya tak tinggal diam terus bergerak menyentuh perut suaminya, Airin bergerak gelisah ketika tangan besar suaminya mulai menelusup ke dalam dress tidurnya, tangan yang satu menahan pinggang sang istri.

“Ahh, Mas Wira...” Airin mengerang pelan saat Wira meremas pahanya kuat dengan pagutan keduanya yang masih menyatu. Airin memejamkan matanya seakan terbuai dengan sentuhan suaminya yang mendominasi kala itu.

Tangan Wira dengan gesit menyingkap dress tipis yang dikenakan istrinya itu dan melemparnya asal, pagutan keduanya kembali menyatu setelah sempat terlepas sepersekian detik setelah lelaki itu kini menukar posisinya sehingga istrinya itu kini berada dalam kukungannya.

Airin menggigit bibir suaminya untuk berusaha melepaskan pagutan keduanya dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya kala Wira tersenyum tipis dengan alis yang mengangkat sementara Airin menatap lelaki itu tajam. “Kamu!”

“Kamu yang mancing, Airin.”

“Aku pikir kamu bakal biarin aku dulu.” Airin berdecak kesal, sementara lelaki yang ranumnya merona itu hanya terkekeh pelan. “Jangan ketawa kamu.”

“Saya gak bisa tahan, kamu kelamaan, Sayang.” Wira mengendus leher Airin seraya memberi kecupan dan sesekali mengisapnya kuat seolah ingin mempermainkan Airin seperti wanita itu mempermainkannya semula. Airin meremas rambut Wira dan meleguh nikmat. “Mas...”

“Kamu diem aja ya, Sayang, biar saya ambil alih...” bisik Wira dengan nada rendah. “Kamu juga boleh mau minta apapun sama saya saat ini, tapi dengan satu syarat ...”

Nanar keduanya kembali bertemu dengan napas hangat yang saling memburu, gejolak kerinduan, nafsu, cinta, dan kasih sayang menyatu dalam perasaan keduanya saat itu. Sentuhan satu sama lain bagaikan simbiosis mutualisme yang membuat keduanya semakin hanyut dengan permainan malam ini.

Airin mengusap wajah suaminya menggoda berbisik pelan. “Apa syaratnya hm?” Satu kecupan melandas di rahang tegas suaminya, Wira memejamkan mata sejenak menikmati jemari Airin yang bergerak melepas kancing celana lelaki itu.

Wira menggeram dengan rahangnya yang menggertak kuat seraya meremas paha istrinya gemas. Airin membuka mulutnya dan diam-diam menikmati sentuhan suaminya itu. “Syaratnya, kamu jangan sekali lagi mendominasi saya malam ini karena kamu hanya perlu menikmati apa yang saya kasih, Airin Sayang.” Wira kembali meremas paha Airin lebih kuat sehingga istrinya itu mendongak ke atas. “Kamu suka, hm?”

“Mas, please, all of mine is yours, just do what you want and I wont do anything except with you command. Please...” Airin memohon dengan mata terpejam dan suara parau.

I love you, My Hottest Wife.

Wira mengecup telinga Airin dan mengendus area sensitif istrinya itu tanpa ampun dan kini ia lebih bebas untuk memimpin permainan panjang keduanya malam ini. Dan ia yakin, malam ini menjadi malam panjang yang indah untuk keduanya. Pernikahan mereka yang sudah melahirkan satu keturunan yang tampan membuat kehidupan rumah tangga keduanya semakin lebih baik, Airin semakin banyak mengenal sisi lain Wira lebih jauh, bahkan sosok suaminya yang kini ia kenal bisa dibilang memiliki sifat 180° berbeda dengan sosok Wira yang pertama kali ada dalam kesan pertamanya. Lelaki alim yang tidak tahu apa-apa, polos, dewasa, dan mudah didominasi. Itu dulu. Sampai sekarang Wira banyak menunjukkan sisi lain dirinya, salah satunya ialah dominasinya yang kuat dan dengan mudah terjerat dalam godaan Airin, bahkan Wira jauh lebih hebat dalam mengimbangi bagaimana sifat nakal sang istri saat bersamanya dan ia mampu membuat istrinya bertekuk lutut padanya dan tak berdaya karenanya. Cintanya yang semakin dalam pada Airin membuat Wira sulit menahan setiap kali Airin hendak mendominasinya, hingga akhirnya lelaki itulah yang dengan caranya mampu membuat Airin merasa sangat dicintai terlebih dengan kelembutan hati Wira dalam memperlakukan sang istri.

All of Mine is Yours

Cw// mature scene


Suara pintu kamar yang terbuka membuat Wira sontak menoleh dan melihat seorang wanita dengan senyum tulusnya tampak tak bisa menyembunyikan wajah lelahnya yang telah seharian bekerja di rumah menjadi seorang ibu sekaligus istri, hidup Airin benar-benar berubah setelah kehadiran Arsena Radian Prawira, putra pertama keduanya. Airin yang melihat senyuman teduh suaminya itu langsung meluluh dan memasang raut wajah cemberutnya. “Capek ya, hm?”

Wira memegang tangan istrinya agar ikut bergabung di atas ranjang dengannya, Airin yang sudah tidak bisa lagi menutupi sifatnya yang mendadak melemah saat dekat suaminya, segera memeluk suaminya erat dan menelusup pada dada bidang Wira, dia membiarkan suaminya itu mengusap surai panjangnya yang harum. “Makasih ya, Cantik, kamu udah kerja keras hari ini. Saya bangga liat kamu, kamu bisa jadi ibu sekaligus istri yang baik dalam satu waktu. Kamu boleh capek sekarang, kamu pun boleh ngeluh juga sama saya sekarang, boleh manja sama saya sekarang, karena  ketika malam mungkin bagian saya untuk menemani, mendengar, dan menjaga kamu sampai pagi nanti. Airin, saya sayang kamu.”

Airin memejamkan matanya, senyumannya mengembang tipis ketika Wira membisikkan kata-kata indah yang bagaikan mantra membuat Airin jauh lebih tenang, bahkan lelahnya pun seperti terbayarkan seketika. Ia membiarkan suaminya mengecup puncak kepalanya kemudian beralih pada dahinya, Wira benar-benar paham bagaimana memperlakukan Airin ketika wanita itu sedang membutuhkannya.

“Sayang, kamu mau saya buatin minuman hangat?” Tanya Wira.

Airin menggeleng samar. “Nggak usah, Mas. Aku cuma mau kamu di samping aku sekarang.”

“Iya, Sayang, saya ada.” Wira mengangkat wajah cantik istrinya sejenak, dia lalu menangkup dagu sang istri dan menatap Airin begitu dalam. “Kamu mau apa dong, Sayang?”

“Apa mau saya pijitin?” Wira kembali bertanya, Airin rupanya masih saja bungkam dan menatapnya balik tanpa berbicara apapun. Wira merasa salah tingkah sendiri melihat tatapan Airin yang begitu serius dan tanpa ekspresi apapun. Lelaki itu bisa merasakan napas berat sang istri saat ini. “Ai, Sena sudah tidur 'kan?”

“Udah, Mas.”

“Ai, sini coba lebih dekat lagi.” Wira mengangkat tubuh Airin agar lebih menempel padanya, bahkan jarak pandanganya dengan Airin hanya sepersekian senti sekarang. Lelaki itu mengeratkan rangkulannya pada pinggang Airin saat tangan Airin bergerak turun ke dada suaminya. Wira terus mengusap pinggang wanitanya seiring dengan jemari sang istri yang kini menyusup masuk ke dalam kaus putih yang dikenakannya.

“Airin, saya buka ya?” Wira memandang Airin yang menatapnya sayu, dia melirik sekilas pada kaus putihnya beserta tangan istrinya yang sudah menyelinap di dalam sana. “Biar kamu nggak kesusahan.”

“Aku aja yang buka, Mas.”

Wira menelan ludahnya susah payah ketika ia merasa tenggorokannya begitu kering mendadak, detak jantungnya berdetak lebih cepat bersamaan dengan napasnya yang memberat, Wira hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wanita yang kini bertubuh sedikit berisi dan semakin cantik itu di matanya itu.

“Iya, Sayang, boleh.”

Airin melepaskan tangan suaminya yang merangkulnya tadi lalu ia bergerak membantu melepaskan kaus putih yang dikenakan suaminya itu. Wira sempat menahan napas kala Airin reflek menggigit bibirnya setelah tubuh Wira di bagian atas sudah terekspos jelas. Airin menatap Wira dengan tatapan damba, dia benar-benar mengagumi bentuk tubuh suaminya yang indah. Wira mengusap wajah istrinya itu lembut, lalu berbisik dengan nada rendahnya. “Kamu boleh mau lakuin sesuka kamu, semuanya cuma punya kamu.”

Airin memicingkan matanya sinis diikuti dengan senyuman evil khasnya yang menggoda sebelum ia berpindah duduk di atas perut suaminya dan membungkuk seraya mengusap rahang lelaki tampan di bawahnya kini. “Mas, boleh ...”

“Boleh, apapun pertanyaan kamu itu, saya bolehkan, Airin.”

Airin sedikit menunduk dan memperkecil jarak antara dirinya dan Wira, bahkan mereka sudah bertukar napas satu sama lain. Perempuan itu membasahi bibirnya kemudian tanpa aba-aba memagut bibir suaminya dengan rakus. Bukan hanya sekadar pagutan pelepas rindu, tapi gurat napsu terselinap di dalamnya, bagaimana Airin menyesap bibir Wira lapar, dan sesekali ia akan meminta akses lidahnya untuk bermain lebih dalam dengan milik suaminya. Wira malam ini akan membiarkan Airin mendominasi dirinya, Airin yang akan memegang kendali dalam setiap permainannya itu sendiri.

