winwincure

“William Alexander Wolfed.”

William memutar bola matanya jengah saat kali pertamanya ia menginjakan kaki di depan meja bar—yang sudah ada dua orang lelaki duduk di sana. Jefferey, lelaki yang memakai jaket jeans biru dan kaos hitam tampak tersenyum miring pada William. Berbeda dengan seorang lelaki dewasa yang mengenakan kemeja hitam itu, dia tampak bangkit dan langsung memeluk William.

William tidak membalas pelukan itu sama sekali, tidak juga berekspresi, wajahnya datar tetapi tatapannya sangat tajam.

“Bagaimana kabarmu?” tanya John, senyuman liciknya bisa dilihat jelas oleh William. John kembali duduk seraya meraih gelas kecil dan menyodorkannya pada William. “Hidup semakin menyenangkan, bukan?”

William tersenyum satu sisi seraya meraih gelas itu dan meminumnya dengan sekali teguk. Dia duduk di samping John, pandangannya lurus dengan posisi menghadap ke luar. “Bagaimana dengan kau? Kurasa hidup terasa semakin malang.”

“Hidupku jauh lebih baik,” jawab John, melirik dengan seringaian pada William.

“Sebenarnya acara reuni tidak termasuk di agendaku malam ini, mungkin aku akan langsung to the point.”

William melirik Jefferey, “kau sudah membawa sertifikat kemarin? Jangan lupa dengan dokumen-dokumen yang aku minta, ah satu lagi ... ku rasa kau diharuskan pergi ke sana untuk mengurus semuanya setelah ini, so persiapkan jadwalmu.”

Jefferey pun berdiri, dia memberikan tas hitam yang bisa dipastikan berisi data-data yang sempat diminta oleh William sebelumnya, sebelum menyodorkannya Jeff tampak menahan tas tersebut dan menatap William tajam. “Aku tidak bisa percaya dengan kau, aku akan tau apa yang ingin kau rencanakan setelah ini.”

William tersenyum tipis, dia menaikkan alisnya sebelah. “Ya, jelas, sebaiknya kau harus banyak mencari tau.”

“Ingat, aku sudah tau seberapa busuknya kau, jangan pikir aku akan mudah terperangkap olehmu,” ujar Jeff.

“Bagus kalau kau sudah tau, aku tidak perlu repot-repot mengungkap kebusukanku.”

“Jadi, rencana apa yang ingin kau lakukan?!”

William mengangkat wajahnya seraya berjalan mendekati dirinya dengan Jeff, dia menepuk bahu lelaki itu dua kali. “Selama kau bisa menjaga nama baikku, tidak ada yang perlu aku lakukan.”

Jeff menepis tangan lelaki itu, dia melirik pada John. “Kau tau, aku memang akan berusaha tidak membongkar masa lalumu, tetapi aku tidak yakin apakah ...”

William melirik John sekilas, “urusanku dengan pamanku tidak akan menjadi urusanmu. Jangan lupa jika aku mendominasi di antara kalian berdua.” William tersenyum smirk.

John mengepalkan tangannya kuat, dia benci melihat keangkuhan sosok William yang tak lain dan tak bukan ialah keponakannya. Dia benci melihat bagaimana sosoknya seolah dipandang rendah oleh William.

“Aku datang bukan ingin berkelahi, aku lebih tertarik menyelesaikan semuanya menggunakan otak,” William merebut tas yang diberikan Jeff, dia lalu kembali ke tempatnya duduk—pandangannya masih mengarah pada dua orang itu secara bergantian. Dia meneguk botol alkohol yang sempat dipesannya, “itu pun jika kalian berdua masih memilikinya.”

“Brengsek,” Jeff sudah hampir maju mendekati William kalau tidak Travis yang tiba-tiba datang, Jeff sontak terkejut akan kehadiran lelaki itu. “Kau?!”

William tertawa kecil, dia mengangguk samar seraya menyugar rambutnya saat memandang Travis. “Nice shot. Kau datang di saat yang tepat.”

Travis tersenyum dan merangkul Jeff. Dia memandang pada William dan Jeff secara bergantian. “Aku tidak akan membiarkan dua orang yang pernah bersahabat saling menumpahkan darah.”

William melirik Jeff dengan raut datar, “pathetic.

263 — Wrong Place

Tidak terasa sudah hampir berjam-jam dalam perjalanan sampai waktu semakin larut, dilirik oleh Arasha jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Dia sempat tertidur sejenak setelah merasa bosan menonton, beralih mengganggu William yang sibuk berkutat dengan kerjaannya di Macbook. Arasha menulis di buku pemberian William, dia malas berbicara karena kedengarannya orang-orang sudah terlelap, suasananya sangat hening.

Arasha benar-benar bosan, apalagi melihat lelaki berkemeja putih itu masih sangat serius dengan pekerjaannya di sofa. Dia juga bosan bermain ponsel atau menonton film. Arasha mendengus kesal saat bangkit dari ranjang, sebenarnya dia tidak mau terbangun tapi dia ingin membuang air kecil jadilah terpaksa harus bangkit.

Saat Arasha melangkah, William menaikkan alis ke arah gadis itu. “Where you going?

