winwincure

Seperti Malaikat


“Mas Wira, dulu cita-cita aku jadi pilot loh.” Wira masih mengamati seorang lelaki remaja berambut pirang yang tampak duduk di hadapannya seraya memegang cheese burger yang baru saja digigitnya, dia mengunyah makanannya sambil menahan mulutnya yang hendak ingin berbicara lagi, baru lah setelah menelan makanannya baru anak itu kembali berbicara, “tapi kata mama jadi pilot itu susah. Bukan cuma resikonya yang besar, biayanya juga mahal. Kata mama aku harus belajar aja yang bener karena masalah ke depannya biar waktu aja yang bakal menjawab. Sebenarnya aku sedih sih, tapi mama ada benernya juga sih, aku sendiri aja sekarang masih males-malesan belajar, padahal aku udah ganti cita-cita semenjak itu.”

“Lalu, sekarang cita-cita kamu apa?” tanya Wira, dia terlihat tertarik dengan apa yang diceritakan oleh adik iparnya itu, matanya menatap teduh pada bocah yang kembali memakan burger-nya itu.

“Sebentar,” kata Ramzy. Dia menyeruput kola yang ada di sampingnya kemudian kembali melanjutkan perkataannya. “Sekarang cita-cita aku cuma satu sih, punya banyak uang. Hahaha.” Anak itu tergelak. “Terkadang banyak hal yang bisa dibeli sama uang, aku juga bisa bantu mama sama teteh kalau nanti uang aku banyak, tapi Mas, kerja apa ya yang bikin banyak uang?

Wira terkekeh pelan. “Memangnya kalau kamu punya banyak uang mau untuk apa uang itu?”

“Kayak yang aku bilang tadi, buat bantu mama sama teteh aja, terus sisanya aku beli apapun yang aku mau karena selama ini setiap aku mau beli sesuatu pasti ada aja kendalanya yaitu uang, padahal aku punya banyak keinginan, tapi untungnya teteh selalu berusaha buat memenuhi itu meskipun gak selalu sesuai sama yang aku mau.”

“Misalnya waktu aku ingin punya motor baru, aku bilang ke teteh kalau aku pengen kayak temen-temen yang bawa motor ke sekolah terlebih jarak dari rumah ke sekolah itu jauh, tapi pas aku minta ke teteh ujungnya aku dikasihnya motor bekas teteh.” Lanjut Ramzy dengan antusias.

“Lalu, kamu kecewa?”

Ramzy menggeleng. “Nggak, aku malah sedih aja teteh malah berkorban demi aku, gapapa sih gak sesuai yang aku mau tapi ngeliat teteh yang kayak gitu bikin aku malah jadi malu. Aku seneng bisa punya teteh yang peduli sama aku, kadang aku ngerasa teteh malah mirip papa, teteh yang bayarin aku sekolah juga, pokoknya teteh sama ibu udah banyak berjasa di hidup aku.”

Wira tersenyum mendengar cerita yang diungkap oleh Ramzy karena sebagian besar cerita dari bocah itu bercerita tentang kehidupan keluarganya terutama tentang sang kakak—yang sangat sering disebut namanya dalam cerita Ramzy. Ramzy memang bukan lagi remaja yang hanya senang bermain-main, dia tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan mencoba mengerti keadaan meskipun pada umumnya anak-anak seusianya masih memiliki pola pikir yang belum matang tapi melalui didikan ibu dan sang kakak dia menjadi lebih mendewasa dari umurnya.

“Aku kadang mikir juga sih, Mas, aku bisa aja kayak anak-anak lain yang mungkin masih banyak main dan keluyuran atau berbuat semuanya tanpa mikirin orang lain, tapi kadang aku masih inget kalau aku hidup aja udah jadi beban untuk banyak ibu dan teteh, jadi gimana caranya aku bisa tetap menjaga kepercayaan mereka dan juga kasih sayang mereka yang udah mereka kasih buat aku.”

“Kamu tau, Ramzy?” Wira tersenyum seraya menatap anak remaja itu. “Mas udah punya dua anak hebat kesayangan mas. Kamu dan Mahesa. Kalian itu seperti sebuah anugerah buat mas. Mas nggak tau betapa bangganya mas punya kalian berdua di hidup mas, mas tahu hidup yang kalian jalani di usia remaja itu sangat berat dan nggak mudah kalian lalui tapi dengan hebatnya kalian tetap menjalani itu semua dengan tegar dan kalian mampu bertahan terhadap setiap godaan yang ada meskipun itu tidak mudah. Mas memang baru mengenal kamu, ibu, dan kakakmu tapi entah mengapa mas ngerasa punya tanggung jawab besar terhadap kalian, terlebih kamu.”

“Ramzy, kamu sekarang nggak hanya punya teteh dan mama, kamu juga punya mas, kamu boleh menganggap mas sebagai teman cerita kamu, tempat kamu berkeluh kesah, dan tentunya kamu juga bisa minta apa yang kamu mau ke mas tapi dengan catatan itu bisa memotivasi kamu dan baik untuk kamu. Mas paham mungkin maaf kamu sudah cukup lama kehilangan sosok lelaki yang akan lebih mengerti tentunya bagaimana perasaanmu seperti papa, maka dari itu, mas akan coba untuk bisa menjadi sosok lain dari papa kamu yang tentunya tidak akan pernah tergantikan oleh kamu dan Airin.” Ramzy terdiam mendengar perkataan Wira kala itu, batinnya tersentuh dengan apa yang baru saja diucapkan lelaki dengan senyuman tulus di hadapannya sekarang. Ramzy bahkan tidak bisa berkata-kata, tapi dia bisa melihat ketulusan dari sorot mata wajah polos lelaki dewasa di hadapannya. Ramzy terlalu kuat untuk menangis, tapi batinnya sudah ingin terisak, matanya berkilap penuh kagum memandang sang malaikat yang seolah tengah tersenyum di hadapannya.

“Mas, teteh beruntung dapet suami kayak Mas Wira.” Tatapan Ramzy masih kosong setelah berucap demikian, sampai dia tersadar saat melihat tawa tipis lelaki itu yang kemudian mengacak rambutnya pelan.

“Mas yang beruntung punya Airin, terlebih mas bisa kenal kamu dan mama.” Wira tersenyum saat otaknya mencoba memutar cantiknya sosok yang setiap pagi terbaring di sampingnya.


Seperti Papa


“Mas Wira, dulu cita-cita aku jadi pilot loh.” Wira masih mengamati seorang lelaki remaja berambut pirang yang tampak duduk di hadapannya seraya memegang cheese burger yang baru saja digigitnya, dia mengunyah makanannya sambil menahan mulutnya yang hendak ingin berbicara lagi, baru lah setelah menelan makanannya baru anak itu kembali berbicara, “tapi kata mama jadi pilot itu susah. Bukan cuma resikonya yang besar, biayanya juga mahal. Kata mama aku harus belajar aja yang bener karena masalah ke depannya biar waktu aja yang bakal menjawab. Sebenarnya aku sedih sih, tapi mama ada benernya juga sih, aku sendiri aja sekarang masih males-malesan belajar, padahal aku udah ganti cita-cita semenjak itu.”

