winwincure

Keliru.

“Maaf.”

Itu kata yang pertama diucapkan oleh Arion saat Alana membukakan pintu rumahnya untuk lelaki yang rupanya sudah dari tadi menuturi dirinya dari belakang.

Alana masih mematung, dia memandang ke arah luar, masih belum terpikirkan akan berkata apa dengan suasana canggung seperti ini. Mereka sudah ada di teras rumah Alana sekarang.

“Alana aku bukan patung.”

“Iya sabar, aku lagi mikir!” dengus Alana.

Arion pun mengangguk, dia menghela napasnya panjang. “Kamu bisa tarik ucapan yang tadi?”

“Arion tapi kamu tuh keterlaluan,” ujar Alana.

Namun, pandangan Alana sekarang beralih pada muka lebam di wajah Arion juga punggung tangan lelaki itu yang memar. Alana terkejut lalu ia segera mendekati cowok itu. Ia pun menarik lengan Arion dan membawanya masuk ke dalam rumahnya.

“Alana, mau ngapain?”

“Tuh,” Alana membanting tangan Arion hingga lelaki itu meringis, dia lalu mengedikkan dagu ke arah sofa ruang tamunya. “Duduk dulu.”

Seolah menurut, Arion langsung duduk di sofa, mengamati Alana yang masuk ke dalam sebentar dan kembali lagi bersama kotak P3K yang ada dalam genggamannya. Saat gadis itu duduk di sampingnya, Arion terus mengamati Alana serius, air mukanya penuh damba sekaligus kecemasan. Alana membantu mengobati luka-luka di punggung tangan Arion membuat lelaki itu sesekali meringis dan berujung memegang tangan Alana.

“Jangan modus!”

“Engga, ga sengaja. Sakit, jangan pake emosi, bisa?”

“Ga bisa.”

“Udah.” kata Alana lagi setelah memberi plester pada luka-luka Arion yang sudah diberi obat merah, dia hendak bangkit berdiri sebelum tertahan oleh panggilan Arion.

“Mukanya engga?”

“Urus sendiri.”

“Alana ini aset,” ucap Arion, lalu menyengir. Buat keturunan kita.

Alana memutar bola matanya malas lalu meninggalkan Arion lagi. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali tetapi tidak bersuara bahkan ia hanya berdiri menatap ke luar pintu rumah. “Pulang sana.”

“Alana...” Arion memasang mata kucingnya saat ia bangkit mendekati Alana. “Maafin aku.”

“Minta maaf soal yang mana?”

“Ya Allah, sebanyak itu kesalahan aku?”

“Pulang aja deh sana, udah malem juga,” usir Alana.

Arion menghela napasnya panjang, dia pun mengangguk pelan lalu menyodorkan sebuah paperbag yang sedari tadi dijinjingnya. “Buat kamu.”

Alana menaikkan alisnya sebelah, dia tidak berucap sepatah kata pun, ia membiarkan Arion keluar dari rumahnya begitu saja karena jujur ia masih kesal pada lelaki itu. Terlebih ada banyak kekeliruan yang terbesit dalam benak Alana tentang Arion, tapi sejujurnya ia tidak ingin hubungannya benar-benar beraihir dengan lelaki itu.

Tiga Setengah Menit.

Arion sudah tertidur sejak pukul 10 malam tadi, saat Malvin datang membawa lelaki itu yang sudah terlanjur mabuk bahkan tak sadarkan diri lagi. Melihat kondisi kekasihnya yang seperti itu, Alana sedikit takut juga, dia memilih untuk tidak membangunkan Arion dan membiarkan lelaki itu terlelap.

hukuman.

Alana baru saja membuka pintu apartemennya—yang ia tinggali bersama Arion, sudah hampir sebulan setelah menikah mereka tinggal di sini. Apartemennya tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar. Ukurannya sedang dengan konsep minimalis.

Alana melangkah masuk setelah melepas alas kakinya, dia melangkah masuk ke dalam dengan membawa belanjaan miliknya. Ia melirik ke sekeliling seolah sedang mencari sesuatu. Alana mengecek di setiap sudut ruangan yang tidak menunjukkan ada siapapun, tapi ia belum bisa bernapas lega lalu wanita itu masuk ke dalam kamarnya.

“Syukurlah, Arion belum pulang. Gue harus cepet-cepet mandi biar pas dia balik langsung tidur.”