Toilet, wanna join?” Arasha memutar bola matanya malas, dia sebenarnya mencoba menirukan apa yang suka diucapkan William.

William tidak menghiraukan gadis itu, dia kembali fokus pada layar Macbook-nya. Saat Arasha keluar dari ruangannya, dia sempat berhati-hati karena kelihatannya orang-orang sekitar pun tengah terlelap, sangat hening sampai tiba-tiba ada seorang lelaki menghampirinya.

Excuse me, Miss, will you go to the toilet?

Arasha menoleh kemudian dia mengangguk pada pramugara tampan itu. Pramugara itu tersenyum ramah. “Baiklah saya akan mengantar Anda.”

Arasha mengangguk lalu dia berjalan mengikuti kemana pramugara itu melangkah sampai akhirnya di depan toilet. Lelaki itu tersenyum, “silakan, Miss.

Arasha pun masuk ke dalam toilet yang tidak seperti toilet dalam pesawat pada umumnya karena lebih luas dan lebih nyaman. Beberapa saat kemudian setelah ia selesai, terdengar ketukan pintu dari luar sana, hal itu membuat Arasha buru-buru membukanya namun ternyata orang itu adalah William.

“Kau?!”

William memberikan tatapan tajamnya pada Arasha, kemudian dia menarik tubuh gadis itu masuk ke dalam toilet dan mengunci diri di dalam sana.

“Sir, apa-apaan?!”

“Ssst.” William berdesis, kini tubuhnya menghimpit Arasha di depan wastafel, kedua tangannya berada di wastafel dan pandangan yang menjurus pada cermin di depan keduanya. “Kenapa tidak memintaku mengantarmu? Kau pergi bersama lelaki lain.”

“Astaga, dia pramugara!”

“Tetap saja dia lelaki.”

William menumpukan kepalanya di atas bahu Arasha, dia menaruh rambut gadis itu ke belakang. “Apa kau senang menggoda lelaki lain, hm?”

“Sir, kau ini kenapa?”

“Tadi bilangnya mau aku ikut ke dalam, kan?”

Tangan William bergerak memeluk pinggang Arasha, dia bisa melihat wajah gelisah gadis itu di cermin apalagi saat gadis itu hendak melepaskan pelukan William yang kini lebih erat. Arasha berbalik badan saat hidung lelaki itu mulai bersentuhan dengan bahunya, dia pikir dia bisa mendorong William namun malah dirinya yang terperangkap sekarang.

“Sir, jangan macam-macam, ini tempat umum…”

William tersenyum devil, tangannya menyusup di balik blazzer hitam Arasha untuk merengkuh pinggang wanita itu, Arasha hampir menubruk dada William. Gadis itu mendongak menatap lelaki jangkung—yang kini menatapnya dengan mata berbinar. Satu tangan lelaki itu beralih mengusap wajah Arasha dan membelainya lembut dengan perlahan jarak di antara keduanya semakin tipis.

Kiss me.

William mengecup leher Arasha, nafasnya terasa hangat di sekitar leher gadis itu. Bibirnya terus menggerayangi leher Arasha hingga beralih di sekitar telinga gadis itu. Ia menggigit telinga gadis itu dan berbisik pelan. “Kiss me. Hard.

“Ssshh, Sir.” Arasha menahan napasnya susah payah mendengar suara berat William ditambah lagi tangan lelaki itu meremas pinggangnya, “jangan begini, kumohon.”

“Kau yang memintaku datang, bukan?”

William menaikkan alisnya, dia semakin merapatkan tubuhnya dengan Arasha hingga gadis itu memejamkan matanya. William tersenyum tipis, dia meraih telapak tangan gadis itu seraya mengusapnya lembut sebelum ia mengecup punggung tangan Arasha, terang saja perlakuan lembut pria itu membuat Arasha membuka matanya.

William melirik pada Arasha sebelum lelaki itu menarik tengkuk sang gadis, melayangkan ciuman di bibir Arasha dengan lembut. William mengeratkan pegangannya pada pinggang Arasha untuk memperdalam ciumannya, tangannya yang satu bergerak mendorong tengkuk gadis itu.

Sweet.” William tersenyum smirk.

Tangan lelaki itu menggerayangi tubuh Arasha, sesekali akan mencengkram tangan Arasha bila gadis itu menahannya, William akan menggigit bibir Arasha saat ia menerima penolakan.

Arasha terus berusaha melepaskan ciumannya dan mendorong William namun tenaganya kalah kuat dengan lelaki itu.

William mengangkat Arasha ke atas wastafel, dia menarik kedua kaki gadis itu sehingga melingkar di pinggangnya. Lelaki itu baru melepaskan ciumannya setelah Arasha menendang punggungnya dengan high heels yang dikenakannya. William tersenyum miring setelah ia meringis pelan menatap Arasha yang terengah-engah. “All right, we're gonna play a little rough.

William menarik paksa high heels yang dikenakan oleh Arasha hingga terlepas, kemudian dia bergerak mendekati gadis itu yang terlihat gusar.

“Sir aku akan teriak.”

William menatapnya tajam, belum sempat Arasha berteriak dia sudah menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya, lalu mengambil dasi dari celananya. William tersenyum senang melihat gadis itu menggeleng, lalu ia menutup mulut gadis itu dengan bibirnya sendiri. Kedua tangan Arasha dia ikat dengan dasinya di belakang.

