winwincure

Luka dan Obat


“Airin.”

Gadis yang tadi sedang berdiam diri seraya memegangi tangannya yang terluka itu langsung bangkit dan berlari menghampiri lelaki yang memanggilnya, matanya merah dan sedikit bengkak. Airin segera menghamburkan pelukan pada Wira yang kontan terkejut dan tidak tahu bagaimana caranya merespon semua ini yang tiba-tiba.

“Hey, kenapa?”

“Oh ya, gue lupa, gue gak boleh peluk lo,” kata Airin sembari melepas pelukannya, dia mengusap matanya yang berair.

“Boleh, Airin, siapa yang melarang?”

“Boleh?”

Wira mengangguk pelan dengan senyum yang menenangkan, dia terlanjur khawatir melihat lengan gadis itu yang luka, dia segera menahan Airin yang hendak memeluknya lagi. “Nanti ya tapi, kita obati lukamu dulu.”

Airin pun mengangguk, dia meringis saat tengah berjalan di samping Wira. Sementara pria di sampingnya terus memerhatikannya seraya membatin, Wira tidak senang melihat perempuannya diperlakukan seperti ini meskipun dia belum tahu apa yang terjadi tapi tetap saja raut wajah yang ditunjukkan oleh Airin menunjukkan semuanya.

Wira membukakan pintu untuk Airin, di dalam mobil dia mengambil kotak P3K yang selalu tersedia, dia melirik Airin sejenak. “Saya boleh bantu kamu obati lukamu ini?”

Airin mengangguk. Dia membiarkan Wira mengobati luka yang terlihat seperti bekas cakaran panjang dan juga sobekan kecil itu, dia mengamati bagaimana dengan hati-hatinya Wira berusaha membersihkan luka gadis itu terlebih dahulu. Saat Airin meringis, lelaki itu langsung melirik sang wanita. “Sakit?”

“Sedikit.”

“Tadi saya main basket sama adikmu, rupanya dia keren, saya sampai kalah telak kamu tau?”

“Kok bisa?”

“Bisa apa?”

“Main ke rumah.”

“Ya bisa, sudah izin juga sama mama kamu.”

Wira terus berusaha mengajak Airin berbicara agar gadis itu mengalihkan rasa sakitnya saat ia sedang menempelkan kapas beralkohol pada luka gadis itu.

“Kamu tau apa yang diceritakan adikmu tadi?”

“Apa? Dia bilang macem-macem ya?”

“Tidak, dia hanya bilang, kalau saya tampan. Katanya cocok sama tetehnya.” Wira terkekeh pelan, dia mengangkat pandangannya sejenak dan memandang Airin yang sialnya juga sedang menatapnya. Belum lagi senyuman menggoda khas gadis itu yang ditampilkan olehnya membuat Wira tidak sanggup berlama-lama menatap Airin.

“Sekarang udah berani natap gue ya?”

“Maaf.”

“Tatap gue lagi.”

Wira tidak merespon Airin, dia kini sibuk membuka plaster yang mendadak terasa sulit di saat jantungnya sedang berdebar seperti ini, Airin segera merebutnya lalu membukanya sendiri dan menempelkannya pula sendiri. Gadis itu melirik Wira yang langsung mengalihkan pandangannya ke depan.

“Kenapa bisa berantem?”

“Gara-gara Arkan.”

Wira menoleh, “mantan kamu?”

Airin mengangguk, dia menghela napasnya sebelum bercerita. “Jadi, gue putus sama Arkan karena dia selingkuh dan setelah dua bulan putus I guess si bangsat itu nyesel dan berusaha ngejer gue lagi tapi gak gue kasih celah pokoknya, terus ada saatnya cewek yang jadi selingkuhannya tuh maki-maki gue gitu di base twitter lo bayangin satu kampus bisa tau, Mas. Ya gue labrak dong, gue sempet temuin dia tapi dia lari gitu kayaknya dari gue, menghindar.”

“Terus, gue bilang kan ya kalo Arkan mau ketemu gue atau ngomong sama gue lagi, suruh ceweknya itu minta maaf sama gue, dan lo tau gue kira tadi itu cewek sialan mau minta maaf ke gue taunya pas kita janjian di deket tongkrongan kampus yang emang agak sepi dia malah bawa pasukannya, maksud gue gengnya, gue kaget di situ ada cewek yang anggep gue musuh juga soalnya karena masalah pekerjaan sih, dia itu model juga. Habis deh gue dimaki-maki. Gue lawan dong ya enam lawan satu, gue gak lama-lama tapi karena gue takutnya dia manggil orang lagi jadi abis itu gue kabur.”

“Bukan takut ya, Cuma gue gak mau aja gue bonyok, muka gue masih punya harga, Mas.” Airin tertawa membuat Wira yang sedang serius itu tersenyum tipis seraya menggeleng samar.

“Kamu tuh ya, saya lagi serius nanggepinnya.”

“Gue gapapa kok, gue pernah bilang ‘kan sama lo kalau yang nganggep gue as rival tuh banyak hampir di setiap sisi, ya tapi gue bodo amat aja sih, selagi mereka nggak sampe ngusik kehidupan pribadi gue, karena meskipun mereka bilang yang jelek-jelek tentang gue ya yaudah terserah orang mau percaya atau nggak, lagipula gue inget kata lo, kalo bicara soal orang yang benci sama kita gak akan ada habisnya, coba liat ada orang lain yang suka dan senang sama lo. Iya, kan, Mas?”

