winwincure

Bandung dan Kehangatan

cw// dirty talks

[](https://i.imgur.com/ddiBcT8.jpg)


Rasanya sudah hampir tiga tahun Airin tidak datang menginjak Kota Kembang ini. Sekarang sekalinya dia datang lagi untuk berlibur ke sini, cukup kaget dan perlu menyesuaikan lagi tentang dinginnya kota ini. Ya terang saja karena selama berada di Bandung, dia menginap di rumah Ibu yang berada di kawasan kota yang hijau dan sejuk. Jalanan depan rumah yang tidak banyak orang berlalu lalang membuat kenyamanan tercipta, belum lagi pepohonan tinggi menjulang di sisi jalannya.

Rumah Mas Wira dan Ibu yang ada di Bandung terletak di daerah Dago, tidak tepat di bagian atasnya tetapi masih mengarah ke tengah kota. Airin datang kesini untuk mengunjungi mertuanya bersama sang Anak, mama, dan Ramzy. Jadi suasana rumah saat itu begitu ramai, belum lagi ada tante Mirna dan Mahesa yang menginap juga. Setelah menghabiskan waktu bersama-sama dengan berbincang keluarga, Airin terlebih dahulu masuk ke dalam kamar untuk menyusui anaknya, sedangkan Wira masih duduk di luar bersama ibu dan mertuanya berbeda dengan Ramzy dan Mahesa yang rupanya juga sedang asik main game bersama via online mengingat jarak usia keduanya hanya terpaut dua tahun.

Beruntungnya setelah menginjak usia satu tahun, entah mengapa Sena sudah tidak terlalu banyak menangis kecuali jika ia ingin minum atau hendak tidur seperti sekarang ini, jadi Airin menemani sekaligus menyusui anaknya terlebih dahulu. Suasana malam itu memang sangat dingin, sekarang Bandung benar-benar dingin. Airin yang memakai piyama satin tipis pun merasa sangat kedinginan.

Dia pun menarik selimut sebatas pinggang untuk menutupi tubuh bagian bawahnya seraya menepuk dan mengusap lembut sang Anak dalam pelukannya Airin memejamkan matanya perlahan hingga ia kembali terbangun dengan suara ketukan pintu yang terdengar halus. “Sayang, saya boleh masuk?”

Airin tersenyum mendengar suara berat yang sudah sangat tak asing di telinganya, “boleh.”

“Sayang, Sena sudah tidur?” tanya Wira saat ia melangkah masuk ke dalam setelah mengunci pintu kamarnya. Dia melepaskan jaket yang semula dikenakannya dan mendekati ranjang. “Ai, kamu kedinginan ya? Bawa jaket nggak?”

Airin menggeleng. “Jujur aku bener-bener lupa, Mas.”

“Loh, saya sudah ingatkan kamu, perasaan sudah saya taruh di atas ranjang waktu kamu lagi siapkan baju.” Wira mengerutkan keningnya bingung, dia duduk di samping istrinya dan mengusap rambut Airin. “Kok bisa lupa? Di Bandung sama Jakarta beda loh, Ai, ini apalagi di tengah kota daerah atas.”

“Iya, Mas, maaf, aku teledor. Aku malah fokus bawain peralatan Sena, takut ada yang ketinggalan, ini makanya dia aku pakein baju hangat.”

“Duh, Sayang,” Wira membelai wajah istrinya, “Ini kamu pake jaket saya ya, pake dulu.” Kata Wira dengan nada suara yang lebih rendah lagi ketika menyadari anaknya sudah tertidur lelap dalam pelukan istrinya.

“Mas sebentar, aku mau pindahin Sena dulu, udah bobo.”

Wira mengangguk pelan, dia membantu merapikan baju istrinya dan mengancingkannya, sementara Airin tampak fokus memastikan sang Anak tidak kedinginan lalu ia memindahkan Sena di sampingnya. Setelah menyelimuti dan mencium Sena yang sudah terlelap, Airin memandang suaminya di sampingnya.

“Mas, aku lupa kalau Bandung emang sedingin itu…”

Wira hanya terkekeh pelan. Dia membelai rambut Airin penuh kasih lalu memakaikan jaket miliknya untuk menghangatkan sang Istri. “Ya memang, Sayang. Maka dari itu kamu perlu saya untuk menghangatkan kamu.”

“Mas… kok gimana gitu ya bahasanya?” Airin bersemu menahan tawa.

Wira terkekeh pelan. Rambut panjangnya itu ia sugar ke belakang. Dahi mulusnya terpampang yang menjadi ketampanan paripurna semakin menguar dalam diri lelaki itu. Dia tampak tidak kedinginan dengan hanya mengenakan kaus putih polos yang membentuk dada bidangnya itu.

“Mas kamu nggak dingin?” tanya Airin.

“Nggak, Sayang, sudah biasa. Ini saya sudah hafal gimana udara di kamar ini.” Dia tersenyum sambil menatap istrinya. “Kamu sudah ngantuk belum?”

Airin menggeleng.

Wira tersenyum tipis. “Kamu nggak lagi pura-pura 'kan? Soalnya mata kamu sudah kayak ngantuk begitu.”

“Ngantuk sih… tapi aku masih pengen sama kamu.”

“Ya sudah sekarang gantian deh, kamu yang saya tidurin ya … eh bukan, maksud saya—” dia menahan tawa melihat senyuman Airin yang seolah salah memahami arti perkataannya. Wira yang salah tingkah sendiri langsung mengangkat tubuh istrinya berpindah ke sofa yang ada di dekat televisi. “Kamu tuh emang suka gitu ya, pikirannya kemana aja.”

“Kok aku sih, Mas?” Airin cemberut kala pandangannya bertemu dengan Wira. Ia menikmati saat ia mulai duduk di pangkuan suaminya dalam sofa single empuk yang membuatnya bisa berjarak lebih dekat dengan suaminya. “Kamu sendiri yang ngomongnya gitu, aku 'kan jadi ambigu…”

“Hmm gitu ya?” Wira memamerkan senyuman tipisnya yang menggoda itu, membuat Airin menahan senyumannya.

“Mas, kamu kenapa ganteng banget sih? Aku jujur deh, aku suka nggak tahan kalo liat kamu, aku selalu pengen kayak makan kamu gituu… gemes.” Airin menggertakkan giginya gemas seraya terus menyugar rambut suaminya ke belakang dengan jemari lentiknya. “Apalagi kalau rambut kamu udah berantakan terus aku paling suka juga rambut kamu yang kelihatan dahi. Meski aku selalu suka kamu diapain aja cuma aku suka kamu kayak gini, ganteng banget.”

Wira menikmati sentuhan Airin di rambut dan wajahnya seraya memejamkan matanya dengan senyuman miring. “Kamu boleh apain saya sesuka hati kok, Sayang. Soalnya saya kalau udah diginiin kamu nggak bisa respon apa-apa, ini kalau saya lilin mungkin udah meleleh jadinya. Kamu coba rasain jantung saya berdebarnya bukan main tiap kamu kayak gitu, mulut kamu itu memang manis ya!”

“Oh ya, Mas, kenapa sih setiap aku minta apapun kamu tetap kasih? Meski yang aneh-aneh sekalipun?”

“Demi cinta, Airin.”

“Demi aku apa demi cinta?”

Tangan Wira yang sejak semula sudah menyusup ke dalam piyama Airin untuk membelai pinggang istrinya kini menarik Airin mendekat. Matanya begitu tajam menyorot Airin, membuat perempuan itu terkejut dan menarik rambut suaminya. Wira tersenyum smirk dan langsung meraih ciumannya secara perlahan. Hanya sejenak sampai dia memberi kecupan singkat. “Jangan main-main, saya lakuin apapun ke kamu karena saya cinta kamu, Ai.”

“Kamu… galak banget.”

“Kamu yang bilang kalau kamu suka dan minta saya kasarin lagi, kasar dalam artian…” Wira masih dengan tatapan nakalnya.

“Kamu beneran bikin aku gila tau! Jangan natap aku kayak gitu, Mas!”

“Kamu mau apapun saya kasih, Ai, asal yang realistis ya!”

“Oke kalo yang waktu itu berarti masih terbilang realistis ya, Mas?”

Wira mengerutkan keningnya bingung. “Apa?”

“Yang gara-gara aku ngidam pengen car …”

Wira segera menutup mulut istrinya dengan wajahnya yang merah padam. Matanya terbelalak. “Sayang, demi Tuhan itu nggak usah kamu inget-inget… Saya hampir lupa dan malu jika inget itu.”

“Mas ih seru tau, aku aja mau lagi…”

“Sayang… jangan ya, duh kita lagi nggak di rumah, jangan aneh-aneh kamu.” Wira menahan senyumannya seraya menyentuh hidung mancung Airin. “Jujur saya sendiri kaget kamu ngidamnya begitu, kayaknya ibu hamil yang begitu hanya kamu aja deh ya?”