Airin melepaskan ciumannya dengan isapan terakhir pada bibir suaminya, matanya yang sayu itu mampu menyihir Wira hingga lelaki itu hanya diam dan menikmati permainan Airin saat ini. Wira menggeram pelan ketika sesuatu yang lembab kini turun di bagian dadanya. Lelaki itu benar-benar hanyut dengan setiap sentuhan Airin padanya saat ini. Wira mengusap surai panjang istrinya yang kini merangkak di atas tubuhnya, membuat suhu di dalam tubuh lelaki itu panas seketika.

“Ai ... argh,” Wira menggeram saat kecupan istrinya itu semakin turun ke bawah perut berbentuknya, membuat Wira mendongakkan kepalanya ke atas seraya terpejam dengan tangannya yang tak henti mengusap sesekali meremas rambut panjang istrinya.

Airin menyudahi aktivitasnya setelah melihat suaminya yang tampak berkeringat dan menikmati permainannya kala itu, wanita itu tampak puas dan tersenyum miring seraya merangkak naik di atas tubuh suaminya. Wira membuka kelopak matanya lagi saat keduanya kembali bertatapan, napas dua insan itu semakin memberat, mata yang sayu dan memerah. Dengan sekali gerakan, Wira mendorong tengkuk Airin dan memagut bibir istrinya tak mau kalah.

“Ehm, Mas...”

Perlahan Airin mulai menikmati pagutan bibir keduanya sembari tangannya tak tinggal diam terus bergerak menyentuh perut suaminya, Airin bergerak gelisah ketika tangan besar suaminya mulai menelusup ke dalam dress tidurnya, tangan yang satu menahan pinggang sang istri.

“Ahh, Mas Wira...” Airin mengerang pelan saat Wira meremas pahanya kuat dengan pagutan keduanya yang masih menyatu. Airin memejamkan matanya seakan terbuai dengan sentuhan suaminya yang mendominasi kala itu.

Tangan Wira dengan gesit menyingkap dress tipis yang dikenakan istrinya itu dan melemparnya asal, pagutan keduanya kembali menyatu setelah sempat terlepas sepersekian detik setelah lelaki itu kini menukar posisinya sehingga istrinya itu kini berada dalam kukungannya.

Airin menggigit bibir suaminya untuk berusaha melepaskan pagutan keduanya dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya kala Wira tersenyum tipis dengan alis yang mengangkat sementara Airin menatap lelaki itu tajam. “Kamu!”

“Kamu yang mancing, Airin.”

“Aku pikir kamu bakal biarin aku dulu.” Airin berdecak kesal, sementara lelaki yang ranumnya merona itu hanya terkekeh pelan. “Jangan ketawa kamu.”

“Saya gak bisa tahan, kamu kelamaan, Sayang.” Wira mengendus leher Airin seraya memberi kecupan dan sesekali mengisapnya kuat seolah ingin mempermainkan Airin seperti wanita itu mempermainkannya semula. Airin meremas rambut Wira dan meleguh nikmat. “Mas...”

“Kamu diem aja ya, Sayang, biar saya ambil alih...” bisik Wira dengan nada rendah. “Kamu juga boleh mau minta apapun sama saya saat ini, tapi dengan satu syarat ...”

Nanar keduanya kembali bertemu dengan napas hangat yang saling memburu, gejolak kerinduan, nafsu, cinta, dan kasih sayang menyatu dalam perasaan keduanya saat itu. Sentuhan satu sama lain bagaikan simbiosis mutualisme yang membuat keduanya semakin hanyut dengan permainan malam ini.

Airin mengusap wajah suaminya menggoda berbisik pelan. “Apa syaratnya hm?” Satu kecupan melandas di rahang tegas suaminya, Wira memejamkan mata sejenak menikmati jemari Airin yang bergerak melepas kancing celana lelaki itu.

Wira menggeram dengan rahangnya yang menggertak kuat seraya meremas paha istrinya gemas. Airin membuka mulutnya dan diam-diam menikmati sentuhan suaminya itu. “Syaratnya, kamu jangan sekali lagi mendominasi saya malam ini karena kamu hanya perlu menikmati apa yang saya kasih, Airin Sayang.” Wira kembali meremas paha Airin lebih kuat sehingga istrinya itu mendongak ke atas. “Kamu suka, hm?”

“Mas, please, all of mine is yours, just do what you want and I wont do anything except with you command. Please...” Airin memohon dengan mata terpejam dan suara parau.

I love you, My Hottest Wife.

Wira mengecup telinga Airin dan mengendus area sensitif istrinya itu tanpa ampun dan kini ia lebih bebas untuk memimpin permainan panjang keduanya malam ini. Dan ia yakin, malam ini menjadi malam panjang yang indah untuk keduanya. Pernikahan mereka yang sudah melahirkan satu keturunan yang tampan membuat kehidupan rumah tangga keduanya semakin lebih baik, Airin semakin banyak mengenal sisi lain Wira lebih jauh, bahkan sosok suaminya yang kini ia kenal bisa dibilang memiliki sifat 180° berbeda dengan sosok Wira yang pertama kali ada dalam kesan pertamanya. Lelaki alim yang tidak tahu apa-apa, polos, dewasa, dan mudah didominasi. Itu dulu. Sampai sekarang Wira banyak menunjukkan sisi lain dirinya, salah satunya ialah dominasinya yang kuat dan dengan mudah terjerat dalam godaan Airin, bahkan Wira jauh lebih hebat dalam mengimbangi bagaimana sifat nakal sang istri saat bersamanya dan ia mampu membuat istrinya bertekuk lutut padanya dan tak berdaya karenanya. Cintanya yang semakin dalam pada Airin membuat Wira sulit menahan setiap kali Airin hendak mendominasinya, hingga akhirnya lelaki itulah yang dengan caranya mampu membuat Airin merasa sangat dicintai terlebih dengan kelembutan hati Wira dalam memperlakukan sang istri.

Terbuai cw// mature scene


“Itu baju kamu mau saya yang benerin atau kamu yang benerin?” ucapan Wira kali ini penuh penekanan setelah melihat sang istri yang memakai mini dress yang memperlihatkan dadanya bagian atas, perempuan itu sedari tadi tampak acuh dengan perkataan suaminya yang berulang kali memperingatkan pakaiannya yang terlalu minim itu. “Saya gak suka kamu pakai baju itu.”

“Ya udah, aku buka aja ya?” Airin mengangkat pandangannya pada Wira yang sedang duduk di hadapannya, wanita itu seolah mencoba menantang suaminya karena mulai jengah dengan omongan Wira yang berulang kali ia dengar.

Wira menatap Airin dengan serius beberapa saat, tatapannya begitu mengintimidasi Airin sampai akhirnya wanita itu menundukkan kepalanya dan berusaha membetulkan pakaiannya yang sebenarnya pun hasilnya nihil karena memang modelnya yang dibuat seperti itu.

Airin langsung takut melihat tatapan intimidasi yang jarang sekali ia dapatkan dari suaminya itu, dia pun kembali melanjutkan memakan makanannya.

Hari ini ialah hari kedua Airin berlibur bersama suaminya yang baru menerima masa cutinya yang kurang dari 15 hari. Sebenarnya ini semua tidak sepenuhnya menjadi liburan bagi mereka karena mereka pun datang untuk mengunjungi bisnis Wira di Bali yang sudah lama tak dikunjungi.

Tentunya Arsena tidak ikut bersama mereka karena banyak alasan terlebih mereka pun punya urusan yang penting di sini dan terpaksa tidak membawa sang putra, mereka merasa bahwa Arsena akan lebih aman jika berada dengan sang nenek dan juga Ramzy yang akan menemani serta menjaganya. Lagipula mereka tidak akan lama di Bali dan terus menghubungi baik Ramzy maupun ibunda Airin untuk mengetahui kabar sang anak.

Wira yang sudah selesai memakan makanannya kembali memandangi sang istri yang masih fokus menghabiskan makanannya, ada rasa menyesal telah sedikit keras dengan Airin tapi ya tahu sendiri bahwa istrinya itu memang senang mengabaikan perkataan suaminya yang menurutnya bukan masalah besar, itu yang terkadang membuat Wira jengkel.

Wira dengan tatapannya yang penuh intimidasi akan memandangi beberapa lelaki yang menatap istrinya terus menerus karena ia tidak suka melihat Airin menjadi tontonan lelaki-lelaki asing yang pikirannya tidak dapat ditebak.

“Sudah selesai, kan? Ayo pulang.”

“Kok pulang?” Airin mengernyit memandang Wira. “Kamu bilang mau belanja dulu?”

“Gak jadi, saya ngantuk.”

“Ya udahlah terserah.”

“Jangan pergi duluan, tunggu saya.” Cegah Wira saat Airin dengan tatapan tajamnya sudah mencoba mengalihkan pandangannya langsung dan hendak pergi, namun Wira segera bangkit terlebih dahulu kemudian lelaki itu menarik pergelangan tangan Airin keluar dari sana.

“Mas kamu apa-apaan sih, gak usah kenceng-kenceng megangnya!”

Airin menepis genggaman tangan Wira, dia menatap suaminya itu dengan mata yang tampak lembab. Ia sebenarnya kesal dengan suaminya yang belakangan ini kerap posesif padanya, entahlah sejak kapan Wira berubah, meski Airin tahu itu terjadi karena suaminya sangat mencintainya tetapi tetap saja itu cukup menyebalkan baginya.

“Maaf, maaf Airin saya nggak bermaksud. Mana yang sakit? Apa saya terlalu kencang? Ya ampun sayang maaf...” Wira menghela napasnya panjang, dia berusaha menarik Airin ke dalam dekapannya namun Airin menghindarinya. “Ai, maaf, saya berlebihan ya sama kamu? Maaf saya nggak bermaksud, bahkan saya nggak sadar... cemburunya saya sudah kelewat batas rupanya... Maaf.”

