winwincure

“You didn't sleep, right?

“I can't.”

“We shouldn't to.”

“Oh, why?”

Senyuman sosok dingin itu mengembang tipis, Alzane Valerio, lelaki dengan setelah kaos putih dengan celana jeans panjang itu mengangkat pandangannya—menatap sosok yang hari ini sudah menjadi miliknya selamanya. Alzane tidak pernah menyangka berhasil menikahi seorang gadis yang ia cintai, Aletta Herbert, kekasihnya sendiri. Aletta tampak terdiam di tepi ranjang seraya memandang bingung pada Alzane, keduanya tidak seperti biasanya—mereka tampak kikuk.

“Aletta,” suara Alzane yang halus bahkan hampir tidak terdengar di telinga Aletta membuat gadis itu terkejut sedikit kemudian menoleh melihat pria tampan itu menghampirinya. Alzane mendaratkan bokongnya di sampingnya, memeluk erat leher Aletta setengah mencekik dengan lengan besarnya. Dia membawa Aletta ke dadanya, “Kamu malu, hm?”

Aletta tersipu, sekujur tubuhnya mendadak tegang, gemetaran. Kini yang dia bisa lakukan hanya meremas piyama satin pink yang dikenakannya. Hembusan napas Alzane menari di belakang telinganya, itu terasa panas membuat Aletta merinding.

“Kita bukan sepasang kekasih yang terpaksa menikah, kan? We do this for complete our love story, Sayang.”

Alzane merengkuh pinggang Aletta meskipun gadis di sampingnya masih menunduk karena malu, tapi itu membuat Alzane gemas melihatnya, dia menepuk kepala Aletta lembut dan mengusapnya. “Aletta, look at me, please?”

Aletta perlahan mendongak, memberanikan diri melihat sosok suaminya yang kini ada di hadapannya, dia tidak bisa tahan mengagumi ketampanan sosok Alzane. Rahangnya yang tegas, bibirnya merah merona, kumis tipis, dan rambut dikebelakangkan—menampilkan jidat mulusnya yang semakin menambah ketampanannya.

Alzane menarik tangan halus istrinya untuk menyentuh permukaan wajahnya, “kamu suka natap aku lama-lama?”

Aletta tersenyum tertahan, dia mengangguk, tangannya yang semula dituntun untuk menyentuh wajah Alzane kini bergerak dengan sendirinya tanpa komando. “Sekarang, kamu bisa natap aku selama yang kamu mau.”

Alzane tersenyum dengan wajahnya yang dingin, rambut hitamnya jatuh saat dia sedikit menunduk mendekati Aletta. “Aletta, kamu selalu cantik.”

Aletta mengerutkan hidungnya meledek dengan kekehan, sementara Alzane masih menatapnya dengan sorot mata lekat, tatapannya dingin. “You trying to flirt with me, but I'm sorry it's doesn't work, Zane.”

Alzane menyeringai, “Ok, you can't kiss me if it doesn't work for you.”

Aletta mengedikan bahunya, memutar bola matanya ke arah lain—yang terpenting dia tidak bisa melihat seringaian Alzane saat ini. Alzane mengangkat perlahan Aletta dalam gendongannya, wanita itu jelas terkejut karena tindakan suaminya yang tidak ada aba-aba. Mereka menjatuhkan diri di sofa—tepatnya Aletta kini terjatuh di atas tubuh Alzane.

“Alzane!”

“Hm?” Alzane membenarkan posisi duduknya tanpa melepaskan Aletta di pangkuannya, dia merapikan rambut berantakan Aletta yang menghalangi wajahnya, matanya melirik ikat rambut hitam di pergelangan tangan istrinya. Ia meraihnya kemudian menatap Aletta sebentar sebelum dengan telaten dia mengikat rambut panjang istrinya agar tidak menghalangi lagi. “I wanna see your bareface, cause I love it.”

Aletta memajukan wajahnya, tangannya bergerak menyugar rambut suaminya ke belakang, “like this?”

“Terlalu deket.”

Alzane mengeratkan pelukannya pada pinggang sang istri, Aletta tidak menghiraukan dengan perubahan tatapan suaminya yang rrrr— sulit dijelaskan. Napasnya menggebu, matanya tidak bisa berhenti memandangi wanita di atasnya, dan matanya menggelap.

“Aletta.”

“Hmm, yes baby?”

Alzane menyeringai, “Kiss me darling.”

“I beg you to kiss me first, Al.”

“First, your turn.”

Aletta memandang Alzane sejenak, perlahan tapi pasti dia memajukan tubuhnya—semakin mencondongkan itu untuk meraih bibir kekasihnya. Aletta mencium bibir Alzane lembut, dia hanya memberi kecupan-kecupan seraya memejamkan matanya tanpa ingin melihat bagaimana sosok Alzane yang masih menatapnya. Alzane tidak ingin membiarkan kesempatannya menikmati wajah Aletta yang mempesona saat menciumnya itu lepas begitu saja.

Aletta menggigit bibir bawah Alzane, suaminya meringis pelan namun dia terus membiarkan Aletta yang kini meremas sedikit mengacak rambut Alzane sampai akhirnya wanita itu melepaskan ciumannya setelah tersadar bahwa dia di luar kendalinya.

“You like it?” Alzane menyeringai dengan bibirnya yang ranum dan basah.

Aletta mengusap bibirnya sendiri, menatap Alzane dengan mata kucing yang membuat lelaki itu gemas padanya. “Sorryy, beyond my control.”

“So let's lost your control, Sweetheart. I love you look like this.”

“Alzane jangan ngeledek aku!”

“Enggak ngeledek,” ucap Alzane, dia mengusap wajah Aletta. “Okay, Love, it's my turn, isn't?”

“You scared me,”

Dengan satu gerakan tangan besar Alzane menarik tengkuk Aletta mendekat, lelaki itu mencium bibir Aletta lembut mulanya. Dia membiarkan Aletta memegang lehernya dan sesekali meremas rambutnya—demi menyalurkan kenikmatan yang diberikan Alzane.

Alzane menyesap bibir bawah Aletta, membuat wanita itu mengerang pelan, Alzane menyeringai melihatnya. “Ini belum seberapa, Aletta.”

Ciuman yang diberikan Alzane semakin menuntut, ia menggigit bibir bawah Aletta meminta akses untuk lidahnya bertemu dengan milik Aletta—demi memperdalam ciumannya. Alzane sudah mabuk akan permainannya sendiri. French kiss yang diberikannya membuat Aletta sesekali mengeluarkan suara yang membangkitkan libido Alzane. Tangan lelaki itu semakin bergerak menggerayangi tubuh Aletta dan mengusapnya lembut.

“Ouuh..” Aletta membuka mulutnya setelah Alzane melepaskan ciumannya dan turun mengecup leher wanita itu—yang menjadi titik sensitif umumnya seorang wanita. Alzane terus menggoda Aletta dengan lidahnya yang naik turun di sekitar leher jenjang wanitanya. “Zane, please...”

Alzane menjauhkan dirinya sebentar, menatap Aletta dengan mata menggelap, tangannya sudah memegang kancing baju wanita itu. “Just do it.”

Alzane tersenyum kecil dan melepaskan kancing piyama tidur Aletta—membukanya dengan lembut tanpa ingin menyiksa wanitanya namun kemudian melemparkannya asal. Ia menyeringai melihat Aletta yang setengah naked, dia pun bangkit dengan Aletta digendongannya.

Alzane menjatuhkan wanita itu di atas ranjang, Aletta menatapnya dan menggigit jarinya karena gugup tetapi sialnya itu malah membuat Alzane seolah semakin tidak sabar. “Stop flirting me, Aletta.”

Alzane melepaskan kaos oblongnya, dia menyugar rambutnya kebelakang setelah melempar asal kaosnya ke sembarang tempat. Aletta terkesima di bawahnya, “sexy.”

“Of course, you like it?”

“I like you.”

“Aletta, are you ready for give it to me? Kalau belum mau, kita bisa berhenti sampai di sini.” Alzane berbisik dengan nada rendah.

Aletta memeluk leher Alzane erat dan mengendus pipinya seraya berbisik pelan, “we go slow.”

“then hard.”

Aletta mencebikkan bibirnya, “Alzane, takut.”

“Step by step, nggak langsung kok, jadi gak akan sakit.”

Aletta tertawa, “kamu udah ahli banget?”

Alzane menaikkan alisnya dan menyeringai, “jelas.” Dia lalu kembali mengulum bibir sang istri sebelum berkata, “Just shut up.”

Aletta merasakan gelenyar aneh saat Alzane menciumi hampir seluruh bagian tubuhnya, bahkan sekarang tangan lelaki itu bergerak melepaskan underwear wanitanya sampai kini tubuh Aletta polos.

“I swear to God that you're one of the most favorite creatures which made just for me, Aletta.”