“Mmmh, Sir,” Arasha berusaha menendang William dan menatap lelaki yang sedang menciumnya itu.

“Aku tidak suka kau genit dengan lelaki lain, ini hukumannya,” ujar William setelah ia melepaskan ciumannya pada Arasha, ia mengusap bibir gadis itu yang sedikit luka karenanya.

“Aku tidak genit…”

Tangan William bergerak menyentuh leher gadis itu, lebih tepatnya menggoda sosok yang kini tengah menatapnya dan tanpa aba-aba ia mencengkram leher Arasha kuat dengan tangan besarnya itu. Arasha merasa sesak dan susah bernapas karena cekikan pria tersebut, “Ahh, Sir… stop it.

William menelan ludahnya susah payah, matanya menggelap saat menatap Arasha dengan tangannya yang sudah bermain di paha gadis itu. Ia senang melihat tawanannya tersiksa karenanya, entahlah melihat gadis yang berusia lebih muda di bawahnya itu menderita menjadi fantasi liarnya tersendiri.

Plak!

William menampar wajah Arasha, membuat sang empu meringis pelan. “Ahh. Sakit.”

Tok tok tok!

Shit,” William menggeram kesal, dia melirik Arasha tajam, “diam.”

Anybody there?” tanya suara berat dari luar sana.

Yeah, wait, Sir,” sahut William.

Lelaki itu melepaskan ikatan tangan Arasha lalu merapikan rambut gadisnya yang berantakan. Dia mengusap peluh di dahi Arasha dan melihat sekali lagi penampilan gadis di hadapannya sebelum dia memasangkan lagi sepatu gadis itu lalu membantunya turun dari atas wastafel. “Sudah ayo.”

William merapikan rambutnya ke belakang, dia melirik pada cermin sekilas dan mengusap bibirnya yang ranum. Satu tangannya menggenggam tangan Arasha saat dia hendak membuka pintu.

Uhm, sorry for disturb…

William tersenyum kecil melihat seorang pria yang muncul di depan toilet, senyuman pria itu penuh arti saat melihat keduanya keluar dari dalam sana. Arasha menundukkan kepalanya, pipinya bersemu merah mendengar apa yang diucapkan pria asing itu. Sungguh dia sangat malu.

No problem, I guess we're doing in the wrong place.

Possessive Bad Boy

Travis Maverick. Pacarku, dia memang agak nakal, sebenarnya bukan 'agak' lagi sih tapi dia benar-benar berbahaya. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mau menjadi kekasihnya, aku jatuh cinta padanya sejak awal pertemuan kita. Bahkan aku tidak menyangka dia akan menjadi pacarku sekarang. Travis orang yang sangat keras, dia tidak suka dibantah, posesif, dan cemburuan.

Sekarang ini aku sedang berada di dalam mobil bersamanya, sedari tadi dia tidak bicara padaku, dia marah setelah melihatku pergi bersama Arga tanpa sepengetahuannya. Padahal aku dengan Arga hanya hangout biasa saja, sekaligus membahas salah satu program kerja kita karena kita ada di divisi yang sama.

“Travis, aku minta maaf, aku sama Arga sama sekali enggak ada hubungan apapun,” kataku, dia tidak melirikku sama sekali, aku pun memegang erat tangannya namun langsung ditepis. “Babe, please.”

“Jangan ajak aku bicara saat aku nyetir,” jawabnya tajam.

Setelah itu akupun diam sepanjang perjalanan menuju apartemenku.

***

Setibanya di apartemenku, dia tidak banyak bicara, dia hanya diam di depan ruang televisi bahkan setelah selesai aku berganti pakaian. Aku hendak menghampirinya yang tampak berkutat dengan ponsel namun aku sedikit ragu. Travis memang sangat menyeramkan jika dia sedang cemburu, aku sangat takut melihatnya.

“Travis, kamu mau istirahat di kamarku?” tanyaku saat aku menghampirinya, dia menoleh sekilas namun kembali berkutat pada ponsel. “Travis, aku ...”

Aku menggigit bibirku, tanpa ragu aku duduk di sampingnya sekarang. Aku meraih ponselku dari atas meja, mulai berkutat sejenak sampai tiba-tiba Travis merebutnya dari genggamanku.

Aku hendak marah padanya namun tatapannya jauh lebih tajam saat aku menatapnya, aku sangat takut. Dia meremat pinggangku secara tiba-tiba, seolah menarik tubuhku agar merapat padanya sehingga kini bibirnya menempel di dekat telingaku. Dia tampak leluasa mengecup bagian leher dan tengkukku yang terekspos karena aku mencepol asal rambutku.

“Trav, geli,” kataku. Aku memang benar merasa geli sekaligus merinding apalagi kini napasnya menari di dekat telingaku, belum lagi tangannya mengusap pinggang polosku—sebab aku memakai crop top.

“Jelasin. Aku kasih kamu waktu.”

“Aku engga bisa jelasin kalo kamu terus kayak gini.”

“Stop ngebantah.” kata Travis seraya mencubit pinggangku, sedikit membuatku meringis.

