winwincure

Seperti Malaikat


“Mas Wira, dulu cita-cita aku jadi pilot loh.” Wira masih mengamati seorang lelaki remaja berambut pirang yang tampak duduk di hadapannya seraya memegang cheese burger yang baru saja digigitnya, dia mengunyah makanannya sambil menahan mulutnya yang hendak ingin berbicara lagi, baru lah setelah menelan makanannya baru anak itu kembali berbicara, “tapi kata mama jadi pilot itu susah. Bukan cuma resikonya yang besar, biayanya juga mahal. Kata mama aku harus belajar aja yang bener karena masalah ke depannya biar waktu aja yang bakal menjawab. Sebenarnya aku sedih sih, tapi mama ada benernya juga sih, aku sendiri aja sekarang masih males-malesan belajar, padahal aku udah ganti cita-cita semenjak itu.”

“Lalu, sekarang cita-cita kamu apa?” tanya Wira, dia terlihat tertarik dengan apa yang diceritakan oleh adik iparnya itu, matanya menatap teduh pada bocah yang kembali memakan burger-nya itu.

“Sebentar,” kata Ramzy. Dia menyeruput kola yang ada di sampingnya kemudian kembali melanjutkan perkataannya. “Sekarang cita-cita aku cuma satu sih, punya banyak uang. Hahaha.” Anak itu tergelak. “Terkadang banyak hal yang bisa dibeli sama uang, aku juga bisa bantu mama sama teteh kalau nanti uang aku banyak, tapi Mas, kerja apa ya yang bikin banyak uang?

Wira terkekeh pelan. “Memangnya kalau kamu punya banyak uang mau untuk apa uang itu?”

“Kayak yang aku bilang tadi, buat bantu mama sama teteh aja, terus sisanya aku beli apapun yang aku mau karena selama ini setiap aku mau beli sesuatu pasti ada aja kendalanya yaitu uang, padahal aku punya banyak keinginan, tapi untungnya teteh selalu berusaha buat memenuhi itu meskipun gak selalu sesuai sama yang aku mau.”

“Misalnya waktu aku ingin punya motor baru, aku bilang ke teteh kalau aku pengen kayak temen-temen yang bawa motor ke sekolah terlebih jarak dari rumah ke sekolah itu jauh, tapi pas aku minta ke teteh ujungnya aku dikasihnya motor bekas teteh.” Lanjut Ramzy dengan antusias.

“Lalu, kamu kecewa?”

Ramzy menggeleng. “Nggak, aku malah sedih aja teteh malah berkorban demi aku, gapapa sih gak sesuai yang aku mau tapi ngeliat teteh yang kayak gitu bikin aku malah jadi malu. Aku seneng bisa punya teteh yang peduli sama aku, kadang aku ngerasa teteh malah mirip papa, teteh yang bayarin aku sekolah juga, pokoknya teteh sama ibu udah banyak berjasa di hidup aku.”

Wira tersenyum mendengar cerita yang diungkap oleh Ramzy karena sebagian besar cerita dari bocah itu bercerita tentang kehidupan keluarganya terutama tentang sang kakak—yang sangat sering disebut namanya dalam cerita Ramzy. Ramzy memang bukan lagi remaja yang hanya senang bermain-main, dia tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan mencoba mengerti keadaan meskipun pada umumnya anak-anak seusianya masih memiliki pola pikir yang belum matang tapi melalui didikan ibu dan sang kakak dia menjadi lebih mendewasa dari umurnya.

“Aku kadang mikir juga sih, Mas, aku bisa aja kayak anak-anak lain yang mungkin masih banyak main dan keluyuran atau berbuat semuanya tanpa mikirin orang lain, tapi kadang aku masih inget kalau aku hidup aja udah jadi beban untuk banyak ibu dan teteh, jadi gimana caranya aku bisa tetap menjaga kepercayaan mereka dan juga kasih sayang mereka yang udah mereka kasih buat aku.”