Saat Alana masuk, ia memang tidak melihat siapa-siapa di sana, ia pun akhirnya bisa bernapas lega. Alana segera menaruh tasnya di atas sofa, berjalan ke arah lemari pakaian dan mengambil handuk sebelum beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

Alana sudah memakai piyama dress lengan pendeknya, dia bercermin sejenak untuk melakukan skincare routine-nya di depan cermin wastafelnya, setelah itu ia pun melangkahkan kakinya keluar namun betapa terkejutnya dia melihat sosok jangkung sudah berdiri di depan pintu seolah telah menunggunya sedari tadi.

Tatapannya begitu dingin dan tajam. Alana tercekit, “Ion ... udah pulang?”

Arion memicingkan matanya, “menurut kamu gimana?”

Alana tersenyum kecil, sebenarnya ia tidak betul-betul bertanya karena sudah jelas lelaki itu bahkan masih memakai setelan atas kemeja putihnya yang artinya Arion baru saja pulang kerja.

“Kamu mau apa? Udah makan? Mau aku buatin sesuatu?”

“Alana.”

“Apa?”

Arion memicingkan matanya menatap Alana, membuat Alana mendorong lelaki itu. “Ion jangan buat aku takut.”

“Alana nakal.”

“Alana udah minta maaf.”

“Gak, belum aku maafin.”

Alana memasang wajah cemberut, “kenapa?”

Arion mendengus sebal, lalu ia langsung menggendong Alana seperti koala, membuat sang wanita terus memukul dada lelaki itu pelan. “Arion mau ngapain?”

“Diem.”

Alana tak mengira kalau dia akan dibawa Arion ke ruang kerjanya, itu membuat Alana bingung apalagi saat Arion membiarkan Alana berada di pangkuannya saat keduanya duduk di depan meja kerja lelaki itu. “Aku masih ada kerjaan, seharusnya aku ga pulang cepet.”

“Ih, ngapain kamu pulang cepet-cepet lagian...”

“Ssst...” Arion mendesis, dia membiarkan Alana ada di pangkuannya dan mengamati dirinya yang tengah melanjutkan sedikit pekerjaannya yang tadi tertunda. “Gara-gara kamu, aku pengen pulang cepet.”

“Yaudah kamu kerja dulu, aku masak sesuatu untuk kamu.”

“Ga.”

“Ih, Arion...”

“Jangan ingkar janji.”

Arion mengetik dengan satu tangan, tangannya yang satu memegang Alana agar tetap seimbang di pangkuannya.

“Ih janji apa?”

Alana pasrah saja saat Arion menempelkan hidungnya di permukaan wajahnya dan sesekali mengendus dalam-dalam. “Ini.”

Mata Arion tertuju pada layar macbook-nya tetapi dia tidak berhenti mengendus-ngendus permukaan wajah kemudian lanjut ke belakang telinga dan turun ke leher wanita itu dengan sesekali akan mencium di beberapa tempat.

Bulu kuduk Alana merinding, entah mengapa Arion selalu mampu membuat dirinya terbang bersama kupu-kupu yang hinggap di perutnya, tapi ia nyaman dengan perlakuan suaminya yang seperti ini.

“Udah...”

“Tadi katanya sepuasnya.”

“Aku ngantuk.”

Arion pun membalikkan tubuh Alana menghadapnya agar dia bisa leluasa mengamati wajah cantik Alana saat ini. Arion menarik Alana mendekat dan menempelkan pipinya dengan pipi Alana lalu dia kembali mengendus pipi gadis itu seraya memeluk Alana erat. Arion terus mengecup pipi Alana gemas dan sesekali ia mengendusnya lama juga mengecupnya lama membiarkan wajah Alana yang menggembung karena sebal. Itu malah semakin membuatnya gemas.

Arion kemudian bangkit kembali dengan Alana dalam gendongannya, dia kembali mengendus pipi Alana dan mengencupnya lama. “Pindah ya? Hm?”

Lalu, dia menggendong Alana untuk kembali ke kamar tanpa melewatkan setiap langkah untuk memberikan kecupan pada istrinya. “Makanya jangan nakal.”

#7

Ini kali pertamanya lagi Alana bertemu Arion sejak awal liburan semester, Arion pulang ke Jakarta sehingga dia tidak bertemu lama dengan lelaki itu. Jadi lah, Alana benar-benar merindukannya, kebetulan saja ia diminta mama untuk menemani sepupunya menjaga sang nenek bergantian di rumah sakit, jadi Alana berangkat ke Jakarta.

Arion tampak memicingkan matanya saat Alana sudah ada di hadapannya, dia mengamati gadis itu dulu dari atas sampai bawah. Lalu, lelaki itu meraih barang bawaan Alana dan membawakannya, dia berjalan mendahului Alana. “Ih, Arion, kok gitu?”