Wira mengangguk, senyumannya mengembang lebar. “Saya salah satunya, orang yang akan selalu suka dan senang dengan adanya kamu.”


Captain’s Story


Siang ini langit di bandara Soekarno-Hatta sangatlah cerah dan terik, pasalnya waktu juga sudah menunjukkan sekitar pukul 11 siang. Hari ini Wira akan terbang ke London pada pukul 12.05 waktu lokal. Ini adalah penerbangan langsung dengan rute penerbangan pulang pergi (VV). Ini bukan kali pertama bagi Wira untuk melakukan penerbangan jarak jauh yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan untungnya dalam penerbangan jarak jauh ini dia didampingi oleh tiga orang. Dua di antaranya adalah co-pilot dan cadangan sedangkan satunya ialah pilot cadangan. Memang penting adanya pilot dan co-pilot cadangan dalam penerbangan jarak jauh seperti ini. Wira sudah didampingi oleh co-pilot Arjuna yang duduk di flight deck dengan Captain Kevin yang duduk di bangku cadangan. “Capt, saya mau periksa bagian luar dulu,” ujar co-pilot Arjuna baik pada Wira maupun Kevin. Arjuna pun keluar dari cockpit untuk memeriksa bagian-bagian lain di sudut pesawat sekaligus memastikan bagaimana kondisi pesawat saat ini. Sementara itu, Wira memastikan semua pemeriksaan terhadap pesawat mulai dari mesin hingga komputerisasi berjalan dengan normal sebelum melakukan penerbangan. Dia juga sudah memeriksa bagian luar pesawat yang diperiksa lagi oleh co-pilot Arjuna dan juga Henderi. Wira didampingi oleh Captain Kevin sekarang ini. “Capt, kita terbang di 40.000 kaki untuk menghindari guncangan hebat karena cuaca kurang mendukung.” Wira mengangguk mendengar arahan dari Captain Kevin, “memang diperkirakan ada banyak guncangan sehingga kita perlu benar-benar memerhatikan arahan.” Setelah semuanya dirasa dalam kondisi yang baik dan normal, mulailah suasana dibuat santai karena penerbangan jarak jauh seperti ini tentunya diperlukan suasana yang nyaman dan tenang dibangun dalam interaksi santai antarpilot. Hal itu pun dilakukan oleh Captain Kevin yang merupakan salah satu pilot yang menjadi teman dekat Wira. “Wir, kamu betul mau menikah ya?” Wira hanya tersenyum tipis seraya mengamati suasana di luar sana. “Doakan saja.” “Saya dikasih tau Mayang, oh ya, dia terbang juga bareng kita hari ini,” kata Captain Kevin. “Ya, saya tau, tadi sempat tegur sapa kok.” “Pantes saja ya Mayang ditolak kamu, rupanya kau sudah punya calon.” “Kemarin-kemarin dia menjemput saya ke bandara, dia sebenarnya ingin saya kenalkan padamu, Capt, tapi mungkin lain kali saya kenalkan ya.” “Saya diundang dong, Wir?” Wira tertawa kecil. “Tentu, doakan saja ya.” “Kau tau Mayang sudah lama mau padamu, Wir?” “Saya tau.” “Lalu, apa kau sudah lama dengan gadis yang ingin kamu nikahi itu?” “Saya bahkan baru mengenalnya sekitar dua minggu terakhir, saya dikenalkan dengannya oleh ibu.” Captain Kevin tampak terkejut, lalu mengangguk pelan. “Sudah kuduga, kamu akan memilih pilihan orang tuamu meskipun sudah beberapa kali gagal sebelumnya. Dia tipemu, Wir?” “Saya tidak punya tipe untuk itu, Capt, tapi entah hanya dia yang saya inginkan.” Wira memandang Captain Kevin dengan senyuman tipis. “Dia sudah menerima pinangan saya dan saya tidak sabar untuk menikahinya. Dia cantik, unik, dan mungkin saya menjadi orang beruntung yang bisa memilikinya. Jadi, mohon doakan saya, Capt, saya ingin semuanya berjalan lancar sampai dia benar-benar menjadi milik saya seutuhnya…” meskipun permintaannya cukup berat hati saya terima. Captain Kevin tersenyum dengan deretan gigi rapi yang ditunjukkannya, ia menepuk bahu Wira dua kali. “Dia pun beruntung mendapatkan lelaki sepertimu, Wir.” “Terima kasih, Vin.” Wira tersenyum miris. Apa benar kamu merasa beruntung, Airin?


Syarat untuk Dekat


Arion sudah selesai menghabiskan makanannya sedari tadi, dia melirik Alana yang masih menyantap makanan miliknya, namun setiap Alana mendongak memandangnya, lelaki itu akan mengalihkan pandangannya ke arah lain sedangkan Alana hanya menahan senyum saat menyiduk lelaki itu.

“Makan yang bener, jangan liat-liat.”

“Punya mata gue!” dengus Alana.

“Habisin, kalo nggak gue turunin di jalan.”

Alana melotot pada Arion yang tersenyum miring. “Galak banget lo gila serem gue.”

Ya elah anjir jangan senyum dong Arion, jantung gue bahaya nih… Arion mengamati Alana dengan senyuman tipis, kali ini dia terus memandang gadis itu bahkan saat Alana menatapnya balik sekalipun, malah sekarang sebaliknya Alana yang malu dan segera membuang muka. Gadis itu menghabiskan chicken katsu rice bowl yang dipesannya tadi.