“Tapi kamu turutin!” seru Airin. “Kamu jangan ngeledek aku aja ya, kalo kamu lupa, nih aku ingetin kamu setelah itu 'kan minta juga buat aku—”

“No! Sayang, please ya? Saya malu…” Wira menggeleng dengan mulutnya yang ditutupi sebagian jarinya. Menahan malu.

“Emangnya kamu minta apa?” Airin yang tampak mulai menikmati semakin ingin menggoda suaminya.

“Ai, please, saya malu ingetnya… hm, kamu tuh seneng banget ya godain saya kayak gitu.” Wira menarik Airin ke dalam pelukannya dan menggit pipi perempuan itu gemas.

“Mas, sakit!” pekik Airin pelan.

“Ssttt, jangan berisik kita, takut Sena bangun,” ujar Airin kala melihat Sena tampak bergerak di ranjangnya.

“Kamu habisnya godain saya terus.”

“Emang nggak suka?”

“Suka.”

“Kamu tuh ya!”

“Saya suka gemes kalau kamu kayak gini tuh,” ujar Wira. Airin tersenyum nakal seraya mencium bibir bagian atas suaminya, dia memandangi kumis tipis milik Wira dan menyentuhnya. “Kamu mau saya cukur kumis lagi?”

“Ini belum panjang, masih tipis. Aku suka.”

“Saya juga suka kamu.”

Mata keduanya terus bertemu dan saling menatap sayu dengan senyuman yang tak pernah lepas dari pandangan satu sama lainnya.

“Kamu tuh nagih banget, Ai.”

“Mas, apaan sih kok tiba-tiba?” Airin bersemu merah.

“Kamu tau saya bukan orang yang mudah tergoda,” ujar Wira. “Tapi kamu bisa dalam satu tatapan mata meruntuhkan dunia saya, asal kamu tau.”

“Itu alasannya kamu selalu mau setiap saat?”

“Sayang…” Wira memicingkan mata, “nggak setiap saat juga, ya ampun saya nggak kayak gitu ya! Saya juga tau waktu, saya cinta kamu bukan soal itu saja!”

“Iya mas iyaa aku percaya, aku bercanda tau tapi.. kamu juga kok.” Airin menangkup wajah suaminya itu. “Nagih.”

“Kamu itu kayaknya memang makhluk favorit Tuhan ya? Saya belum nemu kurangnya.” Wira mengusap lengan Airin dari atas hingga telapak tangan wanita itu ia raih. “Pantas saja banyak yang menginginkan kamu, beruntung kamu maunya sama saya.”

“Kalau aku sama orang lain kamu gimana?”

“Ya nggak gimana-gimana.”

“Kok gitu sih?”

“Ya, orang kamunya nggak mau sama saya, saya bisa apa?” Wira berujar lembut, jemarinya masih betah bermain dengan jemari Airin. “Saya sedih pasti, tapi ya kamu bahagia, saya pun bahagia.”

“Nanti kamu sama si pramugari itu lagi?”

“Ya tidak tau, tidak kepikiran sama siapapun selain kamu, sungguh.”

“Kalo gitu, seharusnya aku yang bilang ke kamu kalau kamu yang pasti makhluk favorit Tuhan. Aku rasa Tuhan ciptain kamu untuk jadi satu di antara kesayangannya, kamu nggak ada minusnya, Mas.”

“Kita semua makhluk kesayangan-Nya, Ai.”

“Kamu tuh, Mas, entah kenapa bisa dikirimkan untuk aku yang bukan perempuan baik-baik. Kita kayak surga dan neraka. Aku aja sampe nggak nyangka bisa jadi istri kamu.”

“Hus, kamu bicaranya kok gitu? Saya nggak sesempurna itu, Ai, saya juga manusia biasa yang banyak kurangnya. Hanya mungkin kekurangan yang saya punya sudah banyak kamu lengkapi. Hidup saya sekarang jadi jauh lebih baik dari sebelumnya.”

“Mas, kalau seandainya aku bisa kasih seisi dunia ke kamu, aku pasti kasih dunia dan seisinya serta semua kebaikan untuk kamu. Aku nggak tau gimana cara balas semua kebaikan kamu ke aku…”

“Kamu ada di samping saya, itu sudah anugerah terindah dan terbaik Tuhan untuk saya, Ai. Saya cinta kamu, sangat.”

“Mas…”

Airin menghamburkan pelukan hangat pada suaminya, kepalanya menelusup ke dalam dada bidang berusaha mencari tempat ternyaman di sana dan menghirup aroma maskulin Wira yang menguar semakin pekat di hidungnya. Tempat ternyaman Airin untuk beristirahat sejenak dan sebanyak-banyaknya meraih cinta yang diberikan oleh Wira, tanpa ingin sedikit pun menyia-nyiakan itu. Wira memeluk tubuhnya tak kalah erat, ia mengendus aroma tubuh Airin di leher jenjang sang Istri, perlahan mengecupnya dengan lembut tanpa ingin berhenti.

I love you, Sayang.”

Love you more, Mas.”

Jakarta bersama Kania


Selamat Datang di Jakarta. 

Setelah tiga tahun lamanya menjelajahi negara orang, akhirnya seorang Gadis Aneira kembali merasakan menginjakkan kakinya lagi untuk tinggal dan menetap di tanah airnya. Udara yang tidak jauh berbeda dengan Singapura membuatnya merasa seharusnya tak akan ada banyak hal yang membuatnya merindukan negara itu. Apalagi ia akan memulai hidup baru yang diharapkan bisa lebih baik di sini, terlebih ada teman-teman dekatnya yang tentu akan banyak menemaninya, begitu pun dengan sang Ibunda dengan keluarganya yang ada di dekatnya. 

Sepanjang perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta menuju ke apartemennya terbilang cukup jauh, namun mereka bertiga—mama, Gadis, dan Kania sempat berhenti di sebuah restoran berbintang untuk makan siang seraya menunggu waktu istirahat jam kerja yang diduga Kania akan padat oleh kendaraan. Tentu baik Gadis maupun sang Mama bersedia akan tawaran Kania itu. 

Kemudian setelah selesai makan bersama, mereka mangantarkan mama terlebih dahulu ke rumah sebelum Kania akan mengantar Gadis pulang ke apartemen barunya. Terlebih Kania sudah mempersiapkan pakaian untuk menginap sekaligus membantu Gadis merapikan barang-barangnya di sana. 

Rasanya begitu asing, tapi rasa rindunya terasa terbalas sekarang, dia kembali menginjak ibu kota Jakarta ini—tempatnya semasa kecil hingga dewasa menghabiskan waktu serta mengejar angan-angannya dan kedatangannya ke sini pula untuk melanjutkan sejumput harapan dari cita-citanya yang sudah dalam genggamannya. 

“Please, give me a hug.” Ujar Kania beberapa saat setelah mereka tiba di apartemen baru milik Gadis yang sudah terdapat beberapa fasilitas di dalamnya. 

Tanpa berpikir panjang, Gadis segera menghamburkan pelukan hangat keduanya pada sahabatnya. Suasana haru menjadi pengiring dari pelukan keduanya yang saling menyalurkan rindu.

“I miss you, Kania.”

“Miss you more and finally you're home.”

“Ya, finally!”

Seperti enggan melepaskan pelukannya, baik Kania maupun Gadis saling berselebrasi dalam pelukan mereka. Meskipun air mata tertahan memupuk di kelopak mata masing-masing, kebersamaan yang mereka nantikan beberapa tahun lamanya.

Kania adalah salah satu alasan Gadis kembali ke Jakarta. Kania Prameswari adalah sahabat terbaiknya. Dialah yang selalu ada dan berusaha menemaninya dalam setiap waktu meskipun ia berada dalam kesibukan pada pekerjaannya. Kania bahkan rela untuk menghampirinya tatkala Gadis tinggal di Singapore. Begitupun Gadis yang akan rela menghampiri Kania di Indonesia.

Kania bukanlah sahabat yang mungkin akan menganggapnya lawan, Kania seorang sahabat yang selalu mendukungnya, memuji setiap keberhasilannya, dan menasihatinya dalam segala kegelisahan yang Gadis alami. Bukan soal tentang waktu, tapi tentang komunkasi yang selalu terjalin di antara keduanya sebab baik Kania maupun Gadis akan mengerti kesibukan masing-masing.

Kania tidak akan banyak mengganggu Gadis jika sedang sibuk, begitupun dengan Gadis yang akan memaklumi dirinya. Menurut Gadis, Kania berhak mendapatkan laki-laki terbaik seperti dirinya. Dan bagi Kania, Gadis pun tidak boleh asal memilih lelaki, dia akan membantunya tentu dengan doa agar Gadis mendapatkan pula yang terbaik versinya.

“Gila, lo makin cantik aja, apa efek lagi kasmaran ya?” Ledek Kania yang kemudian melepaskan pelukannya.

“Dih, biasa aja kali gue?” Gadis menahan senyumannya, “bukannya lo ya yang makin cantik sekarang? Jangan-jangan lo yang lagi kasmaran tapi gak ada bilang-bilang sama gue?”

“Sialan lo malah ngebalikin ke gue lagi,” kekeh Kania.