Airin berusaha menahan isak tangisnya, Wira menatap perempuan itu sendu dan penuh rasa bersalah. “Sayang, maaf...”

“Aku mau pulang.”

“Ya sudah, kita pulang ya, selesaikan di rumah saja. Saya boleh pegang kamu? Jangan nangis...”

Wira mendekati Airin dan menarik istrinya ke dalam dekapannya, dia merangkul erat pinggang istrinya dan satu tangan yang lain menggenggam tangan istrinya dan membelainya penuh kasih seraya berjalan mencari taksi untuk membawa mereka pulang di tengah keramaian kota ini.

“Airin, saya sayang kamu.”

Wira menatap Airin sekilas dan mengecup pucuk kepala wanita itu lembut, mencoba menenangkan perasaan takut istrinya saat itu, ia sama sekali tidak bermaksud untuk kasar atau bahkan membuat Airin takut tetapi rasa cintanya yang semakin dalam mendorong tindakan spontan itu semua keluar dalam dirinya yang semakin membuka sifat asli Wira yang sedikit posesif dan memiliki dominasi yang kuat mempengaruhi istrinya itu. Terkadang menakutkan, terkadang menaklukan.

Suasana malam ini cerah dihiasi bintang-bintang yang menyinari cakrawala dan terpampang indah melalui balik kaca jendela yang menampilkan layout pesisir pantai Kuta kala itu, angin terus berhembus kencang melalui setiap celah yang ada hingga mampu menusuk ke dalam tubuh menimbulkan hawa dingin yang seketika mendesir di sekujurnya.

Hawa dingin itu serta merta membuat Airin enggan untuk menyia-nyiakan pemandangan indah itu yang memanjakan netra, belum lagi keheningan yang begitu khidmat membuatnya terlena dan tanpa sadar memeluk tubuhnya sendiri demi menahan terpaan angin yang mendesak masuk. Ia berdiri di depan pintu balkon kamarnya dengan rambut hitam panjang yang terus bergerak seiring dengan hembusan angin yang menerpanya.

Perempuan itu mencoba menutup mata sejenak demi merasakan lebih dalam keheningan malam yang tenang ini sampai ia berkejap saat tangan besar mengalung di sekitar lehernya beriringan dengan benda kenyal yang tebal menempel di dekat telinganya. Airin menoleh sedikit, suaminya yang semakin mengeratkan pelukannya ada di belakangnya. Ia tersenyum menyambut kehangatan yang baru saja ia rasakan setelah lelaki itu meraih tubuh Airin berbalik mendekapnya.

“Kenapa belum tidur, hm?”

“Nungguin kamu,” jawab Airin lembut. “Kamu yang dari tadi cuek sama aku, padahal kamu sempet minta maaf sebelumnya.”

Wira mengusap pinggang Airin lembut, “sayang, maaf... saya nggak bermaksud untuk bikin kamu nunggu.”

“Jangan minta maaf,” ucap Airin, ia mendongak menatap nanar Wira yang teduh sedikit sendu. “Kamu lagi kenapa? Jawab yang jujur sama aku. Aku nggak pernah denger kebohongan kamu apalagi sampe kamu nutupin sesuatu, sebenernya kenapa sama kamu? Kamu sadar nggak kalau kamu jadi beda?”

“Saya seratus persen sadar dan saya tidak ada pembelaan apapun, maafin saya, Airin. Saya sekarang terlalu berposesi terhadap kamu, saya ingin melindungi kamu lebih. Saya trauma. Jujur saja. Saya takut kalau kamu ..., kamu tau, Ai, soal beberapa waktu lalu kamu dilecehkan sama pihak staff agensi kamu, itu buat saya marah dan saya benci saya nggak bisa lindungi kamu. Maaf. Saya malu sama diri saya sendiri dan saya terpukul. Kamu tahu? Sakit hati saya ini bukan main, Airin. Benar-benar hati saya hancur...”

Airin mulai terbawa suasana sampai wanita itu membalikkan tubuhnya sepenuhnya menghadap Wira—lelaki yang dengan mata mengkilap dan kelopak mata yang penuh oleh air yang berusaha ditampungnya, Airin menatap Wira sendu, matanya memerah seketika. “Mas...” Airin menangkup wajah tampan itu dengan kedua tangannya, dia kemudian mengecup bibir ranum suaminya. “Maaf... itu semua bukan salah kamu, jangan pernah kamu menyalahkan diri kamu kayak gitu.”

Wira mengangkat kepalanya, dia berusaha menahan air matanya yang hendak jatuh, dia menggeleng samar. “Airin, saya sepayah itu ya dalam melindungi kamu, Sayang?” Wira mengacak rambutnya kasar namun Airin dengan reflek menahan tangan suaminya dan membelai serta mengecup punggung tangan itu lembut. “Airin, saya pastikan itu tidak akan pernah terulang, orang itu sudah dapat ganjarannya dan saya akan mengerahkan seluruh kemampuan saya yang terbatas ini untuk melindungi kamu sampai kapanpun, Ai. Saya cinta kamu.”

“Aku memang wanita yang beruntung banget ya, Mas? Beruntung karena kamu ada, kamu ada di bumi ini dan kamu hanya diciptakan untuk aku.” Airin tersenyum manis, ia merapikan rambut suaminya yang sempat berantakan kemudian ia membelai wajah tampan itu sekali lagi. Jemarinya berputar mengelilingi bibir serta menyentuh bulu halus nan tipis yang tumbuh di sekitarannya dan jarinya menyentuh bibir ranum suaminya. Wanita itu menatap nanar Wira dalam seraya membasahi bibirnya sendiri. “Aku juga cinta sama kamu, Mas, dan kamu tau itu nggak akan pernah berakhir bahkan habis masanya. Aku cuma mau kamu, Prawira Nugraha.”

Wira tersenyum tipis dengan gurat merah yang tampak di pipinya, dia menarik istrinya lebih dekat lagi untuk meraih bibir Airin yang selalu menjadi candunya itu. Ciuman yang lembut berubah menjadi pergulatan bibir dengan hisapan-hisapan panas yang saling mendominasi satu sama lain sampai akhirnya Wira mengangkat tubuh istrinya dan membawanya masuk ke dalam. “Di dalam ya, Sayang.”

Airin masih terus membalas ciuman selanjutnya yang diawali olehnya sendiri seraya terus meremas dan mengacak pelan rambut suaminya. Ciuman keduanya terus berlangsung hingga Airin kini berada di pangkuan Wira dengan kedua tangannya yang mengalung di leher suaminya.

“Mas,” desah Airin ketika tangan besar suaminya itu menelusup ke dalam dress tidurnya. Tangan itu terus membelai dan bergerak masuk memberikan sentuhan-sentuhan yang berdampak hebat bagi Airin, “Mas Wira, argh...”

“Hm, kenapa, Sayang? Suka hm?” Suara berat Wira bersamaan dengan deru napas panasnya terasa di sekitar telinga Airin yang selanjutnya digigit pelan oleh lelaki itu. Airin terus menyebutkan namanya beberapa kali. Terang saja itu menjadi suatu pemandangan yang semakin membuat suasana bergelora, Wira berhasil meloloskan pakaian sang istri, lelaki itu benar-benar semakin liar. “Jawab, kamu suka hm?”

“Stop..., Mas,” Airin memeluk tubuh suaminya dan berusaha menahan desir gairah yang tak bisa tertahan olehnya lagi.

“Airin, saya nggak akan minta apa-apa, Sayang. Saya cuma mau kasih kamu kesenangan aja, mau tetep berhenti hm?” Suara Wira semakin menimbulkan gelora yang membuat Airin merinding, lelaki itu mengangkat tubuh istrinya berada di pangkuannya namun kini membelakanginya. Airin bersandar lembah di dada bidang suaminya, ia menoleh pada Wira yang tersenyum miring. “Mau?”

“Mas, kamu curang, aku malu...”

“Kamu mau lepas punya saya juga? Boleh, Sayang, tapi ... setelah ini ya?” Lelaki itu kemudian mengecup leher istrinya dari belakang, setelah itu Airin bisa dipastikan melayang terbang tinggi sampai ia tak sanggup membuka matanya untuk menahan lelaki tampan itu—yang terus menyentuhnya lembut di setiap sisinya sampai Airin berusaha menahan pergerakan tangan Wira yang sia-sia sebab lelaki itu tidak menginginkan semua berhenti.

“Ai, tangan kamu diem ya, saya susah geraknya,” bisik Wira.

“Mas..., mm... mau cium.”

“Kamu mau dicium?”

“Mas, ih...”

Wira tersenyum menyeringai, ia senang melihat Airin tampak lemah di dalam dekapannya sementara perempuan itu terus menerus meleguh tanpa berusaha memberontak terhadap apa yang didapatkannya, ia menikmati setiap suaminya berusaha mempermainkannya, membuatnya selalu jatuh dan takluk terhadap sosok tampan itu.

“Argh, Mas, mohon...”

“Airin, hey, mau berhenti Sayang?” Wira menahan sentuhannya meskipun dirinya sendiri sudah menggebu-gebu, ia melihat istrinya itu penuh iba, lelaki itu mengusap perut ramping Airin. Airin menoleh ke arahnya dengan tatapan mata kucingnya, kemudian perempuan itu mengulum bibir suaminya dengan libido yang memuncak dan tak berjeda. Tangannya mulai bergerak masuk ke dalam kaus suaminya yang langsung diloloskan dengan cepat seolah tak ingin berlama-lama melepas pagutan keduanya yang memburu.

Wira memainkan jarinya dari bawah menuju ke atas dan terus berputar mengelilingi tubuh istrinya yang tampak semakin sensitif, lelaki itu menahan napasnya saat Airin melepas pagutannya seketika dan bergerak melepas kancing celana yang dikenakannya. “Sayang, argh, kamu mau apa?”