“Apa?”

Alana cemberut saat berjalan berdampingan dengan Arion. “Jutek banget.”

Arion menahan senyumnya, dia berhenti sejenak untuk menggantungkan totebag milik Alana di bahunya, satu tangannya menarik koper gadis itu sehingga tangan yang tadi menjinjing totebag akhirnya menganggur dan tanpa basa basi Arion menggandeng tangan Alana.

Alana bersemu merah, dia melirik Arion. “Ion sini totebag aku gak usah digituin, biar tangan kamu bisa megang aku.”

“Ini bisa.”

“Ya tapi jangan kayak gitu, kayak cewek, aku aja sini.”

“Berisik.”

“Ya udah deh aku tau gitu gak dateng aja, males kamu galak.”

Bukannya merespon, Arion malah mengeratkan genggaman tangannya bahkan ia meremas tangan Alana sehingga gadis itu sontak menoleh dan mendengus kasar. “Arion sakit!”

Arion hanya tersenyum miring tanpa menoleh pada gadis itu, “makanya jangan bawel,” masalahnya ini tempat umum, takut lepas kendali. lo gemesin.

212 — Janji.

Tok tok tok!

“Sir!” Arasha seketika terbelalak melihat William yang hendak melepas bajunya yang basah karena keringat, dia langsung berbalik badan ke arah pintu. “Bisakah kau bilang dulu jika ingin membuka baju?”

“Salah kau sendiri, kenapa tiba-tiba masuk? Aku belum mempersilakan.”

William menyugar rambut basahnya ke atas, dia pun meraih bathrobe putih yang ia sengaja sediakan di ruangan gym-nya. Ia pun memakainya dan menghampiri Arasha. “Sudah, lihat aku, pintu itu tidak setampan aku, tolong jangan lihat kesana terus.”

Arasha bergedik geli mendengar perkataan William barusan saat ia sudah menghadap pada sosok jangkung itu. Arasha jadi tidak fokus karena tidak sengaja melihat shirtless-nya William untuk kesekian kalinya, pipinya bersemu merah. Gadis itu bersumpah William jauh lebih tampan setelah beraktivitas seperti ini, peluh mengalir di dahinya dan berjatuhan di leher pria itu.

“Jangan berimajinasi liar.”

“Sembarangan! Kata siapa?”

William tersenyum miring seraya mencondongkan badannya pada Arasha. “Aku memang tampan, Arasha.”

“Menjauh!” Arasha mendorong William, matanya menyorot tajam lelaki itu. “Kenapa kau selalu menggodaku? Dasar menyebalkan!”

William tertawa renyah, dia memicingkan matanya pada Arasha. “Sudah menyelesaikan hubunganmu itu, hm?”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Jangan kau pikir aku membebaskanmu sepenuhnya, Arasha,” ucap William.

“Maksudnya?!”

“Sudahlah, aku tidak berbicara dengan gadis yang tidak sekolah,” kata William seraya memutar bola matanya jengah.

Arasha melotot padanya, dia langsung memukul dada William keras. “Kau jahat! Mulutmu itu!”

“Kenapa? Mau kau cium?” goda William.

Arasha menggertakkan rahangnya kuat, dia kesal sekali dengan sosok angkuh dan menyebalkan itu pasalnya selain suka menggodanya, William juga kerapkali menghinanya. Bagaimana Arasha tidak kesal dengan pria dewasa itu.

“Sini ikut aku,” ujar William seraya menarik tangan Arasha keluar dari ruang gym itu.

“Mau kemana kita?”

“Tidur.”

“Sudah gila ya?”

“Aku ingin tidur, memang apanya yang gila?”

“Yang benar saja, aku tidak ingin tidur denganmu!”

William yang sudah kesal dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Arasha akhirnya menggendong gadis itu layaknya karung beras di atas bahunya, lalu ia membawa Arasha pergi bersamanya, tidak peduli dadanya terus ditendang bahkan punggungnya dipukul sekalipun.

“Sir! Turunkan aku!!”

“Tidak mau. Kau berisik sekali!”

Benar saja, William membawa gadis itu ke dalam kamarnya, bahkan dia baru menurunkan Arasha setelah ia memasukkan kunci kamarnya ke dalam bathrobe-nya.

“Kau tidur di sini.”

“Aku tidak mau.”

“Ya sudah, kau tidak boleh bertemu Mark.”

“Ah, kau selalu menyebalkan!”