Aletta tersipu malu, dia hendak menarik selimut tapi Alzane menahan. “Don't cover it, your body is perfect. Biarin aku liat semuanya, okay?”

Tangan Alzane mulai meraba bagian sensitif Aletta di bagian atas sedangkan bibirnya terus mencium sekaligus membungkam suara yang keluar dari bibir Aletta.

“Al—zane, uh.”

“Yes, please, lemme hear your beautiful voice.” bisik Alzane, ciumannya turun di dada sang istri sedangkan tangannya naik meremas leher dan menekannya setengah mencekik.

“Ahh, Zane,”

Alzane merenggangkan cekikannya pada leher Aletta, dia masih fokus dalam permainannya saat ini, membiarkan goresan kuku Aletta membekas di punggungnya.

“Damn,”

“Euh, don't choke me,” Aletta terengah, “but I love it.”

“Maaf,” Alzane terkekeh dan melepaskan cekikannya, dia mencium Aletta lagi. “Kamu suka?”

“Kamu mau bunuh aku ya?”

Wanita itu cemberut, melihat kekehan Alzane sedikit membuatnya lega dengan napasnya yang kembali teratur.

Alzane pun kembali mengencangkan pegangannya pada aset sang istri, membuat Aletta membuka mulutnya dan menggigit lengan suaminya. “Alzane, ah, please uh stop!”

Belum puas melihat Aletta tersiksa, tangan Alzane turun ke bawah, mulai memainkan jari-jari handalnya untuk sang istri.

“Alzane...” Aletta memegang erat lengan lelaki itu dan menahan suaranya dengan mata yang terpejam.

Alzane terus bermain dan mencoba memasukki lembah yang masih sulit ia tembus. Sesuatu di bawah dirinya sudah ingin terlepas dari kurungan saat melihat Aletta yang dengan begitu cantik tampak tersiksa di bawahnya. “You're fuckin great, Aletta.”

“Damn, Al, eungh—a little bit faster, please...”

“Beggin me.”

“Alzane,” Aletta susah payah membuka matanya, dia kemudian mencium Alzane sejenak. “Please...”

“As you wish, darling.”

“I wanna cum....”

Alzane mempercepat tempo permainannya dan terus memutar jarinya di bawah sana sampai tubuh Aletta gemetaran karena hampir mencapai pelepasannya sebelum lelaki itu menarik tangannya dan menjauhkan diri—menyaksikan sejenak Aletta menatapnya kecewa dan tersiksa dengan mata kucing.

“Not yet, Darling.”

Alzane bangkit membuka gesper celananya dan melepaskan semua yang mencoba mengurung sesuatu yang sudah tidak bisa lagi tertahan dalam dirinya. Aletta tersentak melihat sosok itu yang kini polos dan mendekatkan kepalanya pada bagian bawah dirinya.

Ya, tidak sampai di situ, Alzane terus menggoda titik sensitif Aletta yang sudah siap untuk melepaskan semua yang menjerat dirinya.

“I... I wanna cum,”

“Wait,” Alzane kembali bertumpu di atas Aletta, dia menatap mata Aletta sejenak dan mencium wanitanya lama. “May I?”

“Please, now.”

Alzane mengambil posisinya, dia menatap Aletta yang ada di bawahnya saat ia akan menerobos masuk. “What do you want after we're done?”

“Anything—ah, Zane...”

“Apa yang kamu mau?”

“Pasta.”

Alzane masih mengajak Aletta berbicara saat ia sedang berusaha masuk, ia ingin mengalihkan rasa sakit istrinya sementara, wanitanya tampak meringis dan meremas kuat pundak lelaki itu. “Pasta doang?”

“Di hotel ini banyak makanan kok, tenang aja,” ujar Alzane dengan napas terengah.

“Shut up, please move now,” protes Aletta.

Alzane menggeram kuat, dia menerobos masuk semakin dalam membiarkan Aletta menggaruk punggungnya untuk menyalurkan rasa sakit yang dia rasakan. “Hei, are you okay, huh?”

“I'm okay,”

“Maaf, ini sakitnya hanya sementara.”

Alzane pun mulai bergerak maju dan mundur memegang leher Aletta seolah memegang kendali permainan kali ini. Wanita di bawahnya memejamkan matanya kuat dan sesekali meringis juga bersuara yang akan membangkitkan libido Alzane lebih.

“Choke me.” Aletta menatap Alzane dengan mata berbinar.

Alzane memejamkan matanya, mencekik Aletta agar kenikmatan yang dia rasakan bisa tersalurkan apalagi saat melihat penampilan Aletta sekarang, he can't hold this anymore.

“So thight, babe.”

“Ah,” geram Alzane.

“I'll cum, Alzane.”

Alzane menaikkan tempo permainannya mengikuti naluri lelakinya yang semakin tak terkontrol sekarang, dia menggeram kuat sambil menatap Aletta yang terus meneriakkan namanya. “Alzane, uh, Zane—Oh, fuck!”

“Ya like that, I love it.”

“Oh baby, ohh....”

“Aletta, ah fuck! I'll cum!”

“I'm close!”

“Together, Love!”

Keduanya pun melakukan pelepasan bersamaan, Alzane menyugar rambutnya yang basah karena keringat, tubuh Aletta gemetar menerima sesuatu hangat yang meleleh di dalam miliknya.

“Ah, damn, Aletta...”

Alzane mengepalkan tangannya sebagai tumpuan tubuhnya yang berada di atas wanita itu. Alzane menarik kedua sisi bibirnya membentuk senyuman yang lebih terlihat seringaian menggoda di mata Aletta yang sedang lelah. “You're so beautiful, Aletta.”

Alzane berbaring di samping istrinya dan memeluk Aletta seraya mengusap peluh di dahi wanitanya—yang masih berusaha mengatur napasnya. “Thank you, Love.”

Aletta menatap Alzane sinis dan melepaskan tangan lelaki itu, membuat Alzane ingin menggodanya lagi. “Nanti kita coba yang lebih ekstrem. It was the usual way, kita coba selanjutnya in my way okay?”

“Alzane!”

“Hahaha, sini sini,” ucap Alzane.

Ia meraih tubuh istrinya dan memeluknya erat, mengecup dahi Aletta lama seraya berbisik pelan. “I love you, Mrs. Valencio.”

“Aletta...”

Alzane baru saja memasukki kamar setelah ia tidak mendapatkan sahutan Aletta saat dia pulang kerja barusan, lelaki itu kemudian langsung menyusul istrinya ke kamar dan mendapati Aletta sedang tertidur lelap di sofa.

Alzane tersenyum tipis, ia beralih melepaskan kemeja flanel yang dikenakannya tadi juga melepaskan gesper celana jeans hitamnya. Lelaki itu beranjak menghampiri Aletta yang memegang ponsel di atas dada.

“Kamu ngapain sih sampe ketiduran gini?”

Alzane terkekeh pelan, dia duduk di ruang sempit sofa itu seraya memandangi istrinya yang terlelap nyenyak. Ia juga merapikan rambut Aletta yang berantakan sebelum menepuk pipi wanitanya itu lembut. “Aletta, bangun yuk.”

“Eungh,” Aletta menepis tangan Alzane dan mengubah posisi tidurnya memunggungi lelaki itu, tampaknya dia sudah sangat nyenyak.

“Hei, pindah yuk tidurnya?” Alzane menepuk pipi Aletta pelan, namun tidak ada respon, akhirnya lelaki itu berbisik. “Yaudah, aku gendong ya kita pindah.”

Tanpa terbebani Alzane mengangkat tubuh Aletta ala bridal-style, sontak Aletta langsung terusik dan membuka matanya, menatap suaminya yang tersenyum samar padanya. Wanita itu masih memeluk leher Alzane dan pandangannya masih kabur.

“Kamu udah pulang?”

“Udah.”

Aletta menyandarkan kepalanya sejenak di dada bidang suaminya sebelum Alzane membaringkannya di atas ranjang. Bukannya melepaskan lingkaran tangannya di leher Alzane, gadis itu malah semakin mempererat sehingga suaminya itu terpaksa mencondongkan badannya ke arah wanita itu.

“Apa?” tanya Alzane dingin.

Aletta tidak menghiraukan tatapan dingin lelaki itu, dia malah memejamkan matanya seraya tersenyum tipis.

“Aku masih banyak kerjaan.” Alzane mengusap kepala Aletta, lelaki itu kini bergabung di ranjang—tepat di samping sang istri yang masih memeluknya. Dia hendak melepaskan pelukan Aletta, “aku mau mandi dulu.”

Aletta mendengus, dia menatap Alzane dengan tatapan tajam dan cemberut. Melihat istrinya yang jengkel membuat Alzane semakin ingin menggoda wanita itu.

“Yaudah, aku mandi dulu,” ucap Alzane cuek.