“Lalu, sekarang cita-cita kamu apa?” tanya Wira, dia terlihat tertarik dengan apa yang diceritakan oleh adik iparnya itu, matanya menatap teduh pada bocah yang kembali memakan burger-nya itu.

“Sebentar,” kata Ramzy. Dia menyeruput kola yang ada di sampingnya kemudian kembali melanjutkan perkataannya. “Sekarang cita-cita aku cuma satu sih, punya banyak uang. Hahaha.” Anak itu tergelak. “Terkadang banyak hal yang bisa dibeli sama uang, aku juga bisa bantu mama sama teteh kalau nanti uang aku banyak, tapi Mas, kerja apa ya yang bikin banyak uang?

Wira terkekeh pelan. “Memangnya kalau kamu punya banyak uang mau untuk apa uang itu?”

“Kayak yang aku bilang tadi, buat bantu mama sama teteh aja, terus sisanya aku beli apapun yang aku mau karena selama ini setiap aku mau beli sesuatu pasti ada aja kendalanya yaitu uang, padahal aku punya banyak keinginan, tapi untungnya teteh selalu berusaha buat memenuhi itu meskipun gak selalu sesuai sama yang aku mau.”

“Misalnya waktu aku ingin punya motor baru, aku bilang ke teteh kalau aku pengen kayak temen-temen yang bawa motor ke sekolah terlebih jarak dari rumah ke sekolah itu jauh, tapi pas aku minta ke teteh ujungnya aku dikasihnya motor bekas teteh.” Lanjut Ramzy dengan antusias.

“Lalu, kamu kecewa?”

Ramzy menggeleng. “Nggak, aku malah sedih aja teteh malah berkorban demi aku, gapapa sih gak sesuai yang aku mau tapi ngeliat teteh yang kayak gitu bikin aku malah jadi malu. Aku seneng bisa punya teteh yang peduli sama aku, kadang aku ngerasa teteh malah mirip papa, teteh yang bayarin aku sekolah juga, pokoknya teteh sama ibu udah banyak berjasa di hidup aku.”

Wira tersenyum mendengar cerita yang diungkap oleh Ramzy karena sebagian besar cerita dari bocah itu bercerita tentang kehidupan keluarganya terutama tentang sang kakak—yang sangat sering disebut namanya dalam cerita Ramzy. Ramzy memang bukan lagi remaja yang hanya senang bermain-main, dia tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan mencoba mengerti keadaan meskipun pada umumnya anak-anak seusianya masih memiliki pola pikir yang belum matang tapi melalui didikan ibu dan sang kakak dia menjadi lebih mendewasa dari umurnya.

“Aku kadang mikir juga sih, Mas, aku bisa aja kayak anak-anak lain yang mungkin masih banyak main dan keluyuran atau berbuat semuanya tanpa mikirin orang lain, tapi kadang aku masih inget kalau aku hidup aja udah jadi beban untuk banyak ibu dan teteh, jadi gimana caranya aku bisa tetap menjaga kepercayaan mereka dan juga kasih sayang mereka yang udah mereka kasih buat aku.”

“Kamu tau, Ramzy?” Wira tersenyum seraya menatap anak remaja itu. “Mas udah punya dua anak hebat kesayangan mas. Kamu dan Mahesa. Kalian itu seperti sebuah anugerah buat mas. Mas nggak tau betapa bangganya mas punya kalian berdua di hidup mas, mas tahu hidup yang kalian jalani di usia remaja itu sangat berat dan nggak mudah kalian lalui tapi dengan hebatnya kalian tetap menjalani itu semua dengan tegar dan kalian mampu bertahan terhadap setiap godaan yang ada meskipun itu tidak mudah. Mas memang baru mengenal kamu, ibu, dan kakakmu tapi entah mengapa mas ngerasa punya tanggung jawab besar terhadap kalian, terlebih kamu.”

“Ramzy, kamu sekarang nggak hanya punya teteh dan mama, kamu juga punya mas, kamu boleh menganggap mas sebagai teman cerita kamu, tempat kamu berkeluh kesah, dan tentunya kamu juga bisa minta apa yang kamu mau ke mas tapi dengan catatan itu bisa memotivasi kamu dan baik untuk kamu. Mas paham mungkin maaf kamu sudah cukup lama kehilangan sosok lelaki yang akan lebih mengerti tentunya bagaimana perasaanmu seperti papa, maka dari itu, mas akan coba untuk bisa menjadi sosok lain dari papa kamu yang tentunya tidak akan pernah tergantikan oleh kamu dan Airin.” Ramzy terdiam mendengar perkataan Wira kala itu, batinnya tersentuh dengan apa yang baru saja diucapkan lelaki dengan senyuman tulus di hadapannya sekarang. Ramzy bahkan tidak bisa berkata-kata, tapi dia bisa melihat ketulusan dari sorot mata wajah polos lelaki dewasa di hadapannya. Ramzy terlalu kuat untuk menangis, tapi batinnya sudah ingin terisak, matanya berkilap penuh kagum memandang sang malaikat yang seolah tengah tersenyum di hadapannya.

“Mas, teteh beruntung dapet suami kayak Mas Wira.” Tatapan Ramzy masih kosong setelah berucap demikian, sampai dia tersadar saat melihat tawa tipis lelaki itu yang kemudian mengacak rambutnya pelan.

“Mas yang beruntung punya Airin, terlebih mas bisa kenal kamu dan mama.” Wira tersenyum saat otaknya mencoba memutar cantiknya sosok yang setiap pagi terbaring di sampingnya.


“Airin, bangun yuk...”

Wira menunduk seraya mengusap dahi Airin yang tengah terlelap di pahanya karena tadi sesampainya di apartemen, gadis itu langsung mengambil posisi senyaman mungkin setelah Wira baru saja duduk di sofa. Wira sebenarnya enggan membangunkan wanita itu tetapi masalahnya mereka berdua pun belum berganti baju, terlebih akan sulit jika ia akan menggendong Airin ke kamar dengan posisi seperti ini.

“Bangun yuk, kita pindah?”

“Eungh!” Airin bergerak dan mencari posisi yang lebih nyaman setelah merasa tidurnya terusik, namun dia perlahan membuka matanya setengah, “ngapain?”

“Hm?” Wira mendekat, dia mengusap kepala Airin lembut, “pindah ke kamar.”

“Nggak, di sini aja,” jawab Airin meracau.

“Ya sudah, kita tidur di sini ya.”