Arasha masih menatap tajam pada William, namun saat lelaki itu berbalik menatapnya membuat ia segera memalingkan pandangan ke arah lain. Sialnya, pandangannya beralih pada sofa yang mengingatkannya pada suatu hal yang terjadi antara dirinya dan William kala itu.

William yang diam-diam mengamati Arasha, segera menarik tangan gadis itu dan membawa Arasha duduk di atas pangkuannya.

Lagi, Arasha terperangkap di pangkuan William.

“Entah mengapa aku selalu senang melihat kau ada di pangkuanku.”

“Sir, ah, kau—”

“Sst, aku tidak akan macam-macam.”

William memeluk Arasha yang membelakanginya, dia mendekatkan hidungnya di ceruk leher Arasha—yang mulai merinding dibuatnya. Arasha tidak lagi memberontak, dekapan William yang hangat dan nyaman membuat fokusnya buyar terutama napas lelaki itu yang menari di leher jenjangnya.

“Aku janji setelah kita kembali dari Beijing, kau akan bertemu dengan Monic.”

“Kau serius?”

“Hm, aku tidak pernah berbohong.”

“Aku pegang janjimu.”

“Kau juga harus janji,” ujar William.

Arasha menoleh padanya, “apa?”

“Kau harus giat belajar saat kau kembali kuliah nanti.”

“Itu janjiku pada diri sendiri.”

William mengangguk dengan senyum tipis, “satu lagi.”

“Apa?”

“Jangan tinggalkan aku.”

William mengecup sekilas bibir Arasha lembut, lalu ia tertawa melihat reaksi Arasha yang terkejut dan selanjutnya ia mengeratkan pelukannya lagi pada gadis itu.

#7

Ini kali pertamanya lagi Alana bertemu Arion sejak awal liburan semester, Arion pulang ke Jakarta sehingga dia tidak bertemu lama dengan lelaki itu. Jadi lah, Alana benar-benar merindukannya, kebetulan saja ia diminta mama untuk menemani sepupunya menjaga sang nenek bergantian di rumah sakit, jadi Alana berangkat ke Jakarta.

Arion tampak memicingkan matanya saat Alana sudah ada di hadapannya, dia mengamati gadis itu dulu dari atas sampai bawah. Lalu, lelaki itu meraih barang bawaan Alana dan membawakannya, dia berjalan mendahului Alana. “Ih, Arion, kok gitu?”

“Apa?”

Alana cemberut saat berjalan berdampingan dengan Arion. “Jutek banget.”

Arion menahan senyumnya, dia berhenti sejenak untuk menggantungkan totebag milik Alana di bahunya, satu tangannya menarik koper gadis itu sehingga tangan yang tadi menjinjing totebag akhirnya menganggur dan tanpa basa basi Arion menggandeng tangan Alana.

Alana bersemu merah, dia melirik Arion. “Ion sini totebag aku gak usah digituin, biar tangan kamu bisa megang aku.”

“Ini bisa.”

“Ya tapi jangan kayak gitu, kayak cewek, aku aja sini.”

“Berisik.”

“Ya udah deh aku tau gitu gak dateng aja, males kamu galak.”

Bukannya merespon, Arion malah mengeratkan genggaman tangannya bahkan ia meremas tangan Alana sehingga gadis itu sontak menoleh dan mendengus kasar. “Arion sakit!”

Arion hanya tersenyum miring tanpa menoleh pada gadis itu, “makanya jangan bawel,” masalahnya ini tempat umum, takut lepas kendali. lo gemesin.

Butterflies.

“Wah, kamu tinggal di sini Ion? Sendirian?”

Alana mengamati sekeliling ruangan apartemen kekasihnya itu, setelah makan siang di Pondok Indah Mall tadi, mereka berdua langsung pulang karena Alana ingin beristirahat sejenak di apartemen Arion yang tidak terlalu jauh dibandingkan rumah tante Alana berada. Alana sedikit takjub dengan keadaan apartemen lelaki itu yang terlihat bersih dan rapi karena beruntungnya kekasihnya itu gemar sekali rapi-rapi.

“Sama emeng,” jawab Arion seraya melepaskan jaket hitamnya, dia melirik Alana. “Mau liat?”

“Sebentar aku mau istirahat dulu,” ujar Alana seraya duduk di ruang televisi, dia memandang ke sekeliling apartemen Arion dan tak sengaja melihat ada foto dirinya yang dipajang di atas meja hias. Ada juga foto keduanya yang dibingkai oleh lelaki itu. Alana terkejut melihatnya karena dia tidak menyangka jika Arion semanis itu, dia melirik pada lelaki yang kini duduk di sampingnya. “Lucu banget ada foto kita, ih tapi akunya masa yang ini? Jelek.”