“Kamu tau, Ramzy?” Wira tersenyum seraya menatap anak remaja itu. “Mas udah punya dua anak hebat kesayangan mas. Kamu dan Mahesa. Kalian itu seperti sebuah anugerah buat mas. Mas nggak tau betapa bangganya mas punya kalian berdua di hidup mas, mas tahu hidup yang kalian jalani di usia remaja itu sangat berat dan nggak mudah kalian lalui tapi dengan hebatnya kalian tetap menjalani itu semua dengan tegar dan kalian mampu bertahan terhadap setiap godaan yang ada meskipun itu tidak mudah. Mas memang baru mengenal kamu, ibu, dan kakakmu tapi entah mengapa mas ngerasa punya tanggung jawab besar terhadap kalian, terlebih kamu.”

“Ramzy, kamu sekarang nggak hanya punya teteh dan mama, kamu juga punya mas, kamu boleh menganggap mas sebagai teman cerita kamu, tempat kamu berkeluh kesah, dan tentunya kamu juga bisa minta apa yang kamu mau ke mas tapi dengan catatan itu bisa memotivasi kamu dan baik untuk kamu. Mas paham mungkin maaf kamu sudah cukup lama kehilangan sosok lelaki yang akan lebih mengerti tentunya bagaimana perasaanmu seperti papa, maka dari itu, mas akan coba untuk bisa menjadi sosok lain dari papa kamu yang tentunya tidak akan pernah tergantikan oleh kamu dan Airin.” Ramzy terdiam mendengar perkataan Wira kala itu, batinnya tersentuh dengan apa yang baru saja diucapkan lelaki dengan senyuman tulus di hadapannya sekarang. Ramzy bahkan tidak bisa berkata-kata, tapi dia bisa melihat ketulusan dari sorot mata wajah polos lelaki dewasa di hadapannya. Ramzy terlalu kuat untuk menangis, tapi batinnya sudah ingin terisak, matanya berkilap penuh kagum memandang sang malaikat yang seolah tengah tersenyum di hadapannya.

“Mas, teteh beruntung dapet suami kayak Mas Wira.” Tatapan Ramzy masih kosong setelah berucap demikian, sampai dia tersadar saat melihat tawa tipis lelaki itu yang kemudian mengacak rambutnya pelan.

“Mas yang beruntung punya Airin, terlebih mas bisa kenal kamu dan mama.” Wira tersenyum saat otaknya mencoba memutar cantiknya sosok yang setiap pagi terbaring di sampingnya.


Seperti Papa


“Mas Wira, dulu cita-cita aku jadi pilot loh.” Wira masih mengamati seorang lelaki remaja berambut pirang yang tampak duduk di hadapannya seraya memegang cheese burger yang baru saja digigitnya, dia mengunyah makanannya sambil menahan mulutnya yang hendak ingin berbicara lagi, baru lah setelah menelan makanannya baru anak itu kembali berbicara, “tapi kata mama jadi pilot itu susah. Bukan cuma resikonya yang besar, biayanya juga mahal. Kata mama aku harus belajar aja yang bener karena masalah ke depannya biar waktu aja yang bakal menjawab. Sebenarnya aku sedih sih, tapi mama ada benernya juga sih, aku sendiri aja sekarang masih males-malesan belajar, padahal aku udah ganti cita-cita semenjak itu.”

“Lalu, sekarang cita-cita kamu apa?” tanya Wira, dia terlihat tertarik dengan apa yang diceritakan oleh adik iparnya itu, matanya menatap teduh pada bocah yang kembali memakan burger-nya itu.

“Sebentar,” kata Ramzy. Dia menyeruput kola yang ada di sampingnya kemudian kembali melanjutkan perkataannya. “Sekarang cita-cita aku cuma satu sih, punya banyak uang. Hahaha.” Anak itu tergelak. “Terkadang banyak hal yang bisa dibeli sama uang, aku juga bisa bantu mama sama teteh kalau nanti uang aku banyak, tapi Mas, kerja apa ya yang bikin banyak uang?

Wira terkekeh pelan. “Memangnya kalau kamu punya banyak uang mau untuk apa uang itu?”