Wira tersenyum saja melihat Airin yang tampaknya sudah mengantuk dan tidak memungkinkan juga jika ia harus membangunkan gadis itu terus menerus, Wira tidak mau mengganggu tidur perempuannya, dia senang bisa mengamati gadis itu terlelap di bawahnya sehingga dia dapat dengan bebas memandangi cantiknya sang pujaan hati yang tengah terpejam itu.

“Pakai ini saja ya, saya gak mau kamu dicium nyamuk.”

Wira pun meraih jaketnya yang masih tergantung di sofa dan menyelimuti Airin dengan jaketnya, dia tidak mungkin mengambil selimut ke dalam kamar jika dalam posisi seperti ini.

Lelaki itu membelai rambut Airin seraya bersandar pada sofa, Wira masih terjaga karena sesekali setiap ia hendak memejamkan matanya, suara nyamuk yang mendekati Airin membuatnya kembali membuka mata dan mengibaskan tangannya untuk mengusir nyamuk-nyamuk itu.

Wira memiringkan kepalanya sedikit untuk bisa memandang istrinya lebih dekat kemudian menjamah hidung mancung Airin seraya terkekeh pelan. “Selamat tidur, Sayang.”

Perfect

cw // mature scene


“Airin, kamu sudah mandinya?”

Wira memanggil perempuannya dari luar pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dia bingung juga karena tidak mendengar suara apapun dari dalam sana.

“Ai?”

Sebenarnya lelaki itu tidak marah pada Airin, sebenarnya dia hanya cemburu saja melihat kedekatan Airin dengan Nathan—fotografernya tadi. Ya, perlu diketahui bahwa Wira mulai menunjukkan sisi lain dirinya pada Airin yang tidak diketahui orang lain mungkin, jadilah dia reflek tidak bicara sedari tadi pada perempuan itu dan sekarang dia jadi merasa bersalah pada istrinya sendiri.

Wira menghela napasnya kasar seraya mengacak rambutnya pelan, dia jadi malu sendiri terlihat seperti kekanakan di depan Airin. Wira menggeleng samar. “Aku ini kenapa sih?”

Tadinya dia ingin kembali keluar namun tiba-tiba Airin pun muncul dari ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Wira bisa melihat tatapan Airin yang begitu tajam mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lelaki itu pun menatap sang wanita. “Maaf, saya tidak bermaksud untuk cuekin kamu.”

“Terus?”

“Saya gak bisa cuekin kamu.”

“Sini masuk.”

Airin menarik tangan Wira dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi, gadis itu menutup pintunya dengan sekali hentak—membuat Wira menelan ludahnya susah payah saat dirinya terjerembab di wastafel kamar mandi.

“Ka—mu mau apa?” tanya Wira gugup.

“Aku mau cukur kumis kamu.” Airin mendekati Wira seraya menyentuh rambut halus nan tipis yang tumbuh di atas bibir suaminya itu. “Kamu besok kerja, jadi harus bersih.”

Jantung Wira tampaknya sudah tak terkendali saat ini, terlebih lagi Airin yang terlalu dekat dengannya di ruangan yang kecil ini, dia bahkan bisa mengamati wanita itu tampak telaten mencukur tipis lelaki itu sampai bersih.

“Udah,” ujar Airin, dia sedikit menjauh dan mengamati Wira dengan seringaian. “Sebenernya kamu mau kumisan atau nggak tetep ganteng sih.”

Wira masih diam, matanya berkedip dua kali dan barulah ia membuang napasnya panjang.

“Kenapa sih, Mas? Kalo deket gue kayaknya tegang mulu, santai kali, udah mau dua bulan nih kita nikah?” Airin mendekat, membuat Wira reflek mundur.

“Ai.”

Airin mendongak melihat sosok jangkung yang tengah menunduk untuk melihat wanita itu, dia melihat sosok lain yang tidak pernah dia rasa temukan dalam diri pria itu, matanya sayu berbinar dengan napas memburu, dan rahang menggertak.

Airin kini berjalan mundur saat Wira melangkah semakin dekat padanya hingga menyudutkan Airin di dinding kamar mandi.

Napasnya dibiarkan menghembus di sekitaran wajah Airin, membuat Airin yang biasanya akan menantang, kini nyalinya menciut mendapat tatapan maut dari sang suami.

Wira menyentuh rambut panjang Airin yang terurai halus, tampak sedikit berantakan dan lepek namun tidak membuat lelaki itu berhenti memuja wajah cantik yang kini ia usap permukaannya.

Lelaki itu memiringkan kepalanya dengan satu tangan mengepal menyentuh dinding seolah memenjarakan Airin dalam kukungannya. Ia maju semakin dekat sampai membuat Airin menahan napasnya dan refleks menutup kedua matanya seperti menjadi isyarat bahwa Wira diizinkan melakukan apa yang pada akhirnya ia lakukan.

Wira mencium ranum sang istri, lalu tanpa ragu ia menarik Airin ke dalam dekapannya tanpa melepas ciumannya. Kecupan yang diberikan lelaki itu berubah menjadi lumatan lembut yang membuat Airin secara tidak sadar tergerak meremas rambut sang pria. Kala itu Wira semakin memperdalam ciumannya, ia tidak sekadar memberi lumatan tetap juga mengisap bibir bawah Airin membuat wanita dalam kendalinya itu meringis pelan.

Airin membuka matanya dan menyeringai. “Kamu udah bisa ya mainnya?”

Wira menahan senyum saat membuka matanya sejenam sebelum kembali memagut ranum sang istri. Ini sudah diluar kendalinya. Tangan pria itu naik ke tengkuk Airin dan mendorong pelan, terang saja ini bukan sekadar dari pagutan saja.

Wira menggigit bibir bawah gadis itu sekali lagi sehingga Airin membuka mulutnya memberikan akses lebih bagi sang pria. Airin meremat bahunya dan menggeram pelan kala ia mulai menikmati french kiss yang dipimpin oleh Wira kali ini.

“Emh.”

Airin menyentuh wajah Wira kala ia mencoba melepaskan pagutan keduanya, dia melihat sosok tampan itu dari jarak dekat, tatapan elang diiringi napas yang menggebu saling menyapa masing-masing wajah keduanya. Mereka berdua mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah permainan panas yang di luar kendali keduanya.

“Maaf, saya—”

“Gak apa-apa.”

Airin mengecup singkat bibir sang suami, Wira menatapnya penuh damba.

“Ga sia-sia aku ajarin kamu ya, Mas. Udah pro banget.”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia menyebunyikan pipinya yang terasa panas sekarang. Namun tiba-tiba tangan sang istri mulai tergerak menyentuh dadanya yang masih dilapisi kain. Wira mengamati pergerakan Airin sampai tangan lentik itu bergerak semakin turun dan berhenti memutari perutnya yang berbentuk.