“Jadi gimana?” Tanya Kania lagi, setelah dia membantu membawakan barang Gadis ke kamarnya. “Pilotnya siapa tadi?”

“Kan, brengsek, gue baru juga dateng ya?” Gadis melirik tajam dengan kekehan. Dia kemudian menunjuk pada genggaman Kania. “Et, turunin! Lo diem aja, lo tuh tamu di sini, sekarang gue bikinin lo minum. Tenang aja, nyokap gue udah stok makanan dan minuman sebelum gue balik. Liat aja udah rapi, kan? Udah gak banyak banget yang harus dibenah.”

Kania mengangguk setuju, dia juga mengira bahwa apartemen baru milik sahabatnya ini akan kosong dan berantakan tetapi rupanya ini benar-benar apartemen siap huni yang mungkin hanya perlu beberapa furniture tambahan untuk mengisi ruangan. Bahkan, ini lebih rapih dibandingkan apartemen baru Kania yang belum lama ini ia tempati, sebab Kania masih belum sepenuhnya bebenah di tengah kesibukannya.

Gadis menaruh secangkir kopi untuk Kania di atas meja bar, kemudian keduanya duduk di sana.

“Sialan, gabut banget dong gue ke sini?” Celetuk Kania. “Gue pikir bakal berantakan gila, hadeeuh.”

Gadis terkekeh pelan setelah menyeruput kopinya. “Nggak dong, gue belum bilang ya, kalo ini emang apartemen nyokap gue yang dulu sempet disewain dan sekarang gue tempatin deh. Kalo gue beli baru ya mending deket lo aja gak sih?”

Kania mengangguk. “Gue lupa soal itu jujur. Tapi, iya juga ya? Kalo gitu lo minggu depan yang harus bantu gue bebenah ya, gue belum sempet lagi duuh pusing banget.”

“Iya deh iya yang sibuk banget.” Ledek Gadis.

“Capek gila woy.”

“Ya udah nikmatin aja, tapi jangan dibawa stress, enjoy aja diusahain. Masih untung lo punya pekerjaan 'kan?”

Kania pun mengangguk kemudian menyeruput kopinya lagi.

“Oh ya, gimana soal bisnis lo di sini?”

“Nanti gue cerita deh, jangan sekarang, biarin gue adaptasi dulu sama suasana baru ini okay?” Gadis tersenyum meringis.

“Ah, okay, it's not that deep, basa basi aja kok gue.”

“Najis lo,” Gadis terkekeh. “So are you busy tomorrow?”

“Sayangnya iya, gue banyak kerjaan yang di-pending besok karena gue cuti hari ini 'kan...” “Yaah, padahal gue pengen minta lo temenin keliling dan jalan-jalan besok.”

“Kenapa gak sekarang? Gue niatnya tadi emang mau bantuin lo seharian, tapi setelah melihat nggak ada yang gak beres lagi selain elo ya ya udah aman aja kita cabut sekarang.” Ucap Kania dengan kekehan di akhir kalimatnya.

“Sialan, tapi lo serius sekarang banget? Lo gak capek ya gila?”

“Santai, nggak kok.”

“Okay, let's gooo! Habisin dulu deh ya ini gue udah capek-capek buatnya.”

Kania tertawa kecil. “Iya, Nyonya.”

Sederhana, Kania benar-benar begitu pengertian. Salah satu orang yang tidak akan Gadis temukan di mana pun, sahabatnya yang satu ini, Kania Prameswari. Dia rela meluangkan waktunya di tengah kesibukannya untuk sahabatnya.

Jakarta bersama Kania


Selamat Datang di Jakarta. 

Setelah tiga tahun lamanya menjelajahi negara orang, akhirnya seorang Gadis Aneira kembali merasakan menginjakkan kakinya lagi untuk tinggal dan menetap di tanah airnya. Udara yang tidak jauh berbeda dengan Singapura membuatnya merasa seharusnya tak akan ada banyak hal yang membuatnya merindukan negara itu. Apalagi ia akan memulai hidup baru yang diharapkan bisa lebih baik di sini, terlebih ada teman-teman dekatnya yang tentu akan banyak menemaninya, begitu pun dengan sang Ibunda dengan keluarganya yang ada di dekatnya. 

Sepanjang perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta menuju ke apartemennya terbilang cukup jauh, namun mereka bertiga—mama, Gadis, dan Kania sempat berhenti di sebuah restoran berbintang untuk makan siang seraya menunggu waktu istirahat jam kerja yang diduga Kania akan padat oleh kendaraan. Tentu baik Gadis maupun sang Mama bersedia akan tawaran Kania itu. 

Kemudian setelah selesai makan bersama, mereka mangantarkan mama terlebih dahulu ke rumah sebelum Kania akan mengantar Gadis pulang ke apartemen barunya. Terlebih Kania sudah mempersiapkan pakaian untuk menginap sekaligus membantu Gadis merapikan barang-barangnya di sana. 

Rasanya begitu asing, tapi rasa rindunya terasa terbalas sekarang, dia kembali menginjak ibu kota Jakarta ini—tempatnya semasa kecil hingga dewasa menghabiskan waktu serta mengejar angan-angannya dan kedatangannya ke sini pula untuk melanjutkan sejumput harapan dari cita-citanya yang sudah dalam genggamannya. 

“Please, give me a hug.” Ujar Kania beberapa saat setelah mereka tiba di apartemen baru milik Gadis yang sudah terdapat beberapa fasilitas di dalamnya. 

Tanpa berpikir panjang, Gadis segera menghamburkan pelukan hangat keduanya pada sahabatnya. Suasana haru menjadi pengiring dari pelukan keduanya yang saling menyalurkan rindu.

I miss you, Kania.

Miss you more and finally you're home.

Ya, finally!

Seperti enggan melepaskan pelukannya, baik Kania maupun Gadis saling berselebrasi dalam pelukan mereka. Meskipun air mata tertahan memupuk di kelopak mata masing-masing, kebersamaan yang mereka nantikan beberapa tahun lamanya.

Kania adalah salah satu alasan Gadis kembali ke Jakarta. Kania Prameswari adalah sahabat terbaiknya. Dialah yang selalu ada dan berusaha menemaninya dalam setiap waktu meskipun ia berada dalam kesibukan pada pekerjaannya. Kania bahkan rela untuk menghampirinya tatkala Gadis tinggal di Singapore. Begitupun Gadis yang akan rela menghampiri Kania di Indonesia.

Kania bukanlah sahabat yang mungkin akan menganggapnya lawan, Kania seorang sahabat yang selalu mendukungnya, memuji setiap keberhasilannya, dan menasihatinya dalam segala kegelisahan yang Gadis alami. Bukan soal tentang waktu, tapi tentang komunkasi yang selalu terjalin di antara keduanya sebab baik Kania maupun Gadis akan mengerti kesibukan masing-masing.

Kania tidak akan banyak mengganggu Gadis jika sedang sibuk, begitupun dengan Gadis yang akan memaklumi dirinya. Menurut Gadis, Kania berhak mendapatkan laki-laki terbaik seperti dirinya. Dan bagi Kania, Gadis pun tidak boleh asal memilih lelaki, dia akan membantunya tentu dengan doa agar Gadis mendapatkan pula yang terbaik versinya.

“Gila, lo makin cantik aja, apa efek lagi kasmaran ya?” Ledek Kania yang kemudian melepaskan pelukannya.

“Dih, biasa aja kali gue?” Gadis menahan senyumannya, “bukannya lo ya yang makin cantik sekarang? Jangan-jangan lo yang lagi kasmaran tapi gak ada bilang-bilang sama gue?”

“Sialan lo malah ngebalikin ke gue lagi,” kekeh Kania.

“Jadi gimana?” Tanya Kania lagi, setelah dia membantu membawakan barang Gadis ke kamarnya. “Pilotnya siapa tadi?”

“Kan, brengsek, gue baru juga dateng ya?” Gadis melirik tajam dengan kekehan. Dia kemudian menunjuk pada genggaman Kania. “Et, turunin! Lo diem aja, lo tuh tamu di sini, sekarang gue bikinin lo minum. Tenang aja, nyokap gue udah stok makanan dan minuman sebelum gue balik. Liat aja udah rapi, kan? Udah gak banyak banget yang harus dibenah.”

Kania mengangguk setuju, dia juga mengira bahwa apartemen baru milik sahabatnya ini akan kosong dan berantakan tetapi rupanya ini benar-benar apartemen siap huni yang mungkin hanya perlu beberapa furniture tambahan untuk mengisi ruangan. Bahkan, ini lebih rapih dibandingkan apartemen baru Kania yang belum lama ini ia tempati, sebab Kania masih belum sepenuhnya bebenah di tengah kesibukannya.

Gadis menaruh secangkir kopi untuk Kania di atas meja bar, kemudian keduanya duduk di sana.

“Sialan, gabut banget dong gue ke sini?” Celetuk Kania. “Gue pikir bakal berantakan gila, hadeeuh.”