Aletta memutar bola matanya malas, ia lalu memunggungi Alzane setelah meraih ponsel di atas nakas—tidak sama sekali menanyakan bagaimana kegiatan lelaki itu di kantor atau paling tidak menanyakan apa yang diinginkan Alzane sepulang kerja seperti biasa.

Alzane terkikik pelan seraya membuka kacamatanya dan membuka kaos oblong putihnya—berjalan ke arah lemari untuk meraih handuk yang tergantung lalu ia melangkah ke kamar mandi.

Tidak tahu saja kalau istrinya itu tampak bersumpah serapah mengenai dirinya sekarang.

Aletta masih berkutat pada ponselnya bahkan saat Alzane sudah keluar dari kamar mandi, lelaki itu menaikkan alisnya sebelah seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil. Dia sebenarnya bingung juga apa yang terjadi pada istrinya ini karena setelah hampir seminggu menikah, biasanya Aletta selalu menyiapkan segalanya untuk Alzane termasuk pakaian maupun makanan sepulang kerja.

Alzane tampak sudah berdiri memandangi Aletta tanpa mengenakan atasan, dia mendengus kasar melihat istrinya yang tiba-tiba cuek padanya itu. “Aletta.”

“Hm?” Aletta menoleh sekilas pada Alzane kemudian segera membuang mukanya mengetahui tubuh bagian atas suaminya toples. “Pake baju dulu sana.”

“Ya cariin lah.”

“Ck,” Aletta berdecak pelan, wanita itu pun mencepol rambutnya asal sebelum perlahan bangkit dari ranjang. Berjalan tanpa menghiraukan pandangan sinis Alzane, dia meraih baju dari lemari seraya sesekali mencuri pandang ke layar ponsel.

Alzane yang melihatnya jadi gemas sendiri, dia menghampiri Aletta lalu merebut ponsel gadis itu sontak istrinya menatapnya tajam dan mencoba merebut kembali benda itu.

“Alzane balikin!”

“Engga mau.”

“Yaudah terserah,” Aletta melemparkan baju yang diambilnya barusan ke dada Alzane, matanya tampak berkaca-kaca.

“Apa ini? Kok dilempar?” Alzane menaikkan nada suaranya, membuat Aletta sedikit terkejut.

Aletta mengedikan bahunya acuh seraya menahan air matanya yang sudah di ujung. Dia hendak keluar dari kamar namun Alzane segera menghalanginya. “Apa? Kenapa kamu? Maksudnya apa ngelempar kayak gitu ke suami?”

Alzane menatap Aletta serius, membuat gadis itu menunduk seketika. Jujur saja Alzane tidak bisa menahan tawa tetapi dia hanya ingin membalas apa yang Aletta lakukan padanya ini, sekaligus gemas juga.

“Minta maaf.” titah Alzane.

Aletta berbicara pelan, “maaf.”

Alzane menahan senyum, “minta maaf yang bener, cium tangan suami, suaminya diliat jangan liat ubin mulu.”

Aletta mendongak, menatap Alzane dengan tatapan memelas. Dia mengambil punggung tangan lelaki itu lalu menciumnya lembut, jelas membuat senyuman Alzane tertahan seketika.

“Udah,” jawab Aletta polos.

“Cium akunya coba.”

Aletta mengerutkan keningnya, menatap Alzane bingung. Aletta segera berjinjit saat lelaki itu merendahkan tubuhnya agar bisa digapai oleh sang istri lalu kecupan lembut melandas di pipi Alzane. Kemudian cowok berambut setengah basah dan masih bertelanjang dada itu memandang lurus pada Aletta. Setelah kedua pipinya dicium oleh wanitanya, kini dia menunjuk bibirnya. “Satu lagi.”

Aletta yang mulai merasa tersadar segera menjauh sedikit dan memicingkan matanya sinis seraya menunjuk Alzane. “Kamu jailin aku ya?”

Alzane menyeringai kemudian terkekeh pelan sebelum meraih pinggan Aletta dan mencium bibir sang wanita tanpa aba-aba. Di tengah pagutannya, Alzane berbisik pelan. “Jangan nakal makanya.”

Knock knock!

“Sir, are you okay?”

Arasha mengetuk pintu kamar William, suara di dalam sana mulai hening setelah beberapa saat gadis itu mendengar teriakkan seorang William juga suara barang-barang yang dengan sengaja dijatuhkan. Honestly, she worried about him.

“Come, Arasha,” sahut William pelan.

Perlahan tapi pasti Arasha membuka pintu kamar William, dia sudah tidak terkejut melihat keadaan kamar lelaki itu yang berantakan—semua barang dijatuhkan dengan sengaja olehnya. Arasha tidak mengerti apa yang terjadi pada William tapi jujur saja ini menyeramkan.

“Sir ... what's going on?!”

Arasha menoleh ke arah William yang duduk di ranjangnya seraya menundukkan kepalanya dan menutup kedua telinganya. He seems can't deal with his anger issues, Arasha pikir.

“Sir?” Arasha menghampiri William, berjalan dengan sedikit jinjit agar tidak mengenai beberapa serpihan kaca yang berserakan di bawah sana. Gadis itu berdiri di depan William yang tampak kacau. “Sir, you are not okay.”

“Then you don't need to ask how I feel,” sahut William, dia menengadah menatap Arasha, air mukanya penuh kegelisahan. “Aku tidak tahu bagaimana cara menahan semuanya, maaf sudah mengganggu kenyamananmu.”

“You don't need to.” Arasha tersenyum miris. “Ini tempat tinggalmu, kau bisa melakukan apa saja yang kau mau, tidak perlu pedulikan orang asing yang hanya menumpang sepertiku.”

“You're not a strangers.”

“So ... would you share what's or who's the suspect of these mess?”

“Too much, Arasha.”

“So, what can I do for you?”

Oh damn, I should think twice before I say, batin Arasha.

William mengamati Arasha sejenak, pandangannya sudah meneduh dibandingkan dirinya yang masih kesetanan sebelumnya, dia lalu bangkit dari ranjang tempatnya duduk—masih belum melepaskan pandangannya dari sosok gadis di depannya.

William berhadapan dengan Arasha, tubuh kecil Arasha membuatnya harus menunduk untuk bisa mengamati wajah cantik itu. Dia berbisik pelan, “can I get a hug?”

“Sir?” Arasha berucap ragu, dia melihat mata berbinar William yang tampak menaruh harapan padanya dan baru kali ini, ia melihat tatapan setulus itu dari William. Arasha menghela napasnya panjang, ia mengangguk perlahan. “Hug me, then.”

William tersenyum tipis, tanpa banyak berkata-kata, ia langsung memeluk Arasha erat—menelusup pada rambut panjang gadis itu dan menghirup aroma khas Arasha yang memabukkan. William mengusap surai gadis itu dengan lembut tanpa berharap pelukannya dibalas oleh sang empu tetapi dengan begini dia mulai bisa merasakan sekaligus melepaskan semua penat yang dia rasakan, semua amarah yang sempat membuncah, dan semua rasa jengkel yang sudah sekian lama terbesit dalam benaknya hingga pada akhirnya dia menemukan tempat pelepasan terbaik dari semua itu.

At the end, he realize that she's the cure...

Perlahan Arasha berusaha membalas pelukan yang diberikan William, dia mengusap punggung lelaki itu lembut dan menepuknya pelan. Entah mengapa dia merasakan kehangatan dari lelaki itu, ia memejamkan matanya—seakan apa yang dirasakan William tersalurkan padanya. Meskipun dia tidak banyak tahu apa yang terjadi pada lelaki itu.

Pelukan yang berlangsung sejenak tetapi sangat bermakna bagi William, bahkan saat lelaki itu kini memegang wajah Arasha sebelah dan menatapnya dalam setelah ia melepaskan pelukannya.

“Arasha,”

“Hm?”

“You said you will help me, right?”

“Hm—ngg ... so, what can I do for you? Is a hug is doesn't enough?”

“I want you ...,” William meraih wajah Arasha dan menangkupnya—ia menatap gadis itu dalam.

Arasha melirik sekilas pada botol alkohol yang terdapat di atas nakas, dia melihat mata lelaki itu yang memerah—oh damn, he has been drunk too much.

“Can you help me to get our pleasure together?” William bersuara parau, “yeah, i said it, our pleasure. You and me. Making our heaven together.”

Arasha tidak sama sekali berkutik, tatapan William terlalu menghipnotisnya, she's like a manequin now, can't even move from two hazel eyes which starring at her.

William kiss her with a really slow tempo, smooth touching, and eyes closed.

It's their first kiss.

Arasha tidak pernah membayangkan sebelumnya semua ini akan terjadi, dia tidak pernah mengharapkan sosok devil di depannya akan menciumnya—moreover, dia tidak sama sekali memberontak, she also doesn't know why she didn't refuse him.