Wira merasa sesuatu dalam dirinya semakin tak terkontrol hingga akhirnya ia menahan tangan Airin dan dalam sekali gerakan ia mengangkat tubuh wanita itu dalam gendongannya. “Jangan di sini.”


“Mas...”

“Hm?”

Airin dibuat terkejut saat lelaki itu melepaskan atasannya dan kembali mendekati Airin yang masih berdiri di hadapannya.

Lelaki itu kembali meremat pinggang wanita itu dan menariknya mendekat. Sekali lagi dia mengangkat wajah Airin dan memandanginya beberapa saat sebelum pandangannya beralih diikuti dengan pergerakan tangannya yang memegang tali kimono yang dikenakan wanita itu.

Wira berbisik pelan saat pandangan mereka bertemu, “boleh?”

Airin mengangguk malu. Dia memeluk tengkuk Wira sedikit berjinjit dan berbisik. “Safety first.

“Ai, saya gak punya pe—”

Airin menarik lelaki itu lagi untuk mendekat padanya, dia menyeringai seraya mengusap ranum tebal pria yang tengah menatapnya bagai seorang mangsa. “Aku kemarin beli.”

Wira tersenyum miring detik itu juga. Untuk pertama kalinya Airin membiarkan Wira bertindak jauh dari sebelumnya seperti kali ini mereka berusaha meraih surga masing-masing tanpa lagi memikirkan adanya benteng penghalang yang selama ini menjadi pergulatan batin di antara keduanya.

Malam itu, Wira dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya pada sang pujaan hatinya...


Jatuh

cw // mature scene


“Airin, kamu sudah mandinya?”

Wira memanggil perempuannya dari luar pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dia bingung juga karena tidak mendengar suara apapun dari dalam sana.

“Ai?”

Sebenarnya lelaki itu tidak marah pada Airin, sebenarnya dia hanya cemburu saja melihat kedekatan Airin dengan Nathan—fotografernya tadi. Ya, perlu diketahui bahwa Wira mulai menunjukkan sisi lain dirinya pada Airin yang tidak diketahui orang lain mungkin, jadilah dia reflek tidak bicara sedari tadi pada perempuan itu dan sekarang dia jadi merasa bersalah pada istrinya sendiri.

Wira menghela napasnya kasar seraya mengacak rambutnya pelan, dia jadi malu sendiri terlihat seperti kekanakan di depan Airin. Wira menggeleng samar. “Aku ini kenapa sih?”

Tadinya dia ingin kembali keluar namun tiba-tiba Airin pun muncul dari ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Wira bisa melihat tatapan Airin yang begitu tajam mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lelaki itu pun menatap sang wanita. “Maaf, saya tidak bermaksud untuk cuekin kamu.”

“Terus?”

“Saya gak bisa cuekin kamu.”

“Sini masuk.”

Airin menarik tangan Wira dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi, gadis itu menutup pintunya dengan sekali hentak—membuat Wira menelan ludahnya susah payah saat dirinya terjerembab di wastafel kamar mandi.

“Ka—mu mau apa?” tanya Wira gugup.

“Aku mau cukur kumis kamu.” Airin mendekati Wira seraya menyentuh rambut halus nan tipis yang tumbuh di atas bibir suaminya itu. “Kamu besok kerja, jadi harus bersih.”

Jantung Wira tampaknya sudah tak terkendali saat ini, terlebih lagi Airin yang terlalu dekat dengannya di ruangan yang kecil ini, dia bahkan bisa mengamati wanita itu tampak telaten mencukur tipis lelaki itu sampai bersih.

“Udah,” ujar Airin, dia sedikit menjauh dan mengamati Wira dengan seringaian. “Sebenernya kamu mau kumisan atau nggak tetep ganteng sih.”

Wira masih diam, matanya berkedip dua kali dan barulah ia membuang napasnya panjang.

“Kenapa sih, Mas? Kalo deket gue kayaknya tegang mulu, santai kali, udah mau dua bulan nih kita nikah?” Airin mendekat, membuat Wira reflek mundur.

“Ai.”

Airin mendongak melihat sosok jangkung yang tengah menunduk untuk melihat wanita itu, dia melihat sosok lain yang tidak pernah dia rasa temukan dalam diri pria itu, matanya sayu berbinar dengan napas memburu, dan rahang menggertak.

Airin kini berjalan mundur saat Wira melangkah semakin dekat padanya hingga menyudutkan Airin di dinding kamar mandi.

Napasnya dibiarkan menghembus di sekitaran wajah Airin, membuat Airin yang biasanya akan menantang, kini nyalinya menciut mendapat tatapan maut dari sang suami.

Wira menyentuh rambut panjang Airin yang terurai halus, tampak sedikit berantakan dan lepek namun tidak membuat lelaki itu berhenti memuja wajah cantik yang kini ia usap permukaannya.

Lelaki itu memiringkan kepalanya dengan satu tangan mengepal menyentuh dinding seolah memenjarakan Airin dalam kukungannya. Ia maju semakin dekat sampai membuat Airin menahan napasnya dan refleks menutup kedua matanya seperti menjadi isyarat bahwa Wira diizinkan melakukan apa yang pada akhirnya ia lakukan.

Wira mencium ranum sang istri, lalu tanpa ragu ia menarik Airin ke dalam dekapannya tanpa melepas ciumannya. Kecupan yang diberikan lelaki itu berubah menjadi lumatan lembut yang membuat Airin secara tidak sadar tergerak meremas rambut sang pria. Kala itu Wira semakin memperdalam ciumannya, ia tidak sekadar memberi lumatan tetap juga mengisap bibir bawah Airin membuat wanita dalam kendalinya itu meringis pelan.

Airin membuka matanya dan menyeringai. “Kamu udah bisa ya mainnya?”

Wira menahan senyum saat membuka matanya sejenam sebelum kembali memagut ranum sang istri. Ini sudah diluar kendalinya. Tangan pria itu naik ke tengkuk Airin dan mendorong pelan, terang saja ini bukan sekadar dari pagutan saja.

Wira menggigit bibir bawah gadis itu sekali lagi sehingga Airin membuka mulutnya memberikan akses lebih bagi sang pria. Airin meremat bahunya dan menggeram pelan kala ia mulai menikmati french kiss yang dipimpin oleh Wira kali ini.

“Emh.”

Airin menyentuh wajah Wira kala ia mencoba melepaskan pagutan keduanya, dia melihat sosok tampan itu dari jarak dekat, tatapan elang diiringi napas yang menggebu saling menyapa masing-masing wajah keduanya. Mereka berdua mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah permainan panas yang di luar kendali keduanya.

“Maaf, saya—”

“Gak apa-apa.”

Airin mengecup singkat bibir sang suami, Wira menatapnya penuh damba.