Dia kini mengulum telingaku, kemudian beralih pada leher jenjangku yang dengan mudah terakses karena jarak kami yang sangat sempit. Aku sudah tidak bisa berkata-kata, dia terus membuyarkan pikiranku, aku memang selalu dibuat hanyut oleh permainan Travis setiap hendak menggodaku.

Tangan Travis bergerak naik ke belakang punggungku, dia menarik bra yang aku kenakan lalu melepas tarikan itu sehingga aku memekik. “Ah, sakit...”

“Sakit hm?” bisik Travis tepat di telingaku dengan hembusan-hembusan napas yang menggelitik, dia mencium telingaku setelahnya. “Sakit mana sama dibohongin?”

“Aku engga bohong, Trav...”

Travis tidak merespon tapi aku bisa merasakan tangannya mulai menggerayangi pahaku, aku salah memang memakai pakaian minim di saat begini, aku memakai crop top v-neck lilac dengan bawahan rok minim putih.

“Sengaja hm?”

“Engga, aku minta maaf, aku engga ada apa-apa sama dia, kita cuma bahas tentang proker aja sekalian kita membangun chemistry.”

“Oh, gitu ya? Sengaja engga bilang dulu?” Travis menggoreskan kukunya naik dan turun di sekitaran pahaku, sungguh aku sudah tidak tahan merasakan tubuhku yang tidak nyaman begini. Travis membuat semuanya kacau. Tangannya semakin bergerak ke dalam rok yang aku kenakan. Dia mengusap paha dalamku dengan perlahan. Aku tidak bisa menahan perasaan ini, refleks aku memejamkan mataku dan memegang erat tangannya. “Ngh, Travis.”

“Jawab.”

Travis mengangkat tubuhku dengan sekali gerakan sehingga aku berada di atas pangkuannya sekarang. Aku bisa merasakan sesuatu dalam dirinya mulai muncul, sisi dominannya yang sangat melekat, tatapannya begitu membara saat menatapku.

“Aku minta maaf, ahh, Trav.”

Aku mendesah saat dia meremas dadaku yang terbalut pakaian, aku rasa ini akan menjadi awal yang buruk bagiku. Travis berbisik setelah menjilat leherku. “Aku marah.”

“Aku tau, aku minta maaf, aku udah bilang kalo—Ahh, Trav, please...” Desahanku tidak bisa tertahan lagi saat aku merasakan tangannya mulai menyentuh area sensitifku di bagian bawah sana.

“Udah, aku janji engga akan lagi kaya gitu.”

“Janji aja engga cukup.”

“Travis...”

Aku merasakan tangan Travis mulai menurunkan sedikit celana dalamku setengah paha, setelah itu aku merasakan kedua jarinya yang panjang itu bermain di bawah sana. Sontak tubuhku menggelinjang di atas tubuh Travis yang kini tersenyum miring memandangku. Dia terus menggerakkan jari-jarinya di dalam sana dan mengoyak milikku sesukanya. Aku memegang erat lengannya dan mendesah kuat, “Nghh, Travis. Ahh!

Dia senang membuatku tersiksa di saat dirinya sedang marah atau cemburu padaku. “Sebut nama aku lagi.”

Uhh, please...” Aku bergetar saat tangan kekasihku yang lain menyusup pakaianku dan memainkan dadaku. Dia benar-benar menguasai area sensitifku dengan dua tangan handalnya. “Travis...”

Beggin me.

Aku mengerjapkan mataku kala memandang Travis yang sedang menatapku dengan napas memburu. Aku bisa mencium bau alkohol dari mulutnya, namun sekali lagi aku meringis saat dia mempermainkanku lagi. “Please, forgive me...

Travis menangkup kedua sisi wajahku setelah membiarkan bagian bawahku yang sudah terlanjur lembab, dia tersenyum menyeringai, “lagi.”

“Trav, please...”

Sekali gerakan dia langsung mengangkat tubuhku ke atas pangkuannya, dia menarik tengkukku kemudian menciumku begitu dalam sampai aku hampir kehabisan napas. Belum lagi cengkramannya begitu kuat pada pinggangku sehingga aku tidak dapat berkutik lagi, aku melingkarkan tanganku pada lehernya membiarkan tangannya yang lain terus menggerayangi tubuhku.

Emmh.” Aku mencoba melepaskan ciuman itu setelah merasa aku kehabisan napas, dia menatapku datar namun beberapa detik dia tersenyum miring. Tangannya menyusup ke dalam pakaianku lagi dan melepaskan kaitan bra yang tengah kupakai itu. “Trav,”

“Hm?”

Dia membalikkan lagi tubuhku, kepalaku bersandar di dadanya

Pegangan.

Setelah membaca notifikasi pesan masuk dari ponselnya, Alana langsung menengok ke belakang, benar saja seorang lelaki dengan vespa i-get sprint hitam sudah berada di atas motor. Ya, itu Arion, dia memakai kemeja flanel kotak-kotak.

Alana menghampiri Arion dengan ragu, dia bersumpah ini benar-benar canggung rasanya. Alana tersenyum canggung pada lelaki itu, “Hei.”