Gadis terkekeh pelan setelah menyeruput kopinya. “Nggak dong, gue belum bilang ya, kalo ini emang apartemen nyokap gue yang dulu sempet disewain dan sekarang gue tempatin deh. Kalo gue beli baru ya mending deket lo aja gak sih?”

Kania mengangguk. “Gue lupa soal itu jujur. Tapi, iya juga ya? Kalo gitu lo minggu depan yang harus bantu gue bebenah ya, gue belum sempet lagi duuh pusing banget.”

“Iya deh iya yang sibuk banget.” Ledek Gadis.

“Capek gila woy.”

“Ya udah nikmatin aja, tapi jangan dibawa stress, enjoy aja diusahain. Masih untung lo punya pekerjaan 'kan?”

Kania pun mengangguk kemudian menyeruput kopinya lagi.

“Oh ya, gimana soal bisnis lo di sini?”

“Nanti gue cerita deh, jangan sekarang, biarin gue adaptasi dulu sama suasana baru ini okay?” Gadis tersenyum meringis.

“Ah, okay, it's not that deep, basa basi aja kok gue.”

“Najis lo,” Gadis terkekeh. “So are you busy tomorrow?

“Sayangnya iya, gue banyak kerjaan yang di-pending besok karena gue cuti hari ini 'kan...”

“Yaah, padahal gue pengen minta lo temenin keliling dan jalan-jalan besok.”

“Kenapa gak sekarang? Gue niatnya tadi emang mau bantuin lo seharian, tapi setelah melihat nggak ada yang gak beres lagi selain elo ya ya udah aman aja kita cabut sekarang.” Ucap Kania dengan kekehan di akhir kalimatnya.

“Sialan, tapi lo serius sekarang banget? Lo gak capek ya gila?”

“Santai, nggak kok.”

“Okay, let's gooo! Habisin dulu deh ya ini gue udah capek-capek buatnya.”

Kania tertawa kecil. “Iya, Nyonya.”

Sederhana, Kania benar-benar begitu pengertian. Salah satu orang yang tidak akan Gadis temukan di mana pun, sahabatnya yang satu ini, Kania Prameswari. Dia rela meluangkan waktunya di tengah kesibukannya untuk sahabatnya.


First Impression


Entah mengapa baik suasana maupun cuaca Jakarta hari ini sangat mendukung, menikmati perjalanan dengan hawa dingin berselimut di antara kedua orang asing yang dalam suatu genangan udara di ruang kedap suara yang berkendara. Belum banyak percakapan di antara keduanya, sesekali mereka menikmati iringan musik yang kini mengalun lagu “Something About You” yang dinyanyikan oleh Eyedress.

Gadis mengenakan jaket jeans hitam membalut crop top putih dengan bawahan rok putih yang dikenakannya. Terlihat dari cara gadis itu berpakaian dengan penataan rambut terurai dipadu dengan polesan make up seirama sangat menonjolkan kecantikan serta keunikan Gadis. Dia benar-benar berpenampilan ala swaggy dan seperti seorang model yang akan sangat memerhatikan penampilannya, tidak mungkin melupakan sosoknya yang banyak bergelut di bidang fashion.

Tak jauh berbeda dengan Gadis, Hadraniel rupanya tampak menawan dengan pakaian casual-nya sekarang. Dia mengenakan jaket jeans sama seperti Gadis berwarna keabuan. Anehnya mereka bahkan tidak sama sekali janjian mengenakan itu. Kaos maroon gelap dibalut di dalamnya. Dia benar-benar tampan di mata Gadis, apalagi wajahnya yang sangat bersih itu.

“Gadis, gue masih nggak expect soal lo.” Hadraniel membuka suara lagi seraya melirik Gadis. “You look great, ah no, I mean you're so pretty.

You're not trying to melt me, kan?” Gadis menahan senyumannya.

Actually, I'm just telling the truth.

Okay? Can I tell you another one?

Hadraniel mengerutkan keningnya, melirik Gadis sekilas seraya mengangkat alisnya. “Let me hear.

You're the prettiest.

Hadraniel bersemu merah, dia menahan senyuman dengan melirik ke luar jendela. Cengkramannya pada stir mobil begitu mengerat membuat Gadis terkekeh melihat lelaki itu. Dia tampak menggeleng samar namun masih enggan menatap perempuan di sampingnya.

“Gadis, gue kalo salting jelek, lo jangan kayak gitu, please.

No you're, not. In fact, you still look handsome but yeah just a little cuter.”

“Oh shit, I love this atmosphere, Gadis. Tapi gue agak meriang aja jadinya,” ujar Hadraniel. Lelaki itu kini berbalik melirik Gadis, “so how about you? Can't you just stop being funny and pretty at the same time? I can't handle it.”

Gadis tergelak seraya menggeleng kepalanya samar dan mengalihkan pandangannya dari lelaki itu. “Oh damn, stop it, Daniel.”

“Hahaha. Seri ya poinnya?” Tanya Daniel.

“Oh, nggak dong. Gue ngomong serius, bukan main-main, mungkin lo anggap ini permainan, jadi lo aja yang dapet poinnya.”

“Gadis, kok lo gitu sama gue?”

Daniel berdecak lalu tertawa kecil melihat Gadis kembali tergelak. Dia tampak mengacak rambutnya pelan dengan pipinya yang tampak semakin panas sekarang.

“Hahahaha, bener kata lo, salting lo jelek banget.”

“Gue pertama kali kayak gini, Gadis. Thank you for the best first impression that I've got from you.


First Impression

![] (https://i.imgur.com/7uDy9jE.jpg)


Entah mengapa baik suasana maupun cuaca Jakarta hari ini sangat mendukung, menikmati perjalanan dengan hawa dingin berselimut di antara kedua orang asing yang dalam suatu genangan udara di ruang kedap suara yang berkendara. Belum banyak percakapan di antara keduanya, sesekali mereka menikmati iringan musik yang kini mengalun lagu “She” yang dinyanyikan oleh Harry Styles.

Gadis mengenakan jaket jeans hitam membalut crop top putih dengan bawahan rok putih yang dikenakannya. Terlihat dari cara gadis itu berpakaian dengan penataan rambut terurai dipadu dengan polesan make up seirama sangat menonjolkan kecantikan serta keunikan Gadis. Dia benar-benar berpenampilan ala swaggy dan seperti seorang model yang akan sangat memerhatikan penampilannya, tidak mungkin melupakan sosoknya yang banyak bergelut di bidang fashion.

Tak jauh berbeda dengan Gadis, Hadraniel rupanya tampak menawan dengan pakaian casual-nya sekarang. Dia mengenakan jaket jeans sama seperti Gadis berwarna keabuan. Anehnya mereka bahkan tidak sama sekali janjian mengenakan itu. Kaos maroon gelap dibalut di dalamnya. Dia benar-benar tampan di mata Gadis, apalagi wajahnya yang sangat bersih itu.

“Gadis, gue masih nggak expect soal lo.” Hadraniel membuka suara lagi seraya melirik Gadis. “You look great, ah no, I mean you're so pretty.

You're not trying to melt me, kan?” Gadis menahan senyumannya.

Actually, I'm just telling the truth.

Okay? Can I tell you another one?

Hadraniel mengerutkan keningnya, melirik Gadis sekilas seraya mengangkat alisnya. “Let me hear.

You're the prettiest.

Hadraniel bersemu merah, dia menahan senyuman dengan melirik ke luar jendela. Cengkramannya pada stir mobil begitu mengerat membuat Gadis terkekeh melihat lelaki itu. Dia tampak menggeleng samar namun masih enggan menatap perempuan di sampingnya.

“Gadis, gue kalo salting jelek, lo jangan kayak gitu, please.

No you're, not. In fact, you still look handsome but yeah just a little cuter.”

“Oh shit, I love this atmosphere, Gadis. Tapi gue agak meriang aja jadinya,” ujar Hadraniel. Lelaki itu kini berbalik melirik Gadis, “so how about you? Can't you just stop being funny and pretty at the same time? I can't handle it.”

Gadis tergelak seraya menggeleng kepalanya samar dan mengalihkan pandangannya dari lelaki itu. “Oh damn, stop it, Daniel.”

“Hahaha. Seri ya poinnya?” Tanya Daniel.

“Oh, nggak dong. Gue ngomong serius, bukan main-main, mungkin lo anggap ini permainan, jadi lo aja yang dapet poinnya.”

“Gadis, kok lo gitu sama gue?”

Daniel berdecak lalu tertawa kecil melihat Gadis kembali tergelak. Dia tampak mengacak rambutnya pelan dengan pipinya yang tampak semakin panas sekarang.

“Hahahaha, bener kata lo, salting lo jelek banget.”

“Gue pertama kali kayak gini, Gadis. Thank you for the best first impression that I've got from you.


First Impression

[]!(https://i.imgur.com/7uDy9jE.jpg)


Entah mengapa baik suasana maupun cuaca Jakarta hari ini sangat mendukung, menikmati perjalanan dengan hawa dingin berselimut di antara kedua orang asing yang dalam suatu genangan udara di ruang kedap suara yang berkendara. Belum banyak percakapan di antara keduanya, sesekali mereka menikmati iringan musik yang kini mengalun lagu “She” yang dinyanyikan oleh Harry Styles.