“Kayak yang aku bilang tadi, buat bantu mama sama teteh aja, terus sisanya aku beli apapun yang aku mau karena selama ini setiap aku mau beli sesuatu pasti ada aja kendalanya yaitu uang, padahal aku punya banyak keinginan, tapi untungnya teteh selalu berusaha buat memenuhi itu meskipun gak selalu sesuai sama yang aku mau.”

“Misalnya waktu aku ingin punya motor baru, aku bilang ke teteh kalau aku pengen kayak temen-temen yang bawa motor ke sekolah terlebih jarak dari rumah ke sekolah itu jauh, tapi pas aku minta ke teteh ujungnya aku dikasihnya motor bekas teteh.” Lanjut Ramzy dengan antusias.

“Lalu, kamu kecewa?”

Ramzy menggeleng. “Nggak, aku malah sedih aja teteh malah berkorban demi aku, gapapa sih gak sesuai yang aku mau tapi ngeliat teteh yang kayak gitu bikin aku malah jadi malu. Aku seneng bisa punya teteh yang peduli sama aku, kadang aku ngerasa teteh malah mirip papa, teteh yang bayarin aku sekolah juga, pokoknya teteh sama ibu udah banyak berjasa di hidup aku.”

Wira tersenyum mendengar cerita yang diungkap oleh Ramzy karena sebagian besar cerita dari bocah itu bercerita tentang kehidupan keluarganya terutama tentang sang kakak—yang sangat sering disebut namanya dalam cerita Ramzy. Ramzy memang bukan lagi remaja yang hanya senang bermain-main, dia tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan mencoba mengerti keadaan meskipun pada umumnya anak-anak seusianya masih memiliki pola pikir yang belum matang tapi melalui didikan ibu dan sang kakak dia menjadi lebih mendewasa dari umurnya.

“Aku kadang mikir juga sih, Mas, aku bisa aja kayak anak-anak lain yang mungkin masih banyak main dan keluyuran atau berbuat semuanya tanpa mikirin orang lain, tapi kadang aku masih inget kalau aku hidup aja udah jadi beban untuk banyak ibu dan teteh, jadi gimana caranya aku bisa tetap menjaga kepercayaan mereka dan juga kasih sayang mereka yang udah mereka kasih buat aku.”

“Kamu tau, Ramzy?” Wira tersenyum seraya menatap anak remaja itu. “Mas udah punya dua anak hebat kesayangan mas. Kamu dan Mahesa. Kalian itu seperti sebuah anugerah buat mas. Mas nggak tau betapa bangganya mas punya kalian berdua di hidup mas, mas tahu hidup yang kalian jalani di usia remaja itu sangat berat dan nggak mudah kalian lalui tapi dengan hebatnya kalian tetap menjalani itu semua dengan tegar dan kalian mampu bertahan terhadap setiap godaan yang ada meskipun itu tidak mudah. Mas memang baru mengenal kamu, ibu, dan kakakmu tapi entah mengapa mas ngerasa punya tanggung jawab besar terhadap kalian, terlebih kamu.”

“Ramzy, kamu sekarang nggak hanya punya teteh dan mama, kamu juga punya mas, kamu boleh menganggap mas sebagai teman cerita kamu, tempat kamu berkeluh kesah, dan tentunya kamu juga bisa minta apa yang kamu mau ke mas tapi dengan catatan itu bisa memotivasi kamu dan baik untuk kamu. Mas paham mungkin maaf kamu sudah cukup lama kehilangan sosok lelaki yang akan lebih mengerti tentunya bagaimana perasaanmu seperti papa, maka dari itu, mas akan coba untuk bisa menjadi sosok lain dari papa kamu yang tentunya tidak akan pernah tergantikan oleh kamu dan Airin.” Ramzy terdiam mendengar perkataan Wira kala itu, batinnya tersentuh dengan apa yang baru saja diucapkan lelaki dengan senyuman tulus di hadapannya sekarang. Ramzy bahkan tidak bisa berkata-kata, tapi dia bisa melihat ketulusan dari sorot mata wajah polos lelaki dewasa di hadapannya. Ramzy terlalu kuat untuk menangis, tapi batinnya sudah ingin terisak, matanya berkilap penuh kagum memandang sang malaikat yang seolah tengah tersenyum di hadapannya.