Arasha memejamkan matanya, saat merasakan pagutan yang diberikan William semakin dalam—mengakses setiap inci bibirnya, menggigit bibir Arasha untuk bisa menerobos masuk ke dalam dan menikmati setiap bagian yang ada. Lelaki itu mengusap tengkuk Arasha lembut, help her to relaxing it. Tubuh Arasha terpaku, dia hanya bisa menerima ciuman yang diberikan oleh William untuk kali pertamanya.

William mengisap bibir bawah gadis itu—membuat sang empu mengerang pelan dan meremas rambutnya, seringaian terbentuk di bibir lelaki itu melihat Arasha yang memejamkan matanya menikmati ciuman yang dilayangkan olehnya.

William melepaskan pagutannya dengan mengecup bibir Arasha lembut di akhir permainan. Matanya menggelap bertatapan dengan gadis di depannya yang diam tak berkutik.

Dengan sekali gerakan William menggendong Arasha dan menghimpitnya pada dinding kamarnya.

“Sir...eungh..” Arasha mendesah pelan merasakan sentuhan William pada pahanya, lelaki itu menarik kedua tangannya untuk melingkar di sepanjang leher William. “Sir, i'm here just for help you, mm...”

“So this is the way you help me.”

William kembali melayangkan ciuman—kali ini pada leher jenjang Arasha yang pada umumnya menjadi area sensitif seorang wanita, Arasha mengerang pelan sambil meremas rambut William. “Sir, enough please....”

“No, I can't.”

William choke Arasha neck then make she shout his name, “Oh damn, Sir, ugh William don't choke me.”

“I'm sorry, you look so hot if I do that.”

“Please...” Arasha breathtaking, she hold his arms which still choking her neck.

“Beggin me.”

William mengendus leher gadis itu, satu tangannya mencekik Arasha dan tangan lain menahan agar gadis itu tetap stabil di gendongannya.

“Sir William, please... ugh.”

“Good girl.”

William melepaskan cekikannya pada leher Arasha dan menjatuhkannya di atas sofa—so now she sitting on his lap. For sure everything what his done for today was under his control, he unders a drunk effect.

William kembali mencium Arasha, kali ini ciumannya more deeply than before, he push her neck for kiss her hard.

William just took off his shirt and threw it away naturally.

He stares at her after that, he breathtaking.

William perlahan membuka kancing baju tidur Arasha, then he kiss her neck again to divert it.

“Sir ... uh.”

William merapatkan tubuhnya dengan Arasha after he looks that she a half-naked.

“Pretty, Bluebear.”

William touched Arasha's stomach and squeezed the girl's waist.

Jemarinya yang lain sengaja menggores lengan telanjang gadis di hadapannya, he try to making a butterflies in her stomach.

Sentuhan William semakin turun to her leg, he touch it so smooth and let Arasha sighs slowly. His touch also turn to her breast and Arasha can't hold it on.

“Ah, shit, Sir...”

“Is this your first time or you usually do this with him?” suara William mendominan.

Arasha masih memejamkan matanya, “shut the fuck up sir.”

“Language!”

William kissed her once and sucked her breast without any permission. Arasha sighs, “Sir... please...”

“Answer it properly baby.”

“No, it's my first time, eungh— you're the first.”

“Why would you give it to me?”

“No, I wouldn't.”

“Are you sure?” William touched her under sensitive area, ia berbisik pelan. “But your pretty flowers area will never lie, Arasha.”

“Oh fuck, Sir, gett off from there,” Arasha hendak menyingkirkan tangan William yang menggodanya namun lelaki itu malah menahan kedua tangannya.

“I know how to solve it.”

William mengangkat tubuh Arasha, he take off his belt and pull his pants then he starring at her whose close her eyes.

“Can I?”

Arasha masih mengalungkan tangannya di leher William, dia tidak berkutik sedikit pun.

William mengusap wajah Arasha lembut dan mengecupnya sejenak.

Arasha let him take her underwear, then she stares deeply under his dark eyes.

Arasha bersumpah ini bukan apa yang dia bayangkan, she never ever imagine that she will end like this.

“Am I such a whore?”

William menggeleng, “not you but your sister,” dia menyeringai.

“Sir, i'm afraid,”

“I will do slowly.” William menggertakkan rahangnya after he tried to push his little friend under hers, dia memeluk Arasha dan mencium kening gadis itu lembut.

Arasha memegang bahu William erat dan memejamkan matanya menahan rasa sakit yang ia terima, “It's hurt, ah..”

“Yours so thigh,” William terengah, “can I just move?”

Arasha memeluk William erat, menggoreskan kukunya kuat pada punggung lelaki itu. “Oh damn, Bluebear you're still virgin.”

“Just ... move.”

Arasha sighs deeply, “oh fuck William!”

“Err, your Sir, just call me Sir.”

William still move to get his under her deeply, he wanna know how it's feel in hers.

“Oh, Sir, i'm sorry—ouh!”

“I'll cum.”

“Not yet, hold it on.”

“I can't.”

William menarik dagu Arasha, pasalnya gadis itu tidak menatapnya—dia memejamkan matanya seraya menggigit bibirnya demi menahan semua perasaan yang diberikan oleh William. “You playing well. Then, open your eyes, look at me!”

Seolah patuh seketika Arasha membuka matanya perlahan, she's mess but it's look so damn beautiful in his eyes. “I'm first, then let me be your last, Arasha.”

William mempercepat permainannya membuat Arasha tersiksa, “I'll cum, Sir, please...”

“Do you love me?” William memperlambat tempo permainannya, dia melihat gadis itu merengut, “Answer it.”

“I don't know—but, please move...”

“I'll but first answer it Arasha.”

William kembali bergerak, dia melihat Arasha yang tampak kacau, itu membuat William menyeringai puas. Dia mengusap rambut Arasha dan he stomped on hers pretty flowers once.

“Oh, fuck—”

“Answer!”

“After I left Mark, you still ask about it huh?”

“So you love me, didn't you?”

“I cum, Sir, ah...”

“Together.”

So, both of them have reached their heaven.

Keduanya mencapai pelepasannya bersamaan dan tubuh gadis itu ambruk di atas William. Mereka berdiam sejenak meraih oksigennya masing-masing setelah pergulatan panjang keduanya, William memejamkan matanya dan mengusap punggung halus gadis itu. “Should I ask for apologize?”

“I don't know, Sir.” Arasha memainkan jarinya di dada William, “I am just like a whore.”

“Hey look at me,” Arasha mendongak, “you regret it?”

Gadis itu mengedikkan bahunya, “You're drunk.”

“So you care about it?”

“Kau ... cinta aku?”

William tersenyum, meraih jemari Arasha dan menciumnya lembut. “Be my wife, Arasha.”

Knock knock!

“Sir, are you okay?”

Arasha mengetuk pintu kamar William, suara di dalam sana mulai hening setelah beberapa saat gadis itu mendengar teriakkan seorang William juga suara barang-barang yang dengan sengaja dijatuhkan. Honestly, she worried about him.

“Come, Arasha,” sahut William pelan.

Perlahan tapi pasti Arasha membuka pintu kamar William, dia sudah tidak terkejut melihat keadaan kamar lelaki itu yang berantakan—semua barang dijatuhkan dengan sengaja olehnya. Arasha tidak mengerti apa yang terjadi pada William tapi jujur saja ini menyeramkan.

“Sir ... what's going on?!”

Arasha menoleh ke arah William yang duduk di ranjangnya seraya menundukkan kepalanya dan menutup kedua telinganya. He seems can't deal with his anger issues, Arasha pikir.

“Sir?” Arasha menghampiri William, berjalan dengan sedikit jinjit agar tidak mengenai beberapa serpihan kaca yang berserakan di bawah sana. Gadis itu berdiri di depan William yang tampak kacau. “Sir, you are not okay.”

“Then you don't need to ask how I feel,” sahut William, dia menengadah menatap Arasha, air mukanya penuh kegelisahan. “Aku tidak tahu bagaimana cara menahan semuanya, maaf sudah mengganggu kenyamananmu.”

“You don't need to.” Arasha tersenyum miris. “Ini tempat tinggalmu, kau bisa melakukan apa saja yang kau mau, tidak perlu pedulikan orang asing yang hanya menumpang sepertiku.”

“You're not a strangers.”

“So ... would you share what's or who's the suspect of these mess?”

“Too much, Arasha.”

“So, what can I do for you?”

Oh damn, I should think twice before I say, batin Arasha.

William mengamati Arasha sejenak, pandangannya sudah meneduh dibandingkan dirinya yang masih kesetanan sebelumnya, dia lalu bangkit dari ranjang tempatnya duduk—masih belum melepaskan pandangannya dari sosok gadis di depannya.

William berhadapan dengan Arasha, tubuh kecil Arasha membuatnya harus menunduk untuk bisa mengamati wajah cantik itu. Dia berbisik pelan, “can I get a hug?”

“Sir?” Arasha berucap ragu, dia melihat mata berbinar William yang tampak menaruh harapan padanya dan baru kali ini, ia melihat tatapan setulus itu dari William. Arasha menghela napasnya panjang, ia mengangguk perlahan. “Hug me, then.”