“Airin.” Geram Wira saat merespon sentuhan yang diberikan Airin, matanya terpejam sejenak namun tak lama sebab ingin memandang wajah elok sang istri yang membuatnya tak bisa berkutik saat itu. “Kamu cantik, selalu cantik.”

“Ai,” Wira menggeram tertahan saat bagian bawahnya berhasil lolos oleh istrinya, dia yang sudah tidak bisa menahan diri pun segera mengambil alih, tapi setengah berbisik di awal. “Sayang, saya gak bisa tahan, maaf...”

“Jangan minta maaf, Mas.”

“Kamu mau?”

Airin mengangguk.

“Pakai atau nggak?”

“Terserah.”

I love you.”

“Mas Wira...” Airin menggeram saat Wira mencoba memulai permainannya, perempuan itu meremas bahu suaminya kuat. Sementara itu Wira terus menggertakkan rahangnya sambil terus menikmati setiap gurat ekspresi dari wajah cantik yang berkeringat di pangkuannya itu. Sekali lagi tangan Wira menarik tengkuk Airin dan mencium bibir lembabnya itu saat ia memulai pergerakannya, Airin menggigit bibir suaminya saat ia merasakan nikmat dan sakit bersamaan yang sangat terasa.

“Ai, kamu ga usah gerak, biar saya aja, nanti kamu capek,” bisikan Wira membuat Airin menelusup ke dalam dada lelaki itu. “Airin, tubuh kamu itu ya ... salah satu ukiran Tuhan yang nggak ada tandingan indahnya, saya benar-benar mengagumi setiap sisinya. Semua puja puji saya tentang kamu, tidak munafik, tidak dusta, kamu memang layak mendapatkan ini semua, kamu semesta bagi saya dan kamu memang mampu melemahkan saya dan menaklukan saya dalam satu waktu.”

“Ai, kalau udah capek bilang ya karena kalau saya nggak akan pernah capek sama kamu.”

“Aku juga, Mas.”

Wira mengecup bibir Airin lembut. “Ya sudah, sampai pagi ya begini?”

Terbuai cw// mature scene


“Itu baju kamu mau saya yang benerin atau kamu yang benerin?” ucapan Wira kali ini penuh penekanan setelah melihat sang istri yang memakai mini dress yang memperlihatkan dadanya bagian atas, perempuan itu sedari tadi tampak acuh dengan perkataan suaminya yang berulang kali memperingatkan pakaiannya yang terlalu minim itu. “Saya gak suka kamu pakai baju itu.”

“Ya udah, aku buka aja ya?” Airin mengangkat pandangannya pada Wira yang sedang duduk di hadapannya, wanita itu seolah mencoba menantang suaminya karena mulai jengah dengan omongan Wira yang berulang kali ia dengar.

Wira menatap Airin dengan serius beberapa saat, tatapannya begitu mengintimidasi Airin sampai akhirnya wanita itu menundukkan kepalanya dan berusaha membetulkan pakaiannya yang sebenarnya pun hasilnya nihil karena memang modelnya yang dibuat seperti itu.

Airin langsung takut melihat tatapan intimidasi yang jarang sekali ia dapatkan dari suaminya itu, dia pun kembali melanjutkan memakan makanannya.

Hari ini ialah hari kedua Airin berlibur bersama suaminya yang baru menerima masa cutinya yang kurang dari 15 hari. Sebenarnya ini semua tidak sepenuhnya menjadi liburan bagi mereka karena mereka pun datang untuk mengunjungi bisnis Wira di Bali yang sudah lama tak dikunjungi.

Tentunya Arsena tidak ikut bersama mereka karena banyak alasan terlebih mereka pun punya urusan yang penting di sini dan terpaksa tidak membawa sang putra, mereka merasa bahwa Arsena akan lebih aman jika berada dengan sang nenek dan juga Ramzy yang akan menemani serta menjaganya. Lagipula mereka tidak akan lama di Bali dan terus menghubungi baik Ramzy maupun ibunda Airin untuk mengetahui kabar sang anak.

Wira yang sudah selesai memakan makanannya kembali memandangi sang istri yang masih fokus menghabiskan makanannya, ada rasa menyesal telah sedikit keras dengan Airin tapi ya tahu sendiri bahwa istrinya itu memang senang mengabaikan perkataan suaminya yang menurutnya bukan masalah besar, itu yang terkadang membuat Wira jengkel.

Wira dengan tatapannya yang penuh intimidasi akan memandangi beberapa lelaki yang menatap istrinya terus menerus karena ia tidak suka melihat Airin menjadi tontonan lelaki-lelaki asing yang pikirannya tidak dapat ditebak.

“Sudah selesai, kan? Ayo pulang.”

“Kok pulang?” Airin mengernyit memandang Wira. “Kamu bilang mau belanja dulu?”

“Gak jadi, saya ngantuk.”

“Ya udahlah terserah.”

“Jangan pergi duluan, tunggu saya.” Cegah Wira saat Airin dengan tatapan tajamnya sudah mencoba mengalihkan pandangannya langsung dan hendak pergi, namun Wira segera bangkit terlebih dahulu kemudian lelaki itu menarik pergelangan tangan Airin keluar dari sana.

“Mas kamu apa-apaan sih, gak usah kenceng-kenceng megangnya!”

Airin menepis genggaman tangan Wira, dia menatap suaminya itu dengan mata yang tampak lembab. Ia sebenarnya kesal dengan suaminya yang belakangan ini kerap posesif padanya, entahlah sejak kapan Wira berubah, meski Airin tahu itu terjadi karena suaminya sangat mencintainya tetapi tetap saja itu cukup menyebalkan baginya.

“Maaf, maaf Airin saya nggak bermaksud. Mana yang sakit? Apa saya terlalu kencang? Ya ampun sayang maaf...” Wira menghela napasnya panjang, dia berusaha menarik Airin ke dalam dekapannya namun Airin menghindarinya. “Ai, maaf, saya berlebihan ya sama kamu? Maaf saya nggak bermaksud, bahkan saya nggak sadar... cemburunya saya sudah kelewat batas rupanya... Maaf.”

Airin berusaha menahan isak tangisnya, Wira menatap perempuan itu sendu dan penuh rasa bersalah. “Sayang, maaf...”

“Aku mau pulang.”

“Ya sudah, kita pulang ya, selesaikan di rumah saja. Saya boleh pegang kamu? Jangan nangis...”

Wira mendekati Airin dan menarik istrinya ke dalam dekapannya, dia merangkul erat pinggang istrinya dan satu tangan yang lain menggenggam tangan istrinya dan membelainya penuh kasih seraya berjalan mencari taksi untuk membawa mereka pulang di tengah keramaian kota ini.

“Airin, saya sayang kamu.”

Wira menatap Airin sekilas dan mengecup pucuk kepala wanita itu lembut, mencoba menenangkan perasaan takut istrinya saat itu, ia sama sekali tidak bermaksud untuk kasar atau bahkan membuat Airin takut tetapi rasa cintanya yang semakin dalam mendorong tindakan spontan itu semua keluar dalam dirinya yang semakin membuka sifat asli Wira yang sedikit posesif dan memiliki dominasi yang kuat mempengaruhi istrinya itu. Terkadang menakutkan, terkadang menaklukan.


Sudah sejak kembalinya mereka ke rumah tadi, tidak ada percakapan di antara keduanya, Wira yang berada di ruang televisi dan berkutat dengan Macbook-nya sedangkan Airin sedari tadi mengurung diri di dalam kamar dan hanya membaca majalah maupun buku fiksi ataupun berkutat dengan ponselnya.

Wira yang cukup khawatir karena hari menjelang sore dan Airin tidak juga keluar kamar pun segera menghampiri sang istri yang terlihat memejamkan mata saat ia datang. Wira tersenyum miring sebab telah mengetahui bahwa Airin tidak benar-benar tidur mungkin karena wanita itu sedang tidak mau berinteraksi dengan suaminya sehingga Wira pun tidak ada niatan untuk membangunkan istrinya itu.

Lelaki itu kemudian melepaskan kaus putih tangan panjang yang dikenakannya saat merasa cuaca Bali cukup panas sore itu terlebih ia juga ingin mengganti baju dengan pakaian yang lebih tipis dan dingin, namun itu semua rencana awal sebelum terlintas ide jahil di otaknya yang seperti pria pada umumnya, ia pun ikut bergabung di atas ranjang dengan istrinya dan memeluk Airin begitu erat.

Wira mengendus leher istrinya dalam dan memberikan kecupan-kecupan lembut karena hanyut dengan harum bunga mawar pada tubuh istrinya itu. “Sayang, saya tau kamu nggak tidur lho, bangun, hm.”

Cuddle Things


“Jadi ingat pertama kali kamu kayak gini itu saat saya nemanin kamu nugas kuliah. Sekarang, kamu sudah punya anak dari saya, nggak nyangka.”

Wira mengusap surai lembut perempuan yang ada di pangkuannya. Airin belakangan ini memang sedang manja padanya apalagi di sela waktu libur yang lebih panjang dari biasanya ini. Tentu saja Wira tanpa pernah berniat untuk menolak, akan selalu menuruti permintaan dari sang Puan. Wira membiarkan istrinya yang sedang mengandung itu bermanja ria sepuasnya padanya, jelas itu juga karena ia senang memanjakan sang istri.

“Mas,” panggil Airin, matanya membuka saat ia menengadah menatap suaminya. Wira menatapnya dengan nanar yang tulus. “Aku pengen bisa kayak gini sama kamu setiap hari.” Airin memeluk leher suaminya erat, membuat Wira senantiasa membalas pelukannya pada pinggang sang istri. “Tapi, aku sadar itu nggak bisa.”