“Ga sia-sia aku ajarin kamu ya, Mas. Udah pro banget.”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia menyebunyikan pipinya yang terasa panas sekarang. Namun tiba-tiba tangan sang istri mulai tergerak menyentuh dadanya yang masih dilapisi kain. Wira mengamati pergerakan Airin sampai tangan lentik itu bergerak semakin turun dan berhenti memutari perutnya yang berbentuk.

Wira merasa sesuatu dalam dirinya semakin tak terkontrol hingga akhirnya ia menahan tangan Airin dan dalam sekali gerakan ia mengangkat tubuh wanita itu dalam gendongannya. “Jangan di sini.”


“Mas...”

“Hm?”

Airin dibuat terkejut saat lelaki itu melepaskan atasannya dan kembali mendekati Airin yang masih berdiri di hadapannya.

Lelaki itu kembali meremat pinggang wanita itu dan menariknya mendekat. Sekali lagi dia mengangkat wajah Airin dan memandanginya beberapa saat sebelum pandangannya beralih diikuti dengan pergerakan tangannya yang memegang tali kimono yang dikenakan wanita itu.

Wira berbisik pelan saat pandangan mereka bertemu, “boleh?”

Airin mengangguk malu. Dia memeluk tengkuk Wira sedikit berjinjit dan berbisik. “Safety first.

“Ai, saya gak punya pe—”

Airin menarik lelaki itu lagi untuk mendekat padanya, dia menyeringai seraya mengusap ranum tebal pria yang tengah menatapnya bagai seorang mangsa. “Aku kemarin beli.”

Wira tersenyum miring detik itu juga. Untuk pertama kalinya Airin membiarkan Wira bertindak jauh dari sebelumnya seperti kali ini mereka berusaha meraih surga masing-masing tanpa lagi memikirkan adanya benteng penghalang yang selama ini menjadi pergulatan batin di antara keduanya.

Malam itu, Wira dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya pada sang pujaan hatinya...


Hanyut

cw // mature scene


“Airin, kamu sudah mandinya?”

Wira memanggil perempuannya dari luar pintu kamar mandi yang tertutup rapat, dia bingung juga karena tidak mendengar suara apapun dari dalam sana.

“Ai?”

Sebenarnya lelaki itu tidak marah pada Airin, sebenarnya dia hanya cemburu saja melihat kedekatan Airin dengan Nathan—fotografernya tadi. Ya, perlu diketahui bahwa Wira mulai menunjukkan sisi lain dirinya pada Airin yang tidak diketahui orang lain mungkin, jadilah dia reflek tidak bicara sedari tadi pada perempuan itu dan sekarang dia jadi merasa bersalah pada istrinya sendiri.

Wira menghela napasnya kasar seraya mengacak rambutnya pelan, dia jadi malu sendiri terlihat seperti kekanakan di depan Airin. Wira menggeleng samar. “Aku ini kenapa sih?”

Tadinya dia ingin kembali keluar namun tiba-tiba Airin pun muncul dari ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Wira bisa melihat tatapan Airin yang begitu tajam mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lelaki itu pun menatap sang wanita. “Maaf, saya tidak bermaksud untuk cuekin kamu.”

“Terus?”

“Saya gak bisa cuekin kamu.”

“Sini masuk.”

Airin menarik tangan Wira dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi, gadis itu menutup pintunya dengan sekali hentak—membuat Wira menelan ludahnya susah payah saat dirinya terjerembab di wastafel kamar mandi.

“Ka—mu mau apa?” tanya Wira gugup.

“Aku mau cukur kumis kamu.” Airin mendekati Wira seraya menyentuh rambut halus nan tipis yang tumbuh di atas bibir suaminya itu. “Kamu besok kerja, jadi harus bersih.”

Jantung Wira tampaknya sudah tak terkendali saat ini, terlebih lagi Airin yang terlalu dekat dengannya di ruangan yang kecil ini, dia bahkan bisa mengamati wanita itu tampak telaten mencukur tipis lelaki itu sampai bersih.

“Udah,” ujar Airin, dia sedikit menjauh dan mengamati Wira dengan seringaian. “Sebenernya kamu mau kumisan atau nggak tetep ganteng sih.”

Wira masih diam, matanya berkedip dua kali dan barulah ia membuang napasnya panjang.

“Kenapa sih, Mas? Kalo deket gue kayaknya tegang mulu, santai kali, udah mau dua bulan nih kita nikah?” Airin mendekat, membuat Wira reflek mundur.

“Ai.”

Airin mendongak melihat sosok jangkung yang tengah menunduk untuk melihat wanita itu, dia melihat sosok lain yang tidak pernah dia rasa temukan dalam diri pria itu, matanya sayu berbinar dengan napas memburu, dan rahang menggertak.

Airin kini berjalan mundur saat Wira melangkah semakin dekat padanya hingga menyudutkan Airin di dinding kamar mandi.

Napasnya dibiarkan menghembus di sekitaran wajah Airin, membuat Airin yang biasanya akan menantang, kini nyalinya menciut mendapat tatapan maut dari sang suami.

Wira menyentuh rambut panjang Airin yang terurai halus, tampak sedikit berantakan dan lepek namun tidak membuat lelaki itu berhenti memuja wajah cantik yang kini ia usap permukaannya.

Lelaki itu memiringkan kepalanya dengan satu tangan mengepal menyentuh dinding seolah memenjarakan Airin dalam kukungannya. Ia maju semakin dekat sampai membuat Airin menahan napasnya dan refleks menutup kedua matanya seperti menjadi isyarat bahwa Wira diizinkan melakukan apa yang pada akhirnya ia lakukan.

Wira mencium ranum sang istri, lalu tanpa ragu ia menarik Airin ke dalam dekapannya tanpa melepas ciumannya. Kecupan yang diberikan lelaki itu berubah menjadi lumatan lembut yang membuat Airin secara tidak sadar tergerak meremas rambut sang pria. Kala itu Wira semakin memperdalam ciumannya, ia tidak sekadar memberi lumatan tetap juga mengisap bibir bawah Airin membuat wanita dalam kendalinya itu meringis pelan.

Airin membuka matanya dan menyeringai. “Kamu udah bisa ya mainnya?”

Wira menahan senyum saat membuka matanya sejenak sebelum kembali memagut ranum sang istri. Ini sudah diluar kendalinya. Tangan pria itu naik ke tengkuk Airin dan mendorong pelan, terang saja ini bukan sekadar dari pagutan biasa.

Wira menggigit bibir bawah gadis itu sekali lagi sehingga Airin membuka mulutnya memberikan akses lebih bagi sang pria. Airin meremat bahunya dan menggeram pelan kala ia mulai menikmati french kiss yang dipimpin oleh Wira kali ini.

“Emh.”