William tersenyum tipis, tanpa banyak berkata-kata, ia langsung memeluk Arasha erat—menelusup pada rambut panjang gadis itu dan menghirup aroma khas Arasha yang memabukkan. William mengusap surai gadis itu dengan lembut tanpa berharap pelukannya dibalas oleh sang empu tetapi dengan begini dia mulai bisa merasakan sekaligus melepaskan semua penat yang dia rasakan, semua amarah yang sempat membuncah, dan semua rasa jengkel yang sudah sekian lama terbesit dalam benaknya hingga pada akhirnya dia menemukan tempat pelepasan terbaik dari semua itu.

At the end, he realize that she's the cure...

Perlahan Arasha berusaha membalas pelukan yang diberikan William, dia mengusap punggung lelaki itu lembut dan menepuknya pelan. Entah mengapa dia merasakan kehangatan dari lelaki itu, ia memejamkan matanya—seakan apa yang dirasakan William tersalurkan padanya. Meskipun dia tidak banyak tahu apa yang terjadi pada lelaki itu.

Pelukan yang berlangsung sejenak tetapi sangat bermakna bagi William, bahkan saat lelaki itu kini memegang wajah Arasha sebelah dan menatapnya dalam setelah ia melepaskan pelukannya.

“Arasha,”

“Hm?”

“You said you will help me, right?”

“Hm—ngg ... so, what can I do for you? Is a hug is doesn't enough?”

“I want you ...,” William meraih wajah Arasha dan menangkupnya—ia menatap gadis itu dalam.

Arasha melirik sekilas pada botol alkohol yang terdapat di atas nakas, dia melihat mata lelaki itu yang memerah—oh damn, he has been drunk too much.

“Can you help me to get our pleasure together?” William bersuara parau, “yeah, i said it, our pleasure. You and me. Making our heaven together.”

Arasha tidak sama sekali berkutik, tatapan William terlalu menghipnotisnya. Hazel matanya menginterupsi gadis itu, membuatnya tidak bisa banyak memberontak sama sekali.

William meraih ranum gadis itu tanpa permisi karena Arasha seolah mempersilakan lelaki itu tanpa pemberontakan sedikit pun.

It's their first kiss.

Arasha tidak pernah membayangkan sebelumnya semua ini akan terjadi, dia tidak pernah mengharapkan sosok devil di depannya akan menciumnya dan terlebih lagi Arasha memejamkan matanya, saat merasakan pagutan yang diberikan William semakin dalam—mengakses setiap inci bibirnya, menggigit bibir Arasha untuk bisa menerobos masuk ke dalam dan menikmati setiap bagian yang ada. Lelaki itu mengusap tengkuk Arasha lembut, help her to relaxing it. Tubuh Arasha terpaku, dia hanya bisa menerima ciuman yang diberikan oleh William untuk kali pertamanya.

William mengisap bibir bawah gadis itu—membuat sang empu mengerang pelan dan meremas rambutnya, seringaian terbentuk di bibir lelaki itu melihat Arasha yang memejamkan matanya menikmati ciuman yang dilayangkan olehnya.

William melepaskan pagutannya dengan mengecup bibir Arasha lembut di akhir permainan. Matanya menggelap bertatapan dengan gadis di depannya yang diam tak berkutik.

Dengan sekali gerakan William menggendong Arasha dan menghimpitnya pada dinding kamarnya.

“Sir...eungh..” Arasha mendesah pelan merasakan sentuhan William pada pahanya, lelaki itu menarik kedua tangannya untuk melingkar di sepanjang leher William. “Sir, i'm here just for help you, mm...”

“So this is the way you help me.”

William kembali melayangkan ciuman—kali ini pada leher jenjang Arasha yang pada umumnya menjadi area sensitif seorang wanita, Arasha mengerang pelan sambil meremas rambut William. “Sir, enough please....”

“No, I can't.”

William mencekik leher Arasha membuat mulut gadis itu terbuka dan meneriakkan namanya, “Oh damn, Sir, ugh William don't choke me.”

“I'm sorry, you look so hot if I do that.”

“Please...” Arasha susah payah mengambil napasnya saat memegang tangan besar William yang mencekiknya.

“Beggin me.”

William mengendus leher gadis itu, satu tangannya mencekik Arasha dan tangan lain menahan agar gadis itu tetap stabil di gendongannya.

“Sir William, please... ugh.”

“Good girl.”

William melepaskan cekikannya pada leher Arasha dan menjatuhkannya di atas sofa sehingga gadis itu kini berada di atas pangkuan William. For sure everything what his done for today was under his control, he unders a drunk effect.

William kembali mencium Arasha, ciumannya kali ini menuntut lebih, dia meminta akses lidahnya untuk bertemu dengan lidah gadis itu, sesekali dia akan menarik tengkuk Arasha untuk memperdalam pagutannya. William mengisap bibir bawah gadis itu lapar dan membuka matanya untuk melihat Arasha yang menikmati permainan lelaki itu, William menyeringai puas melihatnya.

Lelaki itu menarik bajunya ke atas dan melepaskan pagutannya dengan Arasha kala dia berusaha memperlihatkan badannya yang kini telanjang di bagian atas.

William membuka kancing piyama gadis itu saat ia bergerak mencium leher Arasha dan menggeseknya dengan hidungnya yang mancung—memberikan sensasi tersendiri bagi gadis itu.

“Sir ... uh.”

William merapatkan tubuhnya dengan Arasha after he looks that she a half-naked.

“Pretty, Bluebear.”

William menyentuh perut ramping Arasha dan meremas pinggang gadis itu gemas.

Jemarinya yang lain sengaja menggores lengan telanjang gadis di hadapannya, he try to making a butterflies in her stomach.

Sentuhan William semakin turun pada paha gadis itu, ia menggoreskan kukunya di sekitar sana lalu jemarinya itu terus bergerak naik dan memutar di sekitar perut Arasha membiarkan gadis yang di hadapannya itu mulai menerima rangsangannya, apalagi saat tangan William bergerak naik pada bagian dada Arasha. Dia menggerakan jemarinya di sekitar sana membuat sang empu tersiksa karenanya.

“Ah, shit, Sir...”

“Is this your first time or you usually do this with him?” suara William mendominan.

Arasha masih memejamkan matanya, “shut the fuck up sir.”

“Language!”

William mencium gadis itu lebih dalam saat tangannya bergerak meremas pelan dada gadis itu, “Sir... please...”

“Answer it properly baby.”

“No, it's my first time, eungh— you're the first.”

“Why would you give it to me?”

“No, I wouldn't.”

“Are you sure?” William menyentuh area sensitif gadis itu, lalu ia berbisik pelan. “But your pretty flowers area will never lie, Arasha.”

“Oh fuck, Sir, gett off from there,” Arasha hendak menyingkirkan tangan William yang menggodanya namun lelaki itu malah menahan kedua tangannya.

“I know how to solve it.”

William mengangkat tubuh Arasha saat dia melepas ikat pinggangnya lalu menurunkan celana panjangnya sebatas lutut.

“Can I?”

Arasha masih mengalungkan tangannya di leher William, dia tidak berkutik sedikit pun.

William mengusap wajah Arasha lembut dan mengecupnya sejenak.

Arasha tak memberontak saat William melucuti pakaian terakhir yang tersisa di tubuhnya, entahlah dia tidak mengerti mengapa dirinya selalu patuh pada lelaki dewasa itu.

Arasha bersumpah ini bukan apa yang dia bayangkan, she never ever imagine that she will end like this.

“Am I such a whore?”

William menggeleng, “not you but your sister,” dia menyeringai.

“Sir, i'm afraid,”

“I will do slowly.” William menggertakkan rahangnya setelah dia mencoba memasukkan miliknya pada milik gadis itu, dia memeluk Arasha dan mencium kening gadis itu lembut.

Arasha memegang bahu William erat dan memejamkan matanya menahan rasa sakit yang ia terima, “It's hurt, ah..”

“Yours so thigh,” William terengah, “can I just move?”

Arasha memeluk William erat, menggoreskan kukunya kuat pada punggung lelaki itu. “Oh damn, Bluebear you're still virgin.”

“Just ... move.”

Arasha mendesah kuat, “oh fuck William!”

“Err, your Sir, just call me Sir.”

William terus bergerak, dia memejamkan matanya samar namun berusaha untuk terus membuka kedua matanya agar dia bisa melihat gadis di atasnya tersiksa namun itu terlihat menggoda di matanya.

“Oh, Sir, i'm sorry—ouh!”

“I'll cum.”

“Not yet, hold it on.”

“I can't.”

William menarik dagu Arasha, pasalnya gadis itu tidak menatapnya—dia memejamkan matanya seraya menggigit bibirnya demi menahan semua perasaan yang diberikan oleh William. “You playing well. Then, open your eyes, look at me!”

