winwincure

Sisi Lain


Pandangan yang sudah semakin berkunang-kunang, kepala yang semakin pening, dan badan yang terasa lemas rupanya tidak membuat Airin—yang baru saja ditinggal oleh Nathan dari lantai dansa setelah lelaki itu pamit entah kemana—berhenti menari di tengah lantai dansa bersama teman-temannya yang lain. Matanya sebenarnya masih terus memandang ke sekeliling untuk mencari sosok suaminya setelah tadi ia mendapat pesan yang seolah mengungkapkan bahwa Wira sedang ada di sekitar.

Airin tanpa berhenti meliukkan tubuhnya kala mengikuti alunan musik dari sang dj terus menyipit kala mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sebenarnya agak sulit karena itu terhalangi oleh banyak orang di sana, belum lagi penglihatannya mulai kabur pula.

Sebenarnya Airin setengah percaya dan tidak, tetapi dia seolah berusaha meyakinkan dirinya dengan terus melihat-lihat sampai akhirnya suara dua perempuan asing yang berpakaian minim di sampingnya tampak mengalihkan perhatiannya dengan pembicaraan keduanya.

“Tau gak sih? Tadi gue nemu cowok seragaman, keren, ganteng, badannya … beuh, gue tuh udah nawarin, tapi sial jual mahal banget itu cowok,” kata si perempuan berambut pirang. “Tapi parah cakep banget, doi pilot, Beb, bayangin gimana gue nggak ngiler sih? Tadinya gue mau deketin tapi pas gue cari lagi itu orang ngilang…”

“Anjir, gue tau! Gue juga ngeliat dia, bahkan lo tau gak? Yang gokil, dia nanya ke gue woy!”

“Hah nanya apaan anjing??”

Si perempuan berambut hitam pekat berponi, langsung memutar bola matanya malas. “Masa dia nanyain mushola anjir? Katanya belum salat isya, hadeeeh, ya mana gue tau? Emang di tempat begini ada mushola?”

Mereka berdua pun tergelak tawa, namun samar-samar Airin bisa mendengar dengan jelas perbincangan kedua perempuan itu. Airin menatap mereka dengan sinis lalu dia kembali memandang ke sekeliling, kakinya berjinjit dan sesekali membuka ruang yang menutupinya.

Berseragam? Pilot? Wira?

Airin kembali meraih ponselnya dari dalam tas, namun kala ia mencoba menghubungi suaminya itu, ponsel Wira malah tidak aktif, berakhir membuat Airin kembali jengkel.

Hati Airin sebenarnya ingin berteriak saat itu juga, tetapi rasanya ia tidak ingin terlalu memedulikan tentang suaminya itu, meskipun jujur saja dia masih mencari-cari keberadaan Wira sekarang. Airin berusaha mengalahkan rasa itu dengan menutupinya dengan segala kekesalannya sekarang, ia kembali masuk ke dalam kerumunan dan menari seraya meneguk botol wine dalam genggamannya, tidak peduli berapa liter yang mungkin sudah mengalir di dalam tubuhnya.

Perempuan itu menari dan menikmatinya sendirian meskipun di tengah keramain seperti ini, dia seolah berusaha hanyut dengan efek minuman hangat yang mulai mengurangi kesadarannya, terlebih saat ada seorang lelaki dewasa yang jelas lebih dewasa tampaknya dari suaminya tiba-tiba menghampirinya dan menari bersamanya dengan seringaian yang membuat Airin mendecih.

“Lo siapa anjing? Gak usah ganggu gue!”

Airin mendorong lelaki itu yang semakin mendekat padanya. Pria berkumis itu tampak tersenyum menggoda. “Aku mau temani kamu aja kok, mau, kan?”

Airin bergedik geli, dia sesekali terpejam lalu memutar bola matanya jengah. “Najis, tau najis? Gue udah punya suami!”

“Masa sih? Nggak percaya tuh aku,” ujar pria itu.

“Jauh-jauh lo,” ujar Airin yang terus menahan lelaki itu mendekat.

Pria itu rupanya masih jauh lebih kuat dan dia berusaha memanfaatkan kondisi Airin yang tidak sepenuhnya sadar itu, dia mengamati ke sekeliling, tangan kuatnya melepaskan dorongan Airin, dan dengan santainya meraih pinggang gadis itu.

“Anjing lepasin gue!”

Airin sebisa mungkin memberontak dalam ketidaksadaran, lelaki itu bahkan hampir benar-benar memeluk Airin sampai akhirnya kedatangan seorang pria ke tengah lantai dansa yang menarik Airin menjauh dari lelaki mata keranjang tadi, pria dengan seragam pilot yang masih melekat di tubuhnya. Wira menatap Airin dengan rahang yang menggertak.

“Bajingan! Beraninya kamu sentuh istri saya!”

Wira menarik kerah lelaki itu, matanya menyorot penuh amarah, tatapan elangnya begitu menusuk, bukan seperti Wira yang biasanya menatap Airin dengan tatapan teduh dan tulus. Napasnya menggebu kala ia memberikan pukulan keras di rahang pria itu sebanyak dua kali dan beralih memberikan sikutan pada perut lelaki tadi dengan penuh tenaga.

Hanya itu, dia benar-benar berhenti sampai di situ apalagi saat melihat tidak ada perlawanan dari lelaki bajingan itu. Wira menarik napasnya perlahan, dia melihat suasana di sekelilingnya yang mulai kacau bahkan seluruh perhatian teralihkan padanya terlebih banyak dari mereka yang pasti menggunjing tentang dirinya.

“Kamu! Saya akan ingat wajah kamu, Brengsek!”

Wira menunjuk lelaki yang kini meringis kesakitan itu, hanya sebentar karena ia langsung menghampiri Airin yang tampak terkejut dengan kehadirannya, belum lagi gadis itu menutup wajahnya. Tatapan Wira kembali melebur, dia benar-benar langsung merangkul tubuh istrinya dan mengusap rambut Airin. “Sayang, kamu nggak apa-apa? Maafin saya, saya baru menghampiri kamu…”

“Jangan menangis… Maaf.” lirih Wira.

Airin terisak. Dia enggan memperlihatkan wajahnya yang ditutupi oleh tangannya. Wira terus memeluknya dan membawanya pergi tanpa ia sadar kalau Nathan baru saja berpapasan dengannya tadi. “Kita pulang.”


Dini Hari


Udara dingin yang menusuk permukaan kulit seorang gadis yang sedang terbaring di atas ranjang—membuat tidur gadis itu terusik, sedari tadi ia terus mencari posisi yang nyaman agar bisa tertidur nyenyak meskipun kondisi badannya terasa tidak enak sekarang. Airin perlahan tapi pasti mengerjapkan kedua bola matanya, pandangannya masih kabur ditambah dengan kepala yang sangat pening seolah menahannya untuk bangkit dari ranjang.

Matanya melihat samar-samar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari dan ia melirik ke ranjang di sampingnya meski dengan matanya yang setengah terbuka. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sebenarnya ia masih bingung juga karena sedikit ingatannya tentang bagaimana ia bisa sudah ada di apartemennya meski ia hampir berpikir bahwa ia hanya bermimpi telah melihat seorang pangeran tampan yang sempat menggendong tubuhnya, wajahnya persis seperti wajah suaminya, tapi ia bahkan tidak melihat keberadaan Wira di sampingnya.

Airin mulai membuka matanya lebar, dia pun bangkit untuk duduk bersandar di ranjang dan sedikit meringis seraya memegangi kepalanya yang sakit, ia mendadak mual apalagi perutnya yang kini terasa tidak enak. Buru-buru perempuan itu bangkit dari ranjang dan segera ke kamar mandi karena tiba-tiba tenggorokannya terasa pahit hingga akhirnya ia memuntahkan isi perutnya di closet.

“Kamu kenapa?” Kehadiran Wira yang sempat membuat Airin bingung tidak dihiraukan oleh perempuan itu. Wira langsung berdiri di belakang Airin dan mengangkat rambut perempuan itu, ia juga mengusap tengkuk Airin lembut. “Maaf saya tadi habis selesai tahajud.”

Lelaki itu meraih jepit rambut yang tergeletak di dekat wastafel, lalu menjepit rambut Airin dengan telaten. Airin kembali berdiri dan mencuci mulutnya sebelum memandang Wira. Mata sayu gadis itu begitu kosong, wajahnya juga pucat.

“Sudah enakan?”

Airin mengangguk. “Kamu udah pulang.”

“Kamu gak apa-apa?”

Airin menggeleng, dia mendekat pada suaminya. “Aku yang harusnya tanya gitu.”

“Saya baik-baik aja.”

“Mas aku laper.”

“Mau makan apa? Saya masakin untuk kamu.”

“Aku mau mie.”

Wira menyengir, dia mengusap rambut Airin. “Ya sudah saya buatin ya? Kepala kamu masih pusing atau sakit?”

“Nggak terlalu.”

“Tapi minum obat saja ya, biar nggak sakit.”

Airin mengangguk.

“Ya sudah, saya masak buat kamu, kamu cuci muka dulu bersih-bersih, dan ganti baju juga karena itu baju kamu basah. Jangan mandi, masih subuh ini.” Airin menahan Wira yang hendak pergi, dia menatap Wira dengan tatapan sayu. “Kamu marah?”

Wira tersenyum dan menggeleng. “Nggak, Sayang.”

“Ya udah.”


“Mas.”

Wira yang baru selesai memasak langsung menoleh setelah menaruh semangkuk mie di atas meja bar, dia melihat sang istri yang tampak cantik dengan rambut dicepol asal dan wajah polos berseri dengan senyum malu-malu kala menatapnya.

“Kamu pakai baju begitu nggak dingin?”

Wira membuang mukanya dari Airin yang memakai dress tidur pendek nan tipis yang tentunya akan lebih mudah ditusuk oleh angin malam yang cukup besar dan terasa bahkan di dalam ruangan ini sekalipun.

“Kamu bisa peluk aku nanti kalo aku kedinginan.”