Gadis mengenakan jaket jeans hitam membalut crop top putih dengan bawahan rok putih yang dikenakannya. Terlihat dari cara gadis itu berpakaian dengan penataan rambut terurai dipadu dengan polesan make up seirama sangat menonjolkan kecantikan serta keunikan Gadis. Dia benar-benar berpenampilan ala swaggy dan seperti seorang model yang akan sangat memerhatikan penampilannya, tidak mungkin melupakan sosoknya yang banyak bergelut di bidang fashion.

Tak jauh berbeda dengan Gadis, Hadraniel rupanya tampak menawan dengan pakaian casual-nya sekarang. Dia mengenakan jaket jeans sama seperti Gadis berwarna keabuan. Anehnya mereka bahkan tidak sama sekali janjian mengenakan itu. Kaos maroon gelap dibalut di dalamnya. Dia benar-benar tampan di mata Gadis, apalagi wajahnya yang sangat bersih itu.

“Gadis, gue masih nggak expect soal lo.” Hadraniel membuka suara lagi seraya melirik Gadis. “You look great, ah no, I mean you're so pretty.

You're not trying to melt me, kan?” Gadis menahan senyumannya.

Actually, I'm just telling the truth.

Okay? Can I tell you another one?

Hadraniel mengerutkan keningnya, melirik Gadis sekilas seraya mengangkat alisnya. “Let me hear.

You're the prettiest.

Hadraniel bersemu merah, dia menahan senyuman dengan melirik ke luar jendela. Cengkramannya pada stir mobil begitu mengerat membuat Gadis terkekeh melihat lelaki itu. Dia tampak menggeleng samar namun masih enggan menatap perempuan di sampingnya.

“Gadis, gue kalo salting jelek, lo jangan kayak gitu, please.

No you're, not. In fact, you still look handsome but yeah just a little cuter.”

“Oh shit, I love this atmosphere, Gadis. Tapi gue agak meriang aja jadinya,” ujar Hadraniel. Lelaki itu kini berbalik melirik Gadis, “so how about you? Can't you just stop being funny and pretty at the same time? I can't handle it.”

Gadis tergelak seraya menggeleng kepalanya samar dan mengalihkan pandangannya dari lelaki itu. “Oh damn, stop it, Daniel.”

“Hahaha. Seri ya poinnya?” Tanya Daniel.

“Oh, nggak dong. Gue ngomong serius, bukan main-main, mungkin lo anggap ini permainan, jadi lo aja yang dapet poinnya.”

“Gadis, kok lo gitu sama gue?”

Daniel berdecak lalu tertawa kecil melihat Gadis kembali tergelak. Dia tampak mengacak rambutnya pelan dengan pipinya yang tampak semakin panas sekarang.

“Hahahaha, bener kata lo, salting lo jelek banget.”

“Gue pertama kali kayak gini, Gadis. Thank you for the best first impression that I've got from you.


First Impression


Entah mengapa baik suasana maupun cuaca Jakarta hari ini sangat mendukung, menikmati perjalanan dengan hawa dingin berselimut di antara kedua orang asing yang dalam suatu genangan udara di ruang kedap suara yang berkendara. Belum banyak percakapan di antara keduanya, sesekali mereka menikmati iringan musik yang kini mengalun lagu “She” yang dinyanyikan oleh Harry Styles.

Gadis mengenakan jaket jeans hitam membalut crop top putih dengan bawahan rok putih yang dikenakannya. Terlihat dari cara gadis itu berpakaian dengan penataan rambut terurai dipadu dengan polesan make up seirama sangat menonjolkan kecantikan serta keunikan Gadis. Dia benar-benar berpenampilan ala swaggy dan seperti seorang model yang akan sangat memerhatikan penampilannya, tidak mungkin melupakan sosoknya yang banyak bergelut di bidang fashion.

Tak jauh berbeda dengan Gadis, Hadraniel rupanya tampak menawan dengan pakaian casual-nya sekarang. Dia mengenakan jaket jeans sama seperti Gadis berwarna keabuan. Anehnya mereka bahkan tidak sama sekali janjian mengenakan itu. Kaos maroon gelap dibalut di dalamnya. Dia benar-benar tampan di mata Gadis, apalagi wajahnya yang sangat bersih itu.

“Gadis, gue masih nggak expect soal lo.” Hadraniel membuka suara lagi seraya melirik Gadis. “You look great, ah no, I mean you're so pretty.

You're not trying to melt me, kan?” Gadis menahan senyumannya.

Actually, I'm just telling the truth.

Okay? Can I tell you another one?

Hadraniel mengerutkan keningnya, melirik Gadis sekilas seraya mengangkat alisnya. “Let me hear.

You're the prettiest.

Hadraniel bersemu merah, dia menahan senyuman dengan melirik ke luar jendela. Cengkramannya pada stir mobil begitu mengerat membuat Gadis terkekeh melihat lelaki itu. Dia tampak menggeleng samar namun masih enggan menatap perempuan di sampingnya.

“Gadis, gue kalo salting jelek, lo jangan kayak gitu, please.

No you're, not. In fact, you still look handsome but yeah just a little cuter.”

“Oh shit, I love this atmosphere, Gadis. Tapi gue agak meriang aja jadinya,” ujar Hadraniel. Lelaki itu kini berbalik melirik Gadis, “so how about you? Can't you just stop being funny and pretty at the same time? I can't handle it.”

Gadis tergelak seraya menggeleng kepalanya samar dan mengalihkan pandangannya dari lelaki itu. “Oh damn, stop it, Daniel.”

“Hahaha. Seri ya poinnya?” Tanya Daniel.

“Oh, nggak dong. Gue ngomong serius, bukan main-main, mungkin lo anggap ini permainan, jadi lo aja yang dapet poinnya.”

“Gadis, kok lo gitu sama gue?”

Daniel berdecak lalu tertawa kecil melihat Gadis kembali tergelak. Dia tampak mengacak rambutnya pelan dengan pipinya yang tampak semakin panas sekarang.

“Hahahaha, bener kata lo, salting lo jelek banget.”

“Gue pertama kali kayak gini, Gadis. Thank you for the best first impression that I've got from you.


Mengenang Masa Lalu


Suasana terik cuaca Jakarta meski pada sore hari tidak dapat dipungkiri lagi meskipun hari ini tak begitu panas, tetapi cukup menghangatkan dikala angin terus menerus berhembus di udara saat itu. Dengan demikian, itu menjadi alasan Hadraniel mengajak Gadis duduk sejenak sambil menyeruput es kelapa yang berada tepat di seberang gedung sekolahnya dulu.

Ya, lokasi kedua yang mereka kunjungi hari ini adalah SMA negeri tempat mereka bersekolah dulu. Gadis tak menyangka bahwa dirinya akan kembali menginjakkan kakinya di sini. Rasanya sudah sangat lama ia tidak datang kemari, mungkin sekira lebih dari lima tahun sejak reuni SMA pernah diadakan dulu. Tiba-tiba ia teringat pada waktu itu, ketika ia datang ke acara reuni SMA-nya dan seingatnya dia tidak melihat lelaki di sampingnya itu datang.

“Daniel, waktu reuni terakhir SMA, lo nggak dateng ya?”

Lelaki itu menoleh ke arah Gadis, dia menggeleng dengan senyuman tipis. “Sorry kalau waktu itu lo cari gue, gue nggak dateng karena masih pelatihan di sekolah pilot 'kan.”

Gadis memutar bola matanya jengah, enggan melanjutkan perbincangan yang mengarah pada guyonan Hadraniel beserta rasa percaya dirinya yang tinggi itu.

Beberapa saat kala keduanya menikmati pemandangan para siswa yang berlalu lalang di hadapan mereka dari pintu gerbang—yang tampaknya di dalam sedang ada kegiatan, Gadis melirik pada Hadraniel.

“Niel,” panggil Gadis.

“Mau masuk?”

Hadraniel melirik ke arah gerbang sekolahnya, alisnya naik sebelah, bermaksud untuk mengajak Gadis bernostalgia lebih jauh jika keduanya masuk ke dalam sekolahnya. Sebab, pasti akan banyak memori yang akan kembali jika mereka masuk ke sana. Hadraniel tampak terkekeh pelan kala melihat pandangan Gadis yang belum teralih darinya.

“Nggak mau, lo aja gih.” Ujar Gadis.

“Gue mah males, bosen. Gue suka ke sini kadang meski cuma buat minum es kelapa sambil nostalgia masa muda.”

“Iya deh yang udah tua,” ledek Gadis.

“Brengsek iya juga ya? Salah ngomong gue,” kata Hadraniel seraya terkekeh. “Oh ya, tadi lo mau ngomong?”