Seolah patuh seketika Arasha membuka matanya perlahan, she's mess but it's look so damn beautiful in his eyes. “I'm first, then let me be your last, Arasha.”

William mempercepat permainannya membuat Arasha tersiksa, “I'll cum, Sir, please...”

“Do you love me?” William memperlambat tempo permainannya, dia melihat gadis itu merengut, “Answer it.”

“I don't know—but, please move...”

“I'll but first answer it Arasha.”

William kembali bergerak, dia melihat Arasha yang tampak kacau, itu membuat William menyeringai puas. Dia mengusap rambut Arasha saat ia mencoba menerobos masuk lebih dalam lagi dengan sekali hentak.

“Oh, fuck—”

“Answer!”

“After I left Mark, you still ask about it huh?”

“So you love me, didn't you?”

“I cum, Sir, ah...”

“Together.”

Keduanya mencapai pelepasannya bersamaan dan tubuh gadis itu ambruk di atas William. Mereka berdiam sejenak meraih oksigennya masing-masing setelah pergulatan panjang keduanya, William memejamkan matanya dan mengusap punggung halus gadis itu. “Should I ask for apologize?”

“I don't know, Sir.” Arasha memainkan jarinya di dada William, “I am just like a whore.”

“Hey look at me,” Arasha mendongak, “you regret it?”

Gadis itu mengedikkan bahunya, “You're drunk.”

“So you care about it?”

“You ... love me?”

William tersenyum, meraih jemari Arasha dan menciumnya lembut. “Be my wife, Arasha.”

Desire

Ini akan menjadi hari yang memalukan sekaligus menyebalkan bagi Arasha. Bahkan, gadis itu tidak menyangka jika William akan menjemputnya ke bawah kemudian membawanya sedikit mengelilingi gedung Wolfed Corporation. Tak lupa Arasha sesekali menundukkan kepala saat para pegawai yang masih lembur tampak menyapa William, jujur yang paling membuatnya tegang ialah saat lelaki itu tidak berhenti melepaskan genggaman tangannya.

“Sir, bisakah kau melepaskan tanganku?” Arasha berbisik saat mereka melalui koridor, dia berjinjit sedikit, “bayangkan saja betapa terkejutnya para bawahanmu melihat kehadiranku, apalagi resepsionis tadi—pasti dia bingung melihat gadis gelandangan yang dulu pernah datang kini berdampingan bersama atasannya.”

William meremas tangan Arasha yang berpegangan dengannya, “kau bisa diam? Ingat, kau tidak perlu menunduk juga, Sayang.”

Sayang ... terdengar menohok hampir membuat Arasha tersedak. Gadis itu memutar bola matanya jengah, sampai tiba-tiba seorang lelaki datang menghampiri mereka dari arah berlawanan.

“Selamat malam, Sir.” sapa lelaki tampan itu, dia bernama Diego.

“Ada apa?”

“Sir, maaf saya mengganggu ... ehm,” Diego melirik sekilas pada Arasha.

William menoleh sekilas pada Arasha, dia mengangkat alisnya. “Calon istri saya.”

Arasha melotot bukan main, kemudian dia menoleh ke arah William yang tampak menyeringai saat memandangnya balik. Arasha hanya bisa tersenyum, canggung juga melihat Diego tampak terkejut. William menepuk bahu lelaki itu pelan. “Doakan saja, semoga dia tidak lari lagi. Jangan sampai ada yang tahu dulu, biarlah orang menganggap apapun tentang gadisku ini—aku yang akan mengenalkannya pada publik nanti.”

“Tenang saja, Sir, semuanya akan aman di tanganku.” Diego terkekeh pelan, dia memandang Arasha maupun William secara bergantian. “Selamat, senang mendengarnya.”

“Terima kasih, Diego,” ucap William. “So apa yang ingin kau beri tahu?”

“Tentang Mr. John.”

Seketika tatapan Diego berubah menjadi serius, begitupun dengan William, dia membuang mukanya sekilas.

“Besok pagi, datang lebih awal, kau bisa bicarakan semuanya padaku.”

“Baik, Sir.”

“Ya sudah, kau bisa pulang dan tolong sampaikan pada yang lainnya untuk tidak lembur malam ini.”

“Kau serius, Sir?” Diego terkejut bukan main.

“Sejak kapan saya suka bercanda?”

Diego pun mengangguk, “baik, Sir, akan saya sampaikan.”

William menepuk bahu Diego pelan sebelum dia membawa Arasha memasukki lift yang akan membawa keduanya ke ruangan para petinggi di atas sana. Lift kali ini memang khusus digunakan oleh para petinggi terutama William. Kini hanya ada dirinya dan Arasha di dalam sana, gadis itu dibuat nostalgia saat pertama kali datang menemui William, bagaimana saat ia sempat diusir dan kemudian dipertemukan untuk kali pertama dengan lelaki itu.

“Bagaimana?”

“Apanya?”

“Pendapatmu.”

“Tentang kau? Atau perusahaanmu ini?”

“Ya, satu kata.”

“Amazing.” puji Arasha. Ia kemudian menatap William dengan tatapan tajam. “Kenapa kau bilang kalau aku calon istrimu?!”

“Tidak mau memang?”

Arasha menghempaskan tangannya yang digenggam oleh William itu, “kita bahkan belum lama mengenal.”

William tersenyum tipis. Seiring dengan lift yang terus bergerak naik, lelaki itu membalikkan badannya pada Arasha, satu tangannya memegang dinding lift sebatas leher Arasha—membuat gadis itu seolah terpenjara olehnya.

“Memang kau butuh berapa lama hm?”

Arasha mencoba menjauhkan wajahnya dari hembusan napas William yang dapat ia rasakan. “Aku rasa yang semalam sudah cukup untuk menjawab semua.”

William merubah posisinya, kini tubuhnya memojokkan Arasha pada dinding lift—ia membelai pipi gadisnya itu lembut, sentuhannya terus mengitari setiap inci wajah Arasha. Hingga tak sadar gadis itu memejamkan matanya merespon sentuhan lembut yang diberikan oleh William.

Deg...

Arasha bahkan bisa merasakan hidung mancung William sudah bersentuhkan dengan hidungnya, napas William mulai menari di lehernya kemudian naik ke dekat telinganya, mengecup sekilas dan berbisik. “I wouldn't do that here, cause there's still my private room, Sweetheart.”

Kangen.

“Lo kenapa nangis anjir tiba-tiba banget?!”

Naura terkejut saat melihat Alana yang semula tampak berisik ketakutan karena mereka bertiga bersama Nadya sedang menonton film horror barusan, namun setelah fokus Alana buyar pada ponsel, gadis itu tiba-tiba menangis.

“Arion jalan sama mantannya ...” Alana berucap tersenggal-senggal di sela tangisannya, dia menunjukkan layar ponselnya pada Naura, sontak Nadya langsung ikut mendekat. “Gue ga tau kenapa dia ga bilang ke gue.”

“Ya ampun, si Arion beneran?” Naura berdecak kesal, “emang ya bener deh itu cowok demen banget nangisin lu.”

“Engga, menurut gue pasti ada sesuatu deh, lo tau sendiri 'kan Arion misterius gitu? Lagian masa iya dia selingkuh?”

Alana menggeleng seraya mengusap air matanya, “gak tau.”

Naura merapikan rambut Alana dan mengusap kepala sahabatnya itu lembut. “Udah tanya ke Arionnya? Jangan nangis dulu, kasih dia waktu untuk cerita coba.”

“Gak bisa, g—gue, se—dih,” sahut Alana.

“Yaudah mau gue apain tuh si Arion?!” Naura meraih ponselnya namun Alana langsung menahannya. “Gue mau telfon Levin.”

“Jangan, biarin aja.”

“Iya deh jangan, ini urusan mereka berdua juga, temen-temennya gak berhak tau, kan?” kata Nadya yang langsung diangguki oleh Naura—setuju dia dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu. “Takut Arion malah marah ke Alana.”

“Iya sih, ya udah gini deh, lo dengerin dulu aja Arion, gak usah ngomong biar di-mute aja lo nya.” ujar Naura.

“Gak mau, gue kangen Arion....”

“Si anjing,” Naura mendengus sebal, dia menyenggol Nadya. “Temen lo nih anjir, bucin banget.”

“Gak dianya, gak cowoknya, capek deh.”

“Pokoknya udah lo dengerin dulu penjelasannya ya jangan asal menghakimi,” saran Nadya.

“Tapi ini dia jalan ama mantannya anjir, Nad, nangis banget, gimana gak cemburu dan overthink? Lagian aneh-aneh aja deh cowok lo, bukannya bilang.” Naura mendengus sebal. “Yaudah tapi ada benernya juga si Nadya, dengerin dulu aja apa yang dibilang cowok lo.”