“Gue ke luar dulu ya.”

Alana melirik Arion, “mau ke mana?”

“Rokok bentar.”

“Di sini aja.”

“Ya udah ga jadi.”

Alana menggeleng-geleng. “Ih nggak, bukan, di sini aja gapapa gue udah biasa kok sama asap rokok.”

“Jangan terbiasa, Alana,” ucap Arion. “Udah gapapa, jangan berisik, cepet habisin.”

“Udah habis.”

Arion pun mengamati gadis yang kini sedang meminum, tampaknya ia kehausan karena Alana meminumya langsung hingga habis. Arion membuka mulutnya sedikit. “Haus lo?”

“Bangeet, tau gak sih tadi tuh gue habis presentasi capek banget ngomong terus…”

“Kenapa gak gantian?”

“Gue capeknya ngejawab pertanyaan temen-temen karena temen sekelompok gue banyak diemnya keburu waktu habis. Belum lagi, gue moderatornya juga.”

Arion hanya memanggut-manggut dan ber *‘oh’ *ria.

“Oh ya, kalau lo gimana? Gimana sih rasanya jadi anak teknik?”

“Baru tingkat satu, udah stress.”

Alana tertawa pelan, “oh ya? Serius? Soalnya gue denger-denger tuh teknik berat banget anjir gak kebayang aja kalau gue jadi anak teknik.”

“Ya gitu deh, kalo gue lebih seneng prakteknya daripada teorinya, mumet parah.”

“Terus lo ikut organisasi atau UKM gak?”

“Gue gabung volunteer univ, Na. Tapi gue nggak aktif, mager.”

“Lo temennya di mana-mana ya pasti… biasanya anak teknik tuh banyak banget temennya apalagi temen cewek.”

Arion menyipitkan matanya. “Lo kali yang banyak temen cowok. Anak teknik tuh sedikit temen ceweknya, mana ada coba, ngaco lo.”

“Iya maksud gue biasanya anak teknik banyak ceweknya di luar fakultasnya sih…”

Arion memutar bola matanya sinis, “teori dari mana coba? ngarang.”

“Maaf… gue ‘kan cuma bilang apa yang gue denger aja, hehe.”

“Gue gak punya pacar, temen cewek gue pun dikit. Gak kayak lo,” cibir Arion.

“Gue gak punya pacar juga.”

“Tapi lo banyak cowoknya, Alana.”

“Emang lo gak banyak ceweknya?” Alana melirik Arion sinis.

“Gak.”

“Gue juga nggak, itu cuma temen semua kok.”

“Termasuk gue?”

“Ya terserah lo, lo mau gak gue anggap temen gue?”

“Kalo gue maunya lebih dari itu, gimana?” Arion mengangkat alisnya sebelah. Membuat gadis yang sedang ditatapnya segera membuang muka dan menahan senyum karena tidak sanggup melihat tatapan maut yang dilayangkan Arion. “Lo bilang mau deket gue ‘kan kemarin?”

Alana menelan ludahnya susah payah, bibirnya kelu dan tidak mampu merespon apapun saat itu.

Arion memajukan wajahnya lalu berbisik pelan. “Boleh, tapi, gue gak suka kalau orang yang deket sama gue, deket juga sama orang lain. Kalo mau sama gue, jangan terlalu deket sama cowok lain.”