“Mas, teteh beruntung dapet suami kayak Mas Wira.” Tatapan Ramzy masih kosong setelah berucap demikian, sampai dia tersadar saat melihat tawa tipis lelaki itu yang kemudian mengacak rambutnya pelan.

“Mas yang beruntung punya Airin, terlebih mas bisa kenal kamu dan mama.” Wira tersenyum saat otaknya mencoba memutar cantiknya sosok yang setiap pagi terbaring di sampingnya.


“Airin, bangun yuk...”

Wira menunduk seraya mengusap dahi Airin yang tengah terlelap di pahanya karena tadi sesampainya di apartemen, gadis itu langsung mengambil posisi senyaman mungkin setelah Wira baru saja duduk di sofa. Wira sebenarnya enggan membangunkan wanita itu tetapi masalahnya mereka berdua pun belum berganti baju, terlebih akan sulit jika ia akan menggendong Airin ke kamar dengan posisi seperti ini.

“Bangun yuk, kita pindah?”

“Eungh!” Airin bergerak dan mencari posisi yang lebih nyaman setelah merasa tidurnya terusik, namun dia perlahan membuka matanya setengah, “ngapain?”

“Hm?” Wira mendekat, dia mengusap kepala Airin lembut, “pindah ke kamar.”

“Nggak, di sini aja,” jawab Airin meracau.

“Ya sudah, kita tidur di sini ya.”

Wira tersenyum saja melihat Airin yang tampaknya sudah mengantuk dan tidak memungkinkan juga jika ia harus membangunkan gadis itu terus menerus, Wira tidak mau mengganggu tidur perempuannya, dia senang bisa mengamati gadis itu terlelap di bawahnya sehingga dia dapat dengan bebas memandangi cantiknya sang pujaan hati yang tengah terpejam itu.

“Pakai ini saja ya, saya gak mau kamu dicium nyamuk.”

Wira pun meraih jaketnya yang masih tergantung di sofa dan menyelimuti Airin dengan jaketnya, dia tidak mungkin mengambil selimut ke dalam kamar jika dalam posisi seperti ini.

Lelaki itu membelai rambut Airin seraya bersandar pada sofa, Wira masih terjaga karena sesekali setiap ia hendak memejamkan matanya, suara nyamuk yang mendekati Airin membuatnya kembali membuka mata dan mengibaskan tangannya untuk mengusir nyamuk-nyamuk itu.

Wira memiringkan kepalanya sedikit untuk bisa memandang istrinya lebih dekat kemudian menjamah hidung mancung Airin seraya terkekeh pelan. “Selamat tidur, Sayang.”

Perfect

cw // mature scene


“Airin, kamu sudah mandinya?”

Wira memanggil perempuannya dari luar pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dia bingung juga karena tidak mendengar suara apapun dari dalam sana.

“Ai?”

Sebenarnya lelaki itu tidak marah pada Airin, sebenarnya dia hanya cemburu saja melihat kedekatan Airin dengan Nathan—fotografernya tadi. Ya, perlu diketahui bahwa Wira mulai menunjukkan sisi lain dirinya pada Airin yang tidak diketahui orang lain mungkin, jadilah dia reflek tidak bicara sedari tadi pada perempuan itu dan sekarang dia jadi merasa bersalah pada istrinya sendiri.

Wira menghela napasnya kasar seraya mengacak rambutnya pelan, dia jadi malu sendiri terlihat seperti kekanakan di depan Airin. Wira menggeleng samar. “Aku ini kenapa sih?”

Tadinya dia ingin kembali keluar namun tiba-tiba Airin pun muncul dari ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Wira bisa melihat tatapan Airin yang begitu tajam mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lelaki itu pun menatap sang wanita. “Maaf, saya tidak bermaksud untuk cuekin kamu.”

“Terus?”

“Saya gak bisa cuekin kamu.”

“Sini masuk.”