Airin hendak mendekat pada Wira namun lelaki itu menjauh dan membuat sang wanita mendengus kasar. “Makan dulu.”

Airin mengerling genit, lalu dia duduk setelah Wira menarik bangku untuknya. “Abis makan ya, Mas?”

Wira hanya menggeleng samar. Lelaki itu mulanya mengamati Airin yang tampak lahap memakan mie buatannya, dia tersenyum kecil, namun kala Airin menatapnya buru-buru ia mengalihkan pandangan dari wanita itu.

“Mas mau?”

“Nggak, kamu aja.”

“Mau aku?”

Wira seolah sudah biasa menghadapi istrinya itu, dia hanya tersenyum saja meskipun jantungnya berdebar kencang melihat tatapan mematikan yang dilayangkan Airin padanya.

“Habis ini tidur lagi.”

“Siapa?”

“Kamu.”

“Kamu nggak?”

“Saya lihatin kamu tidur aja.”

“Nggak usah tidur aja.”

“Sudah kamu ini, habisin dulu.”

Airin mengerucutkan bibirnya lalu mendengus sebal dan kembali lagi melanjutkan memakan dengan lahap, sementara lelaki yang duduk di sampingnya seolah enggan memalingkan pandangannya dari perempuan di sampingnya itu. “Kamu makannya apa sih? Cantik terus.”

“Mas diem, jangan ganggu aku lagi makan!”

“Iya, maaf, Sayang. Makannya pelan-pelan.”

Wira terkekeh melihat perempuan itu yang pipinya memerah dan makan dengan lahap seperti orang kelaparan tapi entahlah itu malah terlihat lucu di matanya, gemas.


Rindu

cw // mention of kiss , cuddlings.


“Kamu kenyang?”

Airin memanggut. “Kenyang, aku nggak mau tidur dulu, mau sama kamu.”

“Mau apa?”

“Tidur saja yuk? Kamu memang nggak ngantuk hm?”

Airin mencebikkan bibirnya seraya menggeleng, saat Wira bangkit berdiri, dia merentangkan tangannya pada lelaki itu. Seolah sudah mengerti dengan apa yang diminta oleh istrinya itu, Wira langsung mengangkat tubuh Airin dalam gendongannya dan membiarkan Airin menelusup ke dalam ceruk lehernya. “Kamu ini manja sekali ya.”

“Nggak suka?” Airin berbisik seraya menempelkan pipinya dengan pipi suaminya itu, ia mengendus sesekali.

“Kamu jangan mancing.”

“Nggak, aku emang suka kamu wangi.”

Airin merasakan napas hangat dan memburu Wira kala lelaki itu membaringkannya di atas ranjang, mereka masih dalam posisi saling bertatapan, terlebih Airin enggan melepaskan rangkulannya pada tengkuk suaminya itu.

“Ai,” panggil Wira rendah.

“Hm?”

“Kamu mau tidur atau nggak?”

“Aku mau ikutin kamu aja.”

Wira tersenyum miring seraya mengusap wajah gadis itu dengan lembut, ia melayangkan tatapan yang penuh damba kala matanya bertatapan dengan mata sayu yang akan selalu mampu meruntuhkan hatinya.

“Tidur saja ya, nanti pagi saya harus ke rumah ibu.”

Airin mencebikkan bibirnya. “Aku boleh ikut?”

“Nanti saja ya, saya sebentar kok.”

“Ya udah, terus?”

“Terus apa?”

“Mau cium nggak?”

“Kamu mau saya cium?”

Airin menatap sinis lelaki itu, Wira hanya terkekeh. “Nggak ah, kamu nakal sih.”

“Mas ... tuhkan, marah ya? Sorry.... gue emang salah sih. Gue tuh seben-”

“Sstt, nggak saya gak marah, tapi nanti pagi saja jelasin semuanya ya, saya ngantuk juga ini mau tidur sebentar. Kita tidur ya? Ini posisinya mau begini aja?” kata lelaki itu dengan tawa kecil.

Airin segera melepaskan tangannya yang memeluk leher suaminya itu sehingga Wira kini berbaring di sampingnya, Airin pun mendekatkan tubuhnya lebih rapat pada Wira bahkan hampir menubruk dada lelaki itu.

“Terlalu dekat, jangan.”

“Ih kenapa?”

“Sini, coba kalau mau dekat saya sini.”

Wira mengangkat kepala Airin agar menjadikan lengannya sebagai bantalan tidur sementara perempuan itu akan bisa lebih rapat tidur di sampingnya meskipun Wira akan selalu berdebar jika berada di dekat Airin terlebih kini Airin berusaha menelusup ke dalam dadanya.

“Mas.”

Airin menengadah menatap Wira yang kembali membuka matanya. Sorot mata gadis itu lekat, napas hangatnya menerpa wajah sang suami karena Airin semakin mendekat kala itu.

“Kenapa?”

Airin memejamkan matanya saat jarak antara keduanya semakin menipis sampai akhirnya ranum keduanya kembali bersatu saling menyalurkan rasa rindu juga perasaan yang membingungkan dan menimbulkan keresahan dalam diri mereka masing-masing. Wira yang sangat merindukan Airin membiarkan pagutan antara dirinya dan sang istri berlangsung lebih lama bahkan ia tidak peduli dengan rambut panjang Airin yang berjatuhkan menusuk permukaan kulitnya.

Ciuman yang tidak menuntut, tetapi semakin lama semakin dalam sampai membuat keduanya benar-benar hanyut dalam permainan itu. Wira yang semula hanya memegang erat pinggang Airin akhirnya membiarkan wanita itu duduk di atas perutnya dan membungkuk untuk memperdalam pagutan keduanya.

Kala pagutan keduanya terlepas sepersekian menit untuk saling menghirup oksigen, mereka saling memandang dengan napas memburu.

“Saya janji hanya ini saja.”

Sekali lagi, Wira mendorong tubuh Airin dan mengusap pinggang gadis itu untuk kembali melumat habis bibir istrinya itu, berusaha melampiaskan semua rasa rindu, cinta, amarah, dan hawa nafsu yang ada dalam dirinya sekarang dengan batasan yang tetap berusaha dikontrol oleh lelaki itu.

“Katanya nggak mau, emh,” Airin menyeringai puas kala melepas pagutan keduanya dan menatap Wira.

“Kamu yang goda saya terus, mau ampun apa nggak?”

Airin menggeleng.

Wira menggertakkan rahangnya gemas seiring dengan tangan besarnya yang berusaha mendorong Airin agar maju dan lebih dekat dengannya saat lelaki itu berhasil menutup mulut istrinya dengan ciuman yang dilayangkan. Matanya terpejam seiring dengan jemari Airin yang bergerak dan menari-nari di sekitar perut berbentuk suaminya itu, sampai Airin mendengar Wira berbisik rendah. “Jangan berhenti, saya suka.”


Captain.


“Airin,” panggil Wira—matanya menangkap ke sekeliling ruangan apartemennya, mencari sosok wanita yang telah membuat senyumannya kembali terbentuk di tengah kalutnya perasaan Wira kala itu. Tidak ada sahutan dari Airin, Wira pun menaruh bawaannya di atas meja bar.

Lelaki itu masih menunggu istrinya seraya memasukkan kue pemberian ibunya ke dalam kulkas, barulah dia melepas sepatu sekaligus melipat kemeja putihnya setengah lengan.

Hari itu cuaca lumayan panas di siang bolong tetapi untungnya ia langsung segera pulang dan tiba di apartemennya dengan cepat tanpa harus berlama-lama terpapar silaunya surya dari balik kaca jendela mobil.

Wira menghela napasnya panjang, menyugar rambutnya yang sedikit lembab karena keringat dan bergerak melepas dua kancing kemejanya sebelum langkahnya bergerak ke arah kamar.

“Airin?” Wira pun membuka pintu kamarnya lalu dia yang terkejut lamgsung segera membuang mukanya kala tak sengaja melihat Airin yang rupanya sedang berganti baju. “Kenapa nggak bilang kalau lagi ganti baju?”

“Ya maaf aku gak denger. Ya udah kalau gak mau liat balik sana aja dulu.”

Wira menggelengkan kepalanya samar, dia meraih ponselnya dan berkutat pada benda elektronik itu seraya menunggu Airin selesai berganti baju, Wira kembali bersuara. “Ai,” dia tersenyum kala mengangkat kepalanya dalam posisi masih memunggungi Airin. “Terima kasih ya, saya tidak tahu bagaimana mengekspresikan bahagia saya karena kamu, karena adanya kamu.” Wira meremas ponselnya seraya tersenyum menggigit bibirnya. Salah tingkah dia.

“Ai?”

Wira tersentak kala Airin tiba-tiba mendekatinya dan melingkarkan tangannya memeluk lelaki itu dari belakang. Perempuan itu menikmati pelukannya pada punggung kokoh suaminya. “Kamu nggak bercanda soal postingan itu?”

“Maunya?”

“Airin, serius...” Wira berbalik badan membiarkan dirinya berhadapan langsung dengan makhluk Tuhan kesukaannya itu, dia menangkup kedua sisi wajah Airin lebih dekat. “Kamu wangi banget.”

“Mas, jawab dulu,” kata Airin, mulai memicingkan kedua matanya saat menatap Wira. “Kamu deket sama perempuan ya? Si pramugari itu yang kamu pernah ceritain dulu, kemarin aku marah gara-gara aku tau itu dari orang di sosial media kamu.”

“Aduh, nggak, Sayangg.” Wira mengusap surai Airin. “Hanya sebatas rekan kerja, tapi memang kemarin dia banyak cerita tentang pacar barunya tapi saya nggak suka saat dia tiba-tiba chat saya dan bilang yang aneh-aneh tentang kamu. Saya marah, saya betul-betul kesal sama dia. Padahal dia tau saya sudah punya istri, saya punya kamu, tapi dia malah berani-beraninya sok tahu tentang istri saya.”