Mandi Dua Kali


Hari ini menjadi hari pertama bagi Airin dan Wira menjadi sepasang suami istri setelah acara pernikahan mereka kemarin digelar dan berjalan lancar. Malam pertama mereka tidak seperti ‘malam pertama’ para pasangan suami-istri yang lumrah di luar sana karena mereka sibuk berbincang dengan para kerabat yang hadir, lebih tepatnya Wira—yang bertemu dengan teman-teman lamanya seperti layaknya reuni, juga ada rekan-rekan se-profesinya yang turut hadir. Wira juga sempat mengantarkan ibu dan mertuanya pulang meskipun mereka sudah berkata tidak perlu diantar tetapi lelaki itu tetap mengantarkan mereka pulang. Airin tidur lebih awal karena memang tentu mereka lelah seharian dengan acara kemarin, memang berlangsung secara privat tetapi rupanya cukup terhitung banyak yang hadir dari kerabat Wira. Jadi, dia juga harus bertemu dengan banyak orang itu. Untung saja ketiga sahabat Airin dan Leo datang sehingga setidaknya mereka bisa menemani ketegangan dalam diri Airin dan menjadi teman mengobrol wanita itu. Pagi ini Airin bangun agak siang, bahkan saat ia bangun, suaminya tidak ada di sampingnya namun setelah membuka pesan dari Wira rupanya lelaki itu sedang membeli sarapan. Bersamaan dengan Airin yang baru saja keluar dari kamar mandi, terdengar suara bel apartemennya, dan segera ia membukanya. “Dari mana?” Airin menatap Wira dengan mata sayunya, dia melihat suaminya itu menjinjing banyak belanjaan. “Ini saya beliin kamu sarapan, tadinya saya mau masak tapi bingung juga takut tidak suka kamunya, jadi saya beli.” Wira menaruh belanjaannya di dapur, dia mengamati Airin yang mengamatinya dari meja bar. Lelaki itu tersenyum tipis seraya melepaskan jaket jeans yang dikenakannya. “Kamu pakai baju dulu, lalu sarapan.” Airin melirik bathrobe yang dikenakannya lalu memandang Wira. “Mas udah mandi?” “Sudah.” Airin mendekati lelaki itu, dia mengambil jaket yang digenggam Wira. Matanya mendongak mengamati sosok jangkung di hadapannya sekarang—yang masih memandang ke arah lain, sementara Airin semakin memperkecil jarak di antara dia dengan suaminya. “Mau peluk,” ucap Airin. Wira memandang perempuan itu dengan napas yang tertahan, netra mereka bertemu saat itu juga, hanya sekejap sampai Airin menelusup ke dalam dada bidang pria itu, mendekap tubuh Wira sangat erat. Tak ada jarak di antara keduanya hingga Airin mampu merasakan jantung Wira yang sedang berdetak kencang. “Gue bakal sering kayak gini, boleh?” Wira tidak merespon apapun kala itu, dia masih berusaha memutar otaknya dengan jantungnya yang masih berdetak hebat. Naluri lelakinya membuatnya bergerak merengkuh pinggang sang istri, perlahan tapi pasti Wira berusaha membalas pelukan Airin. “Mau cium juga.” Airin merenggangkan pelukannya dan menyeringai menatap sang suami. Napas hangat Airin menari di sekitar leher Wira. “Boleh?” Wira menelan ludahnya susah payah, dia mengalihkan pandangan ke arah lain, tidak sanggup jika ia harus bertatapan lebih lama dengan Airin yang mencoba menggoyahkan dinding pertahanannya itu. Wira berbisik saat mendekati Airin. “Kamu jangan terus menggoda saya, Airin, saya lelaki, terlebih saya suami kamu, saya takut saya hilang kendali dan ini masih pagi. Kamu memangnya mau mandi dua kali, hm?” Sekarang Airin yang hampir sesak napas karena sorot mata Wira yang begitu dalam, nyalinya mendadak ciut seketika padahal dia senang menggoda lelaki itu, namun setelah beberapa saat kemudian ia segera kembali menatap Wira dengan tajam. “Ish, kenapa kok lihatnya gitu?” Airin berjinjit sedikit lalu mengecup sekaligus mengigit pipi suaminya itu gemas, bahkan sampai berbekas, namun setelah itu ia segera berlari masuk ke dalam kamar membiarkan Wira yang meringis seraya memegangi wajahnya yang menjadi korban kekesalan Airin. Wira memegangi wajahnya dan tersenyum menyeringai mengingat tingkah lucu sang istri padanya. Setidaknya ia dapat bernapas lega setelah Airin pergi meninggalkannya. Ya Tuhan, hampir…


Mandi Dua Kali


Hari ini menjadi hari pertama bagi Airin dan Wira menjadi sepasang suami istri setelah acara pernikahan mereka kemarin digelar dan berjalan lancar. Malam pertama mereka tidak seperti ‘malam pertama’ para pasangan suami-istri yang lumrah di luar sana karena mereka sibuk berbincang dengan para kerabat yang hadir, lebih tepatnya Wira—yang bertemu dengan teman-teman lamanya seperti layaknya reuni, juga ada rekan-rekan se-profesinya yang turut hadir. Wira juga sempat mengantarkan ibu dan mertuanya pulang meskipun mereka sudah berkata tidak perlu diantar tetapi lelaki itu tetap mengantarkan mereka pulang.

Airin tidur lebih awal karena memang tentu mereka lelah seharian dengan acara kemarin, memang berlangsung secara privat tetapi rupanya cukup terhitung banyak yang hadir dari kerabat Wira. Jadi, dia juga harus bertemu dengan banyak orang itu.

Untung saja ketiga sahabat Airin dan Leo datang sehingga setidaknya mereka bisa menemani ketegangan dalam diri Airin dan menjadi teman mengobrol wanita itu.

Pagi ini Airin bangun agak siang, bahkan saat ia bangun, suaminya tidak ada di sampingnya namun setelah membuka pesan dari Wira rupanya lelaki itu sedang membeli sarapan. Bersamaan dengan Airin yang baru saja keluar dari kamar mandi, terdengar suara bel apartemennya, dan segera ia membukanya.

“Dari mana?” Airin menatap Wira dengan mata sayunya, dia melihat suaminya itu menjinjing banyak belanjaan.

“Ini saya beliin kamu sarapan, tadinya saya mau masak tapi bingung juga takut tidak suka kamunya, jadi saya beli.”

Wira menaruh belanjaannya di dapur, dia mengamati Airin yang mengamatinya dari meja bar. Lelaki itu tersenyum tipis seraya melepaskan jaket jeans yang dikenakannya. “Kamu pakai baju dulu, lalu sarapan.”

Airin melirik bathrobe yang dikenakannya lalu memandang Wira. “Mas udah mandi?”

“Sudah.”

Airin mendekati lelaki itu, dia mengambil jaket yang digenggam Wira. Matanya mendongak mengamati sosok jangkung di hadapannya sekarang—yang masih memandang ke arah lain, sementara Airin semakin memperkecil jarak di antara dia dengan suaminya.

“Mau peluk,” ucap Airin.

Wira memandang perempuan itu dengan napas yang tertahan, netra mereka bertemu saat itu juga, hanya sekejap sampai Airin menelusup ke dalam dada bidang pria itu, mendekap tubuh Wira sangat erat. Tak ada jarak di antara keduanya hingga Airin mampu merasakan jantung Wira yang sedang berdetak kencang.