“Hm,” sahut Arion. Lelaki itu begitu tampan dilihat secara langsung oleh Alana khususnya, rambut sedikit pirang lurus dan jatuh. Arion menyugar rambutnya ke belakang saat menyodorkan helm. “Nih.”

“Loh, lo gapake?”

Arion menggeleng. “Ga, cuma ada satu.”

“Yaudah, lo aja, gapapa kok.”

“Bisa nurut aja ga?” Arion menatap Alana datar membuat gadis itu langsung merengut dan mengambil helm yang diberikan oleh Arion.

Setelah Alana memakai helm, dia naik di belakang Arion. Dalam hatinya dia bersumpah serapah, sebab ia tidak menyangka meskipun sudah kenal, lelaki ini memang tetap ketus dan cuek. Alana mendengus kasar, membuat Arion menoleh sehingga gadis itu buru-buru menyengir. “Arion, makasih ya, gue beneran gaenak banget. Maaf ngerepotin ya, gue tuh—”

“Bawel,” cibir Arion.

“Ih serius...”

“Iya.”

“Arion, gue boleh pegangan gak?” tanya Alana, suaranya sedikit lebih keras karena saat itu suasananya sangat bising apalagi motor Arion sudah melaju. Alana melirik Arion dari spion, lelaki itu pun meliriknya sekilas. “Arion?”

“Hm,” jawab Arion.

Alana sebenarnya tidak ada niat modus juga, tapi memang kalau naik motor bersama supir ojek sekalipun dia akan memegang bahu sang supir karena sedikit takut dengan keramaian di jalanan. Alana pun memegang bahu Arion.

“Gue bukan abang gojek,” ujar Arion dengan suara pelan.

“Hah?!”

“Pegangnya jangan di bahu, gue bukan supir lo,” ucap Arion dengan nada meninggi.

“Oh, oke, begini?”

Alana melingkarkan kedua tangannya di pinggang Arion, membuat Arion langsung menoleh padanya melalui spion sekilas, dia berusaha tetap memasang wajah dingin dan serius. “Terserah.”

“Na, marah?”

Alana masih menyuapi Arion makan, dia sempat delivery makanan tadi karena ia tadi sempat melihat kondisi lelaki itu yang kacau, kebiasaan Arion jika sudah mabuk pasti akan menyusahkan Alana, ditambah lagi kelihatannya Arion sangat pucat sekarang. Alana jadi khawatir pada lelaki itu.

“Engga, aku cape aja,” jawab Alana seraya kembali menyuapi Arion lagi, namun tangannya ditahan oleh lelaki itu, Alana memicingkan matanya.

Arion menaruh piring yang tadi dipegang Alana di atas nakasnya, dia lalu memegang kedua tangan kekasihnya itu yang duduk di pinggir ranjang. “Maaf.”

“Jangan minta maaf ke aku, ke diri sendiri, kamu hobi banget ngerusak diri.”

Arion menundukkan kepalanya,

The Night Sky of Pudong.

07.15 pm

William baru saja keluar dari kamar mandi, lelaki itu tampak menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil di lehernya. Dia belum mengenakan atasan sehingga bagian tubuh atasnya masih toples dengan bawahan celana jeans hitam.

William menghentikan langkahnya saat ia mengamati Arasha tampak sedang menikmati pemandangan kota Pudong dari jendela kamar mereka. Gadis itu sesekali mengambil gambar menggunakan ponselnya seolah takjub dengan keindahan cakrawala Shanghai kala itu yang dilihat dari gedung yang memiliki 58 lantai ini.

William bergerak perlahan mendekati gadis itu sambil memakai kaos putihnya yang kini melekat pada badan bidangnya.

“Sedang apa?”

Arasha tersentak saat merasakan William melingkarkan kedua tangannya di pinggang rampingnya, dia sontak menoleh dan berusaha melepaskan pelukan lelaki itu. Arasha bisa mencium aroma tubuh William yang sangat khas apalagi lelaki itu baru saja selesai mandi, aromanya sangat menguar. “Lepaskan aku.”

“Tidak mau.”

Arasha menghela napasnya, dia sudah tau jika sudsh begini posisinya sangat mematikan, apalagi William kini menyibakkan rambutnya ke belakang dan Arasha bisa merasakan hidung mancung William menyentuh lehernya. Tubuh Arasha merinding seketika merasakan tangan besar lelaki itu merengkuh tubuhnya seolah membiarkan kepala Arasha bersandar di dadanya.

“Kau wangi sekali, hm.”

Arasha meneguk ludahnya susah payah, dia berusaha tetap fokus karena ia benci ketika ia merasa nyaman diperlakukan manis oleh sosok evil itu. Ia segera mencari cara untuk setidaknya tidak membuat suasana mencekam begini di matanya.

“Sir,” panggil Arasha.

“Arasha,” panggil William di saat yang bersamaan pula.

“Kau dulu,” ujar Arasha.

William memejamkan matanya saat dia menelusup pada leher jenjang gadis itu meskipun matanya bisa menangkap pemandangan langit Pudong malam ini. William berbisik pelan. “Soal yang tadi, aku minta maaf.”