Daniel mengerutkan keningnya kala melihat perempuan di sampingnya tersenyum tipis memandangnya. Surai panjangnya yang kini cepol asal menyisakan helaian rambut pinggir yang berterbangan tertiup angin membuatnya begitu tampak cantik. Buru-buru Daniel mengedarkan pandangan ke arah lain, tidak ingin kelihatan terlalu memperhatikan dan terpikat pada perempuan itu.

“Makasih ya untuk hari ini.”

Jika saja Daniel bisa mengutuk dirinya, ia akan mengutuk dirinya sendiri sekarang yang hanya bisa mengulum senyuman saat bertukar pandang dengan perempuan cantik itu. Bukan soal perkataannya saja, tapi senyumannya yang begitu mudah terpatri dalam pikirannya. Gadis benar-benar cantik sampai ia tidak sanggup bertukar pandang terlalu lama.

“Gue yang makasih,” ujar Daniel.

“Makasih untuk apa? Gue yang ngerepotin lo tau gak hari ini tuh!”

Daniel terkekeh pelan. “Makasih udah balik ke Indonesia, Gadis.”


Weakness

cw// mention of sex


Mungkin sebagian besar orang sudah beristirahat dan terlelap atau sudah terbawa oleh alam mimpinya pada jam yang menunjukkan pukul satu dini hari ini. Berbeda dengan dua insan yang masih melanjutkan pergulatan yang sedari tadi berlangsung. Saling melepas rasa rindu dan meluapkan seluruh hasrat masing-masing pada satu sama lain membuat mereka begitu hanyut dengan ini semua. Napas yang saling memburu bertukar satu sama lain dan tak beraturan.

“Mas, pelan-pelan…” Airin merintih dalam geramannya.

Wanita itu masih memeluk leher suaminya yang berada di atasnya, Airin sesekali akan meracau tak jelas setiap Wira terus bergerak tak beraturan dengan sentuhannya di sekujur tubuh perempuan tercintanya.

Wira mengangkat pandangannya menatap istrinya yang berpeluh. Ia membelai wajah Airin yang matanya tampak sayu, kemudian mengecup pipinya lembut. “Tahan ya.”

Airin meremas rambut suaminya tanpa sempat berkata-kata karena Wira langsung melayangkan ciuman panasnya yang menggebu. Lelaki itu mendominasi permainan tersebut dengan terus memberi lumatan kasar yang membuat istrinya tak berkutik. Airin berusaha membalas namun ia terlalu menikmati dominasi suaminya, belum lagi tenaganya yang sudah cukup terkuras.

Wira melepaskan ciumannya, napas hangatnya menerpa wajah Airin. Matanya gelap menatap sang Istri seraya menarik kedua tungkai Airin ke atas punggungnya. “Peluk saya erat.”

Airin hanya menurut perintah suaminya dan memeluk lelaki itu erat. Dia mendesah panjang merasakan sesuatu di bawah sana terus mendesak masuk, gerakan brutal lelaki di atasnya membuatnya menggeram nikmat. Airin menelusup ke dalam ceruk leher Wira dan menggigit bahu suaminya untuk meluapkan apa yang dirasakannya.

Wira menggeram seraya terus mengecupi leher Airin. “Sayang, enak hm?”

“Mas… ahh, jangan tanya soal itu,” racau Airin.

Wira mengulum kuping wanitanya dan beralih mengisap leher Airin sambil terus bergerak. “Emh.” Desah lelaki itu. “Kamu … enak.”

“Iya, Mas…”

“Iya apa hm?”

“Mas, lebih cepet.”

“Iya sayang. Peluk saya, kalau sakit pukul bahu saya.”

Wira mencengkram kedua sisi pinggang Airin sembari bergerak lebih cepat seperti permintaan istrinya. Dia begitu bertenaga penuh hingga setiap gerakannya menimbulkan suara yang membuat keduanya semakin bergairah.

Sepertinya Airin mulai menyadari kalau suaminya sekarang mulai memahami apa yang dia suka dan bagaimana dengan mudahnya Wira membuatnya tak berdaya dengan kenikmatan penuh yang ia berikan pada istrinya. Airin tidak bisa banyak berkutik, dia hanya menuruti setiap perintah suaminya. Dia sangat suka dengan dominasi kuat pria di hadapannya ini, sebab itu mampu membuatnya tak bisa melawan dan hanya menikmati apa yang didapatnya.

“Sayang, mau ganti posisi?” tanya Wira sambil menempelkan dahinya pada wajah Airin.

Tak ada jawaban pasti yang sempat keluar dari mulut Airin, tetapi Wira sepertinya sudah memahami tentang wanita itu sehingga dia sendiri akhirnya yang kembali mengatur.

Setelah melepaskan dirinya dari dalam tubuh Airin, dia membantu istrinya untuk bangun dengan penampilan yang sudah berantakan tetapi begitu menggairahkan di mata Wira.

“Balik badan, Sayang.”

Airin hanya menuruti perintah suaminya kemudian dengan bantuan lelakinya tubuhnya langsung berbalik memunggungi Wira. Kakinya berlutut membelakangi suaminya dan mulai merasakan seseorang memegang erat sebelah pinggangnya. Airin mendesah kuat saat Wira mencoba kembali memasukinya. Tubuh mereka menempel begitu erat, Wira memberi kecupan lembut di leher Airin dengan hisapan-hisapan penuh nafsu.

“Sayang,” panggil Wira dengan suara bergetar. Tangannya menyentuh surai panjang istrinya yang berantakan dan mengumpulkannya menjadi satu dalam genggamannya. Ia kembali berbisik sambil mengulum kuping wanitanya lagi. “Rileks, Sayang.”

“Mas, uhh,” desah Airin. Tangannya memegang kuat bantal di bawahnya.

“Saya gerak ya,” lirih Wira.

Ia memulai gerakannya secara perlahan sembari memegang rambut Airin dengan satu tangan lain menahan tubuh istrinya agar tetap seimbang. Dia terus bergerak teratur sambil memandangi tubuh istrinya dari belakang sana.

Bibirnya tak mau tinggal diam, terus menyusuri leher jenjang Airin dan memberi hisapan dan lumatan penuh nafsu. Gerakannya terus bertambah tempo hingga ia mulai bergerak dengan cepat membuat istrinya menumpukan wajahnya pada bantal.

Wira meracau dalam kenikmatan yang ia rasakan sambil terus mengusap tubuh Airin di hadapannya. Ia membelai punggung mulus wanita yang bertubuh indah itu hingga tangan besarnya berhenti di bawah sana. Ia menggeram seraya meremas bagian itu dan menamparnya gemas.

“Awh.” Tubuh Airin menjengit di bawah sana meski sudah tak berdaya.

“Sayang…” Wira membungkukkan tubuhnya dan berhenti sejenak mendekati wajah Airin. “Ini yang kamu mau tadi, kan? Kamu lemes hm?”

Airin hanya mengangguk tanpa menatap Wira. Wira mengecup pipinya lembut, keringat langsung menempel dengan cepat di tubuh Airin darinya. “Nikmatin ya, saya kasih semuanya untuk kamu.”

“Mas, aku nggak bisa ngelawan,” cicit Airin.

“Kamu tadi yang mancing saya, Ai.” Wira kembali melandaskan ciumannya di leher Airin. “Sudah, nikmatin aja ya.”

Airin hanya mengangguk pasrah.

“Kamu sudah keluar berapa kali hm?”

“Nggak tau, Mas… Aku engh, nggak kuat.”

Wira menggigit bibirnya saat ia kembali mempercepat tempo dorongannya hingga tangan Airin mencengkram pahanya di belakang. Wira terus memberi sentuhan dan belaian di bagian tubuh istrinya agar tubuh Airin lebih rileks saat ia bergerak.

“Sayang,” panggil Wira. “Mau dikeluarin di mana, cantik?”

Rasanya mendengar suara lembut dan berat suaminya di telinganya semakin membuatnya tak bisa berpikir waras. Apalagi merasakan tubuhnya yang terus bertabrakan menciptakan kenikmatan yang tak kunjung usai dalam dirinya.

“Terserah kamu, Mas.”

“Saya tanya kamu, Sayang. Kamu maunya di mana?”

“Ehm, kamu galak banget…”

Wira tersenyum menyeringai. “Ya jawab yang bener, Sayang.”

Airin masih menelan ludahnya susah payah. “Di tempat kesukaan kamu, Mas.”

Wira menahan senyumannya. Dia kemudian menahan tubuh Airin yang hampir tak seimbang.

“Sayang, kamu mau di atas saya? Saya ingin lihat wajah kamu.”

Airin hanya mengangguk pasrah. Ia pikir suaminya memang tak pernah kehabisan tenaga dalam apapun, bahkan Wira tak ada lelahnya setelah beberapa jam menikmati semua permainan dengannya. Ada perasaan menggelitik bagi Airin meski ia tetap hanyut pada setiap permainan suaminya itu.

Airin duduk di atas perut suaminya dan tangannya memegang dada Wira sambil bergerak dari atas ke bawah atau memutari perut bawah suaminya. Menciptakan perasaan menggelitik namun memberikan sensasi tersendiri bagi Wira saat merasakan sentuhan istrinya itu.