Airin menarik tangan Wira dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi, gadis itu menutup pintunya dengan sekali hentak—membuat Wira menelan ludahnya susah payah saat dirinya terjerembab di wastafel kamar mandi.

“Ka—mu mau apa?” tanya Wira gugup.

“Aku mau cukur kumis kamu.” Airin mendekati Wira seraya menyentuh rambut halus nan tipis yang tumbuh di atas bibir suaminya itu. “Kamu besok kerja, jadi harus bersih.”

Jantung Wira tampaknya sudah tak terkendali saat ini, terlebih lagi Airin yang terlalu dekat dengannya di ruangan yang kecil ini, dia bahkan bisa mengamati wanita itu tampak telaten mencukur tipis lelaki itu sampai bersih.

“Udah,” ujar Airin, dia sedikit menjauh dan mengamati Wira dengan seringaian. “Sebenernya kamu mau kumisan atau nggak tetep ganteng sih.”

Wira masih diam, matanya berkedip dua kali dan barulah ia membuang napasnya panjang.

“Kenapa sih, Mas? Kalo deket gue kayaknya tegang mulu, santai kali, udah mau dua bulan nih kita nikah?” Airin mendekat, membuat Wira reflek mundur.

“Ai.”

Airin mendongak melihat sosok jangkung yang tengah menunduk untuk melihat wanita itu, dia melihat sosok lain yang tidak pernah dia rasa temukan dalam diri pria itu, matanya sayu berbinar dengan napas memburu, dan rahang menggertak.

Airin kini berjalan mundur saat Wira melangkah semakin dekat padanya hingga menyudutkan Airin di dinding kamar mandi.

Napasnya dibiarkan menghembus di sekitaran wajah Airin, membuat Airin yang biasanya akan menantang, kini nyalinya menciut mendapat tatapan maut dari sang suami.

Wira menyentuh rambut panjang Airin yang terurai halus, tampak sedikit berantakan dan lepek namun tidak membuat lelaki itu berhenti memuja wajah cantik yang kini ia usap permukaannya.

Lelaki itu memiringkan kepalanya dengan satu tangan mengepal menyentuh dinding seolah memenjarakan Airin dalam kukungannya. Ia maju semakin dekat sampai membuat Airin menahan napasnya dan refleks menutup kedua matanya seperti menjadi isyarat bahwa Wira diizinkan melakukan apa yang pada akhirnya ia lakukan.

Wira mencium ranum sang istri, lalu tanpa ragu ia menarik Airin ke dalam dekapannya tanpa melepas ciumannya. Kecupan yang diberikan lelaki itu berubah menjadi lumatan lembut yang membuat Airin secara tidak sadar tergerak meremas rambut sang pria. Kala itu Wira semakin memperdalam ciumannya, ia tidak sekadar memberi lumatan tetap juga mengisap bibir bawah Airin membuat wanita dalam kendalinya itu meringis pelan.

Airin membuka matanya dan menyeringai. “Kamu udah bisa ya mainnya?”

Wira menahan senyum saat membuka matanya sejenam sebelum kembali memagut ranum sang istri. Ini sudah diluar kendalinya. Tangan pria itu naik ke tengkuk Airin dan mendorong pelan, terang saja ini bukan sekadar dari pagutan saja.

Wira menggigit bibir bawah gadis itu sekali lagi sehingga Airin membuka mulutnya memberikan akses lebih bagi sang pria. Airin meremat bahunya dan menggeram pelan kala ia mulai menikmati french kiss yang dipimpin oleh Wira kali ini.

“Emh.”

Airin menyentuh wajah Wira kala ia mencoba melepaskan pagutan keduanya, dia melihat sosok tampan itu dari jarak dekat, tatapan elang diiringi napas yang menggebu saling menyapa masing-masing wajah keduanya. Mereka berdua mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah permainan panas yang di luar kendali keduanya.

“Maaf, saya—”

“Gak apa-apa.”

Airin mengecup singkat bibir sang suami, Wira menatapnya penuh damba.