“Maaf, Airin. Saya juga ingin bisa kayak begini terus sama kamu, tapi saya juga sadar saya belum bisa. Masih ada tanggung jawab saya yang harus saya jalani. Tanggung jawab saya terhadap tugas saya. Meskipun begitu, saya nggak pernah lupa sama kamu, saya sebisa mungkin akan kasih sebanyak-banyaknya cinta yang saya berikan untuk kamu, sebab saya mau kamu bisa tetap merasakan sedalam apa perasaan saya padamu Ai, walau saya tak bisa selalu bersama kamu.”

“Makasih, Mas Sayang. Aku beruntung punya kamu dan aku gak pernah nyesal bisa jadi milik kamu. Aku bakal selalu ngerti sama semua tanggung jawab kamu meskipun itu nggak mudah dan aku akan selalu jadi rumah untuk kamu pulang, Mas.”

“Terima kasih, Sayang, kamu tau, kamu adalah rumah ternyaman yang selalu ingin saya datangi tanpa batas waktu hinga akhir hayat. Saya sayang kamu, juga calon anak kita...” Wira mengusap lembut perut istrinya yang di dalamnya hidup seorang permata indah baginya, calon buah hati yang akan menjadi cahaya baru dalam kehidupan rumah tangga keduanya. “Jaga selalu diri kamu untuk saya, sebaliknya akan saya lakukan hal yang sama untukmu, Ai.”

Jemari Wira menangkup sisi wajah cantik sang istri, satu tangannya memegang erat pinggang Airin dengan sedikit mencengkram untuk merapatkan tubuh keduanya sekaligus menjaga keseimbangan sang istri di atas pelukannya. Wira menatap lamat-lamat wajah cantik itu yang perlahan semakin mendekat dengan deru napas hangat saling menerpa. Pria itu meraih ranum berwarna merah jambu itu, melumatnya perlahan tanpa tergesa, membiarkan seluruh aliran darah keduanya menyatu dan saling menghubungkan rasa cinta yang mereka miliki. Pagutan yang tanpa menuntut itu terus berlangsung, keduanya mulai meluapkan posesinya untuk saling memiliki. Suara decakan mengisi ruangan televisi ini selagi aktivitas keduanya berlangsung.

Belaian jemari lincah suaminya itu membuat Airin membuka mulutnya, membiarkan suaminya melakukan lebih dengan saling bergulat lidah dan pertukaran saliva hingga menjadi helaian-helaian benang yang tak akan terputus selama pagutan keduanya menyatu. Deru napas hangat yang memburu terus mengiringi kegiatan panas keduanya.

“Mas...” Airin melepaskan pagutan keduanya itu, sementara Wira mengernyitkan keningnya.

“Hm, ya, Sayang?” Wira mengusap bibir istrinya yang basah olehnya, ada tatapan kecewa di mata pria itu. “Kenapa?”

“Udah dulu, aku gak bisa napas.” Airin mencebikkan bibir, membuat si Lelaki hanya terkekeh pelan dan mengacak rambut Airin gemas. “Kamu suka kebiasaan, tadi sore 'kan udah. Masa aku mandi lagi?”

“Ya nggak apa-apa, Sayang, kan bareng saya nanti.” Wira tertawa kecil. “Kamu tuh lucu banget. Habis bikin saya kehilangan kendali, kamu malah bikin gemas.” Lelaki itu menyubit pipi istrinya. “Ya sudah ayo mau bobo, Sayang?”

Cuddle Things

cw // mention of kiss


“Jadi ingat pertama kali kamu kayak gini itu saat saya nemanin kamu nugas kuliah. Sekarang, kamu sudah punya anak dari saya, nggak nyangka.”

Wira mengusap surai lembut perempuan yang ada di pangkuannya. Airin belakangan ini memang sedang manja padanya apalagi di sela waktu libur yang lebih panjang dari biasanya ini. Tentu saja Wira tanpa pernah berniat untuk menolak, akan selalu menuruti permintaan dari sang Puan. Wira membiarkan istrinya yang sedang mengandung itu bermanja ria sepuasnya padanya, jelas itu juga karena ia senang memanjakan sang istri.

“Mas,” panggil Airin, matanya membuka saat ia menengadah menatap suaminya. Wira menatapnya dengan nanar yang tulus. “Aku pengen bisa kayak gini sama kamu setiap hari.” Airin memeluk leher suaminya erat, membuat Wira senantiasa membalas pelukannya pada pinggang sang istri. “Tapi, aku sadar itu nggak bisa.”

“Maaf, Airin. Saya juga ingin bisa kayak begini terus sama kamu, tapi saya juga sadar saya belum bisa. Masih ada tanggung jawab saya yang harus saya jalani. Tanggung jawab saya terhadap tugas saya. Meskipun begitu, saya nggak pernah lupa sama kamu, saya sebisa mungkin akan kasih sebanyak-banyaknya cinta yang saya berikan untuk kamu, sebab saya mau kamu bisa tetap merasakan sedalam apa perasaan saya padamu Ai, walau saya tak bisa selalu bersama kamu.”

“Makasih, Mas Sayang. Aku beruntung punya kamu dan aku gak pernah nyesal bisa jadi milik kamu. Aku bakal selalu ngerti sama semua tanggung jawab kamu meskipun itu nggak mudah dan aku akan selalu jadi rumah untuk kamu pulang, Mas.”

“Terima kasih, Sayang, kamu tau, kamu adalah rumah ternyaman yang selalu ingin saya datangi tanpa batas waktu hinga akhir hayat. Saya sayang kamu, juga calon anak kita...” Wira mengusap lembut perut istrinya yang di dalamnya hidup seorang permata indah baginya, calon buah hati yang akan menjadi cahaya baru dalam kehidupan rumah tangga keduanya. “Jaga selalu diri kamu untuk saya, sebaliknya akan saya lakukan hal yang sama untukmu, Ai.”

Jemari Wira menangkup sisi wajah cantik sang istri, satu tangannya memegang erat pinggang Airin dengan sedikit mencengkram untuk merapatkan tubuh keduanya sekaligus menjaga keseimbangan sang istri di atas pelukannya. Wira menatap lamat-lamat wajah cantik itu yang perlahan semakin mendekat dengan deru napas hangat saling menerpa. Pria itu meraih ranum berwarna merah jambu itu, melumatnya perlahan tanpa tergesa, membiarkan seluruh aliran darah keduanya menyatu dan saling menghubungkan rasa cinta yang mereka miliki. Pagutan yang tanpa menuntut itu terus berlangsung, keduanya mulai meluapkan posesinya untuk saling memiliki. Suara decakan mengisi ruangan televisi ini selagi aktivitas keduanya berlangsung.

Belaian jemari lincah suaminya itu membuat Airin membuka mulutnya, membiarkan suaminya melakukan lebih dengan saling bergulat lidah dan pertukaran saliva hingga menjadi helaian-helaian benang yang tak akan terputus selama pagutan keduanya menyatu. Deru napas hangat yang memburu terus mengiringi kegiatan panas keduanya.

“Mas...” Airin melepaskan pagutan keduanya itu, sementara Wira mengernyitkan keningnya.

“Hm, ya, Sayang?” Wira mengusap bibir istrinya yang basah olehnya, ada tatapan kecewa di mata pria itu. “Kenapa?”

“Udah dulu, aku gak bisa napas.” Airin mencebikkan bibir, membuat si Lelaki hanya terkekeh pelan dan mengacak rambut Airin gemas. “Kamu suka kebiasaan, tadi sore 'kan udah. Masa aku mandi lagi?”

“Ya nggak apa-apa, Sayang, kan bareng saya nanti.” Wira tertawa kecil. “Kamu tuh lucu banget. Habis bikin saya kehilangan kendali, kamu malah bikin gemas.” Lelaki itu menyubit pipi istrinya. “Ya sudah ayo mau bobo, Sayang?”

“Mau digendong apa sendiri? Gendong saya saja deh ya, kamu kan bayi.”

Setelah Airin mengangguk, Wira segera bangkit dari sofa dengan menggendong sang Istri di depan, ia mengecup pipi Airin gemas. Sementara Airin menelusup ke leher Wira dan memeluknya erat. “Istri saya yang manja.”


Selembut Kapas

cw// mention of kiss


“Mas bisa berhenti liatin aku kayak gitu nggak?”

Perempuan dengan mata sembab dan hidung merah itu tampak sebisa mungkin menyeka sisa tangisannya sedari tadi yang mulai mereda sejak kedatangan sosok lelaki berbadan kekar di sampingnya. Airin memang sedang tidak memiliki kondisi mental yang stabil semenjak kehamilannya, seperti sekarang ini dia baru saja berhasil mengalahkan egonya untuk membiarkan Wira masuk ke dalam kamar.

Setelah perdebatan dengan batinnya—yang menuntut agar dia terus bersikeras menahan diri untuk dekat dengan suaminya itu gagal, Airin sempat terdengar terisak dengan napas yang tersenggal-senggal. Wira enggan untuk mendekatinya lebih dekat sebelum Airin benar-benar telah menumpahkan seluruh tangisannya itu. Airin mulai mereda, barulah suaminya datang menghampiri dan bergabung dengannya di ranjang. Ia menatap Airin dengan serius tanpa berkedip, membuat sang Puan mendadak salah tingkah dan kikuk.

“Saya nggak ngerti, dalam keadaan nangis begini kamu tetap cantik.”

“Mas diem deh,” sinis Airin berusaha menghalau godaan suaminya.

“Kamu sudah nangisnya?” tanya Wira lembut. Wira menggerakan tangannya menyentuh surai wanita itu, dia melihat terlebih dahulu respon sang Puan, rupanya Airin tak bergeming. Lelaki itu pun mengusap surai wanitanya yang cantik itu. “Sudah, capek nangis terus, sini kamu boleh marah-marah, kesal, atau kalau mau luapin apapun itu ke saya boleh.”