Airin menyentuh wajah Wira kala ia mencoba melepaskan pagutan keduanya, dia melihat sosok tampan itu dari jarak dekat, tatapan elang diiringi napas yang menggebu saling menyapa masing-masing wajah keduanya. Mereka berdua mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah permainan panas yang di luar kendali keduanya.

“Maaf, saya—”

“Gak apa-apa.”

Airin mengecup singkat bibir sang suami, Wira menatapnya penuh damba.

“Ga sia-sia aku ajarin kamu ya, Mas. Udah pro banget.”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia menyebunyikan pipinya yang terasa panas sekarang. Namun tiba-tiba tangan sang istri mulai tergerak menyentuh dadanya yang masih dilapisi kain. Wira mengamati pergerakan Airin hingga jemari lentik itu bergerak semakin turun dan berhenti memutari perutnya yang berbentuk.

Wira merasa sesuatu dalam dirinya semakin tak terkontrol hingga akhirnya ia menahan tangan Airin dan dalam sekali gerakan ia mengangkat tubuh wanita itu dalam gendongannya. “Jangan di sini.”


“Mas...”

“Hm?”

Airin dibuat terkejut saat lelaki itu melepaskan atasannya dan kembali mendekati Airin yang masih berdiri di hadapannya. Dalam diam, wanita itu mengagumi bentuk tubuh suaminya yang bagus itu, ia juga tahu bahwa Wira memang rajin berolahraga dengan teratur terutama fitness sehingga ini akan menjadi pemandangan yang ia suka terlebih pada perut berbentuk serta dada bidang lelaki itu.

Lelaki itu kembali meremat pinggang wanita itu dan menariknya mendekat. Sekali lagi dia mengangkat wajah Airin dan memandanginya beberapa saat sebelum pandangannya beralih diikuti dengan pergerakan tangannya yang memegang tali bathrobe yang dikenakan wanita itu.

Wira berbisik pelan saat pandangan mereka bertemu, “boleh?”

Airin mengangguk malu. Dia memeluk tengkuk Wira sedikit berjinjit dan berbisik. “Safety first.

“Ai, saya gak punya pe—”

Airin menarik lelaki itu lagi untuk mendekat padanya, dia menyeringai seraya mengusap ranum tebal pria yang tengah menatapnya bagai seorang mangsa. “Aku kemarin beli.”

Wira tersenyum miring detik itu juga. Untuk pertama kalinya Airin membiarkan Wira bertindak jauh dari sebelumnya seperti kali ini mereka berusaha meraih surga masing-masing tanpa lagi memikirkan adanya benteng penghalang yang selama ini menjadi pergulatan batin di antara keduanya.

Malam itu, Wira dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya pada sang pujaan hatinya...


Fallin for That Jerk


Jujur saja, tidak pernah terbayangkan dalam hidupku jika aku akan menikah di usia 19 tahun. Usiaku terbilang masih sangat muda dan bahkan aku belum menyelesaikan kuliahku. Terserah, terserah jika kalian akan menganggap aku hanyalah seorang wanita pecundang, murahan, dan submissive karena aku pun tidak tahu mengapa hidupku begitu mudah dipermainkan oleh sosok jangkung berdarah Amerika bercampur China ini.

Jika dibilang soal perasaan, rasa benciku lebih besar daripada rasa cintaku pada lelaki itu, bahkan aku pikir aku tidak mencintainya sama sekali selain hanya untuk tipuan semata dan kurasa yang kupikirkan soalnya pun begitu. William. William Wolfed.

Lelaki yang menjadi nomor satu dalam daftar hitam orang yang tidak akan ku nikahi, pada mulanya, jauh sebelum aku merasa hidupku ada di tangannya.

Aku lemah? Tidak, aku bahkan bisa melawan jika aku mampu tapi kenyataannya aku tidak pernah sanggup untuk itu, dia selalu bisa membuatku takluk, tunduk, dan patuh pada setiap perintahnya dengan sorot mata tajam yang begitu menusuk relung hati.

Dia memang bukan pria yang baik, tapi entahlah bagiku dia terlihat lebih baik saat berdiri di sampingku sebagai sosok pelindung.

William - lelaki yang tidak pernah membiarkan aku merasa kesepian, sendirian, sedih, gundah gulana, dan rela menjadi pelampiasanku kadang kala. Dia yang mengatakan akan selalu melindungiku, menjagaku, dan tidak akan membiarkan orang lain menyakitiku meskipun dirinya adalah pengecualian.

Ya, dia tidak pernah berjanji untuk tidak menyakitiku karena mungkin baginya dia yang paling berhak dan berkuasa mempermainkan aku termasuk menyakitiku sekalipun, ah atau begini, dia yang tidak bisa memastikan apakah dia akan selalu membuatku bahagia atau tidak. Realistis. Dia memang menjadi salah satu faktor utama penyebab air mataku terjatuh.

Tatapan yang romantis, sentuhan yang menghanyutkan, kalimat-kalimat setengah berbisik yang terdengar lembut dalam setiap malamnya kuterima darinya, dari sosok Evil yang membuatku mempertaruhkan hidup dan matiku, bukan untuknya, namun dia yang membuat semua ini seolah mengalir dan terpaksa aku harus mengikuti alur hidup Tuhan yang sengaja dikacaukan olehnya seperti saat ini.

Ya, saat di mana aku dan dirinya telah terikat dalam janji suci pernikahan yang dihadiri oleh segelintir orang penting saja. Pernikahan kami yang mendadak dan seolah semuanya telah diatur sedemikian rupa oleh William dan antek-anteknya tanpa kuketahui sebab dia tidak mau aku dibuat pusing memikirkan itu.

Pernikahan kami di kota Beijing yang bahkan tidak dihadiri oleh keluargaku satu pun sampai akupun tidak tahu apakah ini pernikahan resmi atau bukan sebab dia yang mengatur semuanya.

William benar-benar ingin menampilkan pernikahan yang terkesan elegan dan mewah meskipun digelar secara private ini. Ya, sosoknya tampak banyak tersenyum sumringah setelah serangkaian acara selesai digelar, dia terus memegang erat tanganku dengan sesekali akan memandangku seraya tersenyum menyeringai dan mengedipkan matanya genit.

Dia sudah berkali-kali memuji kecantikanku, baik saat kami sedang berdua maupun di depan para koleganya yang membuat aku benar-benar malu. Memang bajingan itu, senang mempermalukan istrinya sendiri, cih aku tidak menyangka aku bisa berkata begitu…

Ya, suara beratnya itu kembali lagi terdengar saat jemarinya terus bergerak naik dan turun dengan gerakan memutar di punggung telanjangku karena gaunku yang terbuka ini semakin membebaskan dirinya untuk terus menggodaku. Oh tentu, ini gaun pilihan lelaki bajingan, um maksudku, suamiku sendiri yang memilihnya.