Alana pun mengangguk pelan, dia mengusap air matanya, lalu berucap pelan. “Gue kangen Arion...”

“Ck,” Nadya dan Naura kompak berdecak, keduanya langsung memutar bola matanya malas, “bucin.”

***

Kangen.

“Lo kenapa nangis anjir tiba-tiba banget?!”

Naura terkejut saat melihat Alana yang semula tampak berisik ketakutan karena mereka bertiga bersama Nadya sedang menonton film horror barusan, namun setelah fokus Alana buyar pada ponsel, gadis itu tiba-tiba menangis.

“Arion jalan sama mantannya ...” Alana berucap tersenggal-senggal di sela tangisannya, dia menunjukkan layar ponselnya pada Naura, sontak Nadya langsung ikut mendekat. “Gue ga tau kenapa dia ga bilang ke gue.”

“Ya ampun, si Arion beneran?” Naura berdecak kesal, “emang ya bener deh itu cowok demen banget nangisin lu.”

“Engga, menurut gue pasti ada sesuatu deh, lo tau sendiri 'kan Arion misterius gitu? Lagian masa iya dia selingkuh?”

Alana menggeleng seraya mengusap air matanya, “gak tau.”

Naura merapikan rambut Alana dan mengusap kepala sahabatnya itu lembut. “Udah tanya ke Arionnya? Jangan nangis dulu, kasih dia waktu untuk cerita coba.”

“Gak bisa, g—gue, se—dih,” sahut Alana.

“Yaudah mau gue apain tuh si Arion?!” Naura meraih ponselnya namun Alana langsung menahannya. “Gue mau telfon Levin.”

“Jangan, biarin aja.”

“Iya deh jangan, ini urusan mereka berdua juga, temen-temennya gak berhak tau, kan?” kata Nadya yang langsung diangguki oleh Naura—setuju dia dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu. “Takut Arion malah marah ke Alana.”

“Iya sih, ya udah gini deh, lo dengerin dulu aja Arion, gak usah ngomong biar di-mute aja lo nya.” ujar Naura.

“Gak mau, gue kangen Arion....”

“Si anjing,” Naura mendengus sebal, dia menyenggol Nadya. “Temen lo nih anjir, bucin banget.”

“Gak dianya, gak cowoknya, capek deh.”

“Pokoknya udah lo dengerin dulu penjelasannya ya jangan asal menghakimi,” saran Nadya.

“Tapi ini dia jalan ama mantannya anjir, Nad, nangis banget, gimana gak cemburu dan overthink? Lagian aneh-aneh aja deh cowok lo, bukannya bilang.” Naura mendengus sebal. “Yaudah tapi ada benernya juga si Nadya, dengerin dulu aja apa yang dibilang cowok lo.”

Alana pun mengangguk pelan, dia mengusap air matanya, lalu berucap pelan. “Gue kangen Arion...”

“Ck,” Nadya dan Naura kompak berdecak, keduanya langsung memutar bola matanya malas, “bucin.”

***

Takdir.

“Mau, kan?”

Keysha memandang Arion yang masih diam di bangku pengemudi padahal keduanya sudah tiba di depan rumah yang sudah dipastikan milik gadis di sampingnya. Arion melirik gadis itu, dia menggeleng samar. “Gue gak bisa nginep, besok pagi gue pulang.”

“Iya, gak masalah kok, tapi setidaknya lo harus ketemu mama dulu.”

Arion terdiam, sedangkan Keysha menghela napasnya panjang, dia memegang lengan lelaki itu. “Lo emang gak kangen sama mama? Emang sih mungkin terlalu banyak hal yang buat kayak gini tapi bagaimana pun itu nyokap lo. Nyokap lo, nyokap gue juga. Dia pun udah sadar sama kesalahannya.”

“Kenapa lo bisa maafin dan berdamai sama semuanya secepat ini?”

“Gue gak bisa apa-apa lagi. Setelah gue tau kalau ternyata papa diem-diem ada hubungan sama nyokap lo, jujur gue marah dan sakit hati banget, apalagi gue tau kalo cewek itu mama lo yang notabenenya orang yang gue sayang. Gue kecewa karena alasan papa gak pernah suka sama lo ya dia tau kalau dia selingkuhan mama lo. Apalagi gue tau itu semua yang buat hubungan kita berakhir, I know it's almost two years ago tapi gue bener-bener marah dan kecewa, terutama saat gue liat betapa bencinya lo sama gue setelah itu.”

“Sorry.”

“Gue justru yang minta maaf, gue salah, bokap gue salah banget jahat sama bokap lo, padahal bokap lo itu baik banget sama gue.”

“Papa emang baik, papa kerja kerasa buat gue sama mama meskipun mama tetep pengen kerja dan mama malah bales kaya gini. Dia udah nyakitin dua pihak.”

“Arion ... I'm really sorry to hear that... gue gak tau mau bilang apalagi selain maaf.”

Arion menggeleng, “gak apa-apa.”

Keysha menghela napasnya, dia menatap Arion tulus. “Gue boleh peluk lo, Arion?”

Lelaki itu diam, dia tidak berkutik selain tatapannya yang kosong pada Keysha. Keysha merasa tidak enak hati melihat Arion sekarang, dia merasa sangat bersalah pada lelaki yang sekarang menjadi saudara tirinya itu. Tanpa berpikir lama, Keysha langsung memeluk Arion setelah lelaki itu mengangguk samar. “Gue kangen sama lo.”

Arion hanya tersenyum tipis dan menepuk punggung Keysha pelan. Pelukan yang tidak ada maksud apapun selain menumpahkan kerinduan satu sama lainnya yang sekian lama tidak berjumpa.

“Lucu ya, terakhir kita pelukan gini pas masih pacaran sekarang malah jadi saudara.”

Arion terkekeh pelan setelah melepaskan pelukannya itu, “aneh.”

“Lo yang aneh! Jadi, lo mau masuk gak?”

“Gue belum siap, Key. Gue masih belum bisa ngatur emosi gue, gue takut kenapa-napa nantinya.”

Keysha cemberut, “Jadi?”

“Gue balik aja ya?”

“Lo yakin?”

Lelaki itu mengangguk, Keysha pun tidak bisa memaksa, dia menepuk bahu Arion. “Ya udah, lo gue anter ya?”

Arion menggeleng sekaligus tertawa, “gila lo nyapein banget, udah gue yang nyetir lagi kesini sekarang lo malah mau anterin gue. Udah gue mesen taksi aja di depan.”

“Yaudah, bagus kalo gitu.”

“Lo masih nyebelin ternyata ya,” Arion tersenyum kecil. “Bedanya sekarang lo sodara gue, cih.”

“Yeuu, seneng kan lo punya sodara tiri cakep kayak gue?”

“B aja. Cewek gue jadi nething, lo sih pake ngetag gue segala bego.”

“Hah serius?” Keysha terkejut, sedikit ngakak. Dia pun turun dari mobil setelah melihat Arion turun dari sana juga. “Kok bisa?”

“Jangan banyak tanya deh, ini gue juga bingung gimana ngomongnya.”

“Bilang aja kalo gue sodara tiri lo sekarang.”

“Hm,” sahut Arion pelan, dia melirik ke arah rumah Keysha—tepat di samping mobil gadis itu berhenti. Arion cukup lama memandangi rumah itu sampai Keysha menyenggolnya. Maaf, Ma, enggak sekarang, tapi Arion janji akan kembali.

“Mau masuk?”

Arion menggeleng, “nitip salam aja.”

“Oh, oke deh, lo hati-hati ya.”

Arion mengangguk, dia pun memandang Keysha dengan tatapan serius sekaligus datar, seperti biasa. Lalu dia mengacak rambut Keysha dengan kekehan kecil. “Jangan nakal ya, adikku.”

Keysha tertawa dan menepisnya, “Apaan sih anjir hahahaha!”

Arion pun melambaikan tangannya sebelum dia berjalan dan melangkah pergi, Keysha tersenyum mengamati langkah kaki saudara tirinya yang mulai menjauhinya. Keysha berseru sekali lagi dan berlari mengejar Arion. “Bang!”

Arion mengedikan dagunya dengan alis mengkerut. Keysha tertawa dan melambaikan tangannya lagi. “Makasih ya, jangan lupa balik lagi ke Jakarta nanti! Kalau perlu ajak cewek lo juga ya! Dadah!”

Arion mengangguk, mengangkat tangannya ke udara dengan senyuman lalu kembali melanjutkan perjalanannya itu, dia tersenyum kecil dan menggeleng kepalanya samar. Takdir memang lucu ya.

Tengkar.

Brug!

Arion melemparkan tasnya sembarangan, sebelum ia berlari mengejar lelaki yang baru saja keluar dari ruang seminar, dia juga melihat Alana keluar bersama lelaki itu. Arion menarik kerah baju lelaki itu dan membawanya ke toilet yang terletak di ujung—yang kebetulan sedang sepi. Arion menghempaskan badan Malvin di dalam sana, ia kembali menarik kerah lelaki itu dan memukul bagian wajahnya keras.