Wira mengangkat tubuh perempuan itu dalam pangkuannya, Airin tidak banyak memberontak, dia malah langsung menyembunyikan wajahnya di dada suaminya. “Maaf.”

Wira tidak banyak berbicara, dia hanya memeluk Airin erat seraya terus membelai rambut panjang sang istri. Saat isak tangis mulai terdengar, Wira pun semakin mengeratkan pelukannya pada wanitanya itu. Dia membisikkan kata-kata manis seolah menjadi mantra-mantra yang dapat menenangkan istrinya. “Sayangku yang cantik, permata indah yang tidak akan saya temui di mana pun, kamu boleh kok cerita apa yang kamu rasain pada saya bahkan itu sifatnya wajib kalau bagi saya. Karena saya bukan seorang peramal yang bisa tau bagaimana perasaan kamu, saya manusia biasa, Airin. Mungkin jika kamu menutut saya untuk bisa selalu memahami kamu saya akan berusaha, tapi saya juga perlu kamu bicara tentang apa yang kamu mau karena saya bukan orang yang bisa menebak isi hati seseorang...”

“Kalau kamu terus kayak gini, saya bingung, tapi saya nggak pernah kesal kok sama kamu. Saya cuma sedih kalau kamu kayak gini ke saya, saya takut kalau selama ini ternyata saya emang gagal jadi suami yang baik untuk kamu. Saya minta maaf ya...” Wira merenggangkan pelukannya pada Airin, pandangannya menyorot pada mata berlinang sang Istri. “Mulai sekarang, kalau kamu ada sesuatu yang ingin kamu utarakan, tolong bilang ya? Saya nggak mau lagi kamu kayak gini, saya gak ingin kamu bersikap dingin sama saya... Bantu saya untuk jadi suami yang terbaik buat kamu ya, Ai.”

“Maafin aku, aku yang salah,” cicit Airin dengan sisa isakkannya, dia mengeratkan pelukannya pada leher suaminya. “Aku juga nggak tau kenapa aku jadi gini, aku gampang sensitif dan makin cemburuan, padahal kamu nggak ngapa-ngapain. Cuma aku gak suka aja kamu jadi pemandangan indah yang dilihat wanita lain.”

Wira tersenyum miring. “Oh, jadi akar masalahnya cemburu hm?”

“Mas!” Airin mendelik sebal, dia mendorong dada bidang lelaki itu erat dan berusaha menjauh tetapi Wira tak melepasnya begitu saja. “Udah, aku capek, mau tidur.”

“Ih kok kamu begitu? Saya masih nunggu penjelasan kamu.”

“Itu udah!”

“Belum puas.”

“Mas...”

“Iya iya maaf, saya bercanda, Sayang. Habis saya kangen kayak gini sama kamu, sudah berapa hari kamu menghindar terus? Nggak sedih lusa saya tinggal terbang lagi?” Wira mengusap wajah Airin yang basah bekas tangisannya. “Kamu emang nggak sayang saya ya?”

“Kok ngomongnya gitu?” Airin cemberut, “kamu jadi nuduh aku gitu.”

“Saya nanya, nggak nuduh...”

Wira terkikik geli, senang bisa puas menggoda istrinya yang padahal sedang sensitif itu. Beberapa hari ini Airin banyak bersikap dingin padanya, bahkan untuk memeluk saja harus menunggu wanita itu tertidur lelap. Untung saja suaminya itu punya sifat yang selembut kapas dan kesabaran yang tanpa batas menghadapi perilaku istrinya yang berubah-ubah. Dia selalu bisa mengatasi bagaimanapun perilaku istrinya padanya, tak pernah sekalipun mengeluh atau marah, sebab cintanya kalah besar pada kekasih hatinya itu.

“Ya sudah, saya nggak mau kamu makin marah karena saya godain terus. Hmm, tapi, apa boleh saya meminta dua hal sama kamu, Ai?”

“Apa?”

“Kamu harus janji sama saya untuk selalu bilang tentang apapun yang kamu rasakan, apapun isi hati kamu, dan apa yang kamu pikirkan kepada saya. Saya mohon...”

Airin mengangguk pelan. Wira pun menangkup kedua sisi wajah istrinya. “Yang kedua, malam ini saya mau kamu tidur begini di pelukan saya.” Senyuman sungging yang semakin membuat ketampanan pria itu nyaris melelehkan mata Airin, belum lagi dahi mulusnya terpampang di antara rambut belah tengahnya yang sedikit berantakan. Ketampanan yang paripurna tanpa banding milik suaminya tercinta, Prawira Nugraha. “Mau 'kan?”

“Diam artinya setuju,” tambah Wira.

Cuddlings time! Jantung Airin berdebar kencang melihat bagaimana lelaki yang entah kenapa malam ini sangat tampan itu hanya berjarak beberapa senti darinya. Wira membiarkan Airin berada di atasnya dengan membelakanginya, ia memeluk tubuh wanita itu dari belakang. Ia tidur setengah berbaring karena berusaha membuat Airin nyaman di pelukannya dengan bantal yang ditaruh di dadanya, tanpa peduli punggung yang akan terasa pegal bersandar ke kepala ranjang.

“Kamu nggak sakit badannya?” tanya Airin.

“Kamu sudah enak tidurnya?”

“Aku nanya kamu, Mas.”

Wira mengusap perut Airin penuh sayang, ada sesosok cinta yang ia nanti-nanti kehadirannya di bumi ini, calon anaknya. Ia tersenyum. “Saya yang nanya kamu, apa tidurnya sudah nyaman?”

“Sudah, Ayah!” Airin menyahut pelan sambil mengelus perutnya dan mendongak menatap suaminya.

Wira menarik dagu wanitanya sedikit. “Saya boleh cium kamu?”

Tanpa ada jawaban, Airin bergerak mengangkat kepalanya mendekat pada Wira dan meraih bibir suaminya lebih dulu. Tangan suaminya membelai wajah istrinya, begitu pun Airin yang meremas pelan rambut Wira. Dua insan yang mabuk oleh hasrat dan cinta itu saling mencumbu satu sama lain, tak ada rasa ingin kalah, pagutan keduanya berlangsung penuh harmoni. Dalam napas yang terengah-engah, Wira berbisik pada Airin. “Nggak ada yang bisa ngalahin hebatnya permainan kamu yang selalu jadi candu bagi saya. I love you.”

William Alexander Wolfed


William, aku membencimu.

Sungguh aku membencimu.

Setelah mendengar seluruh cerita yang bibi terpaksa ungkapkan padaku setelah aku kembali pulang ke rumah dan tanpa sengaja aku melihatnya yang tengah memandang foto lelaki yang tidak asing bagiku, lelaki yang pernah kau ceritakan dan kau banggakan di depanku.

Ya, Logan Wolfed.

Aku benar-benar terkejut ketika bibi mengatakan bahwa dia memang mengenal keluargamu sejak dulu, bahkan ia juga berkata bahwa dia sempat menjalin hubungan dengan ayahmu diam-diam.

Keluarga Abraham merasa dipermalukan ketika mengetahui bahwa bibi berselingkuh dengan seorang Logan Wolfed di saat paman masih ada. Meski karena rasa cintanya pada Monic paman tidak langsung menceraikannya dan memilih untuk bertahan bersama bibi hingga membuat wanita itu menyesal telah berkhianat pada lelaki sebaik pamanku. Setelah kejadian itu, bibi tidak lagi kembali ke New York dan ia merasa seperti memutuskan tali persaudaraan karena keluarga Abraham sudah banyak membencinya. Bahkan, paman dan bibi terpaksa lari meninggalkan kedua keluarganya untuk menjalani kehidupan bersama.

Paman menyembunyikan semua itu dari keluarga besarnya, Albert. Paman juga yang membuat bibi bisa kembali diterima dan dimaafkan atas kekecewaan keluarga padanya.

Setelah itu, keluargaku pun mengetahui bahwa kau rupanya menjalin hubungan dengan kakakku, Alanda. Sebetulnya mereka menyetujui hubungan kalian atas dasar urusan bisnis, meskipun kakak benar-benar mencintaimu William.

Keluarga Abraham yang sedang mengalami collapse ekonomi yang menyebabkan perusahaan kami hampir bangkrut. Namun, dengan baik hatinya atas dasar rasa bersalah pula, ayahmu membantu keluargaku dan menjalin kerja sama perusahaan cukup lama.

Dengan bodohnya, keluargaku malah memanfaatkan itu semua dan membuat rencana picik yang bahkan tidak ingin aku maafkan.

Selama kau menjalin hubungan dengan Alanda, rupanya kakakku pun menjalin hubungan dengan anak dari rekan bisnis papa yang berasal dari keluarga Leonardo. Ya, dia Jefferey Leonardo.

Aku kini mengerti mengapa kau sebenci itu dengan keluargaku dan juga lelaki bajingan itu, karena aku pun merasakan rasa sakit yang kau alami selama ini. Mereka diam-diam menjalin hubungan ketika kau yang sangat mencintai Alanda berniat untuk segera mempersuntingnya.

Semua terungkap setelah kau hendak melamarnya, bukan?

Saat kau dan Alanda hendak berlibur ke Hawaii selama satu minggu lamanya. Namun, tiba-tiba di malam yang sudah kau rencanakan menjadi malam yang akan panjang bagimu, kedatangan dua orang polisi yang menangkapmu datang karena Alanda telah melaporkanmu atas tuduhan penculikan dan pelecehan seksual. Benar-benar perempuan brengsek.

Dalam malam itu, kau hanya melihat Alanda menangis tanpa membelamu, dia bukan lagi seperti seorang Alanda yang kau cintai selama ini. Dan, entah mengapa Alanda begitu pintarnya mengumpulkan semua bukti yang akhirnya menyeretmu ke dalam penjara.