Dia tersenyum menyeringai hampir saja hendak menciumku kalau tidak aku menatapnya tajam, dia hanya cengengesan dengan pipinya yang mengembung sebelah. “Can we just go out now huh? Cause I can't hold to kiss you so bad and pull you into my lap then we can go to reach our heaven together, uh damn I - 


Rumah

“Na, mau di sini?”

Arion menepuk pahanya sambil mengamati Alana yang tampak serius menonton serial drama Korea yang kali ini bergenre thriller, tentunya itu Alana yang ingin karena jujur Arion tidak pernah tertarik menonton film menyeramkan begitu, bukan takut tetapi lebih pada mengerikan saja baginya.

Alana melirik Arion dengan mata memicing. “Kamu takut ya?”

“Dingin,” kata Arion, senyumannya mengembang tipis. Dia kembali menepuk pahanya. “Sini.”

“Mau peluk?” Alana menatap Arion berbinar, lelaki itu mengangguk. “Kamu aneh banget, beda.”

“Apa?”

“Gak tau deh, eh nggak deh, kamu dari dulu emang hobinya modus cuma kalau dulu masih ada gengsi-gengsi. Ya sekarang juga sih, tapi lebih menonjol banget.”

“Apanya?” Arion mengulum senyumnya, melihat tatapan Alana yang tajam membuatnya gemas sendiri dan langsung mengangkat gadis itu ke pangkuannya. “Gemes.”

“Na,” panggil Arion. Lelaki itu menelusup ke leher Alana dan memeluk sang gadis begitu erat. “Bener ya kata orang, kalau habis berantem terus cuddle itu nyenengin banget.”

“Ariooon!” Alana melirik pada Arion yang mengerutkan hidungnya gemas. “Emang kita berantem?”

“Uhm, gak tau, tapi kamu keliatannya marah dan cemburu.”

“Nggak cemburu.”

“Jangan gengsi.”

“Kamu yang cemburuan.”

“Udah nggak.”

Alana mengatupkan bibirnya lalu memalingkan pandangan lagi ke arah televisi di depan sana, sudah hampir terlewat bagian menegangkan dalam serial tersebut, membuat Alana menggerutu kesal. “Kamu sih!”

“Ya udah, tidur aja kamu.”

“Kok tidur sih?”

“Iya, katanya capek?” Arion tersenyum ringis. “Apa capek sama aku?”

“Nggak tau. Kamu juga merasa gitu kan?”

“So, artinya kita lagi sama-sama capek, menurut kamu?”

Alana mengangguk.

“Kamu terlalu sibuk.”

Alana melirik Arion. “Kamu nggak ngertiin aku.”

“Kalau nanti kuliah, aku harap kamu bisa lebih pinter ngatur waktu ya,” ujar Arion, lelaki itu menusuk pipi Alana. “Aku masih butuh kamu.”

“Kamu lagi kenapa? Kamu lagi ada masalah kemarin bilang?” tanya Alana.

Arion tersenyum menggeleng. Alana mengerucutkan bibirnya, dia menoleh ke Arion seraya mengangkat tangannya ke atas. “Mau diusapin?”

Arion tersenyum, lalu memejamkan matanya kala Alana mengusap rambutnya dengan tatapan yang teduh. “Kangen kamu.”

“Aku lebih.”

Alana menangkup wajah Arion. “Mau peluk.”

“Sini.”

Alana menelusup dada Arion dan mencari posisi ternyaman kala kepalanya bersandar pada lelaki itu, sementara Arion memeluknya tak kalah erat dengan menelusup pula pada ceruk gadis itu yang terhalangi oleh rambut panjang Alana.

“Rambut kamu ngalangin,” Arion terkikik geli.

“Mau sun,” pinta Alana.

Arion merenggangkan pelukannya, dia menyeringai geli saat bertukar pandang dengan Alana yang ada di pelukannya. Lelaki itu mengecup pipi Alana lembut.

“Sebelahnya,” ujar Arion.

Alana mengangkat pipi sebelah kirinya yang setelah itu langsung dikecup sekaligus diendus lama oleh lelaki itu.

“Kamu mau?” Alana menahan senyum.

Arion mengangguk, dia memajukan kepalanya dan berbisik pelan. “Tapi nggak mau di pipi.”

Melihat seringaian tipis dari bibir Alana membuat lelaki itu seolah tersenyum penuh kemenangan terutama saat Alana mulai memajukan kepalanya mendekat, namun sebelum terlalu jauh, Arion menangkup wajah gadis itu duluan. “Kamu itu rumah satu-satunya sekarang, semoga aku bisa menetap.”

Lalu setelah itu Arion mencuri start terlebih dahulu kala ia memagut ranum kekasihnya dengan matanya yang terpejam. Perasaan rindunya tersalurkan melalui pagutan lembut tanpa menuntut yang diciptakan oleh pria itu, mencoba mengekspresikan bentuk cinta dan kasihnya dengan perasaan yang diterima oleh Alana yang perlahan membalas rasa itu dengan nanar yang terkatup seolah hanyut dalam rasa yang ia coba pahami kala itu.

***

Rumah


“Na, mau di sini?”

Arion menepuk pahanya sambil mengamati Alana yang tampak serius menonton serial drama Korea yang kali ini bergenre thriller, tentunya itu Alana yang ingin karena jujur Arion tidak pernah tertarik menonton film menyeramkan begitu, bukan takut tetapi lebih pada mengerikan saja baginya.

Alana melirik Arion dengan mata memicing. “Kamu takut ya?”

“Dingin,” kata Arion, senyumannya mengembang tipis. Dia kembali menepuk pahanya. “Sini.”

“Mau peluk?” Alana menatap Arion berbinar, lelaki itu mengangguk. “Kamu aneh banget, beda.”

“Apa?”

“Gak tau deh, eh nggak deh, kamu dari dulu emang hobinya modus cuma kalau dulu masih ada gengsi-gengsi. Ya sekarang juga sih, tapi lebih menonjol banget.”

“Apanya?” Arion mengulum senyumnya, melihat tatapan Alana yang tajam membuatnya gemas sendiri dan langsung mengangkat gadis itu ke pangkuannya. “Gemes.”

“Na,” panggil Arion. Lelaki itu menelusup ke leher Alana dan memeluk sang gadis begitu erat. “Bener ya kata orang, kalau habis berantem terus cuddle itu nyenengin banget.”

“Ariooon!” Alana melirik pada Arion yang mengerutkan hidungnya gemas. “Emang kita berantem?”

“Uhm, gak tau, tapi kamu keliatannya marah dan cemburu.”

“Nggak cemburu.”

“Jangan gengsi.”

“Kamu yang cemburuan.”

“Udah nggak.”

Alana mengatupkan bibirnya lalu memalingkan pandangan lagi ke arah televisi di depan sana, sudah hampir terlewat bagian menegangkan dalam serial tersebut, membuat Alana menggerutu kesal. “Kamu sih!”