“Cantik,” celetuk Arion dengan tatapan datar pada Alana yang pura-pura tidak mendengar padahal pipinya kini bersemu merah.

Miauw...

Arion menoleh ke belakang saat mendengar suara kucing mengeong, rupanya kucing kecilnya itu keluar dari kamarnya dan hendak menghampiri Arion. Arion pun bangkit dan berlari kecil pada kucing itu, sontak Alana ikut bangkit dan bergumam pelan. “Ih emeng....”

Mata Alana berbinar saat Arion sedang menggendong kucingnya yang tadi sempat naik ke atas meja bar apartemennya, gadis itu pun menghampiri Arion—yang sedang mengelus kucingnya di atas meja bar. “Namanya siapa Ion?”

“Belum ada nama,” kata Arion. “Aku masih manggil dia emeng.”

“Ih kasian engga punya nama, belum punya akte?” tanya Alana polos tetapi bermaksud bercanda, sang gadis ikut mengelus kucing abu menggemaskan itu.

“Belum buat.”

“Lucu banget, Ion.”

“Memang.”

Arion memiringkan kepalanya untuk memandangi kucingnya yang mulai nyaman saat Alana ikut mengusap perutnya, kucingnya itu tidak mengeong lagi tetapi keenakan sampai memejamkan mata. “Dia suka sama kamu.”

Alana melirik Arion dengan mata berbinar dan bertanya. “Masa?” Arion hanya mengangguk pelan.

Lelaki itu mengamati Alana yang membungkuk sambil mengamati kucing yang tampak merasa nyaman itu. Arion tersenyum kecil, dia pun menjauhkan diri dari Si Kucing lalu ia memeluk pinggang Alana untuk selanjutnya mendudukkan gadis itu di atas meja bar. Alana sempat terkejut namun ia senang bisa duduk bersebelahan dengan kucing yang kini menjadikan tangannya sebagai bantalan tidur.

“Kamu suka dia?” Arion mengamati Alana, dia mulai duduk di depan meja bar—tepat di hadapan kekasihnya. Alana menoleh dan mengangguk. “Kasih nama.”

“Hmm, siapa ya?”

“Gak tau.”

“Ah, aku tau!” Alana memukul lengan Arion gemas, dia tampak antusias. “Namanya Bisnis aja, biar kalo nanti kamu ditanya lagi sibuk apa, kamu bisa jawab sibuk ngurus bisnis. Haha, galucu ya?”

Arion menggeleng datar.

Alana mengangguk seraya menutup mulut dramatis, “oke, tutup warung aja deh gue.”

“Ona.” Alana menoleh pada Arion, dia mengangguk dan mengangkat jempolnya. “Lucu itu!”

“Aneh,” cibir Arion.

“Ada kepanjangannya!”

“Apa?” tanya Arion.

“Arion Alana?” Alana menggaruk tengkuknya, suasana mendadak canggung saat Arion memandangnya dengan tatapan memicing. Alana membungkam mulutnya untuk menahan tawa melihat Arion yang tampak mengulum senyum.

“Jelek.”

“Yaudah, Udin aja deh, ngeselin lo,” dengus Alana.

“Ona aja, Udin terlalu keren.”

Alana tertawa sambil memandang Arion yang tengah menatapnya juga. Lelaki itu melirik sekilas pada kucingnya yang tengah tertidur lelap. Sedikit pelor memang kucingnya itu. “Dia tidur.”

“Iya, cepet banget.”

Udara di sekitar mendadak hening, suasana canggung mulai terasa di antara kedua insan yang sudah dua tahun lebih menjalin hubungan itu, hanya karena sebulan tidak bertemu, entah mengapa terasa lebih canggung, apa mungkin karena tidak ada siapapun lagi selain keduanya di sini.

“Na,” panggil Arion.

“Hm?”

Arion bangkit dari duduknya, berhadapan dengan Alana yang langsung menoleh padanya secara bersamaan. “Mau turun? Jangan ganggu Ona bobo.”

Alana melirik sekilas pada kucing di sampingnya yang sudah tertidur, sebenarnya dia masih ingin bermain dengan kucing yang baru saja dikasih nama Ona itu tetapi dia kasian jika harus mengganggu Ona. Alana pun menoleh pada Arion kemudian mengangguk.

Tanpa berpikir panjang lagi, Arion menggendong Alana di depan, tadinya Alana pikir lelaki itu hanya akan membantunya turun dari meja bar yang lumayan tinggi itu tetapi Arion malah menggendongnya ke ruang televisi.