Itu semakin terbukti ketika terdapat bukti hasil USG dan surat DNA yang menyatakan bahwa ia sedang hamil anakmu dan hasil visum dari beberapa bagian tubuhnya memang sesuai denganmu. Tak ada yang membelamu dari keluargaku, mereka seolah-olah sangat kecewa padamu padahal mereka yang juga ikut merancang semua ini.

Aku tahu ini benar-benar sakit. Begitu sakit sampai akhirnya kau merasa tak ingin hidup lagi.

Apalagi setelah kau mengetahui kenyataan bahwa Jefferey, seseorang yang juga kau kenal rupanya menjalin hubungan diam-diam dengan mantan kekasihmu. Dan, anak yang dikandung oleh Alanda ialah anaknya.

Itu membuatmu hampir gila, tetapi Logan selalu membersamaimu dan menguatkanmu. Bibi pun diam-diam masih membantu Logan dan sering mengunjungimu karena dia pun tidak percaya akan kejinya keluarga Abraham padamu. Dia membantu Logan dan membersamai kalian. Logan selalu berusaha melakukan berbagai cara untuk dapat membantumu keluar dari jeruji besi itu, hingga akhirnya dua tahun berlangsung kau berhasil bebas dari penjara.

Belum sempat membalaskan semua dendam yang kau punya dengan segala kepedihan serta kemarahan yang membuncah, tiba-tiba saja duniamu nyaris runtuh. Seseorang yang telah menjaga dan memperjuangkan kebebasanmu, Logan, ayahmu meninggal karena serangan jantung. Itu semua pasti membuat hidupmu berubah 180 derajat. Di usia muda kau harus bekerja keras menyelamatkan dan membangun perusahaan yang telah dititipkan ayahmu, kau pindah ke New York untuk memulai hidupmu yang baru. Meninggalkan semua luka yang membekas di benakmu, membersihkan nama baikmu dengan pencapaian yang kau dapat selanjutnya di usia muda.

John yang semula dikatakan akan mendampingimu, rupanya ikut berkhianat dengan menggelapkan uang perusahaan sehingga keuangan perusahaanmu banyak merugi. Dan dengan orang-orang hebat yang mendampingimu hingga saat ini, kau berhasil menjadi CEO perusahaan besar yang makmur di usiamu yang menginjak kepala tiga.

Kau hidup dalam dendam yang membalut, rasa yang telah mati, dan kesendirian yang menyepi. Tak pernah kau menunjukkan semua itu bak kau adalah seorang paling angkuh yang tidak takut dengan apapun.

Nyatanya, tidak pernah ada perempuan yang menjalin hubungan denganmu lagi, hingga kau bertemu dengan seorang Vanessa Eleanor, kau menyukainya tetapi dia hanya menganggapmu tak lebih dari sekadar teman. Kau tidak ingin kehilangannya karena ia satu-satunya perempuan yang menyadarkanmu bahwa masih ada perempuan yang tulus di luar sana, tidak seperti Arasha dan ibumu.

Rupanya kini Vanessa telah bertunangan dengan Jefferey.

Kau benar-benar seperti tak diizinkan Tuhan untuk bahagia, ini menyaktikanku, William.

Kenapa kau membohongiku atas segala hal? Kau menutupi semua ini dariku? Tak pernah kau memberikan penjelasan padaku yang sejelah-jelasnya, aku tidak tahu apa-apa seperti orang bodoh.

Sampai detik ini, aku masih seorang Arasha Wolfed, bukan lagi bagian dari Abraham. Aku adalah istri sahmu. Aku ingin sekali bisa memelukmu, Wolfed. Aku ingin berbisik bahwa kau masih memilikiku, sampai kapanpun, aku mencintaimu, sungguh.

Aku terdiam dalam tangis. Tangisku sudah tidak bersuara. Ini menyakitkan, sungguh menyakitkan.

Kukira aku kedatanganku mengunjungi kota kita, New York, akan berakhir dengan aku memelukmu dengan segala cinta dan tangis yang menyatu. Akan kubawa kau pergi jauh dari kejamnya dunia ini, aku ingin melindungimu, memelukmu, dan aku merindukan ciumanmu yang akan membuat kita berakhir berantakan setiap kali kau melakukannya.

Tapi kenapa kau memilih untuk pergi meninggalkanku?

Meninggalkanku menangis sendirian seraya memeluk batu nisanmu, membuat tubuhku kotor dan menjijikan, aku berantakan dan kacau. Tapi kali ini aku tidak lagi bisa mendengar cacianmu serta hinaanmu yang tentu akan berkata “Kau sangat jelek dan kumuh, menjijikan!” lalu kau tetap memelukku dengan erat meskipun begitu.

William Wolfed, Kau tenang saja, aku tidak akan membiarkan orang-orang yang menjahatimu hidup tenang. Aku akan bangkit dengan sebagian darahmu yang kini mengalir dalam tubuhku.

Aku hamil. Kau sebentar lagi, akan menjadi bapak. Usia kehamilanku sudah dua bulan. Seharusnya aku memberi tahu ini saat kau datang. Ini benar-benar menyakitkan.

Aku benar-benar menangis pilu.

Mengapa dunia begitu jahat pada kita?

Dunia begitu kejam sehingga kau menjadi buas. Tidak ingin menunjukkan kelemahanmu pada dunia, bukan begitu Wolfed?

Terima kasih, terima kasih atas segala yang kau lakukan untukku. Satu tahun mengenalmu banyak menyimpan cerita yang tak kuduga dan membuat segudang tanya timbul dalam benakku hingga kini sampai detik aku masih terdiam di ruanganmu memandang foto gagahmu dengan tatapan tajam itu—yang akan selalu kurindu.

Selamat jalan, Wolfed. Akan kusimpan semua cerita ini dan kuceritakan pada anak kita betapa hebatnya sang Ayah yang menghadapi kejamnya dunia. Anak kita tak akan kalah hebat dengan sang Ayah, bukan?

Dapatkan kita bertemu di kehidupan selanjutnya?


Bandung dan Kehangatan

cw// dirty talks, mention of kiss


Rasanya sudah hampir tiga tahun Airin tidak datang menginjak Kota Kembang ini. Sekarang sekalinya dia datang lagi untuk berlibur ke sini, cukup kaget dan perlu menyesuaikan lagi tentang dinginnya kota ini. Ya terang saja karena selama berada di Bandung, dia menginap di rumah Ibu yang berada di kawasan kota yang hijau dan sejuk. Jalanan depan rumah yang tidak banyak orang berlalu lalang membuat kenyamanan tercipta, belum lagi pepohonan tinggi menjulang di sisi jalannya.

Rumah Mas Wira dan Ibu yang ada di Bandung terletak di daerah Dago, tidak tepat di bagian atasnya tetapi masih mengarah ke tengah kota. Airin datang kesini untuk mengunjungi mertuanya bersama sang Anak, mama, dan Ramzy. Jadi suasana rumah saat itu begitu ramai, belum lagi ada tante Mirna dan Mahesa yang menginap juga. Setelah menghabiskan waktu bersama-sama dengan berbincang keluarga, Airin terlebih dahulu masuk ke dalam kamar untuk menyusui anaknya, sedangkan Wira masih duduk di luar bersama ibu dan mertuanya berbeda dengan Ramzy dan Mahesa yang rupanya juga sedang asik main game bersama via online mengingat jarak usia keduanya hanya terpaut dua tahun.

Beruntungnya setelah menginjak usia satu tahun, entah mengapa Sena sudah tidak terlalu banyak menangis kecuali jika ia ingin minum atau hendak tidur seperti sekarang ini, jadi Airin menemani sekaligus menyusui anaknya terlebih dahulu. Suasana malam itu memang sangat dingin, sekarang Bandung benar-benar dingin. Airin yang memakai piyama satin tipis pun merasa sangat kedinginan.

Dia pun menarik selimut sebatas pinggang untuk menutupi tubuh bagian bawahnya seraya menepuk dan mengusap lembut sang Anak dalam pelukannya Airin memejamkan matanya perlahan hingga ia kembali terbangun dengan suara ketukan pintu yang terdengar halus. “Sayang, saya boleh masuk?”

Airin tersenyum mendengar suara berat yang sudah sangat tak asing di telinganya, “boleh.”

“Sayang, Sena sudah tidur?” tanya Wira saat ia melangkah masuk ke dalam setelah mengunci pintu kamarnya. Dia melepaskan jaket yang semula dikenakannya dan mendekati ranjang. “Ai, kamu kedinginan ya? Bawa jaket nggak?”

Airin menggeleng. “Jujur aku bener-bener lupa, Mas.”

“Loh, saya sudah ingatkan kamu, perasaan sudah saya taruh di atas ranjang waktu kamu lagi siapkan baju.” Wira mengerutkan keningnya bingung, dia duduk di samping istrinya dan mengusap rambut Airin. “Kok bisa lupa? Di Bandung sama Jakarta beda loh, Ai, ini apalagi di tengah kota daerah atas.”

“Iya, Mas, maaf, aku teledor. Aku malah fokus bawain peralatan Sena, takut ada yang ketinggalan, ini makanya dia aku pakein baju hangat.”

“Duh, Sayang,” Wira membelai wajah istrinya, “Ini kamu pake jaket saya ya, pake dulu.” Kata Wira dengan nada suara yang lebih rendah lagi ketika menyadari anaknya sudah tertidur lelap dalam pelukan istrinya.

“Mas sebentar, aku mau pindahin Sena dulu, udah bobo.”

Wira mengangguk pelan, dia membantu merapikan baju istrinya dan mengancingkannya, sementara Airin tampak fokus memastikan sang Anak tidak kedinginan lalu ia memindahkan Sena di sampingnya. Setelah menyelimuti dan mencium Sena yang sudah terlelap, Airin memandang suaminya di sampingnya.