“Gue bakal sering kayak gini, boleh?”

Wira tidak merespon apapun kala itu, dia masih berusaha memutar otaknya dengan jantungnya yang masih berdetak hebat. Naluri lelakinya membuatnya bergerak merengkuh pinggang sang istri, perlahan tapi pasti Wira berusaha membalas pelukan Airin.

“Mau cium juga.” Airin merenggangkan pelukannya dan menyeringai menatap sang suami. Napas hangat Airin menari di sekitar leher Wira. “Boleh?”

Wira menelan ludahnya susah payah, dia mengalihkan pandangan ke arah lain, tidak sanggup jika ia harus bertatapan lebih lama dengan Airin yang mencoba menggoyahkan dinding pertahanannya itu. Wira berbisik saat mendekati Airin. “Kamu jangan terus menggoda saya, Airin, saya lelaki, terlebih saya suami kamu, saya takut saya hilang kendali dan ini masih pagi. Kamu memangnya mau mandi dua kali, hm?”

Sekarang Airin yang hampir sesak napas karena sorot mata Wira yang begitu dalam, nyalinya mendadak ciut seketika padahal dia senang menggoda lelaki itu, namun setelah beberapa saat kemudian ia segera kembali menatap Wira dengan tajam.

“Ish, kenapa kok lihatnya gitu?”

Airin berjinjit sedikit lalu mengecup sekaligus mengigit pipi suaminya itu gemas, bahkan sampai berbekas, namun setelah itu ia segera berlari masuk ke dalam kamar membiarkan Wira yang meringis seraya memegangi wajahnya yang menjadi korban kekesalan Airin. Wira memegangi wajahnya dan tersenyum menyeringai mengingat tingkah lucu sang istri padanya. Setidaknya ia dapat bernapas lega setelah Airin pergi meninggalkannya. Ya Tuhan, hampir…


Istri Saya yang Cantik


Hari semakin larut namun Wira masih setia menunggu Airin yang sedang berkutat dengan tugas-tugas kuliahnya di meja belajar, lelaki itu sesekali akan melirik pada Airin yang tampak serius mengerjakan tugasnya, sebenarnya ia tidak bisa banyak membantu sehingga dia hanya bisa menemani Airin sembari menonton serial televisi yang bahkan sudah lima episode berturut-turut ditonton oleh Wira hari ini.

“Eugh, pegel banget gila tangan gue,” gerutu Airin seraya merenggangkan tangannya.

“Sudah selesai?” tanya Wira seraya menoleh sedikit pada Airin.

Airin segera menutup laptopnya dan bangkit dari depan meja belajar yang terletak dekat ruang televisi. Dia pun berjalan menghampiri Wira yang duduk di sofa. Airin mengangguk dengan bibir mengatup. “Pegel.”

“Sini.” Wira menepuk tempat di sebelahnya, lalu Airin menggeleng. Lelaki itu mengernyit. “Mau tidur?”

Bagaimana Wira tidak langsung terkejut jika melihat Airin tiba-tiba naik ke atas pangkuannya dan bersandar pada dada bidang sang suami. Wira berusaha mengontrol perasaannya yang menjadi tidak karuan jika ada dekat Airin—yang padahal sudah menjadi istri sahnya. Lelaki itu menarik napasnya perlahan membuat Airin mendongak. “Gak boleh?”

“Boleh, sini yang benar duduknya, sebentar maaf ya.”

Wira merengkuh pinggang Airin untuk membenarkan posisi perempuan itu agar lebih nyaman bersandar padanya, sebenarnya ia sedikit tidak nyaman dengan Airin yang ada di pangkuannya karena bagaimana pun dia lelaki dewasa yang ... ah sudahlah, dia tidak masalah jika itu membuat Airin nyaman lagipula ia juga kasihan dengan Airin yang sudah lelah duduk seharian di depan layar.

“Kamu lapar nggak?” tanya Wira. Lelaki itu mulai fokus kembali pada tontonannya meskipun sedikit buyar karena Airin.

“Nggak, tadi 'kan udah mas suapin.”

“Nggak lapar lagi? Mau saya bikinin minuman hangat gak?”

“Nggak usah.”

“Oh ya sudah,” kata Wira sebelum kembali bersuara, “besok saya antar ya ke kampus?”

Airin mengangguk tanpa berbicara dengan netra yang sudah terpejam kala tengah bersandar pada Wira, tangannya pun mulai bergerak memeluk tengkuk lelaki itu membuat sang empu sedikit tersentak dan memandang sang wanita.

“Kamu ngantuk?”

Sekali lagi Airin hanya mengangguk.

Nada bicara Wira berubah rendah. “Pindah ke kamar mau?”

“Nggak, mau di sini dulu.”

“Ya sudah, kamu tidur saja ya, nanti habis film ini selesai kita pindah.” Lelaki itu menahan tampak tersipu dan berusaha menahan senyumnya saat melihat Airin tidur dalam pelukannya. Sorot matanya penuh damba saat mengamati wanita cantiknya sedang memejamkan mata, kedua tangannya bergerak menahan agar perempuan itu tidak jatuh dari pangkuannya. “Cantik sekali kamu ini.”

Setelah puas memandangi perempuannya yang tampaknya mulai masuk ke alam mimpi, Wira menurunkan kepalanya sedikit sehingga menempel dengan kepala Airin. Dia berbisik dengan lembut. “Istri saya yang cantik.”