“Ion aku bukan emeng, gausah digendong.”

“Tapi kok bukannya turun?”

Alana tidak menjawab, ia memejamkan matanya saat berada dipelukan Arion yang menggendongnya, dia memeluk lelaki itu erat dan menghirup aroma tubuh Arion yang wanginya ia sukai.

Arion sudah merenggangkan gendongannya setelah Alana berhasil duduk di sofa namun dia masih berada di hadapan gadis itu sambil mengerutkan hidungnya kala Alana menatapnya sinis. “Bau matahari.”

“Arion!”

“Bercanda,” kata Arion, “belum kecium.”

Arion pun menjauh dari Alana, dia bergerak melepaskan sepatu Alana dan menaruhnya di pinggir sofa. Kepalanya menengadah memandang sang kekasih. “Mau minum?”

“Engga,” Alana menggeleng dengan bibir mengerucut. “Aku mau peluk.”

“Gamau, Ayana bau matahari.”

“Ayana gabau!” Alana mencium tubuhnya sendiri, dia kembali melirik Arion. “Ini wangi!”

“Mana?” Arion mendekat.

“Gak mau ah kamu modus.”

Arion tertawa kecil, dia merentangkan kedua tangannya pada gadis itu, alisnya menaik sebelah. “Mau gendong lagi?”

Alana tersenyum miring, dia memeluk leher Arion dan menatap lelaki tampan itu lebih dekat. “Kamu kalo jauh dari aku nyebelin, makin galak.”

Arion bersimpuh pada lantai, matanya menyorot Alana begitu dalam, senyuman gadis itu selalu mampu membuat hatinya teduh. Arion memegang pinggang Alana dan mencium pipinya gemas. Ia mengendus pipi Alana lama seolah menyalurkan segala kerinduan yang dia rasakan selama ini. Lalu, dia menggigit pipi Alana gemas, membuat gadisnya itu meringis dan memukul lengan Arion.

“Arion sakit!”

Arion merenggangkan pelukannya agar dia bisa leluasa memandang Alana yang menyubit pipinya tak kalah kencang. “Udah ah sakit.”

Sekarang bergantian, Arion mendekatinya lagi dan menempelkan pipinya dengan pipi Alana. Ia memejamkan matanya saat merasakan pelukannya dengan gadis itu. “Mau aku tuker sama Ona ga kamu hm?”

“Arion geli!”

“Soalnya aku lebih suka endusel kamu, kalo Ona bulunya rontok.”

Alana tak bisa menahan pipinya yang bersemu merah, dia menggertakkan rahangnya gemas saat dia memeluk Arion. “Ya udah tuker aja!”

“Nanti emengnya nangis, kasian.”

“Arion kangen Alana?”

“Gatau.”

“Oh ya udah lepasin.”

“Gamau.”

“Oh ya udah kal—”

“Ssst, bisa diem ga? Aku cium nih?” bisik Arion dengan hembusan napasnya yang terasa di telinga Alana.

Alana langsung diam membiarkan lelaki itu memeluknya dan sesekali menggesekkan hidungnya di pipi Alana.

“Ion kenapa manja?”

“Diem, Alana.”

Alana terkekeh pelan seraya mengacak rambut Arion gemas, dia merasa beruntung mempunyai lelaki yang sebenarnya unik dari yang lain, Arion itu emang galak, dingin, posesif tapi di sisi lain ada saatnya dia nunjukkin kasih sayangnya dengan cara seperti ini. Alana merasa bahwa Arion tipikal seseorang yang menyukai physical touch dalam mengungkapkan love language-nya. Tapi entahlah, terkadang lelaki itu memang sangat sulit ditebak.

“William Alexander Wolfed.”

William memutar bola matanya jengah saat kali pertamanya ia menginjakan kaki di depan meja bar—yang sudah ada dua orang lelaki duduk di sana. Jefferey, lelaki yang memakai jaket jeans biru dan kaos hitam tampak tersenyum miring pada William. Berbeda dengan seorang lelaki dewasa yang mengenakan kemeja hitam itu, dia tampak bangkit dan langsung memeluk William.

William tidak membalas pelukan itu sama sekali, tidak juga berekspresi, wajahnya datar tetapi tatapannya sangat tajam.

“Bagaimana kabarmu?” tanya John, senyuman liciknya bisa dilihat jelas oleh William. John kembali duduk seraya meraih gelas kecil dan menyodorkannya pada William. “Hidup semakin menyenangkan, bukan?”