“Mas, aku lupa kalau Bandung emang sedingin itu…”

Wira hanya terkekeh pelan. Dia membelai rambut Airin penuh kasih lalu memakaikan jaket miliknya untuk menghangatkan sang Istri. “Ya memang, Sayang. Maka dari itu kamu perlu saya untuk menghangatkan kamu.”

“Mas… kok gimana gitu ya bahasanya?” Airin bersemu menahan tawa.

Wira terkekeh pelan. Rambut panjangnya itu ia sugar ke belakang. Dahi mulusnya terpampang yang menjadi ketampanan paripurna semakin menguar dalam diri lelaki itu. Dia tampak tidak kedinginan dengan hanya mengenakan kaus putih polos yang membentuk dada bidangnya itu.

“Mas kamu nggak dingin?” tanya Airin.

“Nggak, Sayang, sudah biasa. Ini saya sudah hafal gimana udara di kamar ini.” Dia tersenyum sambil menatap istrinya. “Kamu sudah ngantuk belum?”

Airin menggeleng.

Wira tersenyum tipis. “Kamu nggak lagi pura-pura 'kan? Soalnya mata kamu sudah kayak ngantuk begitu.”

“Ngantuk sih… tapi aku masih pengen sama kamu.”

“Ya sudah sekarang gantian deh, kamu yang saya tidurin ya … eh bukan, maksud saya—” dia menahan tawa melihat senyuman Airin yang seolah salah memahami arti perkataannya. Wira yang salah tingkah sendiri langsung mengangkat tubuh istrinya berpindah ke sofa yang ada di dekat televisi. “Kamu tuh emang suka gitu ya, pikirannya kemana aja.”

“Kok aku sih, Mas?” Airin cemberut kala pandangannya bertemu dengan Wira. Ia menikmati saat ia mulai duduk di pangkuan suaminya dalam sofa single empuk yang membuatnya bisa berjarak lebih dekat dengan suaminya. “Kamu sendiri yang ngomongnya gitu, aku 'kan jadi ambigu…”

“Hmm gitu ya?” Wira memamerkan senyuman tipisnya yang menggoda itu, membuat Airin menahan senyumannya.

“Mas, kamu kenapa ganteng banget sih? Aku jujur deh, aku suka nggak tahan kalo liat kamu, aku selalu pengen kayak makan kamu gituu… gemes.” Airin menggertakkan giginya gemas seraya terus menyugar rambut suaminya ke belakang dengan jemari lentiknya. “Apalagi kalau rambut kamu udah berantakan terus aku paling suka juga rambut kamu yang kelihatan dahi. Meski aku selalu suka kamu diapain aja cuma aku suka kamu kayak gini, ganteng banget.”

Wira menikmati sentuhan Airin di rambut dan wajahnya seraya memejamkan matanya dengan senyuman miring. “Kamu boleh apain saya sesuka hati kok, Sayang. Soalnya saya kalau udah diginiin kamu nggak bisa respon apa-apa, ini kalau saya lilin mungkin udah meleleh jadinya. Kamu coba rasain jantung saya berdebarnya bukan main tiap kamu kayak gitu, mulut kamu itu memang manis ya!”

“Oh ya, Mas, kenapa sih setiap aku minta apapun kamu tetap kasih? Meski yang aneh-aneh sekalipun?”

“Demi cinta, Airin.”

“Demi aku apa demi cinta?”

Tangan Wira yang sejak semula sudah menyusup ke dalam piyama Airin untuk membelai pinggang istrinya kini menarik Airin mendekat. Matanya begitu tajam menyorot Airin, membuat perempuan itu terkejut dan menarik rambut suaminya. Wira tersenyum smirk dan langsung meraih ciumannya secara perlahan. Hanya sejenak sampai dia memberi kecupan singkat. “Jangan main-main, saya lakuin apapun ke kamu karena saya cinta kamu, Ai.”

“Kamu… galak banget.”

“Kamu yang bilang kalau kamu suka dan minta saya kasarin lagi, kasar dalam artian…” Wira masih dengan tatapan nakalnya.

“Kamu beneran bikin aku gila tau! Jangan natap aku kayak gitu, Mas!”

“Kamu mau apapun saya kasih, Ai, asal yang realistis ya!”

“Oke kalo yang waktu itu berarti masih terbilang realistis ya, Mas?”

Wira mengerutkan keningnya bingung. “Apa?”

“Yang gara-gara aku ngidam pengen car se—”

Wira segera menutup mulut istrinya dengan wajahnya yang merah padam. Matanya terbelalak. “Sayang, demi Tuhan itu nggak usah kamu inget-inget… Saya hampir lupa dan malu jika inget itu.”

“Mas ih seru tau, aku aja mau lagi…”

“Sayang… jangan ya, duh kita lagi nggak di rumah, jangan aneh-aneh kamu.” Wira menahan senyumannya seraya menyentuh hidung mancung Airin. “Jujur saya sendiri kaget kamu ngidamnya begitu, kayaknya ibu hamil yang begitu hanya kamu aja deh ya?”

“Tapi kamu turutin!” seru Airin. “Kamu jangan ngeledek aku aja ya, kalo kamu lupa, nih aku ingetin kamu setelah itu 'kan minta juga buat aku—”

No! Sayang, please ya? Saya malu…” Wira menggeleng dengan mulutnya yang ditutupi sebagian jarinya. Menahan malu.

“Emangnya kamu minta apa?” Airin yang tampak mulai menikmati semakin ingin menggoda suaminya.

“Ai, please, saya malu ingetnya… hm, kamu tuh seneng banget ya godain saya kayak gitu.” Wira menarik Airin ke dalam pelukannya dan menggit pipi perempuan itu gemas.

“Mas, sakit!” pekik Airin pelan.

“Ssttt, jangan berisik kita, takut Sena bangun,” ujar Airin kala melihat Sena tampak bergerak di ranjangnya.

“Kamu habisnya godain saya terus.”

“Emang nggak suka?”

“Suka.”

“Kamu tuh ya!”

“Saya suka gemes kalau kamu kayak gini tuh,” ujar Wira. Airin tersenyum nakal seraya mencium bibir bagian atas suaminya, dia memandangi kumis tipis milik Wira dan menyentuhnya. “Kamu mau saya cukur kumis lagi?”

“Ini belum panjang, masih tipis. Aku suka.”

“Saya juga suka kamu.”

Mata keduanya terus bertemu dan saling menatap sayu dengan senyuman yang tak pernah lepas dari pandangan satu sama lainnya.

“Kamu tuh nagih banget, Ai.”

“Mas, apaan sih kok tiba-tiba?” Airin bersemu merah.

“Kamu tau saya bukan orang yang mudah tergoda,” ujar Wira. “Tapi kamu bisa dalam satu tatapan mata meruntuhkan dunia saya, asal kamu tau.”

“Itu alasannya kamu selalu mau setiap saat?”

“Sayang…” Wira memicingkan mata, “nggak setiap saat juga, ya ampun saya nggak kayak gitu ya! Saya juga tau waktu, saya cinta kamu bukan soal itu saja!”

“Iya mas iyaa aku percaya, aku bercanda tau tapi.. kamu juga kok.” Airin menangkup wajah suaminya itu. “Nagih.”

“Kamu itu kayaknya memang makhluk favorit Tuhan ya? Saya belum nemu kurangnya.” Wira mengusap lengan Airin dari atas hingga telapak tangan wanita itu ia raih. “Pantas saja banyak yang menginginkan kamu, beruntung kamu maunya sama saya.”

“Kalau aku sama orang lain kamu gimana?”

“Ya nggak gimana-gimana.”

“Kok gitu sih?”

“Ya, orang kamunya nggak mau sama saya, saya bisa apa?” Wira berujar lembut, jemarinya masih betah bermain dengan jemari Airin. “Saya sedih pasti, tapi ya kamu bahagia, saya pun bahagia.”

“Nanti kamu sama si pramugari itu lagi?”

“Ya tidak tau, tidak kepikiran sama siapapun selain kamu, sungguh.”

“Kalo gitu, seharusnya aku yang bilang ke kamu kalau kamu yang pasti makhluk favorit Tuhan. Aku rasa Tuhan ciptain kamu untuk jadi satu di antara kesayangannya, kamu nggak ada minusnya, Mas.”

“Kita semua makhluk kesayangan-Nya, Ai.”

“Kamu tuh, Mas, entah kenapa bisa dikirimkan untuk aku yang bukan perempuan baik-baik. Kita kayak surga dan neraka. Aku aja sampe nggak nyangka bisa jadi istri kamu.”

“Hus, kamu bicaranya kok gitu? Saya nggak sesempurna itu, Ai, saya juga manusia biasa yang banyak kurangnya. Hanya mungkin kekurangan yang saya punya sudah banyak kamu lengkapi. Hidup saya sekarang jadi jauh lebih baik dari sebelumnya.”

“Mas, kalau seandainya aku bisa kasih seisi dunia ke kamu, aku pasti kasih dunia dan seisinya serta semua kebaikan untuk kamu. Aku nggak tau gimana cara balas semua kebaikan kamu ke aku…”

“Kamu ada di samping saya, itu sudah anugerah terindah dan terbaik Tuhan untuk saya, Ai. Saya cinta kamu, sangat.”

“Mas…”

Airin menghamburkan pelukan hangat pada suaminya, kepalanya menelusup ke dalam dada bidang berusaha mencari tempat ternyaman di sana dan menghirup aroma maskulin Wira yang menguar semakin pekat di hidungnya. Tempat ternyaman Airin untuk beristirahat sejenak dan sebanyak-banyaknya meraih cinta yang diberikan oleh Wira, tanpa ingin sedikit pun menyia-nyiakan itu. Wira memeluk tubuhnya tak kalah erat, ia mengendus aroma tubuh Airin di leher jenjang sang Istri, perlahan mengecupnya dengan lembut tanpa ingin berhenti.

I love you, Sayang.”

Love you more, Mas.”