Istri Saya yang Cantik


Hari semakin larut namun Wira masih setia menunggu Airin yang sedang berkutat dengan tugas-tugas kuliahnya di meja belajar, lelaki itu sesekali akan melirik pada Airin yang tampak serius mengerjakan tugasnya, sebenarnya ia tidak bisa banyak membantu sehingga dia hanya bisa menemani Airin sembari menonton serial televisi yang bahkan sudah lima episode berturut-turut ditonton oleh Wira hari ini.

“Eugh, pegel banget gila tangan gue,” gerutu Airin seraya merenggangkan tangannya.

“Sudah selesai?” tanya Wira seraya menoleh sedikit pada Airin.

Airin segera menutup laptopnya dan bangkit dari depan meja belajar yang terletak dekat ruang televisi. Dia pun berjalan menghampiri Wira yang duduk di sofa. Airin mengangguk dengan bibir mengatup. “Pegel.”

“Sini.” Wira menepuk tempat di sebelahnya, lalu Airin menggeleng. Lelaki itu mengernyit. “Mau tidur?”

Bagaimana Wira tidak langsung terkejut jika melihat Airin tiba-tiba naik ke atas pangkuannya dan bersandar pada dada bidang sang suami. Wira berusaha mengontrol perasaannya yang menjadi tidak karuan jika ada dekat Airin—yang padahal sudah menjadi istri sahnya. Lelaki itu menarik napasnya perlahan membuat Airin mendongak. “Gak boleh?”

“Boleh, sini yang benar duduknya, sebentar maaf ya.”

Wira merengkuh pinggang Airin untuk membenarkan posisi perempuan itu agar lebih nyaman bersandar padanya, sebenarnya ia sedikit tidak nyaman dengan Airin yang ada di pangkuannya karena bagaimana pun dia lelaki dewasa yang ... ah sudahlah, dia tidak masalah jika itu membuat Airin nyaman lagipula ia juga kasihan dengan Airin yang sudah lelah duduk seharian di depan layar.

“Kamu lapar nggak?” tanya Wira. Lelaki itu mulai fokus kembali pada tontonannya meskipun sedikit buyar karena Airin.

“Nggak, tadi 'kan udah mas suapin.”

“Nggak lapar lagi? Mau saya bikinin minuman hangat gak?”

“Nggak usah.”

“Oh ya sudah,” kata Wira sebelum kembali bersuara, “besok saya antar ya ke kampus?”

Airin mengangguk tanpa berbicara dengan netra yang sudah terpejam kala tengah bersandar pada Wira, tangannya pun mulai bergerak memeluk tengkuk lelaki itu membuat sang empu sedikit tersentak dan memandang sang wanita.

“Kamu ngantuk?”

Sekali lagi Airin hanya mengangguk.

Nada bicara Wira berubah rendah. “Pindah ke kamar mau?”

“Nggak, mau di sini dulu.”

“Ya sudah, kamu tidur saja ya, nanti habis film ini selesai kita pindah.” Lelaki itu tampak tersipu dan berusaha menahan senyumnya saat melihat Airin tidur dalam pelukannya. Sorot matanya penuh damba saat mengamati wanita cantiknya sedang memejamkan mata, kedua tangannya bergerak menahan agar perempuan itu tidak jatuh dari pangkuannya. “Cantik sekali kamu ini.”

Setelah puas memandangi perempuannya yang tampaknya mulai masuk ke alam mimpi, Wira menurunkan kepalanya sedikit sehingga menempel dengan kepala Airin. Dia berbisik dengan lembut. “Istri saya yang cantik.”


Mandi Dua Kali


Hari ini menjadi hari pertama bagi Airin dan Wira menjadi sepasang suami istri setelah acara pernikahan mereka kemarin digelar dan berjalan lancar. Malam pertama mereka tidak seperti ‘malam pertama’ para pasangan suami-istri yang lumrah di luar sana karena mereka sibuk berbincang dengan para kerabat yang hadir, lebih tepatnya Wira—yang bertemu dengan teman-teman lamanya seperti layaknya reuni, juga ada rekan-rekan se-profesinya yang turut hadir. Wira juga sempat mengantarkan ibu dan mertuanya pulang meskipun mereka sudah berkata tidak perlu diantar tetapi lelaki itu tetap mengantarkan mereka pulang.

Airin tidur lebih awal karena memang tentu mereka lelah seharian dengan acara kemarin, memang berlangsung secara privat tetapi rupanya cukup terhitung banyak yang hadir dari kerabat Wira. Jadi, dia juga harus bertemu dengan banyak orang itu.

Untung saja ketiga sahabat Airin dan Leo datang sehingga setidaknya mereka bisa menemani ketegangan dalam diri Airin dan menjadi teman mengobrol wanita itu.

Pagi ini Airin bangun agak siang, bahkan saat ia bangun, suaminya tidak ada di sampingnya namun setelah membuka pesan dari Wira rupanya lelaki itu sedang membeli sarapan. Bersamaan dengan Airin yang baru saja keluar dari kamar mandi, terdengar suara bel apartemennya, dan segera ia membukanya.

“Dari mana?” Airin menatap Wira dengan mata sayunya, dia melihat suaminya itu menjinjing banyak belanjaan.