Arasha sudah tahu kemana pertanyaan itu akan mengarah, dia hanya mengangguk pelan, kemudian dia berbalik badan menghadap sosok William yang sedikit terkejut. William tersenyum menyeringai saat ia dengan sengaja menarik pinggang Arasha menjadi lebih dekat dengannya. “Sir, aku ...”

“Hm?”

William masih mengamati gerak bibir gadis itu yang menggemaskan, dia menunggu apa yang selanjutnya diucapkan oleh Arasha.

“Aku lapar.”

William memutar bola matanya dengan seringaian tipis sebelum dia memajukan kepalanya menarik Arasha lebih dekat. “Kau mau makan?”

“Memangnya kalau bukan makan apalagi?!”

“Ini,” ujar William saat dia hendak mencium gadis itu namun Arasha segera menahan wajahnya, namun hanya sebentar karena gadis itu tampak langsung takut melihat tatapan William. “Kiss me before that.

Arasha mengerut dengan mata yang sendu, “aku mau makan bukan ingin menciummu.”

“Ini saja.” William memajukan pipinya mendekati Arasha, gadis itu sempat mendengus kesal sampai akhirnya ia mengecup pipi William mau tidak mau. Namun belum berhenti sampai di situ, lelaki itu menyodorkan pipi sebelahnya yang lain.

“Sudah!” Arasha melotot, William terkekeh pelan seraya mengacak rambut gadis itu setelah merenggangkan pelukannya.

Belum semenit lelaki itu memasang senyuman, wajahnya langsung berubah menjadi sosok William yang arogan, dia mengamati Arasha sejenak. Dia mengamati dress yang dikenakan gadis itu. “Put on your coat.

Office Room

Arasha melangkahkan kakinya memasukki ruangan William setelah dia diantar oleh salah satu pegawai wanita. Arasha dipersilakan masuk oleh William yang membuat gadis itu jengkel dengan senyuman miringnya.

Arasha tidak menyangka jika perusahaan kecil milik William ini masih terlihat megah, meskipun memang jauh lebih besar perusahaannya yang ada di New York. Sebenarnya dia tidak mengerti bagaimana bisa William juga sudah membuka cabang di sini, belum lagi di Beijing. Memang Arasha akui pria itu bekerja pagi, siang, dan malam bahkan saat bersamanya pun dia masih selalu mengingat pekerjaannya.

Wolfed Corporation rupanya sudah membuka cabang di beberapa negara, seperti yang William katakan pada Arasha. Arasha memang tidak mengetahui bagaimana perjalanan hidup William, tetapi dia tahu bahwa ini semua tidak mudah didapatkan oleh lelaki itu.

Sebenarnya perlahan Arasha mulai dapat mengenal lebih dalam tentang sosok pria asing yang sudah bersamanya dalam dua bulan terakhir ini, meskipun demikian tetaplah sulit untuk bisa mengetahui secara detail bagaimana sosok William sebenarnya. Arasha hanya mengenal William yang seorang pekerja keras, pemabuk, superpower, keras, tidak suka dibantah, dan aura dominan sangat melekat dalam dirinya.

Tapi Arasha tidak bisa membohongi diri bahwa William sungguh baik padanya. Entah mengapa saat Arasha berada di sampingnya, dia merasa nyaman dan aman, seolah dia tidak lagi takut dengan apapun yang akan dihadapinya.

It's seems you look surprised.

So much.” Arasha memandang William yang tengah duduk di atas meja kerjanya seraya memandang Arasha. “Apa lagi yang kau punya? Aku tidak mau lagi kaget melihatnya nanti.”

“Kau berlebihan, kau bahkan belum melihat perusahaanku yang ada di Beijing.”

Arasha menggeleng dramatis, “aku tidak mengerti mengapa kau bisa begini.”

“Aku bekerja, tidak sepertimu,” cibir William.

Alcohol.

Malam itu Arasha terbangun dari tidurnya karena ia merasakan suhu dingin merasukki tubuhnya, dia mengerjapkan matanya sejenak dan melihat William tidak ada di sampingnya. Arasha pun bangkit dari ranjangnya dan mendapati pintu balkon yang terbuka sehingga angin masuk dari luar sana. Arasha melangkah ke luar balkon kamar hotelnya, ia sudah menduga William sedang ada di sana.

Did you have a bad dream?” William menaikkan alisnya sebelah seraya mengisap rokoknya yang berada dalam capitan jarinya. Tidak hanya itu, Arasha juga melihat botol alkohol di atas meja.

Arasha masih diam mengamati lelaki itu, dia yakin pasti ada sesuatu dengan William karena sudah kedua kali dia melihat William seperti ini.

I guess something wrong with you, Sir.

There's nothing wrong with me,” jawab William. Dia mematikan rokoknya dan membuangnya ke tempat sampah lalu dia meneguk kembali minuman miliknya itu.

“Jangan membohongiku,” kata Arasha.

William kembali mengambil satu batang rokok lagi kemudian ia membakar ujung batang rokok itu dan mengisapnya. Dia mengabaikan Arasha yang menatapnya tajam.

“Aku mau.”

William menoleh pada gadis itu sambil mengembuskan asap rokoknya ke udara. Arasha mengambil botol alkohol milik pria itu dan meneguknya langsung. William berjengit kaget, dia langsung bangkit dan merebut paksa botol minumannya itu. “Kau apa-apaan?!”