William tersenyum satu sisi seraya meraih gelas itu dan meminumnya dengan sekali teguk. Dia duduk di samping John, pandangannya lurus dengan posisi menghadap ke luar. “Bagaimana dengan kau? Kurasa hidup terasa semakin malang.”

“Hidupku jauh lebih baik,” jawab John, melirik dengan seringaian pada William.

“Sebenarnya acara reuni tidak termasuk di agendaku malam ini, mungkin aku akan langsung to the point.”

William melirik Jefferey, “kau sudah membawa sertifikat kemarin? Jangan lupa dengan dokumen-dokumen yang aku minta, ah satu lagi ... ku rasa kau diharuskan pergi ke sana untuk mengurus semuanya setelah ini, so persiapkan jadwalmu.”

Jefferey pun berdiri, dia memberikan data-data

“William Alexander Wolfed.”

William memutar bola matanya jengah saat kali pertamanya ia menginjakan kaki di depan meja bar—yang sudah ada dua orang lelaki duduk di sana. Jefferey, lelaki yang memakai jaket jeans biru dan kaos hitam tampak tersenyum miring pada William. Berbeda dengan seorang lelaki dewasa yang mengenakan kemeja hitam itu, dia tampak bangkit dan langsung memeluk William.

William tidak membalas pelukan itu sama sekali, tidak juga berekspresi, wajahnya datar tetapi tatapannya sangat tajam.

“Bagaimana kabarmu?” tanya John, senyuman liciknya bisa dilihat jelas oleh William. John kembali duduk seraya meraih gelas kecil dan menyodorkannya pada William. “Hidup semakin menyenangkan, bukan?”

William tersenyum satu sisi seraya meraih gelas itu dan meminumnya dengan sekali teguk. Dia duduk di samping John, pandangannya lurus dengan posisi menghadap ke luar. “Bagaimana dengan kau? Kurasa hidup terasa semakin malang.”

“Hidupku jauh lebih baik,” jawab John, melirik dengan seringaian pada William.

“Sebenarnya acara reuni tidak termasuk di agendaku malam ini, mungkin aku akan langsung to the point.”

William melirik Jefferey, “kau sudah membawa sertifikat kemarin? Jangan lupa dengan dokumen-dokumen yang aku minta, ah satu lagi ... ku rasa kau diharuskan pergi ke sana untuk mengurus semuanya setelah ini, so persiapkan jadwalmu.”

Jefferey pun berdiri, dia memberikan tas hitam yang bisa dipastikan berisi data-data yang sempat diminta oleh William sebelumnya, sebelum menyodorkannya Jeff tampak menahan tas tersebut dan menatap William tajam. “Aku tidak bisa percaya dengan kau, aku akan tau apa yang ingin kau rencanakan setelah ini.”

William tersenyum tipis, dia menaikkan alisnya sebelah. “Ya, jelas, sebaiknya kau harus banyak mencari tau.”

“Ingat, aku sudah tau seberapa busuknya kau, jangan pikir aku akan mudah terperangkap olehmu,” ujar Jeff.

“Bagus kalau kau sudah tau, aku tidak perlu repot-repot mengungkap kebusukanku.”

“Jadi, rencana apa yang ingin kau lakukan?!”

William mengangkat wajahnya seraya berjalan mendekati dirinya dengan Jeff, dia menepuk bahu lelaki itu dua kali. “Selama kau bisa menjaga nama baikku, tidak ada yang perlu aku lakukan.”

Jeff menepis tangan lelaki itu, dia melirik pada John. “Kau tau, aku memang akan berusaha tidak membongkar masa lalumu, tetapi aku tidak yakin apakah ...”

William melirik John sekilas, “urusanku dengan pamanku tidak akan menjadi urusanmu. Jangan lupa jika aku mendominasi di antara kalian berdua.” William tersenyum smirk.

John mengepalkan tangannya kuat, dia benci melihat keangkuhan sosok William yang tak lain dan tak bukan ialah keponakannya. Dia benci melihat bagaimana sosoknya seolah dipandang rendah oleh William.

“Aku datang bukan ingin berkelahi, aku lebih tertarik menyelesaikan semuanya menggunakan otak,” William merebut tas yang diberikan Jeff, dia lalu kembali ke tempatnya duduk—pandangannya masih mengarah pada dua orang itu secara bergantian. Dia meneguk botol alkohol yang sempat dipesannya, “itu pun jika kalian berdua masih memilikinya.”

“Brengsek,” Jeff sudah hampir maju mendekati William kalau tidak Travis yang tiba-tiba datang, Jeff sontak terkejut akan kehadiran lelaki itu. “Kau?!”