“Sayang, kamu nggak usah gerak, saya aja ya. Takut kamu capek.”

Airin menggeleng pelan.

Wira mengangkat alisnya, membelai wajah Airin lembut. “Kamu mau gerak, Cantik?”

Airin hanya mengangguk.

“Arahin tangan saya, Sayang.”

Airin menggigit bibirnya kemudian ia mulai bergerak pelan dan menarik tangan Wira ke arah lehernya. Seperti sudah paham, Wira langsung memberi cengkraman kuat dengan geraman di bibir ranumnya yang merah dan basah. Melihat Airin yang mulai bergerak di atas sana membuatnya kini berbalik tak berdaya, lelaki itu terus mendongak ke atas seraya memejamkan matanya.

“Kamu jagonya, Sayang.”

Airin tersenyum malu mendengar pujian tersebut. Dia kemudian menangkup kedua wajah suaminya dan membelai kepala lelaki itu penuh sayang. Dia mengagumi ketampanan wajah Wira dalam keadaan berantakan seperti ini, dahi berpeluh, bibir lebam, dan mata sayu. Dia betul-betul begitu sempurna secara fisik di mata Airin.

“Kamu ganteng banget sih, Mas…”

“Ai,” panggil Wira. “Saya … mau keluar.”

“Aku juga, Mas…” lirih Airin dengan napas yang terengah-engah.

“Boleh saya ambil alih?”

Airin hanya mengangguk, kemudian Wira menarik tubuh Airin ke dalam pelukannya dan berbisik disertai kecupan pada pipi wanitanya itu. “Peluk saya lagi yang erat, tahan ya… Ini mungkin akan lebih kerasa.”

Wira sepenuhnya mengambil alih permainan sembari memeluk Airin erat dan membiarkan dirinya yang kembali mendominasi menjelang tahap klimaks keduanya ini. Baik Wira maupun Airin terus meracau dengan desahan, geraman serta erangan saling bersahutan antara keduanya.

“Airin, kamu … bikin saya begini.”

“Mas Wira…, ampun…”

“Sabar, Sayang…”

“Ouh, Ai.. Airin sayang.”

“Ai, saya uh.. sayang…”

Tubuh Airin merinding sekaligus melemas mendengar suara Wira yang sudah mencapai titik puncaknya, begitupun dengan dirinya yang semakin menggila akibat lelaki itu. Airin menarik napasnya panjang saat dia telah mencapai klimaksnya, dia merasakan punggungnya telah basah sekarang oleh sesuatu yang mengalir dari sana.

Wira melepaskan pelukannya dan memandang Airin seraya mengusap rambutnya yang basah oleh keringat menghalangi wajahnya. Napas lelaki itu masih belum teratur, dia tersenyum memandang istrinya yang terlihat lemas dan lelah.

“Terima kasih, Cantiknya Saya.”

Wira mengecup bibir Airin beberapa lama sembari memeluk tubuhnya erat meski keduanya sama-sama lengket dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh mereka.

“Kamu cantik banget.” Wira menatap mata sayu Airin. “Saya nggak bisa berkata-kata.”

“Aku harusnya yang kayak gitu, Mas. Kamu bener-bener…” Airin memerah.

“Apa?” tanya Wira dengan senyum nakalnya.

“Liar.”

Wira menahan senyumnya, dia tampak malu sekarang dengan tatapan Airin. Matanya berkilau sekarang. “Maaf.”

Airin menangkup wajah suaminya gemas seraya mengecup lehernya. “Aku bener-bener nggak nyangka kamu seliar tadi. Kamu mikirin apa, Sayang? Kok bisa begitu?”

“Saya selalu nggak bisa kalau kamu goda saya. Apalagi kamu mancing duluan dengan cara kayak tadi, gimana saya bisa tahan?” kata Wira. “Apalagi ini di hotel, Ai, coba kalau di rumah atau di apartemen ya beda lagi hawanya. Untung juga lagi kebetulan kita berdua di sini.”

Timing-nya pas ya, Mas?” tanya Airin.

“Iya sayang, 'kan kalau saya di rumah susah, kebanyakan nahan deh. Kasian kamunya capek ngurus banyak hal apalagi urusan anak.”

“Nggak lah, Mas. Kok mikir gitu sih? Ini juga salah satu kewajiban aku kok.”

“Ya gimana, Sayang, kamu tau sendiri saya …”

“Kamu nafsuan?” Airin menyeringai.

Wira berdecak pelan, memutar bola matanya malas. “Nggak ya, gak juga.”

“Yakin?”

“Ah kamu tuh gitu deh, jadi ngeledek,” cibir Wira. Dia tampak malu-malu.

“Iya nggak?” Airin merangkul bahu suaminya.

“Gara-gara kamu sih kalau iya pun. Kamu tuh terlalu … rrr.” Wira tampak memerah. “Ah sudah deh, saya malu banget jadinya. Jangan gitu.”

Selanjutnya, Wira memegang kedua tangan Airin, dia menatap wanita itu sendu. “Sayang, tadi mana yang sakit? Takut saya kekencengan atau apa gitu…” Lelaki itu melihat bagian tubuh istrinya yang lain. “Wah, ini merah-merah, Ai. Sakit?”

“Nggak terlalu kok, gak apa-apa, Mas.”

“Maafin saya, tadi saya bilang ke kamu padahal kalau ada yang sakit pukul aja.”

Airin menggeleng, dia menyentuh wajah suaminya dan membelainya lembut. “Nggak apa-apa kalau sama kamu.”

“Kita bersih-bersih terus tidur ya. Saya siapin air hangat dulu, kamu jangan kemana-mana ya. Diam di sini aja.”

Wira mengangkat tubuh Airin yang semula di atasnya, kemudian dia meraih baju-baju istrinya yang berserakan di bawah sana sambil memakaikannya pada Airin. Ia juga yang mengusap punggung Airin yang basah dengan tissue sambil berusaha menahan malu akan ulahnya sendiri.

Setelah itu, Wira menyiapkan baju ganti serta handuk juga bathrobe milik Airin di atas ranjang. Apapun yang ia lakukan dan siapkan pasti Airin yang didahului daripada dirinya sendiri hingga dia tidak menyadari bagaimana berantakannya ia.

“Mas, baju kamu mana? Airnya sudah siap?” tanya Airin saat Wira kembali menghampirinya.

“Saya gampang kok. Airnya sudah siap, ayo, Sayang.”

Airin terlalu hanyut dengan perlakuan manis suaminya sampai ia tersenyum memandang wajah teduh yang kini duduk di sampingnya. Wira menyentuh lengan Airin hingga wanita itu tersadar kemudian ia langsung diangkat dalam gendongan prianya itu di depan. Airin menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Wira yang aroma tubuhnya begitu ia sukai. Entahlah sepertinya apapun yang ada dalam diri suaminya, jelas sangat ia suka, apalagi setiap sikap manis yang diberikan oleh Wira padanya.

“I love you, Mas.”

“Saya juga cinta kamu, sangat.” Lelaki itu mencium dahi perempuanya lembut kemudian ia beralih meraup bibir Airin dengan gemas. “Kamu kelemahan saya dan akan selalu begitu, Airin.”


Rencana Gagal


Rencana awal Pramudina setelah seharian mengurus anaknya yang baru berusia dua tahun itu ialah beristirahat panjang. Tentunya menjadi ibu rumah tangga di sela-sela kesibukannya bekerja juga tidaklah mudah, meski pekerjaan yang ia jalani dilakukan dari rumah tetapi tetap saja itu menjadi hal yang dua tahun belakangan ini ia jalani. Sebenarnya suaminya sudah memintanya untuk tidak usah ambil pusing soal pekerjaan, toh tentu Adimas siap menanggung segala kebutuhan hidup keluarganya termasuk Pramudina sebagai istrinya. Namun, tekad kuat Pramudina masih tetap di jalannya, apalagi pekerjaannya ini tidak menuntutnya harus setiap hari on-site sebab ia juga bisa work from home.

Pramudina paham betul jika suaminya ingin membuat bebannya berkurang, meski sejauh ini dia tidak terlalu merasa terbebani. Dia menjalani kehidupannya dengan senang, apalagi soal tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Itu sudah hal yang mutlak dia jalani dengan senang tanpa beban.

Pernikahan yang memasuki usia dua tahun terbilang masih muda meski dibandingkan dengan usia pacaran Pramudina dan Adimas yang mencapai enam tahun lamanya. Tentu dia sudah mengenal jelas sosok Adimas seperti apa dan bagaimana cara lelaki itu menunjukkan rasa sayangnya.

Seperti sekarang ini, Adimas yang baru saja pulang dari kantor langsung menghampiri Pramudina yang sedang menghangatkan makanan untuknya. Perempuan itu terlihat lebih lelah dari biasanya, apalagi saat ditatapnya mata yang sudah mengantuk dan sesekali dia akan mengusapnya perlahan.

Adimas yang tak tega segera menghampiri Pramudina sembari merangkul leher wanita itu dari belakang. “Sayang, hei, udah aku bisa sendiri kok, kamu istirahat ya. Kamu capek banget gitu mukanya, ayo aku temenin dulu kita tidur ya?”