“Ini saya beliin kamu sarapan, tadinya saya mau masak tapi bingung juga takut tidak suka kamunya, jadi saya beli.”

Wira menaruh belanjaannya di dapur, dia mengamati Airin yang mengamatinya dari meja bar. Lelaki itu tersenyum tipis seraya melepaskan jaket jeans yang dikenakannya. “Kamu pakai baju dulu, lalu sarapan.”

Airin melirik bathrobe yang dikenakannya lalu memandang Wira. “Mas udah mandi?”

“Sudah.”

Airin mendekati lelaki itu, dia mengambil jaket yang digenggam Wira. Matanya mendongak mengamati sosok jangkung di hadapannya sekarang—yang masih memandang ke arah lain, sementara Airin semakin memperkecil jarak di antara dia dengan suaminya.

“Mau peluk,” ucap Airin.

Wira memandang perempuan itu dengan napas yang tertahan, netra mereka bertemu saat itu juga, hanya sekejap sampai Airin menelusup ke dalam dada bidang pria itu, mendekap tubuh Wira sangat erat. Tak ada jarak di antara keduanya hingga Airin mampu merasakan jantung Wira yang sedang berdetak kencang.

“Gue bakal sering kayak gini, boleh?”

Wira tidak merespon apapun kala itu, dia masih berusaha memutar otaknya dengan jantungnya yang masih berdetak hebat. Naluri lelakinya membuatnya bergerak merengkuh pinggang sang istri, perlahan tapi pasti Wira berusaha membalas pelukan Airin.

“Mau cium juga.” Airin merenggangkan pelukannya dan menyeringai menatap sang suami. Napas hangat Airin menari di sekitar leher Wira. “Boleh?”

Wira menelan ludahnya susah payah, dia mengalihkan pandangan ke arah lain, tidak sanggup jika ia harus bertatapan lebih lama dengan Airin yang mencoba menggoyahkan dinding pertahanannya itu. Wira berbisik saat mendekati Airin. “Kamu jangan terus menggoda saya, Airin, saya lelaki, terlebih saya suami kamu, saya takut saya hilang kendali dan ini masih pagi. Kamu memangnya mau mandi dua kali, hm?”

Sekarang Airin yang hampir sesak napas karena sorot mata Wira yang begitu dalam, nyalinya mendadak ciut seketika padahal dia senang menggoda lelaki itu, namun setelah beberapa saat kemudian ia segera kembali menatap Wira dengan tajam.

“Ish, kenapa kok lihatnya gitu?”

Airin berjinjit sedikit lalu mengecup sekaligus mengigit pipi suaminya itu gemas, bahkan sampai berbekas, namun setelah itu ia segera berlari masuk ke dalam kamar membiarkan Wira yang meringis seraya memegangi wajahnya yang menjadi korban kekesalan Airin. Wira memegangi wajahnya dan tersenyum menyeringai mengingat tingkah lucu sang istri padanya. Setidaknya ia dapat bernapas lega setelah Airin pergi meninggalkannya. Ya Tuhan, hampir…


Night Changes

cw // mention off kiss


Airin tidak bisa tidur sejak tadi, bahkan ia menyadari saat Wira bangkit dari ranjang karena ia sendiri masih terjaga, perempuan itu tidak bisa tidur karena ada sesuatu yang mengusik pikirannya terlebih setelah ia berkutat dengan ponselnya. Airin memejamkan matanya dan merasakan pikirannya yang kacau, penuh rasa gelisah dan takut dalam dirinya. Ia takut, bahkan ragu pada dirinya sendiri.

Airin berusaha sekuat tenaga menahan air matanya yang hendak jatuh setiap bayangan sosok suaminya itu muncul seketika bahkan ia mengetik pesan melalui ponselnya saking tidak sanggup untuk bangkit dan keluar dari kamar. Dia tidak tahu kenapa kegelisahan ini tiba-tiba muncul di pernikahannya yang bahkan belum seumur jagung.

“Airin.”

Suara berat itu terdengar beriringan dengan pintu kamar yang terbuka dan menampilkan sosok tampan dengan wajah polos menenangkan berkaus putih—yang kemudian berjalan masuk.

Airin menahan napasnya sejenak, matanya sudah berkilap hampir mengeluarkan air mata, namun ia segera mengusak matanya dan beranjak bangkit dari ranjangnya. Matanya yang sayu memandang Wira yang tampak mengerutkan dahinya.

“Kamu kenapa? Kok pucat begitu? Kamu sakit?”

Air muka Wira terlihat khawatir saat melihat Airin yang wajahnya tampak pucat dan matanya memerah. Airin tidak merespon apapun saat itu, dia membeku saat melihat Wira yang masih menatapnya.

“Kamu lapar? Ayo saya buatin kamu makanan ya? Atau mau saya beli makan keluar? Kita pesan makan saja ya?”

Airin mulai mendekat dan menggeleng. “Gak mau.”

“Kamu mau apa? Mau susu atau kue? Ada banyak makanan kok

Night Changes

cw // mention off kiss


Airin tidak bisa tidur sejak tadi, bahkan ia menyadari saat Wira bangkit dari ranjang karena ia sendiri masih terjaga, perempuan itu tidak bisa tidur karena ada sesuatu yang mengusik pikirannya terlebih setelah ia berkutat dengan ponselnya. Airin memejamkan matanya dan merasakan pikirannya yang kacau, penuh rasa gelisah dan takut dalam dirinya. Ia takut, bahkan ragu pada dirinya sendiri.

