Seperti Malaikat
“Mas Wira, dulu cita-cita aku jadi pilot loh.” Wira masih mengamati seorang lelaki remaja berambut pirang yang tampak duduk di hadapannya seraya memegang cheese burger yang baru saja digigitnya, dia mengunyah makanannya sambil menahan mulutnya yang hendak ingin berbicara lagi, baru lah setelah menelan makanannya baru anak itu kembali berbicara, “tapi kata mama jadi pilot itu susah. Bukan cuma resikonya yang besar, biayanya juga mahal. Kata mama aku harus belajar aja yang bener karena masalah ke depannya biar waktu aja yang bakal menjawab. Sebenarnya aku sedih sih, tapi mama ada benernya juga sih, aku sendiri aja sekarang masih males-malesan belajar, padahal aku udah ganti cita-cita semenjak itu.”
“Lalu, sekarang cita-cita kamu apa?” tanya Wira, dia terlihat tertarik dengan apa yang diceritakan oleh adik iparnya itu, matanya menatap teduh pada bocah yang kembali memakan burger-nya itu.
“Sebentar,” kata Ramzy. Dia menyeruput kola yang ada di sampingnya kemudian kembali melanjutkan perkataannya. “Sekarang cita-cita aku cuma satu sih, punya banyak uang. Hahaha.” Anak itu tergelak. “Terkadang banyak hal yang bisa dibeli sama uang, aku juga bisa bantu mama sama teteh kalau nanti uang aku banyak, tapi Mas, kerja apa ya yang bikin banyak uang?
Wira terkekeh pelan. “Memangnya kalau kamu punya banyak uang mau untuk apa uang itu?”
“Kayak yang aku bilang tadi, buat bantu mama sama teteh aja, terus sisanya aku beli apapun yang aku mau karena selama ini setiap aku mau beli sesuatu pasti ada aja kendalanya yaitu uang, padahal aku punya banyak keinginan, tapi untungnya teteh selalu berusaha buat memenuhi itu meskipun gak selalu sesuai sama yang aku mau.”
“Misalnya waktu aku ingin punya motor baru, aku bilang ke teteh kalau aku pengen kayak temen-temen yang bawa motor ke sekolah terlebih jarak dari rumah ke sekolah itu jauh, tapi pas aku minta ke teteh ujungnya aku dikasihnya motor bekas teteh.” Lanjut Ramzy dengan antusias.
“Lalu, kamu kecewa?”
Ramzy menggeleng. “Nggak, aku malah sedih aja teteh malah berkorban demi aku, gapapa sih gak sesuai yang aku mau tapi ngeliat teteh yang kayak gitu bikin aku malah jadi malu. Aku seneng bisa punya teteh yang peduli sama aku, kadang aku ngerasa teteh malah mirip papa, teteh yang bayarin aku sekolah juga, pokoknya teteh sama ibu udah banyak berjasa di hidup aku.”
Wira tersenyum mendengar cerita yang diungkap oleh Ramzy karena sebagian besar cerita dari bocah itu bercerita tentang kehidupan keluarganya terutama tentang sang kakak—yang sangat sering disebut namanya dalam cerita Ramzy. Ramzy memang bukan lagi remaja yang hanya senang bermain-main, dia tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan mencoba mengerti keadaan meskipun pada umumnya anak-anak seusianya masih memiliki pola pikir yang belum matang tapi melalui didikan ibu dan sang kakak dia menjadi lebih mendewasa dari umurnya.
“Aku kadang mikir juga sih, Mas, aku bisa aja kayak anak-anak lain yang mungkin masih banyak main dan keluyuran atau berbuat semuanya tanpa mikirin orang lain, tapi kadang aku masih inget kalau aku hidup aja udah jadi beban untuk banyak ibu dan teteh, jadi gimana caranya aku bisa tetap menjaga kepercayaan mereka dan juga kasih sayang mereka yang udah mereka kasih buat aku.”
“Kamu tau, Ramzy?” Wira tersenyum seraya menatap anak remaja itu. “Mas udah punya dua anak hebat kesayangan mas. Kamu dan Mahesa. Kalian itu seperti sebuah anugerah buat mas. Mas nggak tau betapa bangganya mas punya kalian berdua di hidup mas, mas tahu hidup yang kalian jalani di usia remaja itu sangat berat dan nggak mudah kalian lalui tapi dengan hebatnya kalian tetap menjalani itu semua dengan tegar dan kalian mampu bertahan terhadap setiap godaan yang ada meskipun itu tidak mudah. Mas memang baru mengenal kamu, ibu, dan kakakmu tapi entah mengapa mas ngerasa punya tanggung jawab besar terhadap kalian, terlebih kamu.”
“Ramzy, kamu sekarang nggak hanya punya teteh dan mama, kamu juga punya mas, kamu boleh menganggap mas sebagai teman cerita kamu, tempat kamu berkeluh kesah, dan tentunya kamu juga bisa minta apa yang kamu mau ke mas tapi dengan catatan itu bisa memotivasi kamu dan baik untuk kamu. Mas paham mungkin maaf kamu sudah cukup lama kehilangan sosok lelaki yang akan lebih mengerti tentunya bagaimana perasaanmu seperti papa, maka dari itu, mas akan coba untuk bisa menjadi sosok lain dari papa kamu yang tentunya tidak akan pernah tergantikan oleh kamu dan Airin.” Ramzy terdiam mendengar perkataan Wira kala itu, batinnya tersentuh dengan apa yang baru saja diucapkan lelaki dengan senyuman tulus di hadapannya sekarang. Ramzy bahkan tidak bisa berkata-kata, tapi dia bisa melihat ketulusan dari sorot mata wajah polos lelaki dewasa di hadapannya. Ramzy terlalu kuat untuk menangis, tapi batinnya sudah ingin terisak, matanya berkilap penuh kagum memandang sang malaikat yang seolah tengah tersenyum di hadapannya.
“Mas, teteh beruntung dapet suami kayak Mas Wira.” Tatapan Ramzy masih kosong setelah berucap demikian, sampai dia tersadar saat melihat tawa tipis lelaki itu yang kemudian mengacak rambutnya pelan.
“Mas yang beruntung punya Airin, terlebih mas bisa kenal kamu dan mama.” Wira tersenyum saat otaknya mencoba memutar cantiknya sosok yang setiap pagi terbaring di sampingnya.