Pramudina hanya menoleh ke arah suaminya dengan senyuman lembut, ia mengusap lengan kekar yang melingkari lehernya itu. Wajah lelaki itu begitu teduh meski setengah basah, juga kaos oblong hitamnya yang tampak basah di bagian dada.

“Kamu kebiasaan kalau bersih-bersih basahnya kemana-mana deh,” cibir Pramudina.

“Suka banget ngalihin pembicaraan,” ucap lelaki itu gemas, dia meraih pinggang wanitanya agar lebih mendekat. “Nurut, istirahat ayo.”

“Aku temenin makan dulu kamunya,” ujar Pramudina.

Adimas menatap istrinya dengan wajah datar, dia jauh lebih serius sekarang. “Sayang, ayo, aku belum laper juga. Nanti kalau mau makan pasti aku makan sendiri. Ini udah malem kami harus istirahat sekarang.”

Pramudina mencebikkan bibirnya dengan mata kucing yang ia tunjukkan saat mengusap wajah Adimas yang lembut itu. Terlihat kumis tipis tumbuh di atas bibirnya, itu malah membuat Adimas semakin tampan karena Pramudina menyukainya.

Tanpa berpikir lebih lama, Adimas langsung menggendong istrinya itu di depan seperti cara seekor koala menggendong anaknya. Pramudina mengeratkan rangkulannya pada leher suaminya sambil menelusup di sana dengan kaki yang melingkari punggung Adimas. Adimas terus mengendus wajah istrinya itu saat tengah menggendongnya seperti dia betul-betul mengagumi sosok Pramudina.

Adimas tidak menurunkan istrinya langsung di atas ranjang, melainkan di atas sofa single kamarnya. Kini Pramudina berakhir di pangkuan Adimas, membiarkan wajahnya serta rambut dan sekujur tubuhnya dibelai manja oleh suaminya. Jelas ia menyukai ini, dia menyukai segala ketenangan serta kenyamanan dalam keintiman ini.

Pramudina menghimpit tubuhnya dengan tubuh suaminya yang erat dalam pelukannya. Dia menggelinjang seketika saat merasakan belaian lembut Adimas berubah jadi cengkraman erat pada pahaya. Lelaki itu meneguk ludahnya susah payah saat menatap Pramudina yang tampak menggigit bibir merah dan tebalnya itu. Dia memejamkan matanya seraya menggeram merasakan gerakan istrinya di atasnya, dia benar-benar tak bisa berkutik.

Pramudina mendekat saat Adimas menariknya lebih dekat dengan tatapan yang tajam dan napas memburu. Adimas menelusup ke dalam dress tidur istrinya itu dan terus menyapa setiap inci kulit wanitanya. Pramudina bergumam pasrah menikmati sentuhan Adimas hingga lelaki itu menarik tengkuknya dan meraih ciumannya lebih dulu yang sedari tadi ia coba tahan. Adimas melayangkan ciuman lembut sebagai permulaan pagutan di antara keduanya, tangannya masih tak bisa berhenti bergerilya di sekujur tubuh istrinya. Dengan kedua mata yang terpejam demi merasakan cinta yang berusaha saling disalurkan satu sama lainnya disertai nafsu yang semakin membuncah di antara keduanya.

Adimas melumat rakus bibir istrinya sambil terus sesekali menggigit dan menyecapnya, begitupun dengan Pramudina yang mengulum bibir tebal suaminya itu. Saling membasahi bibir satu sama lain membuat keduanya tak mau kalah. Hingga akhirnya Pramudina dibuat tak berdaya dengan permainan lidah lelaki itu di dalam sana. Ia bermain liar dan semakin menggebu hingga perempuan itu akhirnya membalasnya. Permainan lidah semakin memanas, keduanya saling mengisap satu sama lain tanpa celah untuk bebas.

“Engh, Dim,” gumam Pramudina berusaha melepaskan pagutannya secara sepihak. Namun, Adimas tidak memberinya ampun, dia kembali meraup ciuman keduanya namun kali ini tangannya tergerak melepas kancing dress piyama istrinya itu.

Pramudina membuka matanya saat Adimas melepaskan ciumannya, dia berupaya fokus membuka kancing baju istrinya. Begitu lincah jemarinya beraksi sampai semuanya terbuka, tanpa membiarkan baju itu lepas dari tubuh Pramudina, Adimas melanjutkan aksinya.

“Nggak aku lepas ya, dingin.” Adimas berbisik seraya kemudian melumat leher jenjang istrinya. Lidahnya kini berpindah di sekitar sana dan menari-nari menggoda Pramudina. Wanita itu sempat menahan namun cengkraman Adimas begitu kuat pada pinggangnya.

Lelaki itu menjauhkan dirinya sejenak dari istrinya kemudian melepaskan atasannya dan menaruhnya sembarang membiarkan Pramudina semakin bebas menyentuh permukaan atas tubuhnya.

Ciuman lagi-lagi dilayangkan oleh Adimas meski kali ini lebih nakal karena bersarang pada leher dan bahu wanitanya. Tentu desahan istrinya membuat Adimas semakin bergairah. Dia mencengkram leher wanita itu kuat saat ciumannya turun ke bagian dada atas istrinya.

“Sayang,” panggil Pramudina membuat Adimas menatapnya. “Aku takut Kenanga bangun.”

Adimas menggeleng. “Udah, sstt, nikmatin aja ya.”

Pramudina hanya mengangguk dan Adimas lanjut memberikan beberapa kecupan yang membuat roba kemerahan di tubuh istrinya. Pramudina bahkan sudah bisa merasakan sesuatu yang menggelitik di bawah sana saling bersentuhan.

“Aku ada pengaman kok,” kata Adimas.

“Ya udah.”

“Mau lanjut hm?” goda lelaki itu dengan senyuman menyeringai. “Jawab sayang.”

“Dimas, please…”

Adimas menatap iba pada wanita yang memandangnya dengan mata sayu khasnya, ia menggertakkan rahangnya saat Pramudina menyentuh dengan sengaja bagian sensitifnya. Adimas membelai wajah istrinya yang cantik itu dengan lembut sambil perlahan membantu Pramudina turun menghadapnya hingga ia tertunduk pada suaminya di atas sana.

Tangan Adimas dengan gesit melepaskan gesper celana jeans yang masih dikenakannya. Dia menarik tangan Pramudina agar membantunya melepaskan pakaian bawahnya membuat perempuan cantik itu mendongak dengan mata kucingnya. Lelaki itu membelai wajah istrinya lembut dan berhenti memainkan jarinya pada bibir lembab Pramudina yang sejenak membuat wanitanya memejamkan mata.

“Buka mulutnya sayang.”

Wanita yang ada di bawah sana hanya menurut dan membuka mulutnya lebar-lebar hingga suaminya mendorong kepalanya lebih mendekat dan perlahan memejamkan matanya.

“Mami! Papi!”

Adimas menggeram kesal sembari mengerutkan hidungnya dengan mata yang masih terpejam dan dia tampak mengusap wajahnya kasar setelah itu. Sementara Pramudina tampak terkejut mendengar suara ketukan pintu disertai suara menggemaskan yang ada di balik sana hingga dengan segera ia mengancingkan keseluruhan pakaiannya. Dia menatap Adimas sejenak dengan wajah cemberut sambil membelai serta mengecup singkat wajah suaminya.

“Sayang, maaf…”

Adimas menarik napasnya panjang, dia tersenyum tipis dan mengecup bibir Pramudina sambil kembali merapikan pakaian yang dikenakannya. Dia jelas tidak mungkin bisa marah kalau yang mengganggu aktivitas mereka ialah putri tercintanya sendiri, tetapi kalau ditanya kesal atau tidak, ya sudah pasti jawabannya memang ada rasa kesal sedikit-sedikitnya itu.

“Nggak apa-apa, belum rezeki aku, lagi…” Adimas mengembuskan napas kasar.

Belum sempat Pramudina benar-benar berlalu darinya, Adimas menariknya mendekat. “Kalau nggak ada Kenanga, kamu udah habis sama aku, Din.”

Istrinya itu menatapnya sinis dengan bibir yang mengerucut. Adimas tersenyum menyeringai. “Aku tunggu, Sayang.”

“Mami!! Papi! Buka pintunya!”

Adimas kembali menghela napasnya seraya menahan senyuman yang tak bisa hilang melihat betapa polosnya sang anak yang tiada tahu menahu telah menggagalkan rencana indah yang telah disusun sang Ayah malam ini. Meski begitu Adimas tetap gemas dan menghampiri Kenanga yang tampak manja, dia mengangkut tubuh mungil itu dalam pelukannya hingga anaknya begitu nyaman digendong oleh ayahnya.

Pramudina hanya tertawa cekikikan melihat bagaimana kesalnya Adimas sebetulnya, tetapi saat tatapan tajam suaminya itu menjurus ke arahnya, ia langsung bungkam seribu bahasa. “Awas kamu ya, Sayang.”