Arasha merasakan tenggorokannya yang langsung terasa panas dan lidahnya yang rasanya terbakar setelah minum alkohol itu, dia memang tidak terbiasa meminum alkohol apalagi sepertinya William meminum alkohol berkadar tinggi.

“Masuk.” Arasha merasakan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya, belum lagi kepalanya yang terasa pening seketika. William memegang wajah Arasha dengan sebelah tangannya. “Masuk ke dalam!”

Arasha menatap William seraya menggelengkan kepalanya. Beberapa saat mereka bertatapan, tiba-tiba tubuh gadis itu melemas dan sontak menarik kaus yang dipakai William. “Hey, kau kenapa?”

William kontan saja langsung melemparkan puntung rokoknya yang sudah mati itu ke bawah, dia menatap mata Arasha yang sayu saat mereka bertatapan. “Sir...”

“Hm?”

Entah setan dari mana yang merasuki Arasha sekarang pasalnya gadis itu tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di leher William seraya mencium bibir lelaki itu. Ya, Arasha benar-benar mencium William.

Ahh kau kenap—”

William tidak diberikan kesempatan berbicara karena gadis itu terus menciumnya, membuat perlahan naluri lelaki William membuatnya menggendong gadis itu masuk ke dalam kamar. William menendang pintu balkon hingga tertutup. Arasha memejamkan matanya saat William sudah membalas ciumannya. Lelaki itu membawanya duduk di atas pangkuannya

Alcohol.

Malam itu Arasha terbangun dari tidurnya karena ia merasakan suhu dingin merasukki tubuhnya, dia mengerjapkan matanya sejenak dan melihat William tidak ada di sampingnya. Arasha pun bangkit dari ranjangnya dan mendapati pintu balkon yang terbuka sehingga angin masuk dari luar sana. Arasha melangkah ke luar balkon kamar hotelnya, ia sudah menduga William sedang ada di sana.

Did you have a bad dream?” William menaikkan alisnya sebelah seraya mengisap rokoknya yang berada dalam capitan jarinya. Tidak hanya itu, Arasha juga melihat botol alkohol di atas meja.

Arasha masih diam mengamati lelaki itu, dia yakin pasti ada sesuatu dengan William karena sudah kedua kali dia melihat William seperti ini.

I guess something wrong with you, Sir.

There's nothing wrong with me,” jawab William. Dia mematikan rokoknya dan membuangnya ke tempat sampah lalu dia meneguk kembali minuman miliknya itu.

“Jangan membohongiku,” kata Arasha.

William kembali mengambil satu batang rokok lagi kemudian ia membakar ujung batang rokok itu dan mengisapnya. Dia mengabaikan Arasha yang menatapnya tajam.

“Aku mau.”

William menoleh pada gadis itu sambil mengembuskan asap rokoknya ke udara. Arasha mengambil botol alkohol milik pria itu dan meneguknya langsung. William berjengit kaget, dia langsung bangkit dan merebut paksa botol minumannya itu. “Kau apa-apaan?!”

Arasha merasakan tenggorokannya yang langsung terasa panas dan lidahnya yang rasanya terbakar setelah minum alkohol itu, dia memang tidak terbiasa meminum alkohol apalagi sepertinya William meminum alkohol berkadar tinggi.

“Masuk.” Arasha merasakan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya, belum lagi kepalanya yang terasa pening seketika. William memegang wajah Arasha dengan sebelah tangannya. “Masuk ke dalam!”

Arasha menatap William seraya menggelengkan kepalanya. Beberapa saat mereka bertatapan, tiba-tiba tubuh gadis itu melemas dan sontak menarik kaus yang dipakai William. “Hey, kau kenapa?”

William kontan saja langsung melemparkan puntung rokoknya yang sudah mati itu ke bawah, dia menatap mata Arasha yang sayu saat mereka bertatapan. “Sir...

“Hm?”

Entah setan dari mana yang merasuki Arasha sekarang pasalnya gadis itu tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di leher William seraya mencium bibir lelaki itu. Ya, Arasha benar-benar mencium William.

Ahh kau kenap—”

William tidak diberikan kesempatan berbicara karena gadis itu terus menciumnya, membuat perlahan naluri lelaki William membuatnya menggendong gadis itu masuk ke dalam kamar. William menendang pintu balkon hingga tertutup. Arasha memejamkan matanya saat William sudah membalas ciumannya, dia bisa melihat lelaki itu menyeringai sebelum berbisik lembut. “I hope you don't regret what you've done, Naughty Girl.

Hujan, lagi.

“Pada kemana?”

Alana bertanya saat mereka memasukki rumah kontrakan milik Arion dengan teman-temannya, saat itu cuaca sedang hujan besar jadilah mereka mampir dulu kesana karena memang jaraknya sangat dekat sekaligus Alana ingin meminjam jaket Arion karena bajunya basah.

“Levin sama Tenggara pergi, sisanya belum balik.”

Arion tengah mengacak rambutnya yang basah karena tadi dia tidak memakai helm saat menjemput Alana jadilah kepalanya terkena hujan, jaketnya pun basah. Dia melirik Alana yang sudah seperti tikus kecebur got, pakaiannya basah tapi untungnya rambutnya tidak karena ia memakai helm Arion tadi.