Airin tersenyum memandang Wira, lelaki itu buru-buru menggeleng samar, “Ah, ya ampun maaf. Saya jadi bicarain orang kayak gini, maaf, tapi sumpah saya nggak ada apa-apa sama Mayang, Ai. Jadi tolong jangan berpikiran aneh-aneh ya?”

“Hmm gitu ya? Emang kamu nggak suka kalau ada yang jelek-jelekin aku meskipun itu fakta sekalipun?”

Airin merangkul leher suaminya kemudian menarik tangan Wira untuk melingkar pula di pinggangnya.

“Iya, saya nggak terima.”

Airin mengusap wajah Wira dengan tatapan sensual, perlahan tatapannya itu turun dengan tangannya mulai bergerak melepas kancing kemeja suaminya itu. Wira tersenyum tipis melihat aksi nakal istrinya itu. Airin mengangkat pandangannya pada sang suami kala ia hendak melepas kemeja suaminya itu, Wira tidak merespon apapun seperti sudah mengizinkan apa yang akan dilakukan istrinya itu padanya.

Airin tersenyum miring dan mengecup leher lelaki itu kemudian naik ke daun telinga Wira membuat suaminya itu mengerang tertahan merasakan kecupan-kecupan yang diberikan Airin.

Wira berbisik dengan suara beratnya. “Kamu memang kelemahan terbesar saya, Airin.”

Lelaki itu menyentuh bahu Airin dan bermain sejenak pada tali spagetti tanktop katun perempuan itu, dia menatap Airin dengan matanya yang berbinar. “Boleh?”

“Gak perlu izin kali, aku aja—”

“Em—Mas!”

Wira tertawa kecil saat ia melepas ciuman singkatnya pada bibir Airin yang membuat gadis itu menghentikan ucapannya, namun beberapa saat setelah itu Airin menatap Wira sengit. “Kamu nakal ya, Mas. Yang boleh nakal cuma aku!”

“Maaf...”

Nyali lelaki itu menciut terlebih saat Airin menepis tangan Wira dari bahunya dan yang lebih mengejutkan lagi Airin terus mendekati suaminya sehingga lelaki itu berjalan mundur sampai Airin mendorong Wira hingga terduduk di sofa yang ada di kamar itu.

“Sini, hm... jangan mancing-mancing terus.” Wira tersenyum penuh kemenangan saat berhasil menarik tubuh Airin hingga jatuh di pangkuannya kini. Lelaki itu mengendus lengan istrinya dan memberikan beberapa kecupan lembut, ditambah dengan tangan besar suaminya yang mulai berani menyusup ke dalam pakaian Airin dan meremat pelan pinggang gadis itu. “Hmm, kamu wangi.”

“Mas ... geli.”

“Emangnya saya nggak, hm?” Wira melirik pada tangan Airin yang memainkan perutnya, lagi. “Itu punya kamu kok, cuma kamu yang pernah lihat dan—”

Wira bergerak menurunkan tali baju perempuan itu dan mengecup leher istrinya lembut. “Kamu boleh mainin sepuasnya, tapi harus bisa tanggung jawab ya?”

Airin menggigit bibir bawahnya, dia malah terus memainkan jari lentiknya mengikuti pola perut berbentuk suaminya itu kemudian bergerak ke atas dan berhenti pada dada bidang lelaki itu. “Kayak gini hm?”

Wira menggeram pelan kala melirik tangan istrinya yang dengan lincah mampu mempermainkannya lalu ia mengangkat pandangannya pada Airin membuat hazel keduanya bertemu dan memandang penuh arti. Setelah itu, ranum keduanya saling memagut satu sama lain bersamaan dengan pakaian Airin yang terlempar asal dan lelaki itu menggendong sang wanita dan membaringkan Airin di atas ranjang.

Kala pagutan keduanya terlepas, mereka saling memandang penuh arti terlebih lelaki itu memenjara sang istri di bawahnya.

Sepuas mungkin kedua insan yang sedang hanyut dalam suasana itu masih saling memandang dan beradu dengan deru napas masing-masing yang menggebu. Wira menyingkirkan helaian rambut yang sempat menghalangi wajah cantik Airin, lalu ia kembali meraih bibir lembab wanita itu dan memagutnya habis.

Airin mengangkat kedua tangannya mengalung pada leher sang suami. Setiap sentuhan tangan suaminya yang semakin lihai itu membuat Airin hanyut dalam kenikmatan yang disalurkan padanya bersamaan dengan erangan dan desahan yang memaksanya untuk menyebut hanya satu nama yang kini ada di hati serta pikirannya, nama lelaki yang membuatnya hampir melayang menuju surga dunia.

“Mas ... Mas Wira,” erang Airin.

“Ai ... argh, kamu—” ucap Wira tertahan dengan napas terengah, “kamu ada pengaman? Saya—”

“Nggak usah pake.”

“Ai, serius?”

“Mas, please ...”

Airin memandang suaminya dengan mata sayunya dan Wira benar-benar mengagumi kecantikan Airin yang bertambah berkali-kali lipat dengan wajah polosnya yang berkeringat dan harum tubuh indahnya yang menguar membangkitkan seluruh gelora dalam diri lelaki itu.

“Saya mulai ya, Sayang?”

Airin mengangguk pelan, matanya terpejam seiring dengan kecupan lembut Wira yang begitu lama di dahi wanita itu. “I love you, Ai. Saya benar-benar dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya hati saya padamu. Sekarang kamu hanya punya saya, milik saya seutuhnya, dan tidak boleh ada yang berani menyakiti kamu.”

“Mas ...” Airin meringis seraya meremat rambut suaminya saat detik awal keduanya meraih surga mereka.

“Sayang, tahan ya ...” Wira mengecup pelipis wanita itu lembut, dia menarik dagu Airin agar menatapnya. “Hey, sini lihat saya, mau stop sampai di sini?”

Airin menggeleng, dia memeluk Wira erat dan menelusup pada ceruk leher suaminya itu dengan mata yang terpejam menahan segala rasa sakit yang sedang ia rasakan saat itu. Airin mengerang pelan saat ia mulai menikmati permainan semuanya itu, ia menggigit daun telinga suaminya dan berbisik pelan. “I love you, Captain...”

Wira tersenyum lebar, “sini lihat suaminya coba,” Wira menyentuh wajah Airin yang berantakan. “Saya lebih cinta kamu dan saya tidak sabar menanti kehadiran keluarga baru di antara kita. Terima kasih sudah mencintai saya dan saya mohon padamu untuk membersamai saya selalu ya?”

Airin mengangguk pelan. Wajahnya meringis seiring dengan pelukannya yang kembali ia eratkan pada suaminya. Keduanya saling berusaha meraih surga masing-masing dengan satu doa yang rupanya terbesit dalam hati kecil mereka, keinginan untuk bisa secepatnya memiliki sosok buah hati yang akan menjadi bukti cinta keduanya.

Bukan hanya Wira yang sudah jatuh pada Airin, melainkan Airin pula yang sudah jatuh sejatuh jatuhnya pada sosok lelaki yang dengan segenap ketulusan dan kelembutannya mampu membuat Airin tidak bisa memungkiri untuk tidak jatuh cinta pada suaminya itu. Dia yang perlahan mampu membuat Airin belajar tentang apa itu cinta yang sesungguhnya, belajar tentang bagaimana menahan segala amarah, dia yang penyabar, dia yang selalu akan menutupi segala kekecewaannya, dan dia yang terlampau jujur dengan apa yang dia ungkapkan dalam setiap tutur katanya.

Hanya dia, Prawira Nugraha, lelaki yang mampu menyempurnakan segala kekurangan dalam diri Airin, lelaki yang ia cintai.


Dear, Captain Prawira Nugraha...


“Airin,” panggil Wira—matanya menangkap ke sekeliling ruangan apartemennya, mencari sosok wanita yang telah membuat senyumannya kembali terbentuk di tengah kalutnya perasaan Wira kala itu. Tidak ada sahutan dari Airin, Wira pun menaruh bawaannya di atas meja bar.

Lelaki itu masih menunggu istrinya seraya memasukkan kue pemberian ibunya ke dalam kulkas, barulah dia melepas sepatu sekaligus melipat kemeja putihnya setengah lengan.

Hari itu cuaca lumayan panas di siang bolong tetapi untungnya ia langsung segera pulang dan tiba di apartemennya dengan cepat tanpa harus berlama-lama terpapar silaunya surya dari balik kaca jendela mobil.

Wira menghela napasnya panjang, menyugar rambutnya yang sedikit lembab karena keringat dan bergerak melepas dua kancing kemejanya sebelum langkahnya bergerak ke arah kamar.

“Airin?” Wira pun membuka pintu kamarnya lalu dia yang terkejut lamgsung segera membuang mukanya kala tak sengaja melihat Airin yang rupanya sedang berganti baju. “Kenapa nggak bilang kalau lagi ganti baju?”

“Ya maaf aku gak denger. Ya udah kalau gak mau liat balik sana aja dulu.”

Wira menggelengkan kepalanya samar, dia meraih ponselnya dan berkutat pada benda elektronik itu seraya menunggu Airin selesai berganti baju, Wira kembali bersuara. “Ai,” dia tersenyum kala mengangkat kepalanya dalam posisi masih memunggungi Airin. “Terima kasih ya, saya tidak tahu bagaimana mengekspresikan bahagia saya karena kamu, karena adanya kamu.” Wira meremas ponselnya seraya tersenyum menggigit bibirnya. Salah tingkah dia.

“Ai?”

Wira tersentak kala Airin tiba-tiba mendekatinya dan melingkarkan tangannya memeluk lelaki itu dari belakang. Perempuan itu menikmati pelukannya pada punggung kokoh suaminya. “Kamu nggak bercanda soal postingan itu?”

“Maunya?”

“Airin, serius...” Wira berbalik badan membiarkan dirinya berhadapan langsung dengan makhluk Tuhan kesukaannya itu, dia menangkup kedua sisi wajah Airin lebih dekat. “Kamu wangi banget.”