“Ga sia-sia aku ajarin kamu ya, Mas. Udah pro banget.”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia menyebunyikan pipinya yang terasa panas sekarang. Namun tiba-tiba tangan sang istri mulai tergerak menyentuh dadanya yang masih dilapisi kain. Wira mengamati pergerakan Airin sampai tangan lentik itu bergerak semakin turun dan berhenti memutari perutnya yang berbentuk.

Wira merasa sesuatu dalam dirinya semakin tak terkontrol hingga akhirnya ia menahan tangan Airin dan dalam sekali gerakan ia mengangkat tubuh wanita itu dalam gendongannya. “Jangan di sini.”


“Mas...”

“Hm?”

Airin dibuat terkejut saat lelaki itu melepaskan atasannya dan kembali mendekati Airin yang masih berdiri di hadapannya.

Lelaki itu kembali meremat pinggang wanita itu dan menariknya mendekat. Sekali lagi dia mengangkat wajah Airin dan memandanginya beberapa saat sebelum pandangannya beralih diikuti dengan pergerakan tangannya yang memegang tali kimono yang dikenakan wanita itu.

Wira berbisik pelan saat pandangan mereka bertemu, “boleh?”

Airin mengangguk malu. Dia memeluk tengkuk Wira sedikit berjinjit dan berbisik. “Safety first.

“Ai, saya gak punya pe—”

Airin menarik lelaki itu lagi untuk mendekat padanya, dia menyeringai seraya mengusap ranum tebal pria yang tengah menatapnya bagai seorang mangsa. “Aku kemarin beli.”

Wira tersenyum miring detik itu juga. Untuk pertama kalinya Airin membiarkan Wira bertindak jauh dari sebelumnya seperti kali ini mereka berusaha meraih surga masing-masing tanpa lagi memikirkan adanya benteng penghalang yang selama ini menjadi pergulatan batin di antara keduanya.

Malam itu, Wira dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya pada sang pujaan hatinya...


Jatuh

cw // mature scene


“Airin, kamu sudah mandinya?”

Wira memanggil perempuannya dari luar pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dia bingung juga karena tidak mendengar suara apapun dari dalam sana.

“Ai?”

Sebenarnya lelaki itu tidak marah pada Airin, sebenarnya dia hanya cemburu saja melihat kedekatan Airin dengan Nathan—fotografernya tadi. Ya, perlu diketahui bahwa Wira mulai menunjukkan sisi lain dirinya pada Airin yang tidak diketahui orang lain mungkin, jadilah dia reflek tidak bicara sedari tadi pada perempuan itu dan sekarang dia jadi merasa bersalah pada istrinya sendiri.

Wira menghela napasnya kasar seraya mengacak rambutnya pelan, dia jadi malu sendiri terlihat seperti kekanakan di depan Airin. Wira menggeleng samar. “Aku ini kenapa sih?”

Tadinya dia ingin kembali keluar namun tiba-tiba Airin pun muncul dari ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Wira bisa melihat tatapan Airin yang begitu tajam mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lelaki itu pun menatap sang wanita. “Maaf, saya tidak bermaksud untuk cuekin kamu.”

“Terus?”

“Saya gak bisa cuekin kamu.”

“Sini masuk.”

Airin menarik tangan Wira dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi, gadis itu menutup pintunya dengan sekali hentak—membuat Wira menelan ludahnya susah payah saat dirinya terjerembab di wastafel kamar mandi.

“Ka—mu mau apa?” tanya Wira gugup.

“Aku mau cukur kumis kamu.” Airin mendekati Wira seraya menyentuh rambut halus nan tipis yang tumbuh di atas bibir suaminya itu. “Kamu besok kerja, jadi harus bersih.”

Jantung Wira tampaknya sudah tak terkendali saat ini, terlebih lagi Airin yang terlalu dekat dengannya di ruangan yang kecil ini, dia bahkan bisa mengamati wanita itu tampak telaten mencukur tipis lelaki itu sampai bersih.

“Udah,” ujar Airin, dia sedikit menjauh dan mengamati Wira dengan seringaian. “Sebenernya kamu mau kumisan atau nggak tetep ganteng sih.”