“Arion!”

Arion menoleh pada Alana dan melotot, “diem di situ!”

“Lo apa-apaan anjing?!” Malvin mendorong Arion, dia juga membalas pukulan lelaki itu.

“Lo yang apa-apaan bego! Gausah deket-deketin cewek gua!” Arion mendecih, ia kembali menghajar sisi rahang kiri Malvin sehingga membuat lelaki itu meringis. “Gue tau lo ada maksud lain, kan? Gue inget siapa lo ya bangsat!”

“Kenapa emang hah kalo gua naksir sama cewek lo?” Malvin tersenyum menyeringai.

“Brengsek!” Arion hendak kembali memukul lelaki itu tetapi Malvin langsung menghindar namun dengan cepat Arion menyikut dada Malvin sampai kembali tersudut di pojok toilet.

“Lo tuh kenapa hah? Takut cewek lo gue salip, hm?”

“Anjing, ketua BEM munafik lo, gue tau siapa lo ya anjing! Cowok gak bener lo! Gue tau lo suka nyewa sana sini, jangan lu kira gua gatau lo siapa anjing! Jauh-jauh dari cewek gue!”

“Terus apa masalahnya sama lo? Urusan gue, duit-duit gue, Tolol!” Malvin perlahan bangkit—sedikit meringis saat dia berjalan pada Arion. “Lagipula, kalo pun gue mau sama cewek lo, tinggal gue sikat. Lo gausah lebay, gue gak ada niat apa-apa sama Alana.”

Arion mengepalkan tangannya kuat sebelum akhirnya ia kembali melayangkan pukulannya pada hidung Malvin sehingga wajah lelaki itu tampak babak belur seketika. “Jaga omongan lo anjing! Cewek gue gak sama kayak cewek-cewek sewaan lo!”

“Arion!”

Alana terbelalak saat ia masuk ke dalam toilet itu bersama beberapa orang yang bergerumul masuk dan segera membawa Malvin pergi dari sana, Arion memutar bola matanya malas, dia sudah tahu pasti dia yang akan disangka sebagai biang masalahnya. Melihat hal itu Alana langsung berlari meninggalkannya. “Na, argh, Alana!”

Arion sempat mengejar Alana namun tak lama gadis itu langsung berhenti dan berbalik badan, rupanya ia hanya berbalik untuk melemparkan tas milik Arion barusan. “Jangan deketin gue dulu. Lo cuma bisa malu-maluin gue.”

“Fuck!” Arion menggertakkan rahangnya kuat, dia merasakan tangannya memar karena pukulannya barusan, juga wajahnya terdapat sedikit memar di sana. Ia pun menghela napas frustasi sebelum ia mengamati sekeliling yang melihatnya dengan pandangan mata tak enak, lelaki itu pun segera pergi dari sana.

****

Cerita Arion

Arion berlari masuk ke dalam suatu warung di tepi jalan—di sana tampak berjejer beberapa motor di luarnya, itu memang tempat bagi beberapa mahasiswa yang akan meluangkan jam kosongnya di sana bersama teman-teman satu circlenya yang lain. Tentunya, tidak semua mahasiswa, hanya beberapa dari fakultas yang berbeda, mereka berkumpul biasanya karena berada dalam satu kelompok yang sama, tempat tinggal berdekatan, dan terakhir kerap kalo menongkrong bersama. Pada akhirnya banyak yang menganggap orang-orang di circle itu merupakan kumpulan berandalan-berandalan.

Arion memegang wajahnya yang lebam, juga tangannya yang sedikit berdarah. Dia langsung menjadi sorotan teman-temannya.

“Anjing! Lo ngapain?” Levin bangkit dan segera memeriksa keadaan Arion, dia memegang wajah temannya itu. “Lo apain si Malvin bangsat?!”

“Lo kacau sih, Yon!” Atuy bangkit dan berdecak pelan saat mengamati Arion. “Kenapa sih?”

“Lagian gue gak ngerti kenapa bisa si Malvin naik jadi kabem anjir,” celetuk Tenggara.

“Gue diputusin,” ucap Arion. Lelaki itu menghela napasnya, dia berdecak pelan seraya duduk. Dia memandang teman-temannya. “Gue ga ngerti kenapa ya gue cemburuan—ah, bukan, maksud gue, gue—ah fuck!”

“Udah lu tuh jangan kebanyakan gengsi, sok-sokan gengsi tapi sekalinya cemburu ketara banget, si tolol emang!” Skala terbahak saat meledek Arion, “lagian, cewek juga kesel kali sama cowok cemburuan, nanti malah lepas sendiri, Yon!”

“Reflek, gua ga cemburu juga sih, cuma ga suka aja.” Arion membela diri, tak lama Haikal bersuara membuatnya menoleh.

“Lu sama gua aja pernah cemburu anjing, ngakak banget.” Haikal tertawa seraya menghampiri Arion, membawa sebotol air dingin dan memberikannya pada Arion. “Nih kompres pake ini dulu.”

“Thanks,” Arion menahan senyumnya, jujur saja ia malu.

“Lagian kok lu bisa-bisanya baru inget siapa Malvin, ck ck.” Atuy tertawa kecil. “Udah tau gak bener tu orang, tapi ya kalo kerja dalam organisasinya sih mungkin gue masih bisa sedikit tepuk tangan, kerja doi bagus.”

“Ya lagian emang ga ada hubungannya sama pribadinya,” celetuk Levin.

“Iya deh, feeling gue sih ya dia gak ada maksud lebih deh, tapi—”

Arion langsung memotong pembicaraan Tenggara. “Lu gak tau aja omongannya kayak apa, kurang ajar.”

“Gimana bisa dia mau jelasin kalo lo dateng-dateng ngegebukin?” Levin terbahak.

“Terlanjur, bodo amat deh gue udah gak ada muka juga di FISIP.” Arion berdecak pelan, dia lalu menoleh pada teman-temannya.

“Terus, kalian bakal putus?” Alden mengangkat alisnya sebelah, mengamati Arion.

“Gue gapernah mikir kesana, gue jelas gak mau, tapi kalo dia maunya lepas, gue bisa apa?” Arion tersenyum miris. “Ya setidaknya, gue mau ketemu dia dulu.”

“Gue rasa nih, hubungan kalian tuh jelas masih bisa dipertahanin sih, lagian ini cuma karena keegoisan masing-masing aja, kalian juga kurang komunikasi dan apa-apa saling mendem, coba deh terbuka,” ucap Tenggara.

“Waduh ngeri, kalo seorang fuck boy udah berucap sih.” Atuy tertawa. “Tapi ada benernya tuh, coba bangun komunikasi yang baik, kalian udah gede anjir.”

“Sumpah sok iya banget lu,” cibir Levin dengan kekehan kecil.

“Ya udah lah, gausah dibahas. Gue mau ngerjain tugas dulu.” Arion mengambil buku tulis sepaket dengan buku pengantar materinya dari dalam tasnya.

“Dih?” Atuy menyibir. “Gila lu, bisa-bisanya.”

“Gue suka dimarahin Alana kalo enggak nugas, jadi setidaknya nanti marahnya dia bisa berkurang,” kata Arion.

“Anjing beneran bucin banget.” Haikal bergedik geli. “Gue gak paham kenapa bisa anjir, padahal ya kalo lo mau bandingin masih banyak anak teknik yang cantik—”

“Maksud lu cewek gue gak cantik?” Arion melotot pada Haikal. “Gitu-gitu lu pernah demen ya!”

“Cantik lah, maksud gue, ah kenapa bisa gitu anjir...” Haikal tertawa. “Apa yang bikin lo sebegitunya?”

“Kepo,” cibir Arion.

“Gue tau,” kata Levin. Semua langsung menyorot pada lelaki itu terlebih Arion yang terbelalak padanya. “Kata Arion, Alana tuh unik, dia punya cara untuk bisa ngimbangin Arion yang emang cuek, doi juga perhatian terus yang paling gue inget nih itu gara-gara .... apa sih, Yon gue lupa?”

Arion menahan senyumnya, “diem deh lo, gausah dibahas.”

“Ah, Alana tuh kelewat polos ya, Yon? Kadang jadi suka lu bego-begoin?” celetuk Alden.

Arion menggeleng dengan wajah bersemu merah.

“Dih salting anjing?” Tenggara terbahak, begitu pun dengan yang lainnya.

“Stress banget udah kalo cowok secuek lu udah bucin gitu,” ujar Alden.

“Bacot anjing udah ah!” Arion melemparkan botol mineral pada Alden, dia kembali fokus pada pekerjaannya sambil tidak bisa menahan senyuman kala mengingat sosok gadis yang hari ini membuatnya sedih, tapi anehnya di lain sisi Alana juga membuatnya senang. Ada-ada saja.