“Mas, jawab dulu,” kata Airin, mulai memicingkan kedua matanya saat menatap Wira. “Kamu deket sama perempuan ya? Si pramugari itu yang kamu pernah ceritain dulu, kemarin aku marah gara-gara aku tau itu dari orang di sosial media kamu.”

“Aduh, nggak, Sayangg.” Wira mengusap surai Airin. “Hanya sebatas rekan kerja, tapi memang kemarin dia banyak cerita tentang pacar barunya tapi saya nggak suka saat dia tiba-tiba chat saya dan bilang yang aneh-aneh tentang kamu. Saya marah, saya betul-betul kesal sama dia. Padahal dia tau saya sudah punya istri, saya punya kamu, tapi dia malah berani-beraninya sok tahu tentang istri saya.”

Airin tersenyum memandang Wira, lelaki itu buru-buru menggeleng samar, “Ah, ya ampun maaf. Saya jadi bicarain orang kayak gini, maaf, tapi sumpah saya nggak ada apa-apa sama Mayang, Ai. Jadi tolong jangan berpikiran aneh-aneh ya?”

“Hmm gitu ya? Emang kamu nggak suka kalau ada yang jelek-jelekin aku meskipun itu fakta sekalipun?”

Airin merangkul leher suaminya kemudian menarik tangan Wira untuk melingkar pula di pinggangnya.

“Iya, saya nggak terima.”

Airin mengusap wajah Wira dengan tatapan sensual, perlahan tatapannya itu turun dengan tangannya mulai bergerak melepas kancing kemeja suaminya itu. Wira tersenyum tipis melihat aksi nakal istrinya itu. Airin mengangkat pandangannya pada sang suami kala ia hendak melepas kemeja suaminya itu, Wira tidak merespon apapun seperti sudah mengizinkan apa yang akan dilakukan istrinya itu padanya.

Airin tersenyum miring dan mengecup leher lelaki itu kemudian naik ke daun telinga Wira membuat suaminya itu mengerang tertahan merasakan kecupan-kecupan yang diberikan Airin.

Wira berbisik dengan suara beratnya. “Kamu memang kelemahan terbesar saya, Airin.”

Lelaki itu menyentuh bahu Airin dan bermain sejenak pada tali spagetti tanktop katun perempuan itu, dia menatap Airin dengan matanya yang berbinar. “Boleh?”

“Gak perlu izin kali, aku aja—”

“Em—Mas!”

Wira tertawa kecil saat ia melepas ciuman singkatnya pada bibir Airin yang membuat gadis itu menghentikan ucapannya, namun beberapa saat setelah itu Airin menatap Wira sengit. “Kamu nakal ya, Mas. Yang boleh nakal cuma aku!”

“Maaf...”

Nyali lelaki itu menciut terlebih saat Airin menepis tangan Wira dari bahunya dan yang lebih mengejutkan lagi Airin terus mendekati suaminya sehingga lelaki itu berjalan mundur sampai Airin mendorong Wira hingga terduduk di sofa yang ada di kamar itu.

“Sini, hm... jangan mancing-mancing terus.” Wira tersenyum penuh kemenangan saat berhasil menarik tubuh Airin hingga jatuh di pangkuannya kini. Lelaki itu mengendus lengan istrinya dan memberikan beberapa kecupan lembut, ditambah dengan tangan besar suaminya yang mulai berani menyusup ke dalam pakaian Airin dan meremat pelan pinggang gadis itu. “Hmm, kamu wangi.”

“Mas ... geli.”

“Emangnya saya nggak, hm?” Wira melirik pada tangan Airin yang memainkan perutnya, lagi. “Itu punya kamu kok, cuma kamu yang pernah lihat dan—”

Wira bergerak menurunkan tali baju perempuan itu dan mengecup leher istrinya lembut. “Kamu boleh mainin sepuasnya, tapi harus bisa tanggung jawab ya?”

Airin menggigit bibir bawahnya, dia malah terus memainkan jari lentiknya mengikuti pola perut berbentuk suaminya itu kemudian bergerak ke atas dan berhenti pada dada bidang lelaki itu. “Kayak gini hm?”

Wira menggeram pelan kala melirik tangan istrinya yang dengan lincah mampu mempermainkannya lalu ia mengangkat pandangannya pada Airin membuat hazel keduanya bertemu dan memandang penuh arti. Setelah itu, ranum keduanya saling memagut satu sama lain bersamaan dengan pakaian Airin yang terlempar asal dan lelaki itu menggendong sang wanita dan membaringkan Airin di atas ranjang.

Kala pagutan keduanya terlepas, mereka saling memandang penuh arti terlebih lelaki itu memenjara sang istri di bawahnya.

Sepuas mungkin kedua insan yang sedang hanyut dalam suasana itu masih saling memandang dan beradu dengan deru napas masing-masing yang menggebu. Wira menyingkirkan helaian rambut yang sempat menghalangi wajah cantik Airin, lalu ia kembali meraih bibir lembab wanita itu dan memagutnya habis.

Airin mengangkat kedua tangannya mengalung pada leher sang suami. Setiap sentuhan tangan suaminya yang semakin lihai itu membuat Airin hanyut dalam kenikmatan yang disalurkan padanya bersamaan dengan erangan dan desahan yang memaksanya untuk menyebut hanya satu nama yang kini ada di hati serta pikirannya, nama lelaki yang membuatnya hampir melayang menuju surga dunia.

“Mas ... Mas Wira,” erang Airin.

“Ai ... argh, kamu—” ucap Wira tertahan dengan napas terengah, “kamu ada pengaman? Saya—”

“Nggak usah pake.”

“Ai, serius?”

“Mas, please ...”

Airin memandang suaminya dengan mata sayunya dan Wira benar-benar mengagumi kecantikan Airin yang bertambah berkali-kali lipat dengan wajah polosnya yang berkeringat dan harum tubuh indahnya yang menguar membangkitkan seluruh gelora dalam diri lelaki itu.

“Saya mulai ya, Sayang?”

Airin mengangguk pelan, matanya terpejam seiring dengan kecupan lembut Wira yang begitu lama di dahi wanita itu. “I love you, Ai. Saya benar-benar dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya hati saya padamu. Sekarang kamu hanya punya saya, milik saya seutuhnya, dan tidak boleh ada yang berani menyakiti kamu.”

“Mas ...” Airin meringis seraya meremat rambut suaminya saat detik awal keduanya meraih surga mereka.

“Sayang, tahan ya ...” Wira mengecup pelipis wanita itu lembut, dia menarik dagu Airin agar menatapnya. “Hey, sini lihat saya, mau stop sampai di sini?”

Airin menggeleng, dia memeluk Wira erat dan menelusup pada ceruk leher suaminya itu dengan mata yang terpejam menahan segala rasa sakit yang sedang ia rasakan saat itu. Airin mengerang pelan saat ia mulai menikmati permainan semuanya itu, ia menggigit daun telinga suaminya dan berbisik pelan. “I love you, Captain...”

Wira tersenyum lebar, “sini lihat suaminya coba,” Wira menyentuh wajah Airin yang berantakan. “Saya lebih cinta kamu dan saya tidak sabar menanti kehadiran keluarga baru di antara kita. Terima kasih sudah mencintai saya dan saya mohon padamu untuk membersamai saya selalu ya?”

Airin mengangguk pelan. Wajahnya meringis seiring dengan pelukannya yang kembali ia eratkan pada suaminya. Keduanya saling berusaha meraih surga masing-masing dengan satu doa yang rupanya terbesit dalam hati kecil mereka, keinginan untuk bisa secepatnya memiliki sosok buah hati yang akan menjadi bukti cinta keduanya.

Bukan hanya Wira yang sudah jatuh pada Airin, melainkan Airin pula yang sudah jatuh sejatuh jatuhnya pada sosok lelaki yang dengan segenap ketulusan dan kelembutannya mampu membuat Airin tidak bisa memungkiri untuk tidak jatuh cinta pada suaminya itu. Dia yang perlahan mampu membuat Airin belajar tentang apa itu cinta yang sesungguhnya, belajar tentang bagaimana menahan segala amarah, dia yang penyabar, dia yang selalu akan menutupi segala kekecewaannya, dan dia yang terlampau jujur dengan apa yang dia ungkapkan dalam setiap tutur katanya.

Hanya dia, Prawira Nugraha, lelaki yang mampu menyempurnakan segala kekurangan dalam diri Airin, lelaki yang ia cintai.


Dear, Captain Prawira Nugraha...

cw // mention of kiss , mature


“Airin,” panggil Wira—matanya menangkap ke sekeliling ruangan apartemennya, mencari sosok wanita yang telah membuat senyumannya kembali terbentuk di tengah kalutnya perasaan Wira kala itu. Tidak ada sahutan dari Airin, Wira pun menaruh bawaannya di atas meja bar.

Lelaki itu masih menunggu istrinya seraya memasukkan kue pemberian ibunya ke dalam kulkas, barulah dia melepas sepatu sekaligus melipat kemeja putihnya setengah lengan.

Hari itu cuaca lumayan panas di siang bolong tetapi untungnya ia langsung segera pulang dan tiba di apartemennya dengan cepat tanpa harus berlama-lama terpapar silaunya surya dari balik kaca jendela mobil.

Wira menghela napasnya panjang, menyugar rambutnya yang sedikit lembab karena keringat dan bergerak melepas dua kancing kemejanya sebelum langkahnya bergerak ke arah kamar.

“Airin?” Wira pun membuka pintu kamarnya lalu dia yang terkejut lamgsung segera membuang mukanya kala tak sengaja melihat Airin yang rupanya sedang berganti baju. “Kenapa nggak bilang kalau lagi ganti baju?”

“Ya maaf aku gak denger. Ya udah kalau gak mau liat balik sana aja dulu.”