Wira masih diam, matanya berkedip dua kali dan barulah ia membuang napasnya panjang.

“Kenapa sih, Mas? Kalo deket gue kayaknya tegang mulu, santai kali, udah mau dua bulan nih kita nikah?” Airin mendekat, membuat Wira reflek mundur.

“Ai.”

Airin mendongak melihat sosok jangkung yang tengah menunduk untuk melihat wanita itu, dia melihat sosok lain yang tidak pernah dia rasa temukan dalam diri pria itu, matanya sayu berbinar dengan napas memburu, dan rahang menggertak.

Airin kini berjalan mundur saat Wira melangkah semakin dekat padanya hingga menyudutkan Airin di dinding kamar mandi.

Napasnya dibiarkan menghembus di sekitaran wajah Airin, membuat Airin yang biasanya akan menantang, kini nyalinya menciut mendapat tatapan maut dari sang suami.

Wira menyentuh rambut panjang Airin yang terurai halus, tampak sedikit berantakan dan lepek namun tidak membuat lelaki itu berhenti memuja wajah cantik yang kini ia usap permukaannya.

Lelaki itu memiringkan kepalanya dengan satu tangan mengepal menyentuh dinding seolah memenjarakan Airin dalam kukungannya. Ia maju semakin dekat sampai membuat Airin menahan napasnya dan refleks menutup kedua matanya seperti menjadi isyarat bahwa Wira diizinkan melakukan apa yang pada akhirnya ia lakukan.

Wira mencium ranum sang istri, lalu tanpa ragu ia menarik Airin ke dalam dekapannya tanpa melepas ciumannya. Kecupan yang diberikan lelaki itu berubah menjadi lumatan lembut yang membuat Airin secara tidak sadar tergerak meremas rambut sang pria. Kala itu Wira semakin memperdalam ciumannya, ia tidak sekadar memberi lumatan tetap juga mengisap bibir bawah Airin membuat wanita dalam kendalinya itu meringis pelan.

Airin membuka matanya dan menyeringai. “Kamu udah bisa ya mainnya?”

Wira menahan senyum saat membuka matanya sejenam sebelum kembali memagut ranum sang istri. Ini sudah diluar kendalinya. Tangan pria itu naik ke tengkuk Airin dan mendorong pelan, terang saja ini bukan sekadar dari pagutan saja.

Wira menggigit bibir bawah gadis itu sekali lagi sehingga Airin membuka mulutnya memberikan akses lebih bagi sang pria. Airin meremat bahunya dan menggeram pelan kala ia mulai menikmati french kiss yang dipimpin oleh Wira kali ini.

“Emh.”

Airin menyentuh wajah Wira kala ia mencoba melepaskan pagutan keduanya, dia melihat sosok tampan itu dari jarak dekat, tatapan elang diiringi napas yang menggebu saling menyapa masing-masing wajah keduanya. Mereka berdua mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah permainan panas yang di luar kendali keduanya.

“Maaf, saya—”

“Gak apa-apa.”

Airin mengecup singkat bibir sang suami, Wira menatapnya penuh damba.

“Ga sia-sia aku ajarin kamu ya, Mas. Udah pro banget.”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia menyebunyikan pipinya yang terasa panas sekarang. Namun tiba-tiba tangan sang istri mulai tergerak menyentuh dadanya yang masih dilapisi kain. Wira mengamati pergerakan Airin sampai tangan lentik itu bergerak semakin turun dan berhenti memutari perutnya yang berbentuk.

Wira merasa sesuatu dalam dirinya semakin tak terkontrol hingga akhirnya ia menahan tangan Airin dan dalam sekali gerakan ia mengangkat tubuh wanita itu dalam gendongannya. “Jangan di sini.”


“Mas...”

“Hm?”

Airin dibuat terkejut saat lelaki itu melepaskan atasannya dan kembali mendekati Airin yang masih berdiri di hadapannya.

Lelaki itu kembali meremat pinggang wanita itu dan menariknya mendekat. Sekali lagi dia mengangkat wajah Airin dan memandanginya beberapa saat sebelum pandangannya beralih diikuti dengan pergerakan tangannya yang memegang tali kimono yang dikenakan wanita itu.