Airin berusaha sekuat tenaga menahan air matanya yang hendak jatuh setiap bayangan sosok suaminya itu muncul seketika bahkan ia mengetik pesan melalui ponselnya saking tidak sanggup untuk bangkit dan keluar dari kamar. Dia tidak tahu kenapa kegelisahan ini tiba-tiba muncul di pernikahannya yang bahkan belum seumur jagung.

“Airin.”

Suara berat itu terdengar beriringan dengan pintu kamar yang terbuka dan menampilkan sosok tampan dengan wajah polos menenangkan berkaus putih—yang kemudian berjalan masuk.

Airin menahan napasnya sejenak, matanya sudah berkilap hampir mengeluarkan air mata, namun ia segera mengusak matanya dan beranjak bangkit dari ranjangnya. Matanya yang sayu memandang Wira yang tampak mengerutkan dahinya.

“Kamu kenapa? Kok pucat begitu? Kamu sakit?”

Air muka Wira terlihat khawatir saat melihat Airin yang wajahnya tampak pucat dan matanya memerah. Airin tidak merespon apapun saat itu, dia membeku saat melihat Wira yang masih menatapnya.

“Kamu lapar? Ayo saya buatin kamu makanan ya? Atau mau saya beli makan keluar? Kita pesan makan saja ya?”

Airin mulai mendekat dan menggeleng. “Gak mau.”

“Kamu mau apa? Mau susu atau kue? Ada banyak makanan kok yang kemarin saya beli.”

“Gue gak mau makan.”

“Lalu mau apa?”

Tatapan Airin begitu tajam dengan wajahnya yang tampak serius saat ia memandang lelaki di depannya itu, ia semakin mendekat pada Wira, membuat lelaki itu mulai gelisah dan mencoba mengontrol napasnya yang berderu.

Jarak tidak lagi memisahkan mereka berdua yang bisa saling merasakan hangat napas masing-masing yang bersahutan dengan menggebu.

Jemari lentik Airin bergerak mencengkram tengkuk pria itu yang hanya bisa terpaku dan memberanikan diri menunduk menatap seorang dewi berparas cantik di matanya itu.

Mata Airin perlahan terpejam dalam tangkapan netra pria itu. Napas hangat sang wanita semakin bisa dirasakan oleh pria itu sampai suatu yang lembab menempel dengan ranumnya.

Tangan Wira tanpa sadar bergerak menarik kedua pinggang Airin mendekat dan matanya pun terkatup seiring dengan ciuman yang dilayangkan sang istri.

Ciuman Airin yang semula lembut berubah menjadi sedikit panas, dia mengisap bibir suaminya dan menggigitnya kasar. Wira membuka matanya dan meringis pelan, ia menatap Airin penuh damba dengan napas memburu setelah melepaskan tautannya dengan perempuan itu. “Saya belum ada pengalaman, kamu yang pimpin ya, tapi jangan digigit.”

Wira kembali memagut bibir Airin sebelum wanita itu hendak kembali menciumnya. Wira membiarkan Airin yang lebih mendominasi dalam permainan kali ini seolah ini menjadi sebuah pembelajaran pertama bagi Wira yang masih pemula untuk kedepannya.

Airin pikir dia akan banyak mendominasi, namun ia hampir lupa jika seorang Wira juga ialah lelaki normal yang tentunya memiliki naluri sendiri yang akan membimbing tindakan yang biasanya dilakukan oleh lelaki pada umumnya.

Ya, Wira menjatuhkan tubuhnya yang memeluk perempuan itu berpindah posisi pada sofa di dekatnya. Airin sempat tersentak dengan apa yang dilakukan suaminya tadi, namun pikirannya sudah buyar setelah merasakan tangan besar Wira bergerak mengusap pinggangnya lembut bersamaan dengan bibir mereka yang masih bertaut.

Kupu-kupu bertebaran di perut Airin bersaman dengan jantungnya yang terus berpacu kala melihat sosok tampan itu terpejam di depannya. Tampan. Sangat tampan bahkan Airin tidak masalah jika harus begini sampai pagi nanti.

“Mas,” Airin melepaskan tautan mereka dan menatap Wira dengan napas keduanya yang masih memburu. “Laper.”

Wira tersenyum menyeringai melihat bibir Airin yang bergerak lucu dan tampak merasa tak berdosa setelah memporak-porandakkan batin lelaki itu. Wira mengusap peluh di dahi Airin yang membasahi rambut sang wanita. “Kamu ini ya, nakal.”

“Tapi suka?” Airin kembali mendekat.

“Saya selalu suka apa yang kamu lakukan selagi itu baik, tapi kalau yang tadi,” Wira menahan perkataannya, dia lalu berbisik di dekat daun telinga Airin, napasnya pun terasa hangat. “Jangan sering-sering, kamu buat hati saya berantakan, Airin.”

Airin hampir tak bisa bernapas, namun Wira segera bergerak bangkit seraya membetulkan posisi Airin yang akhirnya lelaki itu gendong ala koala. Airin menenggelamkan wajahnya diceruk leher Wira dan memeluk suaminya erat.

“Mas, jangan tinggalin gue ya.”

Sekali lagi pandangan mereka beradu kala di ambang pintu, Airin bisa melihat senyuman manis dari bibir lelaki yang tampak kebas karena ulahnya itu.

“Kamu yang jangan tinggalin saya.”