“Ganti baju,” kata Arion.

Alana melirik lelaki itu lalu menggeleng. “Engga bawa 'kan.”

“Pake kaos aku, bentar.”

Arion pun masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Alana yang menunggu di ruang tamu. Gadis itu tampak mengamati sekelilingnya, rumah itu terbagi menjadi tiga kamar tidur dan dua kamar mandi sepertinya sudah cukup besar untuk ditinggali Arion beserta keenam temannya, untung saja tidak berantakan dan hampir semua tertata rapi kecuali sepatu mereka yang berjejeran hampir di setiap sisi.

Arion kembali dari kamarnya, dia sudah menanggalkan hoodie kuning yang sempat dipakainya tadi, sekarang hanya meninggalkan atasan hitam dan celana jeans senada. Dia memberikan kaos yang dibawanya pada Alana.

“Pake, ganti baju di kamar aku aja.”

Alana pun mengangguk, saat ia hendak berjalan, Arion memanggilnya lagi dengan tatapan masih sama seperti dari tadi, sangat datar. “Bawahannya mau juga? Aku cuma ada boxer kalo mau.”

Alana langsung menahan tawa, dia menggeleng mantap. “Ga usah.”

“Ya udah,” balas Arion singkat, dia memegang tangan Alana lagi, “eh bentar, makan mau?”

“Makan apa?”

“Aku cari makan dulu,” kata Arion.

Alana melepaskan tangan Arion, “hujan.”

Arion melirik tangan gadis itu, lalu memandang Alana lagi. “Ya udah, ganti baju dulu aja.”

Alana mengangguk pelan, lalu kembali melangkah pergi meninggalkan Arion yang merasa canggung. Entah kenapa dia selalu merasa canggung berduaan dengan kekasihnya itu, dia pun tersenyum tipis.

***

“Arion...” panggil Alana saat ia telah selesai berganti baju dan kembali ke ruang tamu, tidak ada sahutan sampai akhirnya dia mendengar suara berisik dari arah dapur, tadinya dia hendak berjalan kesana sebelum Arion datang dan hampir menubruknya. “Eh.”

“Aku lagi masak mie.” Arion menatap Alana dengan wajahnya yang tak berekspresi, dia mengamati baju miliknya yang tampak kebesaran dipakai gadis itu.

“Oh? Oke.”

Arion melihat rambut Alana yang masih berantakan, sebagian helaian rambutnya masuk ke dalam baju, lelaki itu pun tergerak menarik lembut rambut Alana dan merapikannya. Tangannya masih memegang helaian rambut pirang gadis itu, mata Arion menatap nanar Alana. “Udah panjang banget.”

Alana mengangguk, dia menatap Arion balik dengan jarak dekat antara keduanya. “Aku potong rambut jangan?”

Arion menggeleng. “Ga usah.”

Saat mereka masih saling memandang, tiba-tiba Alana memegang tangan Arion, “Ion, itu awas kamu lagi masak, kan?”

“Oh iya,” sahut Arion pelan, dia pun kembali ke dapur, meninggalkan Alana yang sedang menahan senyuman seraya menggigit bibirnya.

“Benci banget kenapa gue selalu lemah kalo ditatap Ion...”

***

“Na,” panggil Arion.

“Hm?” Alana hanya menyahut, dia tampak serius menonton film yang mereka tonton dari laptop Arion selagi menunggu hujan reda, mereka juga sudah selesai makan dan sekarang duduk di sofa.

“Kalau ...” jeda Arion, dia mengamati Alana di sampingnya, beberapa saat kemudian gadis itu menoleh padanya. Arion terdiam sejenak membiarkan dia leluasa menatap Alana lebih lama lagi, dia bisa melihat mata gadis itu berbinar memandangnya. Cantik. “Engga jadi.”

“Kamu lagi ada sesuatu ya?”

“Engga.”

“Arion, kalo kamu ada sesuatu bilang ya, aku engga mau kamu tiba-tiba beda tanpa aku tau kamu kenapa. Kalo aku ada salah juga bilang aja.”

“Iya,” jawab Arion.

Alana tersenyum dan tergerak menyubit pipi Arion gemas. Arion memejamkan matanya seraya tersenyum tipis, dia malah menikmati saat wajahnya disentuh oleh Alana.

“Ih, kenapa?” tanya Alana, dia terkejut saat Arion menahan tangannya agar terus memegang wajahnya.

Bukannya menjawab, Arion menarik tangan Alana dan menaruhnya pada rambutnya yang setengah basah lalu lelaki itu menyandarkan kepalanya di bahu Alana. “Usapin.”

Alana tersenyum tulus, dia mengusap rambut Arion dengan lembut meskipun hatinya sekarang sedang tidak karuan karena ulah lelaki itu, apalagi tangan satunya digenggam erat oleh lelaki itu. Alana berbisik pelan pada Arion. “Arion, maaf kemarin Alana bikin kamu sebel.”

“Hm,” sahut Arion.

Sekali lagi Alana melirik Arion sambil mendengus pelan. “Jawabnya yang bener.”

“Iya, Sayang.”

Alana melebur seketika.