Wira menggelengkan kepalanya samar, dia meraih ponselnya dan berkutat pada benda elektronik itu seraya menunggu Airin selesai berganti baju, Wira kembali bersuara. “Ai,” dia tersenyum kala mengangkat kepalanya dalam posisi masih memunggungi Airin. “Terima kasih ya, saya tidak tahu bagaimana mengekspresikan bahagia saya karena kamu, karena adanya kamu.” Wira meremas ponselnya seraya tersenyum menggigit bibirnya. Salah tingkah dia.

“Ai?”

Wira tersentak kala Airin tiba-tiba mendekatinya dan melingkarkan tangannya memeluk lelaki itu dari belakang. Perempuan itu menikmati pelukannya pada punggung kokoh suaminya. “Kamu nggak bercanda soal postingan itu?”

“Maunya?”

“Airin, serius...” Wira berbalik badan membiarkan dirinya berhadapan langsung dengan makhluk Tuhan kesukaannya itu, dia menangkup kedua sisi wajah Airin lebih dekat. “Kamu wangi banget.”

“Mas, jawab dulu,” kata Airin, mulai memicingkan kedua matanya saat menatap Wira. “Kamu deket sama perempuan ya? Si pramugari itu yang kamu pernah ceritain dulu, kemarin aku marah gara-gara aku tau itu dari orang di sosial media kamu.”

“Aduh, nggak, Sayangg.” Wira mengusap surai Airin. “Hanya sebatas rekan kerja, tapi memang kemarin dia banyak cerita tentang pacar barunya tapi saya nggak suka saat dia tiba-tiba chat saya dan bilang yang aneh-aneh tentang kamu. Saya marah, saya betul-betul kesal sama dia. Padahal dia tau saya sudah punya istri, saya punya kamu, tapi dia malah berani-beraninya sok tahu tentang istri saya.”

Airin tersenyum memandang Wira, lelaki itu buru-buru menggeleng samar, “Ah, ya ampun maaf. Saya jadi bicarain orang kayak gini, maaf, tapi sumpah saya nggak ada apa-apa sama Mayang, Ai. Jadi tolong jangan berpikiran aneh-aneh ya?”

“Hmm gitu ya? Emang kamu nggak suka kalau ada yang jelek-jelekin aku meskipun itu fakta sekalipun?”

Airin merangkul leher suaminya kemudian menarik tangan Wira untuk melingkar pula di pinggangnya.

“Iya, saya nggak terima.”

Airin mengusap wajah Wira dengan tatapan sensual, perlahan tatapannya itu turun dengan tangannya mulai bergerak melepas kancing kemeja suaminya itu. Wira tersenyum tipis melihat aksi nakal istrinya itu. Airin mengangkat pandangannya pada sang suami kala ia hendak melepas kemeja suaminya itu, Wira tidak merespon apapun seperti sudah mengizinkan apa yang akan dilakukan istrinya itu padanya.

Airin tersenyum miring dan mengecup leher lelaki itu kemudian naik ke daun telinga Wira membuat suaminya itu mengerang tertahan merasakan kecupan-kecupan yang diberikan Airin.

Wira berbisik dengan suara beratnya. “Kamu memang kelemahan terbesar saya, Airin.”

Lelaki itu menyentuh bahu Airin dan bermain sejenak pada tali spagetti tanktop katun perempuan itu, dia menatap Airin dengan matanya yang berbinar. “Boleh?”

“Gak perlu izin kali, aku aja—”

“Em—Mas!”

Wira tertawa kecil saat ia melepas ciuman singkatnya pada bibir Airin yang membuat gadis itu menghentikan ucapannya, namun beberapa saat setelah itu Airin menatap Wira sengit. “Kamu nakal ya, Mas. Yang boleh nakal cuma aku!”

“Maaf...”

Nyali lelaki itu menciut terlebih saat Airin menepis tangan Wira dari bahunya dan yang lebih mengejutkan lagi Airin terus mendekati suaminya sehingga lelaki itu berjalan mundur sampai Airin mendorong Wira hingga terduduk di sofa yang ada di kamar itu.

“Sini, hm... jangan mancing-mancing terus.” Wira tersenyum penuh kemenangan saat berhasil menarik tubuh Airin hingga jatuh di pangkuannya kini. Lelaki itu mengendus lengan istrinya dan memberikan beberapa kecupan lembut, ditambah dengan tangan besar suaminya yang mulai berani menyusup ke dalam pakaian Airin dan meremat pelan pinggang gadis itu. “Hmm, kamu wangi.”

“Mas ... geli.”

“Emangnya saya nggak, hm?” Wira melirik pada tangan Airin yang memainkan perutnya, lagi. “Itu punya kamu kok, cuma kamu yang pernah lihat dan—”

Wira bergerak menurunkan tali baju perempuan itu dan mengecup leher istrinya lembut. “Kamu boleh mainin sepuasnya, tapi harus bisa tanggung jawab ya?”

Airin menggigit bibir bawahnya, dia malah terus memainkan jari lentiknya mengikuti pola perut berbentuk suaminya itu kemudian bergerak ke atas dan berhenti pada dada bidang lelaki itu. “Kayak gini hm?”

Wira menggeram pelan kala melirik tangan istrinya yang dengan lincah mampu mempermainkannya lalu ia mengangkat pandangannya pada Airin membuat hazel keduanya bertemu dan memandang penuh arti. Setelah itu, ranum keduanya saling memagut satu sama lain bersamaan dengan pakaian Airin yang terlempar asal dan lelaki itu menggendong sang wanita dan membaringkan Airin di atas ranjang.

Kala pagutan keduanya terlepas, mereka saling memandang penuh arti terlebih lelaki itu memenjara sang istri di bawahnya.

Sepuas mungkin kedua insan yang sedang hanyut dalam suasana itu masih saling memandang dan beradu dengan deru napas masing-masing yang menggebu. Wira menyingkirkan helaian rambut yang sempat menghalangi wajah cantik Airin, lalu ia kembali meraih bibir lembab wanita itu dan memagutnya habis.

Airin mengangkat kedua tangannya mengalung pada leher sang suami. Setiap sentuhan tangan suaminya yang semakin lihai itu membuat Airin hanyut dalam kenikmatan yang disalurkan padanya bersamaan dengan erangan dan desahan yang memaksanya untuk menyebut hanya satu nama yang kini ada di hati serta pikirannya, nama lelaki yang membuatnya hampir melayang menuju surga dunia.

“Mas ... Mas Wira,” erang Airin.

“Ai ... argh, kamu—” ucap Wira tertahan dengan napas terengah, “kamu ada pengaman? Saya—”

“Nggak usah pake.”

“Ai, serius?”

“Mas, please ...”

Airin memandang suaminya dengan mata sayunya dan Wira benar-benar mengagumi kecantikan Airin yang bertambah berkali-kali lipat dengan wajah polosnya yang berkeringat dan harum tubuh indahnya yang menguar membangkitkan seluruh gelora dalam diri lelaki itu.

“Saya mulai ya, Sayang?”

Airin mengangguk pelan, matanya terpejam seiring dengan kecupan lembut Wira yang begitu lama di dahi wanita itu. “I love you, Ai. Saya benar-benar dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya hati saya padamu. Sekarang kamu hanya punya saya, milik saya seutuhnya, dan tidak boleh ada yang berani menyakiti kamu.”

“Mas ...” Airin meringis seraya meremat rambut suaminya saat detik awal keduanya meraih surga mereka.

“Sayang, tahan ya ...” Wira mengecup pelipis wanita itu lembut, dia menarik dagu Airin agar menatapnya. “Hey, sini lihat saya, mau stop sampai di sini?”

Airin menggeleng, dia memeluk Wira erat dan menelusup pada ceruk leher suaminya itu dengan mata yang terpejam menahan segala rasa sakit yang sedang ia rasakan saat itu. Airin mengerang pelan saat ia mulai menikmati permainan semuanya itu, ia menggigit daun telinga suaminya dan berbisik pelan. “I love you, Captain...”

Wira tersenyum lebar, “sini lihat suaminya coba,” Wira menyentuh wajah Airin yang berantakan. “Saya lebih cinta kamu dan saya tidak sabar menanti kehadiran keluarga baru di antara kita. Terima kasih sudah mencintai saya dan saya mohon padamu untuk membersamai saya selalu ya?”

Airin mengangguk pelan. Wajahnya meringis seiring dengan pelukannya yang kembali ia eratkan pada suaminya. Keduanya saling berusaha meraih surga masing-masing dengan satu doa yang rupanya terbesit dalam hati kecil mereka, keinginan untuk bisa secepatnya memiliki sosok buah hati yang akan menjadi bukti cinta keduanya.

Bukan hanya Wira yang sudah jatuh pada Airin, melainkan Airin pula yang sudah jatuh sejatuh jatuhnya pada sosok lelaki yang dengan segenap ketulusan dan kelembutannya mampu membuat Airin tidak bisa memungkiri untuk tidak jatuh cinta pada suaminya itu. Dia yang perlahan mampu membuat Airin belajar tentang apa itu cinta yang sesungguhnya, belajar tentang bagaimana menahan segala amarah, dia yang penyabar, dia yang selalu akan menutupi segala kekecewaannya, dan dia yang terlampau jujur dengan apa yang dia ungkapkan dalam setiap tutur katanya.

Hanya dia, Prawira Nugraha, lelaki yang mampu menyempurnakan segala kekurangan dalam diri Airin, lelaki yang ia cintai.


Morning Vibes

cw // mention of kiss


Good morning, Bluebear. Such a long night huh?”

William mengecup leher Arasha dengan pelukan yang masih erat pada gadis itu, tangan lelaki itu mulai menggerayangi badan Arasha yang hanya memakai dress tidur yang dipakaikan oleh William karena kemarin setelah pergulatan panjang keduanya, William tidak tega melihat Arasha yang tampak kedinginan belum lagi wajah kelelahan gadis itu yang membuat William iba.

“Engh, Sir, Morning.”

“Sini.”

William membalikkan tubuh Arasha agar menghadap padanya lalu ia mendekap tubuh gadis itu semakin rapat padanya. William tersenyum menyeringai melihat perempuan itu tampak lemas dengan mata sayunya yang masih enggan terbuka.