William tertawa kecil, dia mengangguk samar seraya menyugar rambutnya saat memandang Travis. “Nice shot. Kau datang di saat yang tepat.”

Travis tersenyum dan merangkul Jeff. Dia memandang pada William dan Jeff secara bergantian. “Aku tidak akan membiarkan dua orang yang pernah bersahabat saling menumpahkan darah.”

William menyibir, “*phatetic.”

“William Alexander Wolfed.”

William memutar bola matanya jengah saat kali pertamanya ia menginjakan kaki di depan meja bar—yang sudah ada dua orang lelaki duduk di sana. Jefferey, lelaki yang memakai jaket jeans biru dan kaos hitam tampak tersenyum miring pada William. Berbeda dengan seorang lelaki dewasa yang mengenakan kemeja hitam itu, dia tampak bangkit dan langsung memeluk William.

William tidak membalas pelukan itu sama sekali, tidak juga berekspresi, wajahnya datar tetapi tatapannya sangat tajam.

“Bagaimana kabarmu?” tanya John, senyuman liciknya bisa dilihat jelas oleh William. John kembali duduk seraya meraih gelas kecil dan menyodorkannya pada William. “Hidup semakin menyenangkan, bukan?”

William tersenyum satu sisi seraya meraih gelas itu dan meminumnya dengan sekali teguk. Dia duduk di samping John, pandangannya lurus dengan posisi menghadap ke luar. “Bagaimana dengan kau? Kurasa hidup terasa semakin malang.”

“Hidupku jauh lebih baik,” jawab John, melirik dengan seringaian pada William.

“Sebenarnya acara reuni tidak termasuk di agendaku malam ini, mungkin aku akan langsung to the point.”

William melirik Jefferey, “kau sudah membawa sertifikat kemarin? Jangan lupa dengan dokumen-dokumen yang aku minta, ah satu lagi ... ku rasa kau diharuskan pergi ke sana untuk mengurus semuanya setelah ini, so persiapkan jadwalmu.”

Jefferey pun berdiri, dia memberikan tas hitam yang bisa dipastikan berisi data-data yang sempat diminta oleh William sebelumnya, sebelum menyodorkannya Jeff tampak menahan tas tersebut dan menatap William tajam. “Aku tidak bisa percaya dengan kau, aku akan tau apa yang ingin kau rencanakan setelah ini.”

William tersenyum tipis, dia menaikkan alisnya sebelah. “Ya, jelas, sebaiknya kau harus banyak mencari tau.”

“Ingat, aku sudah tau seberapa busuknya kau, jangan pikir aku akan mudah terperangkap olehmu,” ujar Jeff.

“Bagus kalau kau sudah tau, aku tidak perlu repot-repot mengungkap kebusukanku.”

“Jadi, rencana apa yang ingin kau lakukan?!”

William mengangkat wajahnya seraya berjalan mendekati dirinya dengan Jeff, dia menepuk bahu lelaki itu dua kali. “Selama kau bisa menjaga nama baikku, tidak ada yang perlu aku lakukan.”

Jeff menepis tangan lelaki itu, dia melirik pada John. “Kau tau, aku memang akan berusaha tidak membongkar masa lalumu, tetapi aku tidak yakin apakah ...”

William melirik John sekilas, “urusanku dengan pamanku tidak akan menjadi urusanmu. Jangan lupa jika aku mendominasi di antara kalian berdua.” William tersenyum smirk.

John mengepalkan tangannya kuat, dia benci melihat keangkuhan sosok William yang tak lain dan tak bukan ialah keponakannya. Dia benci melihat bagaimana sosoknya seolah dipandang rendah oleh William.

“Aku datang bukan ingin berkelahi, aku lebih tertarik menyelesaikan semuanya menggunakan otak,” William merebut tas yang diberikan Jeff, dia lalu kembali ke tempatnya duduk—pandangannya masih mengarah pada dua orang itu secara bergantian. Dia meneguk botol alkohol yang sempat dipesannya, “itu pun jika kalian berdua masih memilikinya.”

“Brengsek,” Jeff sudah hampir maju mendekati William kalau tidak Travis yang tiba-tiba datang, Jeff sontak terkejut akan kehadiran lelaki itu. “Kau?!”

William tertawa kecil, dia mengangguk samar seraya menyugar rambutnya saat memandang Travis. “Nice shot. Kau datang di saat yang tepat.”

Travis tersenyum dan merangkul Jeff. Dia memandang pada William dan Jeff secara bergantian. “Aku tidak akan membiarkan dua orang yang pernah bersahabat saling menumpahkan darah.”

William melirik Jeff dengan raut datar, “*pathetic.”