“Ya udah, tidur aja kamu.”

“Kok tidur sih?”

“Iya, katanya capek?” Arion tersenyum ringis. “Apa capek sama aku?”

“Nggak tau. Kamu juga merasa gitu kan?”

“So, artinya kita lagi sama-sama capek, menurut kamu?”

Alana mengangguk.

“Kamu terlalu sibuk.”

Alana melirik Arion. “Kamu nggak ngertiin aku.”

“Kalau nanti kuliah, aku harap kamu bisa lebih pinter ngatur waktu ya,” ujar Arion, lelaki itu menusuk pipi Alana. “Aku masih butuh kamu.”

“Kamu lagi kenapa? Kamu lagi ada masalah kemarin bilang?” tanya Alana.

Arion tersenyum menggeleng. Alana mengerucutkan bibirnya, dia menoleh ke Arion seraya mengangkat tangannya ke atas. “Mau diusapin?”

Arion tersenyum, lalu memejamkan matanya kala Alana mengusap rambutnya dengan tatapan yang teduh. “Kangen kamu.”

“Aku lebih.”

Alana menangkup wajah Arion. “Mau peluk.”

“Sini.”

Alana menelusup dada Arion dan mencari posisi ternyaman kala kepalanya bersandar pada lelaki itu, sementara Arion memeluknya tak kalah erat dengan menelusup pula pada ceruk gadis itu yang terhalangi oleh rambut panjang Alana.

“Rambut kamu ngalangin,” Arion terkikik geli.

“Mau sun,” pinta Alana.

Arion merenggangkan pelukannya, dia menyeringai geli saat bertukar pandang dengan Alana yang ada di pelukannya. Lelaki itu mengecup pipi Alana lembut.

“Sebelahnya,” ujar Arion.

Alana mengangkat pipi sebelah kirinya yang setelah itu langsung dikecup sekaligus diendus lama oleh lelaki itu.

“Kamu mau?” Alana menahan senyum.

Arion mengangguk, dia memajukan kepalanya dan berbisik pelan. “Tapi nggak mau di pipi.”

Melihat seringaian tipis dari bibir Alana membuat lelaki itu seolah tersenyum penuh kemenangan terutama saat Alana mulai memajukan kepalanya mendekat, namun sebelum terlalu jauh, Arion menangkup wajah gadis itu duluan. “Kamu itu rumah satu-satunya sekarang, semoga aku bisa menetap.”

Lalu setelah itu Arion mencuri start terlebih dahulu kala ia memagut ranum kekasihnya dengan matanya yang terpejam. Perasaan rindunya tersalurkan melalui pagutan lembut tanpa menuntut yang diciptakan oleh pria itu, mencoba mengekspresikan bentuk cinta dan kasihnya dengan perasaan yang diterima oleh Alana yang perlahan membalas rasa itu dengan nanar yang terkatup seolah hanyut dalam rasa yang ia coba pahami kala itu.

***

Pertentangan


“Lo masih mau di sini? Mau abis berapa botol itu hm?”

Nathan menggelengkan kepalanya samar seraya terkekeh melihat Airin yang duduk di sampingnya di meja bar. Mereka duduk menghadap ke lantai dansa yang menyorotkan kerlap kerlip lampu di tengah banyaknya orang yang menari termasuk rekan mereka berdua juga. Sebenarnya party ini bukan sebuah pesta resmi yang digelarkan oleh agensi model gadis itu, tetapi memang tujuannya ya hanya untuk bersenang-senang saja di tengah semakin padatnya jadwal mereka.

“Berisik lo.” Airin mendelik sebal.

Nathan melirik Airin lagi di sampingnya, dia menyeringai seraya memandang Airin yang kembali meneguk habis segelas wine-nya itu. Airin melirik Nathan balik. “Apaan lo liat-liat gue?”

“Cantik lo malam ini.”

Airin memutar matanya malas, dia seolah tidak lagi bisa termakan oleh gombalan maut Nathan karena dia merasa sudah mengenal jauh tentang lelaki di sampingnya itu. Nathan memang sering kali mendekatinya, bahkan beberapa kali sempat menyatakan perasaan lelaki itu pada Airin tetapi Airin tidak pernah menghiraukan lelaki itu. Dia sudah cukup paham apa yang Nathan mau darinya, terlebih dia sudah kenal tipe lelaki seperti apa Nathan itu.

“Ai, mau ke sana gak? Ayo sama yang lain juga.” Nathan mengedikkan dagunya ke arah lantai dansa, dia menegak habis alkoholnya. “Ayo?”

“Lo duluan.”

“Ya udah, gue tunggu lo di sini aja deh,” ujar Nathan. Lelaki yang berparas blasteran itu tampak tampan dengan kaus putihnya malam ini, senyumannya begitu menawan saat bertukar pandang dengan Airin. “Lo lagi kenapa sih?”

“Gapapa gue,” kata Airin, matanya terangkat dari ponsel yang baru saja gadis itu cek.

“Mata lo udah merah tuh,” ujar Nathan. “Abis berapa gelas lo?”

“Baru enam,” jawab Airin santai.

Sebenarnya pandangan gadis itu mulai sedikit kabur tapi dia masih bisa menjaga kesadarannya karena Airin memang cukup kuat dalam mengonsumsi minuman keras itu, terlebih emosinya masih membuncah dan pikirannya masih tidak fokus sekarang, dia memikirkan sosok yang membuat dirinya kacau seperti ini, ya Wira belum sama sekali menghubunginya. Ada sejumput kekhawatiran, juga kekesalan dalam diri gadis itu. Emosi yang tidak dapat tertahan ini membuat dirinya perlu meluapkan pelampiasannya malam ini.

Entahlah Airin hanya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, padahal seperti biasanya, dia sudah terbiasa harusnya hidup sendiri tanpa bayang-bayang suaminya sebab sekalipun ia sudah menikah tetap saja Wira tidak bisa selalu ada di sampingnya. Belum lagi dengan jarak yang terpisah itu menimbulkan banyak keresahan yang seolah muncul dengan sendirinya. Tidak munafik jika Airin merindukan lelaki itu.

Airin merasa Wira tidak berhak melarang-larangnya karena lelaki itu saja jarang ada di sisinya, meskipun gadis itu tahu bahwa dari jarak yang membentang jauh sekalipun, Wira akan selalu ada di sampingnya, tapi rupanya yang gadis itu inginkan ialah bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan suaminya. Jika dianggap kelakuannya kali ini adalah upaya memberontak atau pertentangan, mungkin benar adanya, atau ini cara lain gadis itu untuk mengekspresikan isi hatinya.

Airin menarik napasnya perlahan, dia melirik Nathan. “Nath.”

“Hm?”

“Lo pernah jatuh cinta?”