Morning kiss,” ucap William tepat di depan bibir Arasha yang langsung diraup oleh ranum tebalnya. Mata lelaki itu terbuka melihat perempuan dalam pelukannya enggan membalas ataupun menatapnya, gadis itu masih terpejam. William mengulum bibir gadis itu lalu ia membiarkan lidahnya menerobos masuk dan bermain lebih dalam dengan mulut gadis itu.

Arasha mendesah pelan namun ia tidak bisa banyak merespon karena dirinya masih belum sepenuhnya sadar, namun matanya mulai mengerjap sedikit demi sedikit dan mengamati dengan samar wajah polos William yang terlihat sangat tampan kala bangun tidur, belum lagi ia sedikit berkeringat sekarang ini.

“Engh, Sir, mmh,” Arasha melepaskan ciuman lelaki itu saat ia merasa kesulitan bernapas.

William menyeringai dan menjilat bibir bawahnya kala mengamati bibir Arasha yang basah karena ulahnya di pagi hari ini. Ia mengecup wajah gadis itu di beberapa bagian dengan gemas. “Bangun, Sayang, hm, bangun...”

“Aku lelah,” gumam Arasha, matanya sedikit membuka menatap William.

“Kau ingin lagi?” tanya William menggoda.

“Tidak mau...”

“Aish, kenapa tidak mau hm? Bukannya kau menikmati? Kau bahkan terus meminta lagi dan lagi.”

Senyuman miring William membuat Arasha mendelik sebal, matanya kembali mencoba menutup, namun lelaki di hadapannya itu malah meniup wajah Arasha sehingga gadis itu kembali menatap tajam sang pria. “Jangan tidur lagi.” William menegakkan posisi tidurnya dan bersandar pada kepala ranjang dengan tubuh atasnya yang masih polos itu. Dia mengangkat tubuh Arasha ke pangkuannya dan membiarkan kepala gadis itu bersandar padanya. “Kau tau jika pagi hari aku jauh lebih bersemangat hm.”

“Aku lelah dan aku tidak mau lagi.”

“Apa?” Lelaki itu menyeringai, “memangnya siapa yang mengizinkanmu menolak hm?”

“Maaf.” Arasha mengalihkan pandangannya segera dari William.

Hal itu membuat William tersenyum tipis, lalu dia mengusap rambut gadis itu, dia menarik Arasha semakin rapat ke dalam dekapannya. Mengendus aroma tubuh gadis itu dalam-dalam. “Aku akan ada urusan nanti siang, maka dari itu, kau harus menuruti keinginanku pagi ini, seperti tadi malam. Menyenangkan, bukan?”

“Tap—”

“Tidak ada penolakan ya, *Little Girl.”


Pillow Talk


Airin sedari tadi tampak merajuk sebab Wira tidak memperbolehkannya untuk keluar rumah karena akhir-akhir ini Airin sering mengeluh tidak enak badan jadilah suaminya itu khawatir untuk membawa sang istri keluar rumah.

Airin yang kesal dengan Wira akhirnya mogok bicara dan dia hanya berdiam seharian di dalam kamar bahkan tidak memperbolehkan suaminya masuk ke dalam kamar. Wira yang menyerah dan tidak mau membuat Airin yang sering moody-an itu menjadi semakin marah padanya pun memilih untuk mengalah sehingga dia hanya berdiam di ruang televisi seraya mengecek berkas-berkas penerbangannya untuk lusa.

Hampir setengah hari Airin berada di dalam kamar sampai akhirnya perempuan yang tengah mengandung itu keluar dari kamarnya karena tiba-tiba ia ingin memakan sesuatu yang harus diambilnya di dapur.

Airin dengan perutnya yang sudah sedikit membuncit tampak berjalan ke arah dapur dan sama sekali tidak menghiraukan Wira yang tersenyum tipis mengamatinya sejak ia membuka pintu kamar.

Mata Airin berbinar saat ia melihat cake yang ada di dalam kulkas dan ada juga ice cream di atas freezer karena tampaknya suaminya itu membeli berbagai makanan dan tidak membiarkan isi kulkasnya kosong karena tahu akhir-akhir ini Airin sedang gemar memakan cemilan apapun.

“Cari apa, Sayang? Mau dibantu?”

Airin tersentak sedikit kala meraih cake dari dalam kulkas, dia lalu menoleh untuk mengamati Wira yang tampak sudah berdiri di belakangnya dengan tangan bersedikap. Airin memutar bola matanya malas dan tidak merespon apapun, dia naik ke atas bangku depan meja bar dan memakan cake strawberry itu.

“Rambutnya, Sayang.”

Wira terkekeh pelan sambil mendekati istrinya yang beberapa kali tak sengaja memakan rambutnya yang semakin panjang menghalangi wajahnya kala perempuan itu menunduk. Wira memegangi rambut Airin dan menyelipkan pinggirannya di balik telinga wanita itu. “Habis ini tidur ya, Cantik?”

Airin menggeleng. “Nggak mau.”

“Badannya udah enakan hm? Besok kita jalan-jalan ya, kamunya sehat dulu.”

“Aku gak sakit!”

“Tapi badan kamu masih hangat ini, terus masih suka bersin-bersin juga saya perhatiin.”

Airin terdiam sejenak mengabaikan suaminya dan melanjutkan menghabisi potongan cake-nya sampai habis, dia hendak mengambil minum tapi rupanya Wira sudah lebih dulu menyiapkan segelas air untuknya. Airin pun langsung meneguk minumannya itu, dia sedikit berusaha untuk turun dari bangkunya seraya memegangi perutnya hati-hati meskipun dengan sigap suaminya itu langsung menggendongnya untuk turun dari sana.

“Sampai kamar ya saya gendongnya hm?”

“Hm,” sahut Airin pelan, dia yang sedikit gengsi tampak menelusup ke dalam ceruk leher suaminya. Mengendus sejumput aroma maskulin yang melekat pada tubuh lelaki itu, sebenarnya ada hasrat ingin memeluk tetapi kalah besar dengan rasa malu Airin kala itu, dia baru selesai merajuk pasalnya.

“Mau ke kamar?”

“Nggak mau.”

“Kalau nggak ke kamar, nanti harus berduaan sama saya loh, soalnya saya mau nonton dulu. Kamu mau ikut?” Goda Wira.

“Hm.”

Lelaki itu diam-diam menahan senyumnya terutama ketika ia duduk di sofa dengan Airin yang ada di pangkuannya kini, Airin hendak turun dari atas pangkuan suaminya itu namun Wira terus menahan pinggangnya.

“Mas aku mau turun.”

Wira mengamati istrinya yang mencebikkan bibirnya dan terus berusaha melepaskan pegangan lelaki itu yang hanya tersenyum miring dan tak henti menatap Airin. “Nggak boleh, kalau mau sama saya harus gini syaratnya.”

“Mas ih...”

“Apa?”

Airin yang mulai takut kala Wira menatapnya serius segera memeluk leher suaminya dan menelusup manja pada dada bidang lelaki itu. “Maafin aku.”

“Mana coba lihat saya.”

“Nggak mau.”

“Ish kok gitu nggak mau lihat suaminya sendiri?”

Wira mengangkat wajah Airin yang begitu menggemaskan ditambah pipinya yang semakin berisi semenjak wanita itu sedang mengandung. Wira tersenyum kecil. “Mau saya maafin?”

“Ya udah kalo nggak mau juga aku gak akan maksa!”

“Cium dulu.”

“Nggak mau.”

“Ish, kenapa nggak mau?” Wira mengerucutkan bibirnya, sedikit menahan tawa juga melihat gemasnya sang istri. “Biasanya kamu yang minta.”

“Diem deh.”

Wira menggertakkan rahangnya gemas melihat Airin tampak langsung merotasikan bola matanya dan berupaya mengalihkan pandangan dari lelaki itu. Sontak membuat Wira yang sudah tidak tahan tampaknya langsung menghadapkan lagi wajah istrinya itu padanya lalu menarik Airin lebih dekat dengan pelukan yang semakin erat.

“Gemes banget sih kamu hm.” Wira mengendus pipi Airin dalam-dalam lalu ia mengecup beberapa kali dengan gemas dan menempelkan hidungnya agar beradu dengan hidung mancung istrinya itu hingga berakhir dengan memberi kecupan akhir pada bibir Airin. “Kamu makin lucu saya jadi pingin cium terus.”

Airin menatap Wira cemberut tapi dalam hatinya rasanya ia ingin berteriak karena sungguh ia sangat senang jika suaminya seperti ini padanya meskipun memang Wira akhir-akhir ini seringkali mengganggu Airin yang sedang sensitif beberapa bulan terakhir, tetapi sungguh meskipun begitu, suaminya selalu punya cara untuk memperbaiki mood-nya segera mungkin.

“Saya makin cinta sama kamu,” bisik Wira kala ia mendekap tubuh Airin begitu erat, namun beberapa saat Airin meringis sehingga lelaki itu langsung merenggangkan pelukannya. “Astagfirullah, maaf-maaf, saya lupa kita nggak hanya berdua di sini.”

Airin menunduk sejenak saat ia mengusap perutnya lembut sehingga membuat wajah cantiknya yang sedang tersenyum teduh itu terhalangi oleh rambut panjangnya. Tangan Wira bergerak menyampingkan rambut Airin agar ia bisa puas memandangi wajah cantik istrinya itu, lelaki itu juga mengusap perut Airin yang sudah sedikit membuncit, ia tak henti menatap Airin begitu dalam. “Anak ayah gimana keadaannya?”

Airin membuat suara imut ala ala seolah ia bersuara mewakili sang anak. “Baik ayah! Tapi aku bosen gak pernah diajak kemana-mana. Aku pingin keluar juga.”

“Emangnya anak ayah mau kemana?”

“Aku mau ke pantai!”

“Boleh, tapi memangnya bunda kamu sudah sehat?”

“Udah! Aku gak sakit!” Kini Airin mengangkat wajahnya menatap Wira, dia menatap suaminya itu sinis dan tangannya berusaha melepaskan tangan Wira yang memenjaranya. “Udah aku ngantuk.”

Hold Me Tight


Airin sedari tadi tampak merajuk sebab Wira tidak memperbolehkannya untuk keluar rumah karena akhir-akhir ini Airin sering mengeluh tidak enak badan jadilah suaminya itu khawatir untuk membawa sang istri keluar rumah.

Airin yang kesal dengan Wira akhirnya mogok bicara dan dia hanya berdiam seharian di dalam kamar bahkan tidak memperbolehkan suaminya masuk ke dalam kamar. Wira yang menyerah dan tidak mau membuat Airin yang sering moody-an itu menjadi semakin marah padanya pun memilih untuk mengalah sehingga dia hanya berdiam di ruang televisi seraya mengecek berkas-berkas penerbangannya untuk lusa.

Hampir setengah hari Airin berada di dalam kamar sampai akhirnya perempuan yang tengah mengandung itu keluar dari kamarnya karena tiba-tiba ia ingin memakan sesuatu yang harus diambilnya di dapur.

Airin dengan perutnya yang sudah sedikit membuncit tampak berjalan ke arah dapur dan sama sekali tidak menghiraukan Wira yang tersenyum tipis mengamatinya sejak ia membuka pintu kamar.

Mata Airin berbinar saat ia melihat cake yang ada di dalam kulkas dan ada juga ice cream di atas freezer karena tampaknya suaminya itu membeli berbagai makanan dan tidak membiarkan isi kulkasnya kosong karena tahu akhir-akhir ini Airin sedang gemar memakan cemilan apapun.

“Cari apa, Sayang? Mau dibantu?”

Airin tersentak sedikit kala meraih cake dari dalam kulkas, dia lalu menoleh untuk mengamati Wira yang tampak sudah berdiri di belakangnya dengan tangan bersedikap. Airin memutar bola matanya malas dan tidak merespon apapun, dia naik ke atas bangku depan meja bar dan memakan cake strawberry itu.

“Rambutnya, Sayang.”

Wira terkekeh pelan sambil mendekati istrinya yang beberapa kali tak sengaja memakan rambutnya yang semakin panjang menghalangi wajahnya kala perempuan itu menunduk. Wira memegangi rambut Airin dan menyelipkan pinggirannya di balik telinga wanita itu. “Habis ini tidur ya, Cantik?”

Airin menggeleng. “Nggak mau.”

“Badannya udah enakan hm? Besok kita jalan-jalan ya, kamunya sehat dulu.”

“Aku gak sakit!”

“Tapi badan kamu masih hangat ini, terus masih suka bersin-bersin juga saya perhatiin.”

Airin terdiam sejenak mengabaikan suaminya dan melanjutkan menghabisi potongan cake-nya sampai habis, dia hendak mengambil minum tapi rupanya Wira sudah lebih dulu menyiapkan segelas air untuknya. Airin pun langsung meneguk minumannya itu, dia sedikit berusaha untuk turun dari bangkunya seraya memegangi perutnya hati-hati meskipun dengan sigap suaminya itu langsung menggendongnya untuk turun dari sana.

“Sampai kamar ya saya gendongnya hm?”

“Hm,” sahut Airin pelan, dia yang sedikit gengsi tampak menelusup ke dalam ceruk leher suaminya. Mengendus sejumput aroma maskulin yang melekat pada tubuh lelaki itu, sebenarnya ada hasrat ingin memeluk tetapi kalah besar dengan rasa malu Airin kala itu, dia baru selesai merajuk pasalnya.

“Mau ke kamar?”

“Nggak mau.”

“Kalau nggak ke kamar, nanti harus berduaan sama saya loh, soalnya saya mau nonton dulu. Kamu mau ikut?” Goda Wira.

“Hm.”

Lelaki itu diam-diam menahan senyumnya terutama ketika ia duduk di sofa dengan Airin yang ada di pangkuannya kini, Airin hendak turun dari atas pangkuan suaminya itu namun Wira terus menahan pinggangnya.

“Mas aku mau turun.”

Wira mengamati istrinya yang mencebikkan bibirnya dan terus berusaha melepaskan pegangan lelaki itu yang hanya tersenyum miring dan tak henti menatap Airin. “Nggak boleh, kalau mau sama saya harus gini syaratnya.”

“Mas ih...”

“Apa?”

Airin yang mulai takut kala Wira menatapnya serius segera memeluk leher suaminya dan menelusup manja pada dada bidang lelaki itu. “Maafin aku.”

“Mana coba lihat saya.”

“Nggak mau.”

“Ish kok gitu nggak mau lihat suaminya sendiri?”

Wira mengangkat wajah Airin yang begitu menggemaskan ditambah pipinya yang semakin berisi semenjak wanita itu sedang mengandung. Wira tersenyum kecil. “Mau saya maafin?”

“Ya udah kalo nggak mau juga aku gak akan maksa!”

“Cium dulu.”

“Nggak mau.”

“Ish, kenapa nggak mau?” Wira mengerucutkan bibirnya, sedikit menahan tawa juga melihat gemasnya sang istri. “Biasanya kamu yang minta.”

“Diem deh.”

Wira menggertakkan rahangnya gemas melihat Airin tampak langsung merotasikan bola matanya dan berupaya mengalihkan pandangan dari lelaki itu. Sontak membuat Wira yang sudah tidak tahan tampaknya langsung menghadapkan lagi wajah istrinya itu padanya lalu menarik Airin lebih dekat dengan pelukan yang semakin erat.

“Gemes banget sih kamu hm.” Wira mengendus pipi Airin dalam-dalam lalu ia mengecup beberapa kali dengan gemas dan menempelkan hidungnya agar beradu dengan hidung mancung istrinya itu hingga berakhir dengan memberi kecupan akhir pada bibir Airin. “Kamu makin lucu saya jadi pingin cium terus.”

Airin menatap Wira cemberut tapi dalam hatinya rasanya ia ingin berteriak karena sungguh ia sangat senang jika suaminya seperti ini padanya meskipun memang Wira akhir-akhir ini seringkali mengganggu Airin yang sedang sensitif beberapa bulan terakhir, tetapi sungguh meskipun begitu, suaminya selalu punya cara untuk memperbaiki mood-nya segera mungkin.

“Saya makin cinta sama kamu,” bisik Wira kala ia mendekap tubuh Airin begitu erat, namun beberapa saat Airin meringis sehingga lelaki itu langsung merenggangkan pelukannya. “Astagfirullah, maaf-maaf, saya lupa kita nggak hanya berdua di sini.”

Airin menunduk sejenak saat ia mengusap perutnya lembut sehingga membuat wajah cantiknya yang sedang tersenyum teduh itu terhalangi oleh rambut panjangnya. Tangan Wira bergerak menyampingkan rambut Airin agar ia bisa puas memandangi wajah cantik istrinya itu, lelaki itu juga mengusap perut Airin yang sudah sedikit membuncit, ia tak henti menatap Airin begitu dalam. “Anak ayah gimana keadaannya?”

Airin membuat suara imut ala ala seolah ia bersuara mewakili sang anak. “Baik ayah! Tapi aku bosen gak pernah diajak kemana-mana. Aku pingin keluar juga.”

“Emangnya anak ayah mau kemana?”

“Aku mau ke pantai!”

“Boleh, tapi memangnya bunda kamu sudah sehat?”

“Udah! Aku udah sembuh kok!” Kini Airin mengangkat wajahnya menatap Wira, dia menatap suaminya itu sinis dan tangannya berusaha melepaskan tangan Wira yang memenjaranya. “Aku mau tidur!”

“Nggak boleh, tadi kamu sendiri yang mau sama saya.”

“Kamu makin...”

“Makin apa?”

“Gak.”

“Apa?”

“Makin berani.”

Wira hanya menahan senyumnya kala Airin mulai menatapnya sinis, lelaki itu sedikit salah tingkah karena memang benar juga rupanya semakin lama ia mulai berubah sedikit demi sedikit, malah ia sendiri sedikit bingung kenapa jadi dirinya yang selalu menggoda istrinya itu padahal biasanya dia yang suka takut jika Airin sudah menggodanya.

“Pipi kamu merah.”

“Emang kalo saya berani kenapa hm? Emang kamu saja gitu yang bisa godain saya?”

“Mas Wira ih!”

Lagi, Airin memejamkan matanya dan sedikit kegelian kala suaminya kembali mengecupnya wajahnya beberapa kali bahkan dia mengendus pipi Airin begitu lama lalu menempelkan hidungnya di sekitaran leher perempuan itu.

“Kamu jangan bikin saya gemes terus makanya.”

Airin yang tertawa geli itu akhirnya berseru, “ampun...”

“Ampun?”

“Mau cium.”

Jika Airin sudah dalam mode Airin setelah perempuan itu mengalungkan tangannya di sekitaran leher Wira barulah lelaki itu terdiam sejenak, dia menahan napasnya kala tangan istrinya itu mulai bergerak menyentuh kumis tipisnya lalu tangan satunya bergerak mengusap tengkuk belakang lelaki itu. Ini lah mode yang tepat seharusnya, Airin yang selalu mampu menaklukan seorang Prawira Nugraha.

“Ai.”

Airin mengangkat alisnya sebelah dengan tatapan matanya yang tajam saat jemari lentiknya menangkup rahang tegas Wira. Wira menatap mata wanita itu penuh damba seraya mengusap wajah berseri sang istri dengan lembut.

“Airin.”

“Hm?”

“Cantik. Kamu selalu cantik.” matanya berbinar kala wajah keduanya semakin mendekat, napas yang setengah memburu mulai menerpa wajah masing-masing. “Boleh kalau saya...”

Wira menahan napasnya sejenak kala kalimatnya tertahan, lalu ia kembali berucap. “ ... mau kamu malam ini sepenuhnya milik saya?”

Airin tersenyum menyeringai. Ia mengusap wajah suaminya yang tampan itu. “Aku emang milik kamu sepenuhnya, nggak hanya malam ini, tapi sampai kapanpun.”


Hold Me Tight


Airin sedari tadi tampak merajuk sebab Wira tidak memperbolehkannya untuk keluar rumah karena akhir-akhir ini Airin sering mengeluh tidak enak badan jadilah suaminya itu khawatir untuk membawa sang istri keluar rumah.

Airin yang kesal dengan Wira akhirnya mogok bicara dan dia hanya berdiam seharian di dalam kamar bahkan tidak memperbolehkan suaminya masuk ke dalam kamar. Wira yang menyerah dan tidak mau membuat Airin yang sering moody-an itu menjadi semakin marah padanya pun memilih untuk mengalah sehingga dia hanya berdiam di ruang televisi seraya mengecek berkas-berkas penerbangannya untuk lusa.

Hampir setengah hari Airin berada di dalam kamar sampai akhirnya perempuan yang tengah mengandung itu keluar dari kamarnya karena tiba-tiba ia ingin memakan sesuatu yang harus diambilnya di dapur.

Airin dengan perutnya yang sudah sedikit membuncit tampak berjalan ke arah dapur dan sama sekali tidak menghiraukan Wira yang tersenyum tipis mengamatinya sejak ia membuka pintu kamar.

Mata Airin berbinar saat ia melihat cake yang ada di dalam kulkas dan ada juga ice cream di atas freezer karena tampaknya suaminya itu membeli berbagai makanan dan tidak membiarkan isi kulkasnya kosong karena tahu akhir-akhir ini Airin sedang gemar memakan cemilan apapun.

“Cari apa, Sayang? Mau dibantu?”

Airin tersentak sedikit kala meraih cake dari dalam kulkas, dia lalu menoleh untuk mengamati Wira yang tampak sudah berdiri di belakangnya dengan tangan bersedikap. Airin memutar bola matanya malas dan tidak merespon apapun, dia naik ke atas bangku depan meja bar dan memakan cake strawberry itu.

“Rambutnya, Sayang.”

Wira terkekeh pelan sambil mendekati istrinya yang beberapa kali tak sengaja memakan rambutnya yang semakin panjang menghalangi wajahnya kala perempuan itu menunduk. Wira memegangi rambut Airin dan menyelipkan pinggirannya di balik telinga wanita itu. “Habis ini tidur ya, Cantik?”

Airin menggeleng. “Nggak mau.”

“Badannya udah enakan hm? Besok kita jalan-jalan ya, kamunya sehat dulu.”

“Aku gak sakit!”

“Tapi badan kamu masih hangat ini, terus masih suka bersin-bersin juga saya perhatiin.”

Airin terdiam sejenak mengabaikan suaminya dan melanjutkan menghabisi potongan cake-nya sampai habis, dia hendak mengambil minum tapi rupanya Wira sudah lebih dulu menyiapkan segelas air untuknya. Airin pun langsung meneguk minumannya itu, dia sedikit berusaha untuk turun dari bangkunya seraya memegangi perutnya hati-hati meskipun dengan sigap suaminya itu langsung menggendongnya untuk turun dari sana.

“Sampai kamar ya saya gendongnya hm?”

“Hm,” sahut Airin pelan, dia yang sedikit gengsi tampak menelusup ke dalam ceruk leher suaminya. Mengendus sejumput aroma maskulin yang melekat pada tubuh lelaki itu, sebenarnya ada hasrat ingin memeluk tetapi kalah besar dengan rasa malu Airin kala itu, dia baru selesai merajuk pasalnya.

“Mau ke kamar?”

“Nggak mau.”

“Kalau nggak ke kamar, nanti harus berduaan sama saya loh, soalnya saya mau nonton dulu. Kamu mau ikut?” Goda Wira.

“Hm.”

Lelaki itu diam-diam menahan senyumnya terutama ketika ia duduk di sofa dengan Airin yang ada di pangkuannya kini, Airin hendak turun dari atas pangkuan suaminya itu namun Wira terus menahan pinggangnya.

“Mas aku mau turun.”

Wira mengamati istrinya yang mencebikkan bibirnya dan terus berusaha melepaskan pegangan lelaki itu yang hanya tersenyum miring dan tak henti menatap Airin. “Nggak boleh, kalau mau sama saya harus gini syaratnya.”

“Mas ih...”

“Apa?”

Airin yang mulai takut kala Wira menatapnya serius segera memeluk leher suaminya dan menelusup manja pada dada bidang lelaki itu. “Maafin aku.”

“Mana coba lihat saya.”

“Nggak mau.”

“Ish kok gitu nggak mau lihat suaminya sendiri?”

Wira mengangkat wajah Airin yang begitu menggemaskan ditambah pipinya yang semakin berisi semenjak wanita itu sedang mengandung. Wira tersenyum kecil. “Mau saya maafin?”

“Ya udah kalo nggak mau juga aku gak akan maksa!”

“Cium dulu.”

“Nggak mau.”

“Ish, kenapa nggak mau?” Wira mengerucutkan bibirnya, sedikit menahan tawa juga melihat gemasnya sang istri. “Biasanya kamu yang minta.”

“Diem deh.”

Wira menggertakkan rahangnya gemas melihat Airin tampak langsung merotasikan bola matanya dan berupaya mengalihkan pandangan dari lelaki itu. Sontak membuat Wira yang sudah tidak tahan tampaknya langsung menghadapkan lagi wajah istrinya itu padanya lalu menarik Airin lebih dekat dengan pelukan yang semakin erat.

“Gemes banget sih kamu hm.” Wira mengendus pipi Airin dalam-dalam lalu ia mengecup beberapa kali dengan gemas dan menempelkan hidungnya agar beradu dengan hidung mancung istrinya itu hingga berakhir dengan memberi kecupan akhir pada bibir Airin. “Kamu makin lucu saya jadi pingin cium terus.”

Airin menatap Wira cemberut tapi dalam hatinya rasanya ia ingin berteriak karena sungguh ia sangat senang jika suaminya seperti ini padanya meskipun memang Wira akhir-akhir ini seringkali mengganggu Airin yang sedang sensitif beberapa bulan terakhir, tetapi sungguh meskipun begitu, suaminya selalu punya cara untuk memperbaiki mood-nya segera mungkin.

“Saya makin cinta sama kamu,” bisik Wira kala ia mendekap tubuh Airin begitu erat, namun beberapa saat Airin meringis sehingga lelaki itu langsung merenggangkan pelukannya. “Astagfirullah, maaf-maaf, saya lupa kita nggak hanya berdua di sini.”

Airin menunduk sejenak saat ia mengusap perutnya lembut sehingga membuat wajah cantiknya yang sedang tersenyum teduh itu terhalangi oleh rambut panjangnya. Tangan Wira bergerak menyampingkan rambut Airin agar ia bisa puas memandangi wajah cantik istrinya itu, lelaki itu juga mengusap perut Airin yang sudah sedikit membuncit, ia tak henti menatap Airin begitu dalam. “Anak ayah gimana keadaannya?”

Airin membuat suara imut ala ala seolah ia bersuara mewakili sang anak. “Baik ayah! Tapi aku bosen gak pernah diajak kemana-mana. Aku pingin keluar juga.”

“Emangnya anak ayah mau kemana?”

“Aku mau ke pantai!”

“Boleh, tapi memangnya bunda kamu sudah sehat?”

“Udah! Aku udah sembuh kok!” Kini Airin mengangkat wajahnya menatap Wira, dia menatap suaminya itu sinis dan tangannya berusaha melepaskan tangan Wira yang memenjaranya. “Aku mau tidur!”

“Nggak boleh, tadi kamu sendiri yang mau sama saya.”

“Kamu makin...”

“Makin apa?”

“Gak.”

“Apa?”

“Makin berani.”

Wira hanya menahan senyumnya kala Airin mulai menatapnya sinis, lelaki itu sedikit salah tingkah karena memang benar juga rupanya semakin lama ia mulai berubah sedikit demi sedikit, malah ia sendiri sedikit bingung kenapa jadi dirinya yang selalu menggoda istrinya itu padahal biasanya dia yang suka takut jika Airin sudah menggodanya.

“Pipi kamu merah.”

“Emang kalo saya berani kenapa hm? Emang kamu saja gitu yang bisa godain saya?”

“Mas Wira ih!”

Lagi, Airin memejamkan matanya dan sedikit kegelian kala suaminya kembali mengecupnya wajahnya beberapa kali bahkan dia mengendus pipi Airin begitu lama lalu menempelkan hidungnya di sekitaran leher perempuan itu.

“Kamu jangan bikin saya gemes terus makanya.”

Airin yang tertawa geli itu akhirnya berseru, “ampun...”

“Ampun?”

“Mau cium.”

Jika Airin sudah dalam mode Airin setelah perempuan itu mengalungkan tangannya di sekitaran leher Wira barulah lelaki itu terdiam sejenak, dia menahan napasnya kala tangan istrinya itu mulai bergerak menyentuh kumis tipisnya lalu tangan satunya bergerak mengusap tengkuk belakang lelaki itu. Ini lah mode yang tepat seharusnya, Airin yang selalu mampu menaklukan seorang Prawira Nugraha.

“Ai.”

Airin mengangkat alisnya sebelah dengan tatapan matanya yang tajam saat jemari lentiknya menangkup rahang tegas Wira. Wira menatap mata wanita itu penuh damba seraya mengusap wajah berseri sang istri dengan lembut.

“Airin.”

“Hm?”

“Cantik. Kamu selalu cantik.” matanya berbinar kala wajah keduanya semakin mendekat, napas yang setengah memburu mulai menerpa wajah masing-masing. “Boleh kalau saya...”

Wira menahan napasnya sejenak kala kalimatnya tertahan, lalu ia kembali berucap. “ ... mau kamu malam ini sepenuhnya milik saya?”

Airin tersenyum menyeringai. Ia mengusap wajah suaminya yang tampan itu. “Aku emang milik kamu sepenuhnya, nggak hanya malam ini, tapi sampai kapanpun.”