Wira berbisik pelan saat pandangan mereka bertemu, “boleh?”

Airin mengangguk malu. Dia memeluk tengkuk Wira sedikit berjinjit dan berbisik. “Safety first.

“Ai, saya gak punya pe—”

Airin menarik lelaki itu lagi untuk mendekat padanya, dia menyeringai seraya mengusap ranum tebal pria yang tengah menatapnya bagai seorang mangsa. “Aku kemarin beli.”

Wira tersenyum miring detik itu juga. Untuk pertama kalinya Airin membiarkan Wira bertindak jauh dari sebelumnya seperti kali ini mereka berusaha meraih surga masing-masing tanpa lagi memikirkan adanya benteng penghalang yang selama ini menjadi pergulatan batin di antara keduanya.

Malam itu, Wira dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya pada sang pujaan hatinya...


Hanyut

cw // mature scene


“Airin, kamu sudah mandinya?”

Wira memanggil perempuannya dari luar pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dia bingung juga karena tidak mendengar suara apapun dari dalam sana.

“Ai?”

Sebenarnya lelaki itu tidak marah pada Airin, sebenarnya dia hanya cemburu saja melihat kedekatan Airin dengan Nathan—fotografernya tadi. Ya, perlu diketahui bahwa Wira mulai menunjukkan sisi lain dirinya pada Airin yang tidak diketahui orang lain mungkin, jadilah dia reflek tidak bicara sedari tadi pada perempuan itu dan sekarang dia jadi merasa bersalah pada istrinya sendiri.

Wira menghela napasnya kasar seraya mengacak rambutnya pelan, dia jadi malu sendiri terlihat seperti kekanakan di depan Airin. Wira menggeleng samar. “Aku ini kenapa sih?”

Tadinya dia ingin kembali keluar namun tiba-tiba Airin pun muncul dari ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Wira bisa melihat tatapan Airin yang begitu tajam mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lelaki itu pun menatap sang wanita. “Maaf, saya tidak bermaksud untuk cuekin kamu.”

“Terus?”

“Saya gak bisa cuekin kamu.”

“Sini masuk.”

Airin menarik tangan Wira dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi, gadis itu menutup pintunya dengan sekali hentak—membuat Wira menelan ludahnya susah payah saat dirinya terjerembab di wastafel kamar mandi.

“Ka—mu mau apa?” tanya Wira gugup.

“Aku mau cukur kumis kamu.” Airin mendekati Wira seraya menyentuh rambut halus nan tipis yang tumbuh di atas bibir suaminya itu. “Kamu besok kerja, jadi harus bersih.”

Jantung Wira tampaknya sudah tak terkendali saat ini, terlebih lagi Airin yang terlalu dekat dengannya di ruangan yang kecil ini, dia bahkan bisa mengamati wanita itu tampak telaten mencukur tipis lelaki itu sampai bersih.

“Udah,” ujar Airin, dia sedikit menjauh dan mengamati Wira dengan seringaian. “Sebenernya kamu mau kumisan atau nggak tetep ganteng sih.”

Wira masih diam, matanya berkedip dua kali dan barulah ia membuang napasnya panjang.

“Kenapa sih, Mas? Kalo deket gue kayaknya tegang mulu, santai kali, udah mau dua bulan nih kita nikah?” Airin mendekat, membuat Wira reflek mundur.

“Ai.”

Airin mendongak melihat sosok jangkung yang tengah menunduk untuk melihat wanita itu, dia melihat sosok lain yang tidak pernah dia rasa temukan dalam diri pria itu, matanya sayu berbinar dengan napas memburu, dan rahang menggertak.

Airin kini berjalan mundur saat Wira melangkah semakin dekat padanya hingga menyudutkan Airin di dinding kamar mandi.

Napasnya dibiarkan menghembus di sekitaran wajah Airin, membuat Airin yang biasanya akan menantang, kini nyalinya menciut mendapat